Selasa, 12 April 2016

Integrasi Ilmu; Konsep dan Praktik


INTEGRASI ILMU; KONSEP DAN PRAKTIK

Oleh
Muhammad Syamsuddin
Mahasiswa Pascasarjana STAIN Pekalongan

A.    Pendahuluan
Pemikiran tentang integrasi atau Islamisasi ilmu pengetahuan dewasa ini yang dilakukan oleh kalangan intelektual muslim, tidak lepas dari kesadaran beragama. Secara totalitas ditengah ramainya dunia global yang sarat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan sebuah konsep bahwa ummat Islam akan maju dapat menyusul menyamai orang-orang barat apabila mampu menstransformasikan dan menyerap secara aktual terhadap ilmu pengetahuan dalam rangka memahami wahyu, atau mampu memahami wahyu dalam mengembangkan ilmu pengetahuan .[1]
Disamping itu terdapat asumsi bahwa ilmu pengetahuan yang berasal dari negara-negara barat dianggap sebagai pengetahuan yang sekuler oleh sebab itu ilmu tersebut harus ditolak, atau minimal ilmu pengetahuan tersebut harus dimaknai dan diterjemahkan dengan pemahaman secara islami. Ilmu pengetahuan yang sesungguhnya merupakan hasil dari pembacaan manusia terhadap ayat-ayat Allah SWT.[2]
Dipandang dari sisi aksiologis, ilmu dan teknologi harus memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia. Artinya ilmu dan teknologi menjadi instrumen penting dalam setiap proses pembangunan sebagai usaha untuk mewujudkan kemaslahatan hidup manusia seluruhnya. Dengan demikian, ilmu dan teknologi haruslah memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia dan bukan sebaliknya.[3]
Untuk mencapai sasaran tersebut maka perlu dilakukan suatu upaya mengintegrasikan ilmu-ilmu umum dengan ilmu-ilmu keislaman, sehingga ilmu-ilmu umum tersebut tidak bebas nilai atau sekuler. Pendekatan interdisipliner antara disiplin ilmu agama dan umum perlu dibangun dan dikembangkan terus-menerus tanpa kenal henti.

B.     Alquran dan Ilmu Pengetahuan (Sains)
Alquran diturunkan oleh Allah SWT. kepada manusia untuk menjadi petunjuk dan menjadi pemisah antara yang hak dan yang batil sesuai dengan firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 185. Alquran juga menuntun manusia untuk menjalani segala aspek kehidupan, termasuk di dalamnya menuntut dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
Alquran menempatkan ilmu dan ilmuan dalam kedudukan yang tinggi sejajar dengan orang-orang yang beriman (QS: al-Mujadilah: 11). Banyak nash Alquran yang menganjurkan manusia untuk menuntut ilmu, bahkan wahyu yang pertama kali turun, adalah ayat yang berkenaan dengan ilmu, yaitu perintah untuk membaca seperti yang terdapat dalam surat al-‘Alaq ayat 1-5. Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia diketahuinya.[4]
Disamping itu, Alquran menghargai panca indra dan menetapkan bahwasanya indra tersebut adalah menjadi pintu ilmu pengetahuan. (QS.Al-Nahl: 78) Syeikh Mahmud Abdul Wahab Fayid mengatakan bahwa ayat ini mendahulukan pendengaran dan penglihatan dari pada hati disebabkan karena keduanya itu sebagai sumber petunjuk berbagai macam pemikiran dan merupakan kunci pembuka pengetahuan yang rasional.[5]
Imam al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab mengatakan, bahwa seluruh cabang ilmu pengetahuan yang terdahulu dan yang kemudian, yang telah diketahui maupun yang belum, semua bersumber dari al-Qur’an al-Karim.[6]
M. Quraish Shihab mengatakan, membahas hubungan Alquran dan ilmu pengetahuan bukan dinilai dengan banyaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang tersimpul di dalamnya, bukan pula dengan menunjukkan kebenaran teori-teori ilmiah. Tetapi pembahasan hendaknya diletakkan pada proporsi yang lebih tepat sesuai dengan kemurnian dan kesucian Alquran dan sesuai pula dengan logika ilmu pengetahuan itu sendiri. Tidak perlu melihat apakah di dalam Alquran terdapat ilmu matematika, ilmu tumbuh-tumbuhan, ilmu komputer dll, tetapi yang lebih utama adalah melihat adakah jiwa ayat–ayatnya menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan atau sebaliknya, serta adakah satu ayat Alquran yang bertentangan hasil penemuan ilmiah yang telah mapan?[7]

