Kamis, 19 November 2015

SOSIOLOGI HUKUM ISLAM (Analisis terhadap Pemikiran M. Atho Mudzar)



SOSIOLOGI HUKUM ISLAM
(Analisis terhadap Pemikiran M. Atho Mudzar)

Oleh
Muhammad Syamsuddin
Mahasiswa Pasca Sarjana STAIN Pekalongan

Abstrak
Hukum Islam merupakan fenomena budaya dan fenomena sosial sekaligus. Kenyataan  ini menyadarkan  kita bahwa dalam melakukan  studi  hukum  Islam,  penggunaan  perspektif  ilmu- ilmu budaya dan ilmu-ilmu sosial merupakan suatu keniscayaan dalam  meneropong  hukum  Islam.  Artikel  ini,  berusaha memotret  gagasan M. Atho Mudzar tentang sosiologi hukum Islam, yang dapat   mengambil   beberapa   tema   yakni   studi mengenai  pengaruh  agama  terhadap  perubahan masyarakat, studi tentang pengaruh struktur dan perubahan masyarakat terhadap  pemahaman  ajaran  agama  atau  konsep  keagamaan, studi tentang tingkat pengamalan beragama masyarakat, studi tentang pola sosial masyarakat   Muslim   dan   studi   tentang gerakan masyarakat yang membawa paham yang dapat melemahkan  atau  menunjang  kehidupan  beragama. 
Merumuskan metodologi studi Islam bukanlah merupakan fenomena baru abad modern sekarang ini. Kesadaran tentang  urgensi metodologi  yang akurat tentang mempelajari  Islam telah dimulai sejak masa sejarah Islam klasik. Di antara  bukti yang menegaskan hal tersebut adalah munculnya beragam disiplin ilmu dalam Islam seperti ilmu hadits dengan segala percabangannya, ilmu ushul fiqh dan berbagai disiplin lainnya, yang sayangnya, ilmu-ilmu itu masih terasa  terserak-serak  sehingga  deskripsi  metodologi  studi Islam  yang  utuh belum  tampak.  Karena  itu,  upaya  pengembangan metodologi studi Islam sekarang ini, selain harus mengakomodasi pemikiran-pemikiran baru termasuk juga yang mungkin datang dari Barat juga  mesti selalu menyertakan  pemikiran-pemikiran metodologi yang telah lama ada.
Tulisan ini berusaha  memotret  gagasan  M. Atho Mudzar Mudzhar tentang urgensi pendekatan sosiologi dalam mengkaji hukum Islam, sehingga  diharapkan  nantinya  bisa dimengerti jika terdapat produk ijtihad  tentang  hukum  Islam,  namun  tidak  lazim,  akan  tetapi  jika dilihat   dari   perspektif   keilmuan   (sosiologi misalnya),  fenomena tersebut merupakan suatu kelaziman, dikarenakan adanya dinamika sosial.

A.    Biografi H. M. Atho Mudzar
H. M. Atho Mudzhar, dilahirkan di Serang, Propinsi Banten, 20 Oktober 1948. Menamatkan  sarjana  lengkap  tahun  1975  di  IAIN  Jakarta.  Tahun1978  melanjutkan studi di University  of Queensland, Brisbane, Australia hingga memperoleh  Gelar Master of  Social  and  Development   Pada  tahun  1981. 
Tahun  1986  mempelajari  Islam di University of  California  Los  Angeles  (UCLA)  hingga  memperoleh gelar Doctor  of Philosophy   dan  Islamic  Studies  pada  tahun  1990.  Sepulangnya  dari Amerika,  beliau menjadi birokrat dengan   menjabat  sebagai Direktur Pembinaan  Pendidikan  Agama Islam pada sekolah  Umum  dan selanjutnya  Direktur  Pembinaan  Perguruan  Tinggi Agama  Islam Departemen  Agama.
Tahun 1991 ia juga mengajar di beberapa perguruan tinggi baik di Program Sarjana maupun di Program Pasca Sarjana, seperti di PPS UI Program Kajian wanita, Universitas Muhammadiah Jakarta, PPS UMM, UGM, UII Yogyakarta, IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Sejak Oktober 1996 beliau menjabat  Rektor IAIN Sunan Kalijaga  Yogyakarta  hingga  tahun 2000. Ketika menjadi  rektor itulah, beliau banyak   berkecimpung   dalam   dunia   keilmuan   dengan   aktif  memberi   kuliah   di program  pascasarjana,  yang puncaknya  pada 15 September  1999 beliau dikukuhkan sebagai   profesor   dalam   ilmu   Sosiologi   Hukum   Islam   di   UIN Yogyakarta.   Pasca menjabat  sebagai rektor, hingga sekarang  ini beliau menduduki posisi  sebagai  Kepala  Balai  Penelitian,   Pengembangan,   Pendidikan   dan  Latihan (Balitbang Diklat)  Departemen Agama RI.

