SOSIOLOGI
HUKUM ISLAM
(Analisis
terhadap Pemikiran M. Atho Mudzar)
Oleh
Muhammad Syamsuddin
Mahasiswa Pasca Sarjana STAIN Pekalongan
Abstrak
Hukum
Islam merupakan fenomena budaya dan fenomena sosial sekaligus. Kenyataan ini menyadarkan kita bahwa dalam melakukan studi
hukum Islam, penggunaan
perspektif ilmu- ilmu budaya dan
ilmu-ilmu sosial merupakan suatu keniscayaan dalam meneropong
hukum Islam. Artikel
ini, berusaha memotret gagasan M. Atho Mudzar tentang sosiologi
hukum Islam, yang dapat mengambil beberapa
tema yakni studi mengenai pengaruh
agama terhadap perubahan masyarakat, studi tentang pengaruh
struktur dan perubahan masyarakat terhadap
pemahaman ajaran agama
atau konsep keagamaan, studi tentang tingkat pengamalan
beragama masyarakat, studi tentang pola sosial masyarakat Muslim
dan studi tentang gerakan masyarakat yang membawa
paham yang dapat melemahkan atau menunjang
kehidupan beragama.
Merumuskan
metodologi studi Islam bukanlah merupakan fenomena baru abad modern sekarang
ini. Kesadaran tentang urgensi
metodologi yang akurat tentang
mempelajari Islam telah dimulai sejak
masa sejarah Islam klasik. Di antara
bukti yang menegaskan hal tersebut adalah munculnya beragam disiplin
ilmu dalam Islam seperti ilmu hadits dengan segala percabangannya, ilmu ushul
fiqh dan berbagai disiplin lainnya, yang sayangnya, ilmu-ilmu itu masih
terasa terserak-serak sehingga
deskripsi metodologi studi Islam
yang utuh belum tampak.
Karena itu, upaya
pengembangan metodologi studi Islam sekarang ini, selain harus mengakomodasi
pemikiran-pemikiran baru termasuk juga yang mungkin datang dari Barat juga mesti selalu menyertakan pemikiran-pemikiran metodologi yang telah
lama ada.
Tulisan
ini berusaha memotret gagasan
M. Atho Mudzar Mudzhar tentang urgensi pendekatan sosiologi dalam
mengkaji hukum Islam, sehingga
diharapkan nantinya bisa dimengerti jika terdapat produk
ijtihad tentang hukum
Islam, namun tidak
lazim, akan tetapi
jika dilihat dari perspektif
keilmuan (sosiologi
misalnya), fenomena tersebut merupakan
suatu kelaziman, dikarenakan adanya dinamika sosial.
A. Biografi H. M. Atho Mudzar
H.
M. Atho Mudzhar, dilahirkan di Serang, Propinsi Banten, 20 Oktober 1948.
Menamatkan sarjana lengkap
tahun 1975 di
IAIN Jakarta. Tahun1978
melanjutkan studi di University
of Queensland, Brisbane, Australia hingga memperoleh Gelar Master of Social
and Development Pada tahun
1981.
Tahun 1986
mempelajari Islam di University
of California Los
Angeles (UCLA) hingga
memperoleh gelar Doctor of
Philosophy dan Islamic
Studies pada tahun
1990. Sepulangnya dari Amerika,
beliau menjadi birokrat dengan menjabat
sebagai Direktur Pembinaan
Pendidikan Agama Islam pada
sekolah Umum dan selanjutnya Direktur
Pembinaan Perguruan Tinggi Agama
Islam Departemen Agama.
Tahun 1991 ia juga mengajar di
beberapa perguruan tinggi baik di Program Sarjana maupun di Program Pasca
Sarjana, seperti di PPS UI Program Kajian wanita, Universitas Muhammadiah
Jakarta, PPS UMM, UGM, UII Yogyakarta, IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Sejak
Oktober 1996 beliau menjabat Rektor IAIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta hingga
tahun 2000. Ketika menjadi rektor
itulah, beliau banyak berkecimpung dalam
dunia keilmuan dengan
aktif memberi kuliah
di program pascasarjana, yang puncaknya pada 15 September 1999 beliau dikukuhkan sebagai profesor
dalam ilmu Sosiologi
Hukum Islam di UIN
Yogyakarta. Pasca menjabat sebagai rektor, hingga sekarang ini beliau menduduki posisi sebagai
Kepala Balai Penelitian,
Pengembangan, Pendidikan dan
Latihan (Balitbang Diklat)
Departemen Agama RI.
