FULL DAY SCHOOL
DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN KEARIFAN LOKAL
oleh
Muhammad Syamsuddin
Mahasiswa Pascasarjana IAIN Pekalongan
2016
PENDAHULUAN
Menteri pendidikan dan
kebudayaan, Muhadjir Effendy sepertinya ingin melanjutkan tradisi Anies
Baswedan dalam mereproduksi wacana kebijakan. Belum genap sebulan menjadi
menteri, beliau melemparkan gagasan tentang bersekolah sehari penuh (full
day school). Sementara itu, isu kebijakan full day school akan
menjadi polemik pro dan kontra ditengah masyarakat. Kebijakan full day
school dikatakan Mendikbud sebagai solusi untuk mengembangkan kemampuan
psikososial siswa di sekolah dan membantu orang tua siswa yang bekerja sehari
penuh yang tidak memiliki waktu untuk mengurus anak. Pelaksanaan full day
school didesain untuk menjadi peranti penguatan solidaritas edukatif di
sekolah.
Pertanyaan mendasar,
apakah full day school memiliki visi strategis dalam peningkatan mutu
pendidikan nasional? Lalu, apakah konsep full day school mampu menopang
skema program pendidikan berbasis kesetaraan sehingga anak didik dari keluarga
miskin bisa terlayani dengan baik? Bagaimana kajian full day school dalam
perspektif kearifan lokal?
PENGERTIAN SISTEM PEMBELAJARAN FULL
DAY SCHOOL
Full day school
menurut etimologi berasal dari Bahasa Inggris. Yang terdiri dari kata full
berarti penuh, dan day artinya hari.[1]
Maka full day mengandung arti sehari penuh. Sedang school artinya
sekolah . Jadi, arti dari full day school jika dilihat dari segi
etimologinya berarti sekolah atau kegiatan belajar yang dilakukan sehari penuh.
Sedangkan menurut
terminologi atau arti secara luas, Full day school mengandung arti
sistem pendidikan yang menerapkan pembelajaran atau kegiatan belajar mengajar
sehari penuh dengan memadukan sistem pengajaran yang intensif yakni dengan
menambah jam pelajaran untuk pendalaman
materi pelajaran serta
pengembangan diri dan
kreatifitas.[2]
Adapun pelaksanaan
pembelajarannya dilaksanakan di
sekolah mulai pagi hingga
sore hari, secara
rutin sesuai dengan
program pada tiap jenjang pendidikannya. Dalam jurnal
pendidikan Islam, karangan Nor Hasan, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
full day school secara istilah yaitu suatu proses pembelajaran yang berlangsung
secara aktif, kreatif dan transformatif selama sehari penuh bahkan selama kurang
lebih 24 jam. Yang dimaksud dengan aktif disini yaitu mengoptimalisasikan
seluruh potensi untuk mencapai tujuan pembelajaran secara optimal.
Sedangkan sisi kreatif
terletak pada optimalisasi pemanfaatan sarana dan prasarana sekaligus sistem
untuk mewujudkan proses pembelajaran yang kondusif bagi pengembangan segenap
potensi siswa. Adapun dari segi transformatif dalam pembelajaran
full day school adalah
proses pembelajaran yang diabadikan untuk mengembangkan seluruh
potensi kepribadian siswa dengan lebih seimbang. Dan yang dimaksud dengan
sistem 24 jam dimaksudkan sebagai ikhtiar bagaimana selama sehari semalam siswa
melakukan aktivitas bermakna edukatif.
LATAR BELAKANG MUNCULNYA FULL DAY
SCHOOL
Full day school
awalnya muncul pada tahun 1980-an di Amerika Serikat, sebenarnya
pada waktu itu
hanya dilaksanakan untuk
jenjang taman kanak-kanak saja, namun dengan seiring perkembangan zaman,
full day school meluas, sehingga juga diperuntukkan ke jenjang yang
lebih tinggi, yaitu SD sampai dengan menengah ke atas.