B.     Karya Ilmiah Atho Mudzar
Di antara karyanya  adalah Belajar Islam di Amerika yang terbit tahun 1991, Fatwa Majlis Ulama Indonesia (edisi dua bahasa; Indonesia dan Inggris) yang berasal dari disertasi doktornya Fatwas of Council of Indonesian Ulama; A Study of Islamic Legal Thought in Indonesia 1975-1988. Kemudian diterbitkan juga dalam versi bahasa Arab pada tahun 2003. Karyanya yang lain adalah Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern (terbit tahun 2003). Ia juga menulis beberapa artikel dan makalah dalam bahasa Inggris, di antaranya The Mosque and the Holy Basket; Conflict and Inegration in Amparia Bugese Community, dalam Indonesia Magazine (Jakarta, No.57, 1980), Religious Education and Religious Harmony in Indonesia, dalam Mizan (Jakarta, No. 2, 1984), Iranian Revolution dalam al-Talib The Student (Los Angeles, February, 1989), Fatwa and Sicial Interetion in Indonesia (Jusur, UCLA, 1992), dan lain-lain

C.    Agama sebagai Fenomena Budaya dan Fenomena Sosial
Sebelum memasuki substansi permasalahan  tentang hukum Islam   dalam   perspektif sosiologis, M. Atho Mudzar  memandang  perlu  untuk  dikaji terlebih dahulu  agama fenomena budaya dan  agama sebagai fenomena   sosial, dengan maksud untuk memperjelas fokus pengkajian.
Pada  awalnya,  ilmu  (science)  diklasifikasikan  menjadi  dua macam, ilmu alam dan ilmu budaya. Ilmu alam bertugas mencari hukum-hukum alam,  mencari  keteraturan  yang  terjadi  pada  alam yang   dilakukan   dengan   mengurai   keterulangan   suatu   fenomena alam. Sebaliknya pengetahuan budaya, bersifat tidak terulang, melainkan unik.
Di  antara  ilmu  pengetahuan  kealaman  dan  pengetahuan budaya   itu   terdapat   ilmu   pengetahuan   sosial.   Ilmu-ilmu   sosial berusaha  mencoba memahami fenomena  yang tidak berulang tetapi dengan cara memahami keterulangannya, sehingga penelitian ilmu sosial mengalami problem dari segi obyektivitasnya.
Kemudian, dimanakah letak studi-studi agama (Islam)? Jika dilihat dari definisi yang sering dikemukakan  yakni agama sebagai kepercayaan akan adanya sesuatu yang Maha Kuasa dan hubungan dengan yang Maha Kuasa itu, maka agama adalah gejala budaya, karena   agama   adalah   kepercayaan.   Sedangkan   interaksi   antara sesama   pemeluk   agama   adalah   gejala   sosial.   Dengan   demikian, agama dapat dilihat secara bipolar, yakni sebagai gejala budaya dan sebagai fenomena sosial.
Hal  ini  berarti  studi  Islam  dapat  didekati  dari  perspektif fenomena  budaya  dan  dapat  pula  dari  perspektif  fenomena  sosial atau keduanya sekaligus. Ketika Islam dilihat sebagai gejala budaya, maka metodologi yang digunakan adalah metode penelitian budaya, seperti filsafat, sejarah, studi naskah dan arkeologi. Dan ketika Islam dilihat sebagai gejala sosial, maka metodologi yang digunakan adalah metode  penelitian  ilmu-ilmu  sosial.  Kemudian,  penggunaan  studi Islam sebagai fenomena budaya dan fenomena sosial sekaligus, dapat dilihat dari obyek studi tentang fatwa ulama dan situasi politik yang mengitarinya.[1]