B.
Karya Ilmiah Atho Mudzar
Di antara karyanya adalah Belajar Islam di Amerika yang
terbit tahun 1991, Fatwa Majlis Ulama Indonesia (edisi dua bahasa;
Indonesia dan Inggris) yang berasal dari disertasi doktornya Fatwas of
Council of Indonesian Ulama; A Study of Islamic Legal Thought in Indonesia 1975-1988.
Kemudian diterbitkan juga dalam versi bahasa Arab pada tahun 2003. Karyanya
yang lain adalah Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern (terbit tahun
2003). Ia juga menulis beberapa artikel dan makalah dalam bahasa Inggris, di
antaranya The Mosque and the Holy Basket; Conflict and Inegration in Amparia
Bugese Community, dalam Indonesia Magazine (Jakarta, No.57, 1980), Religious
Education and Religious Harmony in Indonesia, dalam Mizan (Jakarta, No. 2,
1984), Iranian Revolution dalam al-Talib The Student (Los Angeles,
February, 1989), Fatwa and Sicial Interetion in Indonesia (Jusur, UCLA,
1992), dan lain-lain
C. Agama sebagai Fenomena Budaya dan Fenomena Sosial
Sebelum
memasuki substansi permasalahan tentang
hukum Islam dalam perspektif sosiologis, M. Atho Mudzar memandang
perlu untuk dikaji terlebih dahulu agama fenomena budaya dan agama sebagai fenomena sosial, dengan maksud untuk memperjelas
fokus pengkajian.
Pada awalnya,
ilmu (science) diklasifikasikan menjadi
dua macam, ilmu alam dan ilmu budaya. Ilmu alam bertugas mencari
hukum-hukum alam, mencari keteraturan
yang terjadi pada
alam yang dilakukan dengan
mengurai keterulangan suatu
fenomena alam. Sebaliknya pengetahuan budaya, bersifat tidak terulang,
melainkan unik.
Di antara
ilmu pengetahuan kealaman
dan pengetahuan budaya itu
terdapat ilmu pengetahuan
sosial. Ilmu-ilmu sosial berusaha mencoba memahami fenomena yang tidak berulang tetapi dengan cara memahami
keterulangannya, sehingga penelitian ilmu sosial mengalami problem dari segi
obyektivitasnya.
Kemudian,
dimanakah letak studi-studi agama (Islam)? Jika dilihat dari definisi yang
sering dikemukakan yakni agama sebagai
kepercayaan akan adanya sesuatu yang Maha Kuasa dan hubungan dengan yang Maha
Kuasa itu, maka agama adalah gejala budaya, karena agama
adalah kepercayaan. Sedangkan
interaksi antara sesama pemeluk
agama adalah gejala
sosial. Dengan demikian, agama dapat dilihat secara
bipolar, yakni sebagai gejala budaya dan sebagai fenomena sosial.
Hal ini
berarti studi Islam
dapat didekati dari
perspektif fenomena budaya dan
dapat pula dari
perspektif fenomena sosial atau keduanya sekaligus. Ketika Islam
dilihat sebagai gejala budaya, maka metodologi yang digunakan adalah metode
penelitian budaya, seperti filsafat, sejarah, studi naskah dan arkeologi. Dan
ketika Islam dilihat sebagai gejala sosial, maka metodologi yang digunakan
adalah metode penelitian ilmu-ilmu
sosial. Kemudian, penggunaan
studi Islam sebagai fenomena budaya dan fenomena sosial sekaligus, dapat
dilihat dari obyek studi tentang fatwa ulama dan situasi politik yang
mengitarinya.[1]
D. Format Studi Islam dengan Pendekatan Sosiologi
Studi
Islam dengan pendekatan sosiologi, dalam pandangan Atho Mudzar lebih mendekati
kajian sosiologi agama
klasik dari pada sosiologi
agama modern, dengan
alasan studi Islam
dalam perspektif sosiologis mempelajari
hubungan timbal balik
antara agama dan masyarakat. Lebih
lanjut, Atho Mudzhar menyatakan
bahwa studi Islam dengan
pendekatan sosiologi dapat
mengambil setidaknya lima
tema:
Pertama,
studi mengenai pengaruh agama terhadap perubahan masyarakat. Tema ini,
mengingatkan kita pada Emile Durkheim yang mengenalkan konsep
fungsi sosial agama. Dalam
bentuk ini studi Islam mencoba
memahami seberapa jauh
pola-pola budaya masyarakat (misalnya
menilai sesuatu sebagai baik atau tidak baik) berpangkal pada nilai
agama, atau seberapa jauh struktur masyarakat (misalnya supremasi kaum lelaki)
berpangkal pada ajaran tertentu agama atau seberapa jauh perilaku masyarakat
(seperti pola berkonsumsi dan berpakaian
masyarakat) berpangkal tolak
pada ajaran tertentu agama.