Ketertarikan para orang
tua untuk memasukkan anaknya ke full day school dilatarbelakangi oleh
beberapa hal, yaitu
karena semakin banyaknya kaum
ibu yang bekerja di luar rumah dan mereka banyak yang memiliki anak berusia di
bawah 6 tahun, meningkatnya jumlah anak-anak usia prasekolah yang ditampung di
sekolah-sekolah milik public (masyarakat umum), meningkatnya pengaruh
televisi dan mobilitas para orang tua, serta kemajuan dan kemodernan yang mulai
berkembang di segala aspek kehidupan. Dengan memasukkan anak mereka ke full
day school, mereka berharap dapat memperbaiki nilai akademik anak-anak
mereka sebagai persiapan untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya dengan sukses,
juga masalah-masalah tersebut di atas dapat teratasi.[3]
Adapun munculnya sistem
pembelajaran full day school di Indonesia diawali dengan menjamurnya
istilah sekolah unggulan sekitar tahun 1990-an, yang banyak dipelopori oleh sekolah-sekolah
swasta termasuk sekolah-sekolah yang
berlabel Islam. Dalam pengertian yang
ideal, sekolah unggul adalah sekolah yang lebih mengedepankan pada kualitas
proses pembelajaran, bukan pada kualitas input siswanya. Kualitas proses pembelajaran
bergantung pada sistem
pembelajarannya. Term
unggulan ini yang
kemudian dikembangkan oleh
para pengelola di sekolah-sekolah
menjadi bentuk yang lebih beragam diantaranya adalah full day school dan sekolah
terpadu.
TUJUAN PEMBELAJARAN FULL DAY SCHOOL
Setiap lembaga
pendidikan yang ingin mencapai kesuksesan, haruslah menetapkan tujuan yang akan
dicapai, di sekolah, tujuan telah dirumuskan dalam berbagai tingkat tujuan,
diantaranya yaitu :
1)
Tujuan
Pendidikan Nasional
2)
Tujuan
Institusional
3)
Tujuan Kurikuler
4)
Tujuan
instruksional.[4]
Secara umum tujuan
sistem pembelajaran full day school adalah untuk memberikan dasar yang
kuat dalam mengembangkan dan meningkatkan kecerdasan/Intelegence Quotient
(IQ), Emosional Quotient (EQ) dan Spiritual Quotient (SQ) dengan
berbagai inovasi yang efektif dan
aktual. Kurikulumnya didesain
untuk mengembangkan kreatifitas yang mencakup integritas dan
kondisi tiga ranah (ranah kognitif, afektif dan psikomotorik).
Sistem pembelajaran full
day school merupakan bentuk pembelajaran
yang diharapkan dapat membentuk seorang peserta didik yang
berintelektual tinggi yang dapat memadukan aspek ketrampilan dan pengetahuan
dengan sikap yang baik. Dengan adanya garis-garis besar program full day
school, diharapakan sekolah yang melaksanakan program ini, dapat mencapai
target tujuan yang ingin dicapai oleh lembaga pendidikan.
Adapun garis-garis
besar program full day school, adalah sebagai berikut:
1. Membentuk
sikap yang Islami
a. Pembentukan
sikap yang Islami
1) Pengetahuan dasar
tentang Iman, Islam
dan
Ihsan
2) Pengetahuan dasar
tentang akhlak terpuji dan
tercela
3) Kecintaan kepada Allah dan
Rosul-Nya
4) Kebanggaan
kepada Islam
dan semangat memperjuangkannya
b. Pembiasaan berbudaya Islam
1) Gemar beribadah
2) Gemar belajar
3) Disiplin
4) Kreatif
5) Mandiri
6) Hidup
bersih dan sehat
7) Beradab Islami
2. Penguasaan
Pengetahuan dan
Ketrampilan, diantaranya:
a. Pengetahuan materi-materi pokok program pendidikan
b. Mengetahui dan
terampil dalam
beribadah sehari-hari
c. Mengetahui dan
terampil baca dan tulis
Al-Qur'an
d. Memahami secara sederhana isi kandungan
amaliah
sehari-hari.[5]
KURIKULUM FULL DAY SCHOOL
Kurikulum dapat diartikan
sebagai sebuah dokumen perencanaan yang berisi tentang tujuan yang harus
dicapai. Isi materi dan pengalaman belajar yang harus dilakukan siswa, strategi
dan cara yang dapat dikembangkan, evaluasi yang dirancang untuk mengumpulkan informasi
tentang pencapaian tujuan, serta
implementasi dari dokumen yang dirancang
dalam bentuk nyata.