C.    Rekontruksi Ilmu Pengetahuan Islam
Dalam perkembangan keilmuan Islam, terdapat pengelompokan disiplin ilmu agama dengan ilmu umum. Hal ini secara implisit menunjukkan adanya dikotomi ilmu pengetahuan.
Kondisi seperti ini terjadi mulai abad pertengahan sejarah Islam hingga sekarang. Dalam konteks Indonesia,  dikatomi ilmu umum dan ilmu agama malah sudah terlembagakan. Hal ini bisa dilihat dari adanya dua tipe lembaga pendidikan yang dinaungi oleh kementerian yang berbeda. Lembaga pendidikan yang berlabel agama di bawah naungan Kemenag sedangkan lembaga pendidikan umum berada di bawah Kemendiknas.
Pandangan dikotomis terhadap ilmu pengetahuan Islam seperti itu, tidak sesuai dengan pandangan integralistik ilmu pengetahuan pada permulaan sejarah umat Islam. Ternyata pandangan dikotomis yang menempatkan Islam sebagai suatu disiplin yang selama ini terasing dari disiplin ilmu lain telah menyebabkan ketertinggalan para ilmuan Islam baik dalam mengembangkan wawasan keilmuan maupun untuk menyelesaikan berbagai masalah dengan multidimensional approach (pendekatan dari berbagai sudut pandang).[8]
Meskipun peradaban Islam klasik pernah mengukir sejarahnya dengan nama-nama yang dikenal menguasai ilmu-ilmu kealaman, antara lain seperti Al-Biruni seorang ensiklopedis muslim, Ibn Sina seorang filosuf dan ahli kedokteran, Ibn Haitsam seorang fisikawan, dan lain-lain. Sayang perguruan tinggi Islam, yang ada sekarang kurang mengenalnya atau mungkin sama sekali tidak mengenalnya lagi, lebih-lebih perkembangan metodologi ilmu-ilmu kealaman yang berkembang sekarang ini, yang sesungguhnya dapat dimanfaatkan untuk pengembangan ilmu-ilmu keislaman yang ada sekarang.[9]
Selain ilmuan-ilmuan muslim yang dikemukakan di atas masih banyak ilmuan lain yang terkenal diantaranya, Abu Abbas al-Fadhl Hatim an-Nizari seorang ahli astronomi, Umar Ibn Ibrahim al-Khayyami yang lebih di kenal dengan Umar Khayyam penulis buku aljabar, Muhammad al-Syarif al-Idrisi ahli ilmu bumi.
Pada periode klasik Islam ini (Abad VII-XIII) dijuluki The golden age of Islam, telah terjadi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ada beberapa faktor yang mendorong kemajuan ilmu pengetahuan pada periode ini, yaitu:
1.         Agama Islam sebagai motivasi.
2.         Kesatuan bahasa yang memudahkan komunikasi ilmiah.
3.         Kebijakan pemerintah untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
4.         Didirikannya akademi, laboratorium, dan perpustakaan sebagai sarana pengembangan ilmu.
5.    Ketekunan ilmuan untuk mengadakan riset dan eksperimen.

