INTEGRASI ILMU; KONSEP DAN PRAKTIK
Oleh
Muhammad Syamsuddin
Mahasiswa Pascasarjana STAIN Pekalongan
A.
Pendahuluan
Pemikiran
tentang integrasi atau Islamisasi ilmu pengetahuan dewasa ini yang dilakukan
oleh kalangan intelektual muslim, tidak lepas dari kesadaran beragama. Secara
totalitas ditengah ramainya dunia global yang sarat dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Dengan sebuah konsep bahwa ummat Islam akan maju
dapat menyusul menyamai orang-orang barat apabila mampu menstransformasikan dan
menyerap secara aktual terhadap ilmu pengetahuan dalam rangka memahami wahyu,
atau mampu memahami wahyu dalam mengembangkan ilmu pengetahuan .[1]
Disamping
itu terdapat asumsi bahwa ilmu pengetahuan yang berasal dari negara-negara
barat dianggap sebagai pengetahuan yang sekuler oleh sebab itu ilmu tersebut
harus ditolak, atau minimal ilmu pengetahuan tersebut harus dimaknai dan
diterjemahkan dengan pemahaman secara islami. Ilmu pengetahuan yang
sesungguhnya merupakan hasil dari pembacaan manusia terhadap ayat-ayat Allah SWT.[2]
Dipandang
dari sisi aksiologis, ilmu dan teknologi harus memberi manfaat sebesar-besarnya
bagi kehidupan manusia. Artinya ilmu dan teknologi menjadi instrumen penting
dalam setiap proses pembangunan sebagai usaha untuk mewujudkan kemaslahatan
hidup manusia seluruhnya. Dengan demikian, ilmu dan teknologi haruslah
memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia dan bukan sebaliknya.[3]
Untuk
mencapai sasaran tersebut maka perlu dilakukan suatu upaya mengintegrasikan
ilmu-ilmu umum dengan ilmu-ilmu keislaman, sehingga ilmu-ilmu umum tersebut
tidak bebas nilai atau sekuler. Pendekatan interdisipliner antara disiplin ilmu
agama dan umum perlu dibangun dan dikembangkan terus-menerus tanpa kenal henti.
B.
Alquran dan Ilmu Pengetahuan (Sains)
Alquran
diturunkan oleh Allah SWT. kepada manusia untuk menjadi petunjuk dan menjadi
pemisah antara yang hak dan yang batil sesuai dengan firman-Nya dalam surat
al-Baqarah ayat 185. Alquran juga menuntun manusia untuk menjalani segala aspek
kehidupan, termasuk di dalamnya menuntut dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
Alquran
menempatkan ilmu dan ilmuan dalam kedudukan yang tinggi sejajar dengan
orang-orang yang beriman (QS: al-Mujadilah: 11). Banyak nash Alquran
yang menganjurkan manusia untuk menuntut ilmu, bahkan wahyu yang pertama kali
turun, adalah ayat yang berkenaan dengan ilmu, yaitu perintah untuk membaca
seperti yang terdapat dalam surat al-‘Alaq ayat 1-5. Artinya: “Bacalah dengan
(menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar
(manusia) dengan perantaraan kalam. Dia diketahuinya.[4]
Disamping
itu, Alquran menghargai panca indra dan menetapkan bahwasanya indra tersebut
adalah menjadi pintu ilmu pengetahuan. (QS.Al-Nahl: 78) Syeikh Mahmud Abdul
Wahab Fayid mengatakan bahwa ayat ini mendahulukan pendengaran dan penglihatan
dari pada hati disebabkan karena keduanya itu sebagai sumber petunjuk berbagai
macam pemikiran dan merupakan kunci pembuka pengetahuan yang rasional.[5]
Imam
al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab mengatakan, bahwa seluruh
cabang ilmu pengetahuan yang terdahulu dan yang kemudian, yang telah diketahui
maupun yang belum, semua bersumber dari al-Qur’an al-Karim.[6]
M. Quraish
Shihab mengatakan, membahas hubungan Alquran dan ilmu pengetahuan bukan dinilai
dengan banyaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang tersimpul di dalamnya,
bukan pula dengan menunjukkan kebenaran teori-teori ilmiah. Tetapi pembahasan
hendaknya diletakkan pada proporsi yang lebih tepat sesuai dengan kemurnian dan
kesucian Alquran dan sesuai pula dengan logika ilmu pengetahuan itu sendiri.