Kedua,
studi tentang pengaruh struktur dan perubahan masyarakat terhadap pemahaman
ajaran agama atau konsep keagamaan, seperti studi tentang bagaimana tingkat
urbanisme Kufah telah mengakibatkan lahirnya pendapat-pendapat hukum Islam rasional ala
Hanafi atau bagaimana
faktor lingkungan geografis Basrah dan Mesir telah mendorong lahirnya
qawl qaiîm dan qawl jadid al-Syafi’i.
Ketiga,
studi
tentang tingkat pengamalan
beragama masyarakat. Studi Islam
dengan pendekatan sosiologi
dapat juga mengevaluasi pola penyebaran
agama dan seberapa
jauh ajaran agama itu diamalkan
masyarakat. Melalui pengamatan dan survey, masyarakat dikaji
tentang seberapa intens
mengamalkan ajaran agama yang
dipeluknya, seperti seberapa intens mereka menjalankan ritual agamanya
dan sebagainya.
Keempat, studi
pola sosial masyarakat Muslim,
seperti pola sosial masyarakat Muslim kota dan masyarakat Muslim desa, pola hubungan antar agama
dalam suatu masyarakat,
perilaku toleransi antara
masyarakat Muslim terdidik dan kurang terdidik,
hubungan tingkat pemahaman agama
dengan perilaku politik, hubungan perilaku keagamaan dengan perilaku
kebangsaan, agama sebagai faktor integrasi dan disintegrasi dan berbagai senada
lainnya.
Kelima,
studi tentang gerakan masyarakat yang membawa paham yang
dapat melemahkan atau
menunjang kehidupan beragama.
Gerakan kelompok Islam yang mendukung paham kapitalisme, sekularisme, komunisme
merupakan beberapa contoh di antara
gerakan yang mengancam
kehidupan beragama dan karenanya perlu dikaji seksama. Demikian
pula munculnya kelompok masyarakat
yang mendukung spiritualisme
dan sufisme misalnya, yang pada
tingkat tertentu dapat
menunjang kehidupan beragama perlu dipelajari dengan seksama
pula.[2]
E. Format Studi Hukum Islam
Dengan mengacu
pada distingsi gejala
studi Islam secara umum,
maka hukum Islam
juga dapat dipandang
sebagai gejala budaya dan sebagai
gejala sosial. Filsafat
dan aturan hukum Islam adalah gejala budaya, sedangkan
interaksi orang Islam dengan orang lain seagama atau tidak seagama merupakan
gejala sosial. Atho Mudzar memerinci hukum Islam pada tiga segmen:
1. Penelitian hukum
Islam sebagai doktrin
asas. Dalam penelitian ini, sasaran
utamanya adalah dasar-dasar
konseptual hukum Islam seperti masalah sumber hukum, konsep maqâsid
al-syarî’ah, qawâ’id al-fiqhiyyah, tharîq al-Istinbâth, manhaj ijtihâd dan lainnya.
2. Penelitian
hukum Islam normatif. Dalam penelitian ini sasaran utamanya adalah hukum Islam
sebagai norma atau aturan, baik yang masih berbentuk nas maupun yang sudah
menjadi produk pikiran manusia. Aturan
dalam bentuk nas meliputi ayat-ayat dan hadits ahkam. Sedangkan aturan yang
sudah dipikirkan manusia antara lain
berbentuk fatwa-fatwa ulama
dan bentuk-bentuk aturan lainnya
yang mengikat seperti kompilasi hukum Islam, dustur, perjanjian internasional,
surat kontrak, kesaksian dan sebagainya.