Berbeda dengan model
kurikulum sekolah pada umumnya, full day
school menerapkan konsep dasar Integrated-Activity dan Integrated-Curriculum.
Artinya seluruh program dan aktivitas anak yang
di sekolah, mulai
dari belajar, bermain,
makan dan beribadah tercover semua dalam suatu
sistem pembelajaran full day school. Kurikulum full day school
didesain untuk menjangkau
masing-masing dari perkembangan anak, konsep pengembangannya dengan
mengembangkan kekreatifitasan anak, yang didasarkan atas aspek kognitif,
afektif dan psikomotorik.[6]
Dalam perkembangannya, manajemen
full day school mensyaratkan adanya
profesionalisme dari seorang pendidik, pendidik dituntut untuk
peka terhadap perkembangan zaman,
selalu terbuka terhadap kemajuan
pendidikan, serta mengembangkan kurikulum yang modern, hal itu bertujuan agar
konsep kurikulum yang direncanakan bisa tercapai.
Dalam penerapan full
day school sebagian waktunya harus digunakan untuk
program-program
pembelajaran yang suasananya informal, tidak kaku,
menyenangkan bagi siswa, yang tentunya ini memerlukan kreatifitas dan inovasi
dari seorang guru. Permainan yang di berikan dalam sistem full day school masih
mengandung arti pendidikan, yang artinya bermain sambil belajar. Sebisa mungkin
diciptakan suasana yang kreatif dalam pembelajarannya, sehingga siswa tidak
akan merasa terbebani, bosan dan menjenuhkan meski seharian berada di dalam
sekolah.
Salah satu kesuksesan
pendidikan terletak pada kurikulum, kurikulum yang diterapkan harus disesuaikan
dengan kebutuhan peserta didik dan tuntutan orang tua, selain itu sekolah harus
memiliki ciri khas yang menonjol agar masyarakat tertarik dan yang paling utama adalah sekolah mampu menampilkan dan memastikan
bahwa sekolah tersebut benar-benar mempunyai
keunggulan dalam berbagai
hal, agar banyak diminati oleh masyarakat.
FULL DAY SCHOOL
DALAM PERSPEKTIF KEARIFAN LOKAL
Kasus full day
school yang telah mendapatkan respon banyak praktisi pendidikan dan banyak
pengelola pesantren dan madrasah diniyah yang geram. Namun karena kesopanan dan
sikap kehati hatian Muhadjir, ia kembali mundur dari sebelum merencanakan full
day school dengan tidak merasakan kesulitan, karena kebijakannya ini masih
berbentuk sikap kebijakan yang mengandaikan sistem pendidikan Finlandia bisa
berlangsung di Indonesia.
Bersamaan dengan
pengandaian dari Mendikbud ini adalah sebagai bentuk pengandaian kebijakan yang
bersifat main main. Alasannya, karena sistem kurikulum pendidikan bangsa
Indonesia sudah sangat padat, mengapa harus full day school? Mengapa
sebelum menawarkan pendekatan dan cara pendampingan kepada anak bangsa harus
menjadikan Finlandia sebagai kawasan studi? Mengapa bukan kawasan studi yang
berada di Indonesia yang memiliki ragam dan corak budaya yang beragam?
Dengan kawasan studi
yang berada di negera sendiri, maka akan menemukan model pendekatan yang akan
dapat disesuaikan dengan kearifan lokal. Karenanya, dalam pengandaian Mendikbud
itu, yang terkejut pertama kali adalah para kiai dan santri di desa yang
sekarang ini masih berbasis madrasah dan pesantren. Jadi, pengandaian kebijakan
dengan mengacu pada sistem belajar full day school merupakan contoh
kebijakan yang tidak ramah terhadap kondisi fisik dan mental anak, sekaligus
juga merusak sistem pendidikan madrasah. Full day school akan
menyamaratakan pada semua siswa dalam konteks penanganan pendampingan yang
sama.[7]
Dari semua siswa
sepulang dari sekolah formal sudah dapat dilihat, mereka akan memiliki selera
yang berbeda beda. Misalnya, ada selera yang berbasis pesantren dan madrasah,
hobi olah raga, musik, istirahat, bermain, dan lain sebagainya. Dari semua
selera ini akan terganggu dengan adanya realisasi sebuah full day school.