Tidak perlu melihat apakah di dalam Alquran terdapat ilmu matematika, ilmu
tumbuh-tumbuhan, ilmu komputer dll, tetapi yang lebih utama adalah melihat
adakah jiwa ayat–ayatnya menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan atau sebaliknya,
serta adakah satu ayat Alquran yang bertentangan hasil penemuan ilmiah yang
telah mapan?[7]
C. Rekontruksi
Ilmu Pengetahuan Islam
Dalam
perkembangan keilmuan Islam, terdapat pengelompokan disiplin ilmu agama dengan
ilmu umum. Hal ini secara implisit menunjukkan adanya dikotomi ilmu
pengetahuan.
Kondisi
seperti ini terjadi mulai abad pertengahan sejarah Islam hingga sekarang. Dalam
konteks Indonesia, dikatomi ilmu umum dan ilmu agama malah sudah
terlembagakan. Hal ini bisa dilihat dari adanya dua tipe lembaga pendidikan yang
dinaungi oleh kementerian yang berbeda. Lembaga pendidikan yang berlabel agama
di bawah naungan Kemenag sedangkan lembaga pendidikan umum berada di bawah
Kemendiknas.
Pandangan
dikotomis terhadap ilmu pengetahuan Islam seperti itu, tidak sesuai dengan
pandangan integralistik ilmu pengetahuan pada permulaan sejarah umat Islam.
Ternyata pandangan dikotomis yang menempatkan Islam sebagai suatu disiplin yang
selama ini terasing dari disiplin ilmu lain telah menyebabkan ketertinggalan
para ilmuan Islam baik dalam mengembangkan wawasan keilmuan maupun untuk
menyelesaikan berbagai masalah dengan multidimensional approach
(pendekatan dari berbagai sudut pandang).[8]
Meskipun
peradaban Islam klasik pernah mengukir sejarahnya dengan nama-nama yang dikenal
menguasai ilmu-ilmu kealaman, antara lain seperti Al-Biruni seorang
ensiklopedis muslim, Ibn Sina seorang filosuf dan ahli kedokteran, Ibn Haitsam
seorang fisikawan, dan lain-lain. Sayang perguruan tinggi Islam, yang ada
sekarang kurang mengenalnya atau mungkin sama sekali tidak mengenalnya lagi,
lebih-lebih perkembangan metodologi ilmu-ilmu kealaman yang berkembang sekarang
ini, yang sesungguhnya dapat dimanfaatkan untuk pengembangan ilmu-ilmu
keislaman yang ada sekarang.[9]
Selain
ilmuan-ilmuan muslim yang dikemukakan di atas masih banyak ilmuan lain yang
terkenal diantaranya, Abu Abbas al-Fadhl Hatim an-Nizari seorang ahli
astronomi, Umar Ibn Ibrahim al-Khayyami yang lebih di kenal dengan Umar Khayyam
penulis buku aljabar, Muhammad al-Syarif al-Idrisi ahli ilmu bumi.
Pada
periode klasik Islam ini (Abad VII-XIII) dijuluki The golden age of Islam,
telah terjadi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ada
beberapa faktor yang mendorong kemajuan ilmu pengetahuan pada periode ini,
yaitu:
1.
Agama Islam sebagai motivasi.
2.
Kesatuan bahasa yang memudahkan komunikasi ilmiah.
3.
Kebijakan pemerintah untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
4.