3. Penelitian
hukum Islam sebagai gejala sosial.
Sasaran utamanya adalah perilaku hukum
masyarakat Muslim dan masalah interaksi antar sesama manusia, baik sesama
Muslim maupun dengan non Muslim.
Ini mencakup masalah-masalah seperti
politik perumusan dan penerapan hukum (siyâsah al-syarî’ah),
perilaku penegak hukum, perilaku
pemikir hukum seperti
mujtahid, fuqaha, mufti dan anggota badan legislatif, masalah-masalah
administrasi dan organisasi hukum seperti pengadilan dengan segala graduasinya
dan perhimpunan penegak
serta pemikir hukum seperti
perhimpunan hakim agama, perhimpunan studi
peminat hukum Islam, lajnah-lajnah fatwa dicari organisasi - organisasi keagamaan
dan lembaga-lembaga penerbitan atau pendidikan yang menspesialisasikan diri atau mendorong studi- studi hukum Islam.
Dalam jenis penelitian ini juga tercakup masalah-masalah evaluasi pelaksanaan
dan efektivitas hukum, masalah pengaruh hukum Islam terhadap perkembangan
masyarakat atau pemikiran hukum, sejarah perkembangan hukum, sejarah
pemikiran hukum, sejarah
administrasi hukum serta masalah
kesadaran dan sikap hukum masyarakat.[3]
Ketiga
bentuk studi hukum Islam tersebut, dapat dilakukan secara terpisah dan dapat
pula dilakukan secara bersama- sama untuk melihat keterkaitan satu sama lain
mengenai masalah hukum Islam. Dua
bentuk studi hukum
Islam yang pertama (studi hukum
Islam sebagai doktrin asas dan studi hukum Islam normatif) dapat digabungkan
dan diidentifikasi sebagai studi hukum Islam doktrinal, sedangkan bentuk studi
hukum yang ketiga disebut sebagai studi hukum Islam Sosiologis. Dua bentuk
studi yang pertama melihat Islam sebagai fenomena budaya dan bentuk studi Islam
yang ketiga melihat Islam sebagai fenomena sosial.
Atho
Mudzar menegaskan bahwa seperti halnya
penggunaan pendekatan sosiologis dalam studi Islam secara umum, penggunaan pendekatan
sosiologi dalam studi hukum
Islam dapat mengambil beberapa
tema sebagai berikut:
1. Pengaruh hukum
Islam terhadap masyarakat
dan perubahan masyarakat.
Contohnya bagaimana hukum ibadah haji yang wajib telah mendorong ribuan umat
Islam Indonesia setiap tahun berangkat ke Mekah dengan segala akibat ekonomi,
penggunaan alat transportasi dan organisasi manajemen dalam penyelenggaraannya
serta akibat sosial dan struktural yang terbentuk pasca menunaikan ibadah haji.
2. Pengaruh perubahan
dan perkembangan masyarakat
terhadap pemikiran hukum Islam. Contohnya, bagaimana oil booming di negara-negara
teluk dan semakin mengentalnya Islam sebagai ideologi ekonomi
di negara-negara tersebut
pada awal tahun 1970 telah menyebabkan
lahirnya sistem perbankan Islam, yang kemudian
berdampak ke Indonesia
dengan terbentuknya bank - bank
syariah.
3. Tingkat
pengamalan hokum agama masyarakat, seperti bagaimana perilaku masyarakat
Islam mengacu pada
hukum Islam.
4. Pola interaksi
masyarakat di seputar
hukum Islam, seperti bagaimana kelompok-kelompok keagamaan dan politik di
Indonesia merespons berbagai persoalan hukum Islam seperti terhadap Rancangan Undang-Undang Peradilan
Agama, boleh tidak wanita menjadi
pemimpin negara dan sebagainya.
