Selasa, 04 Oktober 2016

FULL DAY SCHOOL DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN KEARIFAN LOKAL



FULL DAY SCHOOL DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN KEARIFAN LOKAL

oleh
Muhammad Syamsuddin
Mahasiswa Pascasarjana IAIN Pekalongan
2016

PENDAHULUAN
Menteri pendidikan dan kebudayaan, Muhadjir Effendy sepertinya ingin melanjutkan tradisi Anies Baswedan dalam mereproduksi wacana kebijakan. Belum genap sebulan menjadi menteri, beliau melemparkan gagasan tentang bersekolah sehari penuh (full day school). Sementara itu, isu kebijakan full day school akan menjadi polemik pro dan kontra ditengah masyarakat. Kebijakan full day school dikatakan Mendikbud sebagai solusi untuk mengembangkan kemampuan psikososial siswa di sekolah dan membantu orang tua siswa yang bekerja sehari penuh yang tidak memiliki waktu untuk mengurus anak. Pelaksanaan full day school didesain untuk menjadi peranti penguatan solidaritas edukatif di sekolah.
Pertanyaan mendasar, apakah full day school memiliki visi strategis dalam peningkatan mutu pendidikan nasional? Lalu, apakah konsep full day school mampu menopang skema program pendidikan berbasis kesetaraan sehingga anak didik dari keluarga miskin bisa terlayani dengan baik? Bagaimana kajian full day school dalam perspektif kearifan lokal?

PENGERTIAN SISTEM PEMBELAJARAN FULL DAY SCHOOL
Full day school menurut etimologi berasal dari Bahasa Inggris. Yang terdiri dari kata full berarti penuh, dan day artinya hari.[1] Maka full day mengandung arti sehari penuh. Sedang school artinya sekolah . Jadi, arti dari full day school jika dilihat dari segi etimologinya berarti sekolah atau kegiatan belajar yang dilakukan sehari penuh.
Sedangkan menurut terminologi atau arti secara luas, Full day school mengandung arti sistem pendidikan yang menerapkan pembelajaran atau kegiatan belajar mengajar sehari penuh dengan memadukan sistem pengajaran yang intensif yakni dengan menambah jam pelajaran untuk pendalaman  materi  pelajaran  serta  pengembangan  diri  dan  kreatifitas.[2]
Adapun  pelaksanaan   pembelajarannya  dilaksanakan  di  sekolah  mulai pagi  hingga  sore  hari,  secara  rutin  sesuai  dengan  program  pada  tiap jenjang pendidikannya. Dalam jurnal pendidikan Islam, karangan Nor Hasan, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan full day school secara istilah yaitu suatu proses pembelajaran yang berlangsung secara aktif, kreatif dan transformatif selama sehari penuh bahkan selama kurang lebih 24 jam. Yang dimaksud dengan aktif disini yaitu mengoptimalisasikan seluruh potensi untuk mencapai tujuan pembelajaran secara optimal.
Sedangkan sisi kreatif terletak pada optimalisasi pemanfaatan sarana dan prasarana sekaligus sistem untuk mewujudkan proses pembelajaran yang kondusif bagi pengembangan segenap potensi siswa. Adapun dari segi transformatif dalam  pembelajaran  full day  school  adalah  proses  pembelajaran  yang diabadikan untuk mengembangkan seluruh potensi kepribadian siswa dengan lebih seimbang. Dan yang dimaksud dengan sistem 24 jam dimaksudkan sebagai ikhtiar bagaimana selama sehari semalam siswa melakukan aktivitas bermakna edukatif.