Didirikannya akademi, laboratorium, dan perpustakaan sebagai
sarana pengembangan ilmu.
5. Ketekunan ilmuan untuk mengadakan
riset dan eksperimen.
Pada periode klasik Islam tidak terdapat dikotomi ilmu
pengetahuan. Memang telah dikembangkan ilmu pengetahuan yang bersumber dari
Alquran dan hadis dan ilmu pengetahuan yang bersumber dari alam dan masyarakat,
tetapi masih berada dalam satu kerangka yaitu pengetahuan Islam.[10]
Sesudah periode klasik ini, yaitu sejak abad XIII, Ilmu
pengetahuan Islam mulai mengalami kemunduran, produktifitas ilmuan-ilmuan
muslim sangat berkurang. Di dunia barat justru terjadi sebaliknya, warisan ilmu
pengetahuan yang telah dipelajari dari Islam dikembangkan, sehingga mengantar
mereka mencapai dunia baru melalui pintu gerbang renaissance, dan
reformasi. Kondisi seperti ini mempengaruhi struktur ilmu pengetahuan dalam
Islam.
Ilmu pengetahuan yang dikaji dari Alquran dan hadis yang
dianggap sebagai ilmu pengetahuan Islam, sedangkan ilmu pengetahuan yang
bersumber dari alam, dan dari masyarakat dikeluarkan dari struktur ilmu
pengetahuan Islam. Dengan demikian munculah dikotomi ilmu pengetahuan Islam
dengan umum. Kalau hal ini dibiarkan terus berkembang maka akan membawa dampak
negatif, misalnya teknologi nuklir bisa menjadi senjata pemusnah yang
seharusnya untuk kesejahteraan manusia. Oleh karena itu ilmu pengetahuan Islam
perlu direkonstruksi kembali dengan paradigma baru yaitu bahwa ilmu pengetahuan
Islam menggambarkan terintegrasinya seluruh sistem ilmu pengetahuan dalam satu
kerangka.
Ilmu pengetahuan Islam menggunakan pendekatan wahyu,
pendekatan filsafat, dan pendekatan empirik, baik dalam pembahasan substansi
ilmu, maupun pembahasan tentang fungsi dan tujuan ilmu pengetahuan. Dengan
rekonstruksi ilmu pengetahuan Islam tidak terkait lagi adanya dikotomi antara
ilmu pengetahuan Islam (syari’ah) dengan ilmu pengetahuan umum, keduanya
saling berhubungan secara fungsional (fungsional Corelation).[11]
D.
Integrasi Ilmu Pengetahuan keIslaman
dengan Umum
Setelah
umat Islam mengalami kemunduran sekitar abad XIII - XIX, justru pihak barat memanfaatkan
kesempatan tersebut untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang telah
dipelajarinya dari Islam sehingga ia mencapai masa renaissance. Ilmu
pengetahuan umum (sains) berkembang pesat sedangkan ilmu pengetahuan Islam
mengalami kemunduran, yang pada akhirnya munculah dikotomi antara dua bidang
ilmu tersebut.
Tidak
hanya sampai disini tetapi muncul pula sekularisasi ilmu pengetahuan. Namun
sekularisasi ilmu pengetahuan ini mendapat tantangan dari kaum Gereja. Galileo yang
dipandang sebagai pahlawan sekularisasi ilmu pengetahuan mendapat hukuman mati
tahun 1633 M, karena mengeluarkan pendapat yang bertentangan dengan pandangan
Gereja. Galileo memperkokoh pandangan Copernicus bahwa matahari adalah pusat
jagat raya berdasarkan fakta empiris melalui observasi dan eksperimen.