Berapa biaya yang diperlukan untuk menyediakan hobi dan selera pasca sekolah
menjadi bertempat di sekolah. Hal ini tidak cukup hanya dilihat dari
sertifikasi guru.
Secara psikologis,
sistem full day school tidak akan membuat nyaman para siswa, sebab
sistem full day school akan memberlakukan full model yang monoton
dan menjenuhkan, karena berada dalam
satu area pembelajaran yang tidak berubah suasana dan pemandangan alamiah.
Misalnya, sehari full dengan seragam yang sama, model guru yang sama,
lokasi area yang sama, wajah teman yang sama, model pendekatan salah seorang
guru yang sama. Semua isi full day school akan diseragamkan dengan model
yang sama daan penuh dengan sistem formalitas sekolah.
Dalam konteks bercanda,
bahwa dunia pendidikan dan pengembangan kepribadian hanya milik Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan. Sedangkan, yang lain bukanlah lingkungan yang baik,
karena tidak ada sertifikasi, seragam pendidikan, dan terkait langsung dengan
kebijakan menteri pendidikan dan kebudayaan. Berbeda dengan sistem belajar
setengah hari, para siswa bebas memilih pilihan bersama orang tua, apakah akan
memilih madrasah di sore hari? atau memilih mengaji al-Quran sesudah maghrib di
mushalla atau di masjid? Ataukah memilih mendatangkan pendamping private
untuk mematangkan kemampuan siswa dan siswi.
Pesantren di desa, yang
telah berlangsung dengan sistem pembelajaran keberagamaam ala madrasah diniyah.
Dalam konteks yang lebih luas, kebijakan sistem full day school akan
mematikan tenaga pendamping private dan lembaga lembaga kursus di luar
sekolah. Jika sistem full day school diterapkan, berarti juga
membutuhkan tenaga guru yang lebih banyak lagi. Jika pengandaian full day school
bertujuan untuk pendidikan karakter, maka Mendikbud perlu mempertimbangkan
kembali model kearifan lokal dalam membentuk karakter subjek. Dalam kondisi apa
pun membentuk karakter anak negeri tidak bisa merujuk lokal wisdom Finlandia.
Karenanya, perlu mengkaji local wisdom versi Nusantara (Jawa).
Sehubungan dengan
pendidikan karakter versi nusantara dapat dipahami dari kerangka dasar
masyarakat nusantara yang lebih mementingkan modeling. Modeling dalam tradisi
pesantren bukan sekedar menampilkan seorang guru yang bersedia mengajar dengan
sertifikasi, namun seorang guru yang merelakan pendampingan tanpa memperdulikan
hal hal seperti yang disebut dengan sertifikasi. Semua manusia memerlukan
harta, namun tidak menjadi tujuan mereka yang sudah mencapai modeling dalam
tradisi pesantren. Model ini masih sulit ditemukan di dalam pendidikan formal.[8]
Sementara itu, Mendikbud
mengandaikan full day school dengan target mempermudah sertifikasi guru.
Bukankah, lebih baik Mendikbud bekerja sama dengan para guru madrasah dengan
merekomendasikan agar orang tua menyekolahkan putra putrinya pasca dari sekolah
formal dengan konsekuensi memberikan support anggaran untuk pengembangan madrasah
diniyah. Meskipun demikian, tidak bisa memaksakan seluruh siswa siswi masuk di
madrasah pada sore hari, karena di antara mereka ada yang hobi musik, olah
raga.
Bukankah kebijakan Mendikbud
yang mengandaikan sesuatu yang merusak kearifan lokal, lebih baik dengan
membuat kebijakan, model bimbingan belajar yang berkualitas, agar masuk di desa
, sebab selama ini, bimbingan belajar hanya ada di kota. Dalam konteks yang
sama, Mendikbud dapat memberikan support lembaga lembaga yanng telah serius
memberikan dampingan belajar kepada anak atau dengan memberikan anggaran kepada
sekolah untuk membuka model dampingan full day school yang tidak
mengikat para siswa, sehingga apabila ada anak yang diwajibkan mengikuti full
day school untuk konteks bermain bisa dilaporkan ke lembaga pengawas
sekolah.