LATAR BELAKANG MUNCULNYA FULL DAY SCHOOL
Full day school awalnya muncul pada tahun 1980-an di Amerika Serikat,  sebenarnya  pada  waktu  itu  hanya  dilaksanakan  untuk  jenjang taman kanak-kanak saja, namun dengan seiring perkembangan zaman, full day school meluas, sehingga juga diperuntukkan ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu SD sampai dengan menengah ke atas.
Ketertarikan para orang tua untuk memasukkan anaknya ke full day school   dilatarbelakangi   oleh   beberapa   hal,   yaitu   karena   semakin banyaknya kaum ibu yang bekerja di luar rumah dan mereka banyak yang memiliki anak berusia di bawah 6 tahun, meningkatnya jumlah anak-anak usia prasekolah yang ditampung di sekolah-sekolah milik public (masyarakat umum), meningkatnya pengaruh televisi dan mobilitas para orang tua, serta kemajuan dan kemodernan yang mulai berkembang di segala aspek kehidupan. Dengan memasukkan anak mereka ke full day school, mereka berharap dapat memperbaiki nilai akademik anak-anak mereka sebagai persiapan untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya dengan sukses, juga masalah-masalah tersebut di atas dapat teratasi.[3]
Adapun munculnya sistem pembelajaran full day school di Indonesia diawali dengan menjamurnya istilah sekolah unggulan sekitar tahun 1990-an, yang banyak dipelopori oleh sekolah-sekolah swasta termasuk sekolah-sekolah  yang berlabel Islam. Dalam pengertian  yang ideal, sekolah unggul adalah sekolah yang lebih mengedepankan pada kualitas proses pembelajaran, bukan pada kualitas input siswanya. Kualitas proses  pembelajaran  bergantung  pada  sistem  pembelajarannya.  Term unggulan  ini  yang  kemudian  dikembangkan  oleh  para  pengelola di sekolah-sekolah menjadi bentuk yang lebih beragam  diantaranya adalah full day school dan sekolah terpadu.

TUJUAN PEMBELAJARAN FULL DAY SCHOOL
Setiap lembaga pendidikan yang ingin mencapai kesuksesan, haruslah menetapkan tujuan yang akan dicapai, di sekolah, tujuan telah dirumuskan dalam berbagai tingkat tujuan, diantaranya yaitu :
1)        Tujuan Pendidikan Nasional
2)        Tujuan Institusional
3)        Tujuan Kurikuler
4)        Tujuan instruksional.[4]
Secara umum tujuan sistem pembelajaran full day school adalah untuk memberikan dasar yang kuat dalam mengembangkan dan meningkatkan kecerdasan/Intelegence Quotient (IQ), Emosional Quotient (EQ) dan Spiritual Quotient (SQ) dengan berbagai inovasi yang efektif dan  aktual.  Kurikulumnya  didesain  untuk  mengembangkan  kreatifitas yang mencakup integritas dan kondisi tiga ranah (ranah kognitif, afektif dan psikomotorik).
Sistem pembelajaran full day school merupakan bentuk pembelajaran  yang diharapkan dapat membentuk seorang peserta didik yang berintelektual tinggi yang dapat memadukan aspek ketrampilan dan pengetahuan dengan sikap yang baik. Dengan adanya garis-garis besar program full day school, diharapakan sekolah yang melaksanakan program ini, dapat mencapai target tujuan yang ingin dicapai oleh lembaga pendidikan.
Adapun garis-garis besar program full day school, adalah sebagai berikut:
1.      Membentuk sikap yang Islami
a.       Pembentukan sikap yang Islami
1)      Pengetahuan dasar tentang Iman, Islam dan Ihsan
2)      Pengetahuan dasar tentang akhlak terpuji dan tercela
3)      Kecintaan kepada Allah dan Rosul-Nya
4)      Kebanggaan kepada Islam dan semangat memperjuangkannya
b.      Pembiasaan berbudaya Islam
1)      Gemar beribadah
2)      Gemar belajar
3)      Disiplin
4)      Kreatif
5)      Mandiri
6)      Hidup bersih dan sehat
7)      Beradab Islami
2.      Penguasaan Pengetahuan dan Ketrampilan, diantaranya:
a.       Pengetahuan materi-materi pokok program pendidikan
b.      Mengetahui dan terampil dalam beribadah sehari-hari
c.       Mengetahui dan terampil baca dan tulis Al-Qur'an
d.      Memahami secara sederhana isi kandungan amaliah sehari-hari.[5]