Sedangkan gereja memandang bahwa bumi adalah pusat jagat raya (Geosentrisme)
didasarkan pada informasi Bibel.[12]
Pemberian
hukuman kepada para ilmuan yang berani berbeda pandangan dengan kaum gereja
menjadi pemicu lahirnya ilmu pengetahuan yang memisahkan diri dari doktrin
agama. Kredibilitas gereja sebagai sumber informasi ilmiah merosot, sehingga
semakin mempersubur tumbuhnya pendekatan saintifik dalam ilmu pengetahaun
menuju ilmu pengetahuan sekuler.[13]
Sekularisasi
ilmu pengetahuan secara ontologis membuang segala yang bersifat religius dan
mistis, karena dianggap tidak relevan dengan ilmu. Alam dan realitas sosial di
demitologisasi dan di sterilkan dari sesuatu yang bersifat ruh dan spirit dan
di desakralisasi (di alam ini tidak ada yang sakral).
Sekularisasi
ilmu pengetahuan dari segi metodologi menggunakan epistemologi rasionalisme dan
empirisme. Rasionalisme berpendapat bahwa rasio adalah alat pengetahuan yang
obyektif karena dapat melihat realitas dengan konstan. Sedangkan empirisme
memandang bahwa sumber pengetahuan yang absah adalah empiris (pengalaman).
Kemunculan
ide: islamisasi ilmu tidak lepas dari ketimpangan-ketimpangan yang merupakan
akibat langsung keterpisahan antara sains dan agama. Sekulerisme telah membuat
sains sangat jauh dari kemungkinan untuk didekati melalui kajian agama.
Tokoh yang
mengusulkan pertama kali upaya ini adalah filosof asal Palestina yang hijrah ke
Amerika Serikat, Isma’il Raji Al-Faruqi. Upaya yang dilakukan adalah dengan
mengembalikan ilmu pengetahuan pada pusatnya yaitu tauhid. Hal ini dimaksudkan
agar ada koherensi antara ilmu pengetahuan dengan iman.
Upaya yang
lainnya, yang merupakan antitesis dari usul yang pertama, adalah ilmuisasi
Islam. Upaya ini diusung oleh Kuntowijoyo. Dia mengusulkan agar melakukan
perumusan teori ilmu pengetahuan yang didasarkan kepada Alquran, menjadikan
Alquran sebagai suatu paradigma. Upaya yang dilakukan adalah objektifikasi.
Islam dijadikan sebagai suatu ilmu yang objektif, sehingga ajaran Islam yang
terkandung dalam Alquran dapat dirasakan oleh seluruh alam (rahmatan lil
‘alamin).
Moh.
Natsir Mahmud mengemukakan beberapa proposisi (usulan) tentang kemungkinan
islamisasi ilmu pengetahuan, sebagai berikut:
1. Ilmu pengetahuan adalah produk akal
pikiran manusia sebagai hasil pemahaman atas fenomena di sekitarnya. Sebagai
produk pikiran, maka corak ilmu yang dihasilkan akan diwarnai pula oleh corak
pikiran yang digunakan dalam mengkaji fenomena yang diteliti.
2. Dalam pandangan Islam, proses
pencarian ilmu tidak hanya berputar-putar di sekitar rasio dan empirik, tetapi
juga melibatkan al-qalb yakni intuisi batin yang suci.
3. Dalam pandangan Islam realitas itu
tidak hanya realitas fisik tetapi juga ada realitas non-fisik atau metafisik.[14]
Integrasi yang dimaksud di sini adalah berkaitan dengan
usaha memadukan keilmuan umum dengan Islam tanpa harus menghilangkan
keunikan–keunikan antara dua keilmuan tersebut. Terdapat kritikan yang menarik
berkaitan dengan integrasi antara ilmu agama dengan sains:
1. Integrasi yang hanya cenderung
mencocok-cocokkan ayat-ayat Alquran secara dangkal dengan temuan-temuan ilmiah.