5. Gerakan atau
organisasi kemasyarakat yang
mendukung atau yang kurang mendukung
hukum Islam, misalnya perhimpunan penghulu, perhimpunan
hakim agama, perhimpunan
pengacara dan sebagainya.[4]
Sebagai
mekanisme konkret dari tawaran pemikirannya, Atho Mudzar mengajukan beberapa
contoh aplikasi pendekatan sosiologis terhadap hukum Islam, salah satunya
adalah tentang Tawsiyah Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai Calon
Legislatif non Muslim. Sehubungan dengan contoh pertama, Atho Mudzar menegaskan bahwa substansi tawsiyah
tersebut merupakan suatu problem hukum Islam, sebab kitab-kitab
fiqh (yurisprudensi Islam)
umumnya memuat hal yang berkaitan dengan
tata politik kenegaraan yang disebut dengan kitab al-Qada’, artinya bab tentang kehakiman
yang bagiannya termasuk masalah kekuasaan
dan kepemimpinan. Kemudian mengingat tawsiyah tersebut
merupakan himbauan, apakah menjadi
problem hukum dan bukan sekedar problem moral?
Dalam konteks
ini, Atho Mudzar menyatakan
bahwa dalam hukum positif, himbauan belum merupakan
persoalan hukum, karena suatu perbuatan
baru dapat berkategori hukum
jika perbuatan itu mengikuti atau melanggar aturan hukum
tertentu yang mempunyai sanksi. Akan tetapi dalam hukum Islam, himbauan atau
anjuran merupakan perbuatan hukum, dengan alasan hukum dalam Islam bukan hanya
berkaitan dengan taat atau melanggar
aturan tertentu yang ada sanksinya,
akan tetapi juga
berkaitan dengan moral. Bukankah kita
mengenal adanya konsep
sunnah dan makruh. Meskipun dalam perspektif hukum
positif, keduanya (sunnah dan makruh) tidak berkategori hukum, akan tetapi
dalam perspektif Islam berkategori hukum, karena substansi hukum dalam
perspektif Islam mencakup substansi hukum tetapi juga moral.
Kemudian berkaitan
dengan isi tawsiyah tersebut,
Atho Mudzar menegaskan bahwa ketika MUI mengeluarkan himbauan agar umat Islam Indonesia
tidak memilih partai
politik dalam pemilu yang kebanyakan calon legislatifnya non
Muslim, sesungguhnya ayat-ayat- Qur’an tersebut di atas itulah (QS. Ali Imran
ayat 28) yang menjadi acuan para pimpinan
MUI. Inilah rambu-rambu nilai yang
bersifat doktrinal yang mendasari himbauan MUI tersebut.[5]
Kemudian
secara sosiologis, logika MUI dalam tawsiyah tersebut dapat diamati, yakni
himbauan itu dikeluarkan beberapa saat menjelang pelaksanaan
pemilu yang akan memilih wakil dan pemimpin rakyat yang membuat Undang-Undang
baru dan mengamandemen UU lama. Jika
wakil rakyat tersebut kebanyakan tidak beragama Islam, bagaimana
mungkin mereka memperjuangkan aspirasi umat Islam. Dengan alur logika demikian,
kiranya dapat dimengerti.
Dalam
konteks demikian, kita melihat bahwa MUI dihadapkan pada realitas empirik yang
harus dijawab yakni bahwa ada diantara partai politik peserta pemilu yang
secara lahiriah berasaskan kebangsaan, tetapi calon legislatifnya
didominasi oleh non Muslim yang berarti tidak mencerminkan
representasi bangsa Indonesia. MUI tidak
ingin umat Islam
dikelabui, sehingga keluarlah
tawsiyah tersebut. MUI tidak mengingkari hak non Muslim untuk
menjadi anggota legislatif di negara ini, tetapi hendaknya jangan sampai
mendominasi dan mengatasnamakan sebagian
besar rakyat yang justru beragama Islam.
Dari
segi itu, pikiran hukum MUI tentang kepemimpinan non
Muslim sesungguhnya telah
mengalami kompromi,
dibandingkan dengan larangan
al-Qur’an yang mutlak sama sekali melarang mengangkat pemimpin
non Muslim. Dalam konteks ini landasan
hukum doktrinal MUI telah
disesuaikan dengan realitas empirik masyarakat.