D.    Format Studi Islam dengan Pendekatan Sosiologi
Studi Islam dengan pendekatan  sosiologi,  dalam pandangan Atho Mudzar lebih  mendekati  kajian  sosiologi  agama  klasik  dari pada  sosiologi  agama  modern,  dengan  alasan  studi  Islam  dalam perspektif   sosiologis   mempelajari   hubungan   timbal   balik   antara agama dan masyarakat. Lebih  lanjut,  Atho Mudzhar  menyatakan  bahwa  studi  Islam dengan  pendekatan   sosiologi   dapat  mengambil setidaknya   lima tema: 
Pertama, studi mengenai pengaruh agama terhadap perubahan masyarakat. Tema ini, mengingatkan kita pada Emile Durkheim yang mengenalkan  konsep  fungsi  sosial agama.   Dalam  bentuk  ini studi Islam  mencoba  memahami  seberapa  jauh  pola-pola  budaya masyarakat  (misalnya  menilai sesuatu sebagai baik atau tidak baik) berpangkal pada nilai agama, atau seberapa jauh struktur masyarakat (misalnya supremasi kaum lelaki) berpangkal pada ajaran tertentu agama atau seberapa jauh perilaku masyarakat (seperti pola berkonsumsi  dan  berpakaian   masyarakat)  berpangkal  tolak  pada ajaran tertentu agama.
Kedua, studi tentang pengaruh struktur dan perubahan masyarakat terhadap pemahaman ajaran agama atau konsep keagamaan, seperti studi tentang bagaimana tingkat urbanisme Kufah telah mengakibatkan lahirnya pendapat-pendapat  hukum Islam rasional   ala  Hanafi  atau  bagaimana   faktor  lingkungan   geografis Basrah  dan Mesir telah mendorong  lahirnya  qawl qaiîm   dan   qawl jadid al-Syafi’i.
Ketiga,  studi  tentang tingkat pengamalan  beragama masyarakat.  Studi  Islam  dengan  pendekatan  sosiologi  dapat  juga  mengevaluasi pola  penyebaran   agama  dan  seberapa   jauh  ajaran agama  itu diamalkan  masyarakat.  Melalui  pengamatan dan survey, masyarakat dikaji tentang seberapa intens   mengamalkan   ajaran agama yang dipeluknya, seperti seberapa intens mereka menjalankan ritual  agamanya  dan  sebagainya. 
Keempat,  studi  pola  sosial masyarakat Muslim, seperti pola sosial masyarakat Muslim kota dan masyarakat Muslim  desa, pola hubungan  antar agama  dalam suatu masyarakat,  perilaku  toleransi  antara  masyarakat  Muslim  terdidik dan kurang  terdidik,  hubungan  tingkat pemahaman  agama  dengan perilaku politik, hubungan perilaku keagamaan dengan perilaku kebangsaan, agama sebagai faktor integrasi dan disintegrasi dan berbagai senada lainnya.
Kelima, studi tentang gerakan masyarakat yang membawa paham  yang  dapat  melemahkan  atau  menunjang  kehidupan beragama. Gerakan kelompok Islam yang mendukung paham kapitalisme, sekularisme, komunisme merupakan beberapa contoh di antara  gerakan  yang  mengancam  kehidupan  beragama  dan karenanya perlu dikaji seksama. Demikian pula munculnya kelompok masyarakat  yang  mendukung  spiritualisme  dan  sufisme  misalnya, yang  pada  tingkat  tertentu  dapat  menunjang  kehidupan  beragama perlu dipelajari dengan seksama pula.[2]