KURIKULUM FULL DAY SCHOOL
Kurikulum dapat diartikan sebagai sebuah dokumen perencanaan yang berisi tentang tujuan yang harus dicapai. Isi materi dan pengalaman belajar yang harus dilakukan siswa, strategi dan cara yang dapat dikembangkan, evaluasi yang dirancang untuk mengumpulkan informasi tentang pencapaian tujuan, serta   implementasi dari  dokumen yang dirancang dalam bentuk nyata.
Berbeda dengan model kurikulum sekolah pada umumnya, full day  school menerapkan konsep dasar Integrated-Activity dan Integrated-Curriculum. Artinya seluruh program dan aktivitas anak yang  di  sekolah,  mulai  dari  belajar,  bermain,  makan  dan  beribadah tercover semua dalam suatu sistem pembelajaran full day school. Kurikulum full day  school  didesain  untuk  menjangkau  masing-masing dari perkembangan anak, konsep pengembangannya dengan mengembangkan kekreatifitasan anak, yang didasarkan atas aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.[6]
Dalam  perkembangannya,  manajemen  full  day  school mensyaratkan adanya profesionalisme dari seorang pendidik, pendidik dituntut   untuk   peka  terhadap   perkembangan   zaman,  selalu   terbuka terhadap kemajuan pendidikan, serta mengembangkan kurikulum yang modern, hal itu bertujuan agar konsep kurikulum yang direncanakan bisa tercapai.
Dalam penerapan full day school sebagian waktunya harus digunakan   untuk   program-program   pembelajaran   yang   suasananya informal, tidak kaku, menyenangkan bagi siswa, yang tentunya ini memerlukan kreatifitas dan inovasi dari seorang guru. Permainan yang di berikan dalam sistem full day school masih mengandung arti pendidikan, yang artinya bermain sambil belajar. Sebisa mungkin diciptakan suasana yang kreatif dalam pembelajarannya, sehingga siswa tidak akan merasa terbebani, bosan dan menjenuhkan meski seharian berada di dalam sekolah.
Salah satu kesuksesan pendidikan terletak pada kurikulum, kurikulum yang diterapkan harus disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik dan tuntutan orang tua, selain itu sekolah harus memiliki ciri khas yang menonjol agar masyarakat tertarik dan  yang paling utama adalah sekolah mampu  menampilkan dan  memastikan  bahwa  sekolah tersebut benar-benar  mempunyai  keunggulan  dalam  berbagai  hal,  agar  banyak diminati oleh masyarakat.