Disinilah pentingnya integrasi konstruktif dimana integrasi yang menghasilkan
kontribusi baru yang tak diperoleh bila kedua ilmu tersebut terpisah. Atau
bahkan integrasi diperlukan untuk menghindari dampak negatif yang mungkin muncul
jika keduanya berjalan sendiri-sendiri. Tapi ada kelemahan dari integrasi, di
mana adanya penaklukan, seperti teologi ditaklukkan oleh sains.[15]
2. Berkaitan dengan pembagian keilmuan,
yaitu qauniyah (Alam) dan qauliyah (Teologis). Kuntowijoyo
mengatakan bahwa ilmu itu bukan hanya qauniyah dan qauliyah
tetapi juga ilmu nafsiyah. Kalau ilmu qauniyah berkenaan dengan
hukum alam, ilmu qauniyah berkenaan dengan hukum Tuhan dan ilmu nafsiyah
berkenaan makna, nilai dan kesadaran. Ilmu nafsiyah inilah yang disebut
sebagai humaniora (ilmu-ilmu kemanusiaan).[16]
Amin Abdullah memandang, integrasi keilmuan mengalami
kesulitan, yaitu kesulitan memadukan studi Islam dan umum yang kadang tidak
saling akur karena keduanya ingin saling mengalahkan. Oleh karena itu,
diperlukan usaha interkoneksitas yang lebih arif dan bijaksana. Interkoneksitas
yang dimaksud oleh Amin Abdullah adalah: “Usaha memahami kompleksitas fenomena
kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia. Sehingga setiap bangunan keilmuan
apapun, baik keilmuan agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak
dapat berdiri sendiri maka dibutuhkan kerjasama, saling tegur sapa, saling
membutuhkan, saling koreksi dan saling keterhubungan antara disiplin keilmuan.[17]
Pendekatan integratif - interkonektif merupakan usaha untuk
menjadikan sebuah keterhubungan antara keilmuan agama dan keilmuan umum. Muara
dari pendekatan integratif - interkonektif menjadikan keilmuan mengalami proses
obyektifikasi dimana keilmuan tersebut dirasakan oleh orang non Islam sebagai
sesuatu yang natural (sewajarnya), tidak sebagai perbuatan keagamaan.
Sekalipun demikian, dari sisi yang mempunyai perbuatan, bisa tetap
menganggapnya sebagai perbuatan keagamaan, termasuk amal, sehingga Islam dapat
menjadi rahmat bagi semua orang.[18]
Contoh konkrit dari proses objektifikasi keilmuan Islam
adalah Ekonomi Syariah yang prakteknya dan teori-teorinya berasal dari wahyu
Tuhan. Islam menyediakan etika dalam perilaku ekonomi antara lain; bagi hasil (al-Mudarabah)
dan kerja sama (al-Musyarakah). Di sini Islam mengalami objektifitas
dimana etika agama menjadi ilmu yang bermanfaat bagi seluruh manusia, baik
muslim maupun non muslim, bahkan arti agama sekalipun.
E. Penutup
Kesimpulan
Dari
uraian di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa dalam mengintegrasikan
ilmu-ilmu keislaman ke dalam ilmu-ilmu umum sebaiknya mengacu kepada perspektif
ontologis, epistemologis dan aksiologis.
Dari
perspektif ontologis, bahwa ilmu itu pada hakekatnya, adalah merupakan
pemahaman yang timbul dari hasil studi yang mendalam, sistematis, obyektif dan
menyeluruh tentang ayat-ayat Allah SWT. baik berupa ayat-ayat qauliyyah
yang terhimpun di dalam Alquran maupun ayat-ayat kauniyah yang terhampar
dijagat alam raya ini. Karena keterbatasan kemampuan manusia untuk mengkaji
ayat-ayat tersebut, maka hasil kajian/pemikiran manusia tersebut harus dipahami
atau diterima sebagai pengetahuan yang relatif kebenarannya, dan pengetahuan
yang memiliki kebenaran mutlak hanya dimiliki oleh Allah SWT.