E.     Format Studi Hukum Islam
Dengan  mengacu  pada  distingsi  gejala  studi  Islam  secara umum,  maka  hukum  Islam  juga  dapat  dipandang  sebagai  gejala budaya  dan sebagai  gejala  sosial.  Filsafat  dan aturan  hukum  Islam adalah gejala budaya, sedangkan interaksi orang Islam dengan orang lain seagama atau tidak seagama merupakan gejala sosial. Atho Mudzar memerinci hukum Islam pada tiga segmen:
1.      Penelitian  hukum  Islam  sebagai  doktrin  asas.  Dalam  penelitian ini,  sasaran  utamanya   adalah  dasar-dasar   konseptual   hukum Islam  seperti masalah sumber hukum, konsep maqâsid al-syarî’ah, qawâ’id al-fiqhiyyah, tharîq al-Istinbâth, manhaj ijtihâd  dan lainnya.
2.      Penelitian hukum Islam normatif. Dalam penelitian ini sasaran utamanya adalah hukum Islam sebagai norma atau aturan, baik yang masih berbentuk nas maupun yang sudah menjadi produk pikiran manusia.  Aturan dalam bentuk nas meliputi ayat-ayat dan hadits ahkam. Sedangkan aturan yang sudah dipikirkan  manusia antara   lain  berbentuk   fatwa-fatwa   ulama   dan  bentuk-bentuk aturan lainnya yang mengikat seperti kompilasi hukum Islam, dustur, perjanjian internasional, surat kontrak, kesaksian dan sebagainya.
3.      Penelitian hukum  Islam sebagai gejala sosial. Sasaran  utamanya adalah perilaku hukum masyarakat Muslim dan masalah interaksi antar sesama manusia, baik sesama Muslim maupun dengan non Muslim.  Ini  mencakup  masalah-masalah  seperti  politik perumusan dan penerapan hukum (siyâsah al-syarî’ah), perilaku penegak   hukum,   perilaku   pemikir   hukum   seperti   mujtahid, fuqaha, mufti dan anggota badan legislatif, masalah-masalah administrasi dan organisasi hukum seperti pengadilan dengan segala   graduasinya   dan  perhimpunan   penegak   serta  pemikir hukum seperti perhimpunan  hakim agama, perhimpunan studi peminat hukum Islam, lajnah-lajnah fatwa dicari organisasi - organisasi keagamaan dan lembaga-lembaga penerbitan atau pendidikan yang menspesialisasikan  diri atau mendorong studi- studi hukum Islam. Dalam jenis penelitian ini juga tercakup masalah-masalah evaluasi pelaksanaan dan efektivitas hukum, masalah pengaruh hukum Islam terhadap perkembangan masyarakat atau  pemikiran    hukum, sejarah perkembangan hukum, sejarah pemikiran hukum, sejarah  administrasi  hukum serta masalah kesadaran dan sikap hukum masyarakat.[3]
Ketiga bentuk studi hukum Islam tersebut, dapat dilakukan secara terpisah dan dapat pula dilakukan secara bersama- sama untuk melihat keterkaitan satu sama lain mengenai masalah hukum  Islam. Dua bentuk  studi  hukum  Islam yang pertama  (studi hukum Islam sebagai doktrin asas dan studi hukum Islam normatif) dapat digabungkan dan diidentifikasi sebagai studi hukum Islam doktrinal, sedangkan bentuk studi hukum yang ketiga disebut sebagai studi hukum Islam Sosiologis. Dua bentuk studi yang pertama melihat Islam sebagai fenomena budaya dan bentuk studi Islam yang ketiga melihat Islam sebagai fenomena sosial.
Atho Mudzar menegaskan bahwa seperti   halnya penggunaan pendekatan sosiologis dalam studi Islam secara umum, penggunaan  pendekatan  sosiologi  dalam  studi hukum  Islam  dapat mengambil beberapa tema sebagai berikut:
1.      Pengaruh  hukum  Islam  terhadap  masyarakat   dan  perubahan masyarakat. Contohnya bagaimana hukum ibadah haji yang wajib telah mendorong ribuan umat Islam Indonesia setiap tahun berangkat ke Mekah dengan segala akibat ekonomi, penggunaan alat transportasi dan organisasi manajemen dalam penyelenggaraannya serta akibat sosial dan struktural yang terbentuk pasca menunaikan ibadah haji.
2.      Pengaruh  perubahan  dan  perkembangan  masyarakat  terhadap pemikiran hukum Islam. Contohnya, bagaimana oil booming di negara-negara teluk dan semakin mengentalnya Islam sebagai ideologi  ekonomi  di  negara-negara  tersebut    pada  awal  tahun 1970 telah  menyebabkan  lahirnya  sistem  perbankan Islam, yang  kemudian  berdampak  ke  Indonesia  dengan  terbentuknya bank - bank syariah.
3.      Tingkat pengamalan hokum agama masyarakat, seperti bagaimana perilaku  masyarakat   Islam  mengacu   pada  hukum Islam.
4.      Pola   interaksi   masyarakat   di   seputar   hukum   Islam,   seperti bagaimana  kelompok-kelompok keagamaan dan politik di Indonesia merespons berbagai persoalan hukum Islam seperti terhadap Rancangan Undang-Undang  Peradilan  Agama,  boleh tidak wanita menjadi pemimpin negara dan sebagainya.
5.      Gerakan  atau  organisasi  kemasyarakat  yang  mendukung  atau yang kurang  mendukung  hukum  Islam, misalnya  perhimpunan penghulu,  perhimpunan  hakim agama, perhimpunan  pengacara dan sebagainya.[4]
Sebagai mekanisme konkret dari tawaran pemikirannya, Atho Mudzar mengajukan beberapa contoh aplikasi pendekatan sosiologis terhadap hukum Islam, salah satunya adalah tentang Tawsiyah Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai Calon Legislatif non Muslim. Sehubungan dengan contoh pertama,  Atho Mudzar menegaskan bahwa substansi tawsiyah tersebut merupakan suatu problem hukum Islam, sebab  kitab-kitab  fiqh (yurisprudensi  Islam) umumnya  memuat hal yang berkaitan dengan tata politik kenegaraan yang disebut dengan kitab al-Qada’,   artinya bab tentang  kehakiman   yang   bagiannya termasuk  masalah  kekuasaan  dan kepemimpinan. Kemudian mengingat tawsiyah tersebut merupakan  himbauan, apakah menjadi problem hukum dan bukan sekedar problem moral?
Dalam  konteks  ini,  Atho Mudzar  menyatakan  bahwa  dalam  hukum positif, himbauan belum merupakan persoalan hukum, karena suatu perbuatan    baru   dapat   berkategori    hukum   jika   perbuatan  itu mengikuti atau melanggar aturan hukum tertentu yang mempunyai sanksi. Akan tetapi dalam hukum Islam, himbauan atau anjuran merupakan perbuatan hukum, dengan alasan hukum dalam Islam bukan hanya berkaitan  dengan taat atau melanggar aturan tertentu yang   ada   sanksinya,   akan   tetapi   juga   berkaitan   dengan   moral. Bukankah   kita   mengenal   adanya   konsep   sunnah   dan   makruh. Meskipun dalam perspektif hukum positif, keduanya (sunnah dan makruh) tidak berkategori hukum, akan tetapi dalam perspektif Islam berkategori hukum, karena substansi hukum dalam perspektif Islam mencakup substansi hukum tetapi juga moral.
Kemudian    berkaitan    dengan    isi   tawsiyah    tersebut,    Atho Mudzar menegaskan bahwa ketika MUI mengeluarkan  himbauan agar umat Islam  Indonesia   tidak  memilih   partai  politik dalam   pemilu  yang kebanyakan calon legislatifnya non Muslim, sesungguhnya ayat-ayat- Qur’an tersebut di atas itulah (QS. Ali Imran ayat 28) yang menjadi acuan  para  pimpinan  MUI. Inilah  rambu-rambu  nilai yang  bersifat doktrinal yang mendasari himbauan MUI tersebut.[5]
Kemudian secara sosiologis, logika MUI dalam tawsiyah tersebut dapat   diamati,   yakni   himbauan itu dikeluarkan beberapa saat menjelang  pelaksanaan   pemilu yang akan memilih wakil dan pemimpin rakyat yang membuat Undang-Undang baru dan mengamandemen UU lama.  Jika wakil  rakyat tersebut  kebanyakan tidak beragama Islam, bagaimana mungkin mereka memperjuangkan aspirasi umat Islam. Dengan alur logika demikian, kiranya dapat dimengerti.
Dalam konteks demikian, kita melihat bahwa MUI dihadapkan pada realitas empirik yang harus dijawab yakni bahwa ada diantara partai politik peserta pemilu yang secara lahiriah berasaskan kebangsaan, tetapi calon  legislatifnya  didominasi  oleh  non Muslim yang berarti tidak mencerminkan representasi bangsa Indonesia. MUI tidak   ingin   umat   Islam   dikelabui,   sehingga   keluarlah   tawsiyah tersebut. MUI tidak mengingkari hak non Muslim untuk menjadi anggota legislatif di negara ini, tetapi hendaknya jangan sampai mendominasi dan  mengatasnamakan  sebagian  besar  rakyat  yang justru beragama Islam.
Dari segi itu, pikiran hukum MUI tentang kepemimpinan  non  Muslim  sesungguhnya  telah  mengalami kompromi,  dibandingkan  dengan  larangan  al-Qur’an  yang  mutlak sama sekali melarang mengangkat pemimpin non Muslim. Dalam konteks ini landasan  hukum  doktrinal MUI  telah   disesuaikan dengan realitas empirik masyarakat.
Dari uraian di atas, dapat ditegaskan bahwa tawsiyah MUI menjelang pemilu 7 Juni 1999 merupakan hasil ijtihad yang telah mengakomodasi realitas bahwa tidak mungkin semua wakil rakyat di DPR itu Muslim, tetapi bagi MUI hendaknya  yang non Muslim  itu tidak dominan jumlahnya.