Pada periode klasik Islam tidak terdapat dikotomi ilmu pengetahuan. Memang telah dikembangkan ilmu pengetahuan yang bersumber dari Alquran dan hadis dan ilmu pengetahuan yang bersumber dari alam dan masyarakat, tetapi masih berada dalam satu kerangka yaitu pengetahuan Islam.[10]
Sesudah periode klasik ini, yaitu sejak abad XIII, Ilmu pengetahuan Islam mulai mengalami kemunduran, produktifitas ilmuan-ilmuan muslim sangat berkurang. Di dunia barat justru terjadi sebaliknya, warisan ilmu pengetahuan yang telah dipelajari dari Islam dikembangkan, sehingga mengantar mereka mencapai dunia baru melalui pintu gerbang renaissance, dan reformasi. Kondisi seperti ini mempengaruhi struktur ilmu pengetahuan dalam Islam.
Ilmu pengetahuan yang dikaji dari Alquran dan hadis yang dianggap sebagai ilmu pengetahuan Islam, sedangkan ilmu pengetahuan yang bersumber dari alam, dan dari masyarakat dikeluarkan dari struktur ilmu pengetahuan Islam. Dengan demikian munculah dikotomi ilmu pengetahuan Islam dengan umum. Kalau hal ini dibiarkan terus berkembang maka akan membawa dampak negatif, misalnya teknologi nuklir bisa menjadi senjata pemusnah yang seharusnya untuk kesejahteraan manusia. Oleh karena itu ilmu pengetahuan Islam perlu direkonstruksi kembali dengan paradigma baru yaitu bahwa ilmu pengetahuan Islam menggambarkan terintegrasinya seluruh sistem ilmu pengetahuan dalam satu kerangka.
Ilmu pengetahuan Islam menggunakan pendekatan wahyu, pendekatan filsafat, dan pendekatan empirik, baik dalam pembahasan substansi ilmu, maupun pembahasan tentang fungsi dan tujuan ilmu pengetahuan. Dengan rekonstruksi ilmu pengetahuan Islam tidak terkait lagi adanya dikotomi antara ilmu pengetahuan Islam (syari’ah) dengan ilmu pengetahuan umum, keduanya saling berhubungan secara fungsional (fungsional Corelation).[11]

D.    Integrasi Ilmu Pengetahuan keIslaman dengan Umum
Setelah umat Islam mengalami kemunduran sekitar abad XIII - XIX, justru pihak barat memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang telah dipelajarinya dari Islam sehingga ia mencapai masa renaissance. Ilmu pengetahuan umum (sains) berkembang pesat sedangkan ilmu pengetahuan Islam mengalami kemunduran, yang pada akhirnya munculah dikotomi antara dua bidang ilmu tersebut.
Tidak hanya sampai disini tetapi muncul pula sekularisasi ilmu pengetahuan. Namun sekularisasi ilmu pengetahuan ini mendapat tantangan dari kaum Gereja. Galileo yang dipandang sebagai pahlawan sekularisasi ilmu pengetahuan mendapat hukuman mati tahun 1633 M, karena mengeluarkan pendapat yang bertentangan dengan pandangan Gereja. Galileo memperkokoh pandangan Copernicus bahwa matahari adalah pusat jagat raya berdasarkan fakta empiris melalui observasi dan eksperimen. Sedangkan gereja memandang bahwa bumi adalah pusat jagat raya (Geosentrisme) didasarkan pada informasi Bibel.[12]
Pemberian hukuman kepada para ilmuan yang berani berbeda pandangan dengan kaum gereja menjadi pemicu lahirnya ilmu pengetahuan yang memisahkan diri dari doktrin agama. Kredibilitas gereja sebagai sumber informasi ilmiah merosot, sehingga semakin mempersubur tumbuhnya pendekatan saintifik dalam ilmu pengetahaun menuju ilmu pengetahuan sekuler.[13]
Sekularisasi ilmu pengetahuan secara ontologis membuang segala yang bersifat religius dan mistis, karena dianggap tidak relevan dengan ilmu. Alam dan realitas sosial di demitologisasi dan di sterilkan dari sesuatu yang bersifat ruh dan spirit dan di desakralisasi (di alam ini tidak ada yang sakral).
Sekularisasi ilmu pengetahuan dari segi metodologi menggunakan epistemologi rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme berpendapat bahwa rasio adalah alat pengetahuan yang obyektif karena dapat melihat realitas dengan konstan. Sedangkan empirisme memandang bahwa sumber pengetahuan yang absah adalah empiris (pengalaman).
Kemunculan ide: islamisasi ilmu tidak lepas dari ketimpangan-ketimpangan yang merupakan akibat langsung keterpisahan antara sains dan agama. Sekulerisme telah membuat sains sangat jauh dari kemungkinan untuk didekati melalui kajian agama.
Tokoh yang mengusulkan pertama kali upaya ini adalah filosof asal Palestina yang hijrah ke Amerika Serikat, Isma’il Raji Al-Faruqi. Upaya yang dilakukan adalah dengan mengembalikan ilmu pengetahuan pada pusatnya yaitu tauhid. Hal ini dimaksudkan agar ada koherensi antara ilmu pengetahuan dengan iman.
Upaya yang lainnya, yang merupakan antitesis dari usul yang pertama, adalah ilmuisasi Islam. Upaya ini diusung oleh Kuntowijoyo. Dia mengusulkan agar melakukan perumusan teori ilmu pengetahuan yang didasarkan kepada Alquran, menjadikan Alquran sebagai suatu paradigma. Upaya yang dilakukan adalah objektifikasi. Islam dijadikan sebagai suatu ilmu yang objektif, sehingga ajaran Islam yang terkandung dalam Alquran dapat dirasakan oleh seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin).
Moh. Natsir Mahmud mengemukakan beberapa proposisi (usulan) tentang kemungkinan islamisasi  ilmu pengetahuan, sebagai berikut:
1.    Ilmu pengetahuan adalah produk akal pikiran manusia sebagai hasil pemahaman atas fenomena di sekitarnya. Sebagai produk pikiran, maka corak ilmu yang dihasilkan akan diwarnai pula oleh corak pikiran yang digunakan dalam mengkaji fenomena yang diteliti.
2.    Dalam pandangan Islam, proses pencarian ilmu tidak hanya berputar-putar di sekitar rasio dan empirik, tetapi juga melibatkan al-qalb yakni intuisi batin yang suci.
 3.      Dalam pandangan Islam realitas itu tidak hanya realitas fisik tetapi juga ada realitas non-fisik atau metafisik.[14]