PENUTUP
Implementasi
full day school harus dikaji secara mendalam dalam pelbagai perspektif. Perspektif
pertama terkait dengan adaptasi kurikulum. Penyelenggaraan full day school tetap harus berdasar pada kurikulum 2013 yang
disepakati sebagai kurikulum nasional. Jika pelaksanaan full day school
keluar dari bingkai kurikulum 2013, justru akan kontraproduktif dengan visi
peningkatan standar kualitas pendidikan nasional. Perspektif selanjutnya adalah
psikososial pendidikan. Full day school tidak boleh merampas momentum
pengembangan potensi, minat, dan bakat siswa dalam kegiatan bermain mereka.
Tidak boleh membelenggu siswa (anak
didik) pada kegiatan pragmatis di lingkungan sekolah sehingga menjauhkan dari
relasi sosial kemasyarakatan. Relasi sosial kemasyarakatan menjadi media
pengembangan karakter yang memiliki empati pada etika publik.
Yang
lebih penting, konsep full day school tidak boleh membebani orang tua
siswa dalam hal tambahan anggaran dan biaya. Tidak boleh memberikan peluang
korupsi bagi oknum-oknum pencari anggaran pendidikan. Dengan begitu, ketika
dipraktikkan, full day school tidak akan menjadikan sekolah sebagai
instrumen layanan hak sosial dasar yang berbiaya mahal. Jika ditelaah secara
mendalam, konsep full day school tidak dilandasi tujuan yang substansial
untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional di jenjang sekolah dasar dan menengah.
Namun lebih bersifat artifisal untuk melayani kelompok masyarakat yang tidak
memiliki waktu untuk mendidik dan menemani anak karena kesibukan bekerja.
Idealnya, gagasan full day school tidak memiliki kelayakan untuk
diterapkan menjadi kebijakan nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Saleh, Muwafik. Membangun Karakter dengan Hati
Nurani. Jakarta: Erlangga. 2012
Asmani, Jamal Ma’mur. Pendidikan Karakter di
Sekolah. Jogjakarta: Diva Press. 2012
____________________. Pendidikan Berbasis
Keunggulan Lokal. Jogjakarta: Diva Press. 2012
Jurnal Pendidikan Karakter Tahun II Nomor 1 Februari
2012. Imam Suyitno. Pengembangan Pendidikan Karakter dan Budaya bangsa
Berwawasan kearifan Lokal. FBS Universitas Negeri Malang
Jurnal Proceedings International Conference on
Education. 2010. Yadi Yuradi. Model Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan
Budaya Lokal. UPI Bandung
[1] Muwafik Saleh, Membangun
Karakter dengan Hati Nurani, (Jakarta: Erlangga. 2012), h. 14
[2] Muwafik Saleh, Membangun
Karakter dengan Hati Nurani, (Jakarta: Erlangga. 2012), h. 17
[3] Jamal Ma’mur
Asmani, Pendidikan Karakter di Sekolah, (Jogjakarta: Diva Press. 2012),
h. 44
[4] Jamal Ma’mur
Asmani, Pendidikan Karakter di Sekolah, (Jogjakarta: Diva Press. 2012),
h. 45 - 46
[5] Muwafik Saleh, Membangun
Karakter dengan Hati Nurani, (Jakarta: Erlangga. 2012), h. 22
[6] Muwafik Saleh, Membangun
Karakter dengan Hati Nurani, (Jakarta: Erlangga. 2012), h. 15
[7] Jurnal Pendidikan Karakter Tahun
II Nomor 1 Februari 2012. Imam Suyitno. Pengembangan Pendidikan Karakter dan
Budaya bangsa Berwawasan kearifan Lokal. FBS Universitas Negeri Malang, h. 2
[8] Jurnal Proceedings International
Conference on Education. 2010. Yadi Yuradi. Model Pendidikan Karakter Berbasis
Kearifan Budaya Lokal. UPI Bandung, h. 576 - 577
Tidak ada komentar:
Posting Komentar