F.     Kesimpulan
Dari   deskripsi   di  atas,   dapat   dinyatakan   bahwa   situasi kondisi sosial politik yang mengitari suatu ijtihad sedemikian berpengaruh signifikan terhadap hasil ijtihâd tersebut. Dalam konteks demikianlah inilah, pendekatan sosiologis dalam studi hukum Islam sedemikian urgen untuk dilakukan, bahkan tidak hanya mencakup masalah-masalah hukum Islam kontemporer, tetapi juga masalah- masalah  hukum  Islam  masa  klasik,  seperti  yang  dicontohkan  oleh David S. Powers. Dalam studi tersebut, Powers mendemonstrasikan bagaimana  hukum  Islam   waris  dipahami  orang sekarang,  berbeda dan  telah  bergeser  dari  apa  yang  ada  pada  zaman  nabi dan para sahabat besar  (proto   Islamic   Law)   serta   masalah-masalah yang berkaitan dengan pergeseran-pergeseran tersebut.
Penerapan  pendekatan  sosiologi  dalam studi  hukum  Islam berguna untuk memahami secara lebih mendalam gejala-gejala sosial di seputar  hukum  Islam,  sehingga  dapat  membantu  memperdalam pemahaman hukum Islam doktrinal dan pada gilirannya membantu dalam memahami dinamika hukum Islam. Dari contoh yang dikemukakan di atas, tampak jelas  bahwa perkembangan pemikiran hukum Islam acap kali dipicu bahkan diarahkan oleh perbenturan kepentingan  antar  kelompok  dalam  masyarakat  yang  berinteraksi. Hal ini memberi kesan bahwa sampai batas tertentu hukum Islam hanyalah produk pemikiran manusia Muslim dalam meresponsi lingkungan  sekitarnya.  Untuk sebagian  hal itu benar adanya, tetapi pada   saat   yang   sama   juga   merupakan   ekspresi   upaya   dalam memahami dan menjabarkan titah kewahyuan dalam realitas aktual. Dalam konteks tarik menarik antara titah kewahyuan transendental dengan realitas  aktual  empirikal itulah terletak dinamika hukum Islam serta disini pula letak kontribusi signifikan studi hukum Islam dengan bingkai pendekatan sosiologi.