Integrasi yang dimaksud di sini adalah berkaitan dengan usaha memadukan keilmuan umum dengan Islam tanpa harus menghilangkan keunikan–keunikan antara dua keilmuan tersebut. Terdapat kritikan yang menarik berkaitan dengan integrasi antara ilmu agama dengan sains:
1.      Integrasi yang hanya cenderung mencocok-cocokkan ayat-ayat Alquran secara dangkal dengan temuan-temuan ilmiah. Disinilah pentingnya integrasi konstruktif dimana integrasi yang menghasilkan kontribusi baru yang tak diperoleh bila kedua ilmu tersebut terpisah. Atau bahkan integrasi diperlukan untuk menghindari dampak negatif yang mungkin muncul jika keduanya berjalan sendiri-sendiri. Tapi ada kelemahan dari integrasi, di mana adanya penaklukan, seperti teologi ditaklukkan oleh sains.[15]
2.      Berkaitan dengan pembagian keilmuan, yaitu qauniyah (Alam) dan qauliyah (Teologis). Kuntowijoyo mengatakan bahwa ilmu itu bukan hanya qauniyah dan qauliyah tetapi juga ilmu nafsiyah. Kalau ilmu qauniyah berkenaan dengan hukum alam, ilmu qauniyah berkenaan dengan hukum Tuhan dan ilmu nafsiyah berkenaan makna, nilai dan kesadaran. Ilmu nafsiyah inilah yang disebut sebagai humaniora (ilmu-ilmu kemanusiaan).[16]
 