Dari
uraian di atas, dapat ditegaskan bahwa tawsiyah MUI menjelang pemilu 7
Juni 1999 merupakan hasil ijtihad yang telah mengakomodasi realitas bahwa tidak
mungkin semua wakil rakyat di DPR itu Muslim, tetapi bagi MUI hendaknya yang non Muslim itu tidak dominan jumlahnya.
F. Kesimpulan
Dari deskripsi
di atas, dapat
dinyatakan bahwa situasi kondisi sosial politik yang
mengitari suatu ijtihad sedemikian berpengaruh signifikan terhadap hasil
ijtihâd tersebut. Dalam konteks demikianlah inilah, pendekatan sosiologis dalam
studi hukum Islam sedemikian urgen untuk dilakukan, bahkan tidak hanya mencakup
masalah-masalah hukum Islam kontemporer, tetapi juga masalah- masalah hukum
Islam masa klasik,
seperti yang dicontohkan
oleh David S. Powers. Dalam studi tersebut, Powers mendemonstrasikan
bagaimana hukum Islam
waris dipahami orang sekarang, berbeda dan
telah bergeser dari
apa yang ada
pada zaman nabi dan para sahabat besar (proto
Islamic Law) serta
masalah-masalah yang berkaitan dengan pergeseran-pergeseran tersebut.
Penerapan pendekatan
sosiologi dalam studi hukum
Islam berguna untuk memahami secara lebih mendalam gejala-gejala sosial
di seputar hukum Islam,
sehingga dapat membantu
memperdalam pemahaman hukum Islam doktrinal dan pada gilirannya membantu
dalam memahami dinamika hukum Islam. Dari contoh yang dikemukakan di atas,
tampak jelas bahwa perkembangan
pemikiran hukum Islam acap kali dipicu bahkan diarahkan oleh perbenturan
kepentingan antar kelompok
dalam masyarakat yang
berinteraksi. Hal ini memberi kesan bahwa sampai batas tertentu hukum
Islam hanyalah produk pemikiran manusia Muslim dalam meresponsi lingkungan sekitarnya.
Untuk sebagian hal itu benar
adanya, tetapi pada saat yang
sama juga merupakan
ekspresi upaya dalam memahami dan menjabarkan titah
kewahyuan dalam realitas aktual. Dalam konteks tarik menarik antara titah
kewahyuan transendental dengan realitas
aktual empirikal itulah terletak
dinamika hukum Islam serta disini pula letak kontribusi signifikan studi hukum
Islam dengan bingkai pendekatan sosiologi.
DAFTAR
PUSTAKA:
Mudzhar,
M. Atho. Fatwa-Fatwa
Majelis Ulama Indonesia.
Jakarta: INIS. 1993.
Mudzhar,
M. Atho. “Pendekatan
Sosiologi dalam Studi
Hukum Islam”, dalam Mencari Islam: Studi Islam dengan Berbagai
Pendekatan. Ed. M. Amin Abdullah. Yogyakarta: Tiara Wacana. 2000
Mudzhar,
M. Atho. Membaca
Gelombang Ijtihad: Antara
Tradisi dan Liberasi. Yogyakarta:
Titian Ilahi Press. 1998.
Mudzhar,
M. Atho. Pendekatan
Studi Islam. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 1998.
[1] Mudzhar, M.
Atho Mudzar. Membaca Gelombang
Ijtihad: Antara Tradisi
dan Liberasi. (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), hlm 57
[2] Mudzhar, M.
Atho Mudzar. “Pendekatan Sosiologi
dalam Studi Hukum Islam”, dalam Mencari Islam: Studi
Islam dengan Berbagai Pendekatan. Ed. M. Amin Abdullah. Yogyakarta: Tiara
Wacana,2000
[3] M. Atho Mudzar.
Pendekatan Studi Islam., (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 34 – 35
[4] M. Atho Mudzar.
Pendekatan Sosiologi dalam
Studi Hukum Islam, dalam Mencari
Islam: Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan. Ed. M. Amin Abdullah.
Yogyakarta: Tiara Wacana,2000), hlm 26
[5] M. Atho Mudzhar,
Fatwa-Fatwa Majelis Ulama
Indonesia, (Jakarta: INIS,
1993), hlm. 70 - 71
Tidak ada komentar:
Posting Komentar