FULL DAY SCHOOL DALAM PERSPEKTIF KEARIFAN LOKAL
Kasus full day school yang telah mendapatkan respon banyak praktisi pendidikan dan banyak pengelola pesantren dan madrasah diniyah yang geram. Namun karena kesopanan dan sikap kehati hatian Muhadjir, ia kembali mundur dari sebelum merencanakan full day school dengan tidak merasakan kesulitan, karena kebijakannya ini masih berbentuk sikap kebijakan yang mengandaikan sistem pendidikan Finlandia bisa berlangsung di Indonesia.
Bersamaan dengan pengandaian dari Mendikbud ini adalah sebagai bentuk pengandaian kebijakan yang bersifat main main. Alasannya, karena sistem kurikulum pendidikan bangsa Indonesia sudah sangat padat, mengapa harus full day school? Mengapa sebelum menawarkan pendekatan dan cara pendampingan kepada anak bangsa harus menjadikan Finlandia sebagai kawasan studi? Mengapa bukan kawasan studi yang berada di Indonesia yang memiliki ragam dan corak budaya yang beragam?
Dengan kawasan studi yang berada di negera sendiri, maka akan menemukan model pendekatan yang akan dapat disesuaikan dengan kearifan lokal. Karenanya, dalam pengandaian Mendikbud itu, yang terkejut pertama kali adalah para kiai dan santri di desa yang sekarang ini masih berbasis madrasah dan pesantren. Jadi, pengandaian kebijakan dengan mengacu pada sistem belajar full day school merupakan contoh kebijakan yang tidak ramah terhadap kondisi fisik dan mental anak, sekaligus juga merusak sistem pendidikan madrasah. Full day school akan menyamaratakan pada semua siswa dalam konteks penanganan pendampingan yang sama.[7]
Dari semua siswa sepulang dari sekolah formal sudah dapat dilihat, mereka akan memiliki selera yang berbeda beda. Misalnya, ada selera yang berbasis pesantren dan madrasah, hobi olah raga, musik, istirahat, bermain, dan lain sebagainya. Dari semua selera ini akan terganggu dengan adanya realisasi sebuah full day school. Berapa biaya yang diperlukan untuk menyediakan hobi dan selera pasca sekolah menjadi bertempat di sekolah. Hal ini tidak cukup hanya dilihat dari sertifikasi guru.
Secara psikologis, sistem full day school tidak akan membuat nyaman para siswa, sebab sistem full day school akan memberlakukan full model yang monoton dan menjenuhkan,  karena berada dalam satu area pembelajaran yang tidak berubah suasana dan pemandangan alamiah. Misalnya, sehari full dengan seragam yang sama, model guru yang sama, lokasi area yang sama, wajah teman yang sama, model pendekatan salah seorang guru yang sama. Semua isi full day school akan diseragamkan dengan model yang sama daan penuh dengan sistem formalitas sekolah.
Dalam konteks bercanda, bahwa dunia pendidikan dan pengembangan kepribadian hanya milik Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Sedangkan, yang lain bukanlah lingkungan yang baik, karena tidak ada sertifikasi, seragam pendidikan, dan terkait langsung dengan kebijakan menteri pendidikan dan kebudayaan. Berbeda dengan sistem belajar setengah hari, para siswa bebas memilih pilihan bersama orang tua, apakah akan memilih madrasah di sore hari? atau memilih mengaji al-Quran sesudah maghrib di mushalla atau di masjid? Ataukah memilih mendatangkan pendamping private untuk mematangkan kemampuan siswa dan siswi.
Pesantren di desa, yang telah berlangsung dengan sistem pembelajaran keberagamaam ala madrasah diniyah. Dalam konteks yang lebih luas, kebijakan sistem full day school akan mematikan tenaga pendamping private dan lembaga lembaga kursus di luar sekolah. Jika sistem full day school diterapkan, berarti juga membutuhkan tenaga guru yang lebih banyak lagi. Jika pengandaian full day school bertujuan untuk pendidikan karakter, maka Mendikbud perlu mempertimbangkan kembali model kearifan lokal dalam membentuk karakter subjek. Dalam kondisi apa pun membentuk karakter anak negeri tidak bisa merujuk lokal wisdom Finlandia. Karenanya, perlu mengkaji local wisdom versi Nusantara (Jawa).
Sehubungan dengan pendidikan karakter versi nusantara dapat dipahami dari kerangka dasar masyarakat nusantara yang lebih mementingkan modeling. Modeling dalam tradisi pesantren bukan sekedar menampilkan seorang guru yang bersedia mengajar dengan sertifikasi, namun seorang guru yang merelakan pendampingan tanpa memperdulikan hal hal seperti yang disebut dengan sertifikasi. Semua manusia memerlukan harta, namun tidak menjadi tujuan mereka yang sudah mencapai modeling dalam tradisi pesantren. Model ini masih sulit ditemukan di dalam pendidikan formal.[8]
Sementara itu, Mendikbud mengandaikan full day school dengan target mempermudah sertifikasi guru. Bukankah, lebih baik Mendikbud bekerja sama dengan para guru madrasah dengan merekomendasikan agar orang tua menyekolahkan putra putrinya pasca dari sekolah formal dengan konsekuensi memberikan support anggaran untuk pengembangan madrasah diniyah. Meskipun demikian, tidak bisa memaksakan seluruh siswa siswi masuk di madrasah pada sore hari, karena di antara mereka ada yang hobi musik, olah raga.
Bukankah kebijakan Mendikbud yang mengandaikan sesuatu yang merusak kearifan lokal, lebih baik dengan membuat kebijakan, model bimbingan belajar yang berkualitas, agar masuk di desa , sebab selama ini, bimbingan belajar hanya ada di kota. Dalam konteks yang sama, Mendikbud dapat memberikan support lembaga lembaga yanng telah serius memberikan dampingan belajar kepada anak atau dengan memberikan anggaran kepada sekolah untuk membuka model dampingan full day school yang tidak mengikat para siswa, sehingga apabila ada anak yang diwajibkan mengikuti full day school untuk konteks bermain bisa dilaporkan ke lembaga pengawas sekolah.