Dari
perspektif Epistemologi, adalah bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi diperoleh
melalui usaha yang sungguh-sungguh dengan menggunakan instrumen penglihatan,
pendengaran dan hati yang diciptakan Allah SWT. terhadap hukum-hukum alam dan
sosial (sunnatullah). Karena itu tidak menafikan Tuhan sebagai sumber
dari segala realitas termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dari
perspektif aksiologi, bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi harus diarahkan
kepada pemberian manfaat dan pemenuhan kebutuhan hidup umat manusia. Bukan
sebaliknya, ilmu pengetahuan dan teknologi digunakan untuk menghancurkan
kehidupan manusia. Perlu disadari bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi adalah
bagian dari ayat-ayat Allah dan merupakan amanat bagi pemiliknya yang nantinya
akan dimintai pertanggung jawaban di sisi-Nya.
F.
Daftar Pustaka
Arief, Armai. Reformasi Pendidikan
Islam. Jakarta: CRSD Press. 2005
Said, Nurman. Sinergi Agama dan Sains.
Makassar: Alauddin Press. 2005
Departemen Agama RI, Alquran dan
Terjemahnya, Madinah Almunawwarah: Mujamma’ al-Malik Fahd Li Thibaat al-Mushhaf
al-Syarief, 1418 H
Syeikh Mahmud Abdul Wahab Fayid,
Al-Tarbiyah Fie Kitab Allah, diterjemahkan Drs. Judi Al.Falasany, “Pendidikan
Dalam Alquran” Semarang: CV.Wicaksana. 1989
Shihab, M. Quraish. Membumikan
Alquran. Bandung: Penerbit Mizan. 1992
Abdullah, M. Amin. Islamic Stadies
dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi, Yogyakarta: Penerbit Suka Press.
2007
Bagir, Zainal Abidin. Integrasi
Ilmu dan Agama, Interprestasi dan Aksi, Bandung: Mizan. 2005
Kuntowijoyo. Islam Sebagai Ilmu. Jakarta:
Penerbit Teraju. 2005
[1] Armai Arief, Reformasi
Pendidikan Islam, (Jakarta: CRSD Press, 2005), h.124
[2] Nurman Said, Sinergi Agama
dan Sains, (Cet I; Makassar:
Alauddin Press, 2005), h. xxxvi
[3] Ibid h. xxxvii
[4] Departemen Agama RI, Alquran dan
Terjemahnya, (Madinah Almunawwarah: Mujamma’ al-Malik Fahd Li Thibaat
al-Mushhaf al-Syarief, 1418 H), h. 1079.
[5] Syeikh Mahmud Abdul Wahab Fayid,
Al-Tarbiyah Fie Kitab Allah, diterjemahkan Drs. Judi Al.Falasany, “Pendidikan
Dalam Alquran” (Semarang: CV.Wicaksana, 1989), h. 23-24
[6] M.Quraish shihab, Membumikan
Alquran, (Cet I, Bandung: Penerbit Mizan, 1992), h .41
[7] Ibid 42
[8] Nurman Said, Sinergi Agama
dan Sains, (Makassar: Alauddin Press, 2005), h. 129
[9] M. Amin Abdullah, Islamic
Stadies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi, (Cet I; Yogyakarta: Penerbit
Suka Press, 2007), h. 33
[10] Ibid
[11] Ibid h. 119
[12] Nurman Said, Sinergi Agama
dan Sains, (Makassar: Alauddin Press, 2005), h. 129
[13] Ibid, h.133
[14] Ibid, h.134
[15] Zainal Abidin Bagir,
Integrasi Ilmu dan Agama, Interprestasi dan Aksi, (Bandung: Mizan, 2005) h,
50-51
[16] Ibid, h. 51
[17] M. Amin Abdullah, Islamic
Studies Di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta:
Penerbit Pustaka Pelajar, 2006), h. VII-VIII.
[18] Kuntowijoyo, Islam Sebagai
Ilmu, (Jakarta: Penerbit Teraju, 2005), h.62
Tidak ada komentar:
Posting Komentar