DAFTAR PUSTAKA:
Mudzhar,  M.  Atho.  Fatwa-Fatwa  Majelis  Ulama  Indonesia.  Jakarta: INIS. 1993.
Mudzhar,  M.  Atho.  “Pendekatan   Sosiologi  dalam  Studi  Hukum Islam”, dalam Mencari Islam: Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan. Ed. M. Amin Abdullah. Yogyakarta: Tiara Wacana. 2000
Mudzhar,  M.  Atho.  Membaca  Gelombang  Ijtihad:  Antara  Tradisi  dan Liberasi. Yogyakarta: Titian Ilahi Press. 1998.
Mudzhar,  M.  Atho.  Pendekatan   Studi  Islam.  Yogyakarta:   Pustaka Pelajar. 1998.


[1] Mudzhar,  M.  Atho Mudzar.  Membaca  Gelombang  Ijtihad:  Antara  Tradisi  dan Liberasi. (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), hlm 57

[2] Mudzhar,  M.  Atho Mudzar.  “Pendekatan   Sosiologi  dalam  Studi  Hukum Islam”, dalam Mencari Islam: Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan. Ed. M. Amin Abdullah. Yogyakarta: Tiara Wacana,2000
[3] M.  Atho Mudzar.  Pendekatan   Studi  Islam., (Yogyakarta:  Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 34 – 35
[4] M.  Atho Mudzar.  Pendekatan   Sosiologi  dalam  Studi  Hukum Islam, dalam Mencari Islam: Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan. Ed. M. Amin Abdullah. Yogyakarta: Tiara Wacana,2000), hlm 26
[5] M.  Atho Mudzhar,  Fatwa-Fatwa  Majelis  Ulama  Indonesia,  (Jakarta: INIS, 1993), hlm. 70 - 71

Tidak ada komentar:

Posting Komentar