PENUTUP
Implementasi full day school harus dikaji secara mendalam dalam pelbagai perspektif. Perspektif pertama terkait dengan adaptasi kurikulum. Penyelenggaraan  full day school  tetap harus berdasar pada kurikulum 2013 yang disepakati sebagai kurikulum nasional. Jika pelaksanaan full day school keluar dari bingkai kurikulum 2013, justru akan kontraproduktif dengan visi peningkatan standar kualitas pendidikan nasional. Perspektif selanjutnya adalah psikososial pendidikan. Full day school tidak boleh merampas momentum pengembangan potensi, minat, dan bakat siswa dalam kegiatan bermain mereka. Tidak boleh membelenggu  siswa (anak didik) pada kegiatan pragmatis di lingkungan sekolah sehingga menjauhkan dari relasi sosial kemasyarakatan. Relasi sosial kemasyarakatan menjadi media pengembangan karakter yang memiliki empati pada etika publik.
Yang lebih penting, konsep full day school tidak boleh membebani orang tua siswa dalam hal tambahan anggaran dan biaya. Tidak boleh memberikan peluang korupsi bagi oknum-oknum pencari anggaran pendidikan. Dengan begitu, ketika dipraktikkan, full day school tidak akan menjadikan sekolah sebagai instrumen layanan hak sosial dasar yang berbiaya mahal. Jika ditelaah secara mendalam, konsep full day school tidak dilandasi tujuan yang substansial untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional di jenjang sekolah dasar dan menengah. Namun lebih bersifat artifisal untuk melayani kelompok masyarakat yang tidak memiliki waktu untuk mendidik dan menemani anak karena kesibukan bekerja. Idealnya, gagasan full day school tidak memiliki kelayakan untuk diterapkan menjadi kebijakan nasional.


DAFTAR PUSTAKA
Saleh, Muwafik. Membangun Karakter dengan Hati Nurani. Jakarta: Erlangga. 2012
Asmani, Jamal Ma’mur. Pendidikan Karakter di Sekolah. Jogjakarta: Diva Press. 2012
____________________. Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal. Jogjakarta: Diva Press. 2012
Jurnal Pendidikan Karakter Tahun II Nomor 1 Februari 2012. Imam Suyitno. Pengembangan Pendidikan Karakter dan Budaya bangsa Berwawasan kearifan Lokal. FBS Universitas Negeri Malang
Jurnal Proceedings International Conference on Education. 2010. Yadi Yuradi. Model Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Budaya Lokal. UPI Bandung


[1] Muwafik Saleh, Membangun Karakter dengan Hati Nurani, (Jakarta: Erlangga. 2012), h. 14
[2] Muwafik Saleh, Membangun Karakter dengan Hati Nurani, (Jakarta: Erlangga. 2012), h. 17
[3] Jamal Ma’mur Asmani, Pendidikan Karakter di Sekolah, (Jogjakarta: Diva Press. 2012), h. 44
[4] Jamal Ma’mur Asmani, Pendidikan Karakter di Sekolah, (Jogjakarta: Diva Press. 2012), h. 45 - 46
[5] Muwafik Saleh, Membangun Karakter dengan Hati Nurani, (Jakarta: Erlangga. 2012), h. 22
[6] Muwafik Saleh, Membangun Karakter dengan Hati Nurani, (Jakarta: Erlangga. 2012), h. 15
[7] Jurnal Pendidikan Karakter Tahun II Nomor 1 Februari 2012. Imam Suyitno. Pengembangan Pendidikan Karakter dan Budaya bangsa Berwawasan kearifan Lokal. FBS Universitas Negeri Malang, h. 2
[8] Jurnal Proceedings International Conference on Education. 2010. Yadi Yuradi. Model Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Budaya Lokal. UPI Bandung, h. 576 - 577

Tidak ada komentar:

Posting Komentar