Amin Abdullah memandang, integrasi keilmuan mengalami kesulitan, yaitu kesulitan memadukan studi Islam dan umum yang kadang tidak saling akur karena keduanya ingin saling mengalahkan. Oleh karena itu, diperlukan usaha interkoneksitas yang lebih arif dan bijaksana. Interkoneksitas yang dimaksud oleh Amin Abdullah adalah: “Usaha memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia. Sehingga setiap bangunan keilmuan apapun, baik keilmuan agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak dapat berdiri sendiri maka dibutuhkan kerjasama, saling tegur sapa, saling membutuhkan, saling koreksi dan saling keterhubungan antara disiplin keilmuan.[17]
Pendekatan integratif - interkonektif merupakan usaha untuk menjadikan sebuah keterhubungan antara keilmuan agama dan keilmuan umum. Muara dari pendekatan integratif - interkonektif menjadikan keilmuan mengalami proses obyektifikasi dimana keilmuan tersebut dirasakan oleh orang non Islam sebagai sesuatu yang natural (sewajarnya), tidak sebagai perbuatan keagamaan.  Sekalipun demikian, dari sisi yang mempunyai perbuatan, bisa tetap menganggapnya sebagai perbuatan keagamaan, termasuk amal, sehingga Islam dapat menjadi rahmat bagi semua orang.[18]
Contoh konkrit dari proses objektifikasi keilmuan Islam adalah Ekonomi Syariah yang prakteknya dan teori-teorinya berasal dari wahyu Tuhan. Islam menyediakan etika dalam perilaku ekonomi antara lain; bagi hasil (al-Mudarabah) dan kerja sama (al-Musyarakah). Di sini Islam mengalami objektifitas dimana etika agama menjadi ilmu yang bermanfaat bagi seluruh manusia, baik muslim maupun non muslim, bahkan arti agama sekalipun.

E.     Penutup
Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa dalam mengintegrasikan ilmu-ilmu keislaman ke dalam ilmu-ilmu umum sebaiknya mengacu kepada perspektif ontologis, epistemologis dan aksiologis.
Dari perspektif ontologis, bahwa ilmu itu pada hakekatnya, adalah merupakan pemahaman yang timbul dari hasil studi yang mendalam, sistematis, obyektif dan menyeluruh tentang ayat-ayat Allah SWT. baik berupa ayat-ayat qauliyyah yang terhimpun di dalam Alquran maupun ayat-ayat kauniyah yang terhampar dijagat alam raya ini. Karena keterbatasan kemampuan manusia untuk mengkaji ayat-ayat tersebut, maka hasil kajian/pemikiran manusia tersebut harus dipahami atau diterima sebagai pengetahuan yang relatif kebenarannya, dan pengetahuan yang memiliki kebenaran mutlak hanya dimiliki oleh Allah SWT.
Dari perspektif Epistemologi, adalah bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi diperoleh melalui usaha yang sungguh-sungguh dengan menggunakan instrumen penglihatan, pendengaran dan hati yang diciptakan Allah SWT. terhadap hukum-hukum alam dan sosial (sunnatullah). Karena itu tidak menafikan Tuhan sebagai sumber dari segala realitas termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dari perspektif aksiologi, bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi harus diarahkan kepada pemberian manfaat dan pemenuhan kebutuhan hidup umat manusia. Bukan sebaliknya, ilmu pengetahuan dan teknologi digunakan untuk menghancurkan kehidupan manusia. Perlu disadari bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi adalah bagian dari ayat-ayat Allah dan merupakan amanat bagi pemiliknya yang nantinya akan dimintai pertanggung jawaban di sisi-Nya.

F.     Daftar Pustaka
Arief, Armai. Reformasi Pendidikan Islam. Jakarta: CRSD Press. 2005
Said, Nurman. Sinergi Agama dan Sains.  Makassar: Alauddin Press. 2005
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, Madinah Almunawwarah: Mujamma’ al-Malik Fahd Li Thibaat al-Mushhaf al-Syarief, 1418 H
Syeikh Mahmud Abdul Wahab Fayid, Al-Tarbiyah Fie Kitab Allah, diterjemahkan Drs. Judi Al.Falasany, “Pendidikan Dalam Alquran” Semarang: CV.Wicaksana. 1989
Shihab, M. Quraish. Membumikan Alquran. Bandung: Penerbit Mizan. 1992
Abdullah, M. Amin. Islamic Stadies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi, Yogyakarta: Penerbit Suka Press. 2007
Bagir, Zainal Abidin. Integrasi Ilmu dan Agama, Interprestasi dan Aksi, Bandung: Mizan. 2005
Kuntowijoyo. Islam Sebagai Ilmu. Jakarta: Penerbit Teraju. 2005



[1] Armai Arief, Reformasi Pendidikan Islam, (Jakarta: CRSD Press, 2005), h.124
[2] Nurman Said, Sinergi Agama dan Sains,  (Cet I; Makassar: Alauddin Press, 2005), h. xxxvi
[3] Ibid h. xxxvii
[4] Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, (Madinah Almunawwarah: Mujamma’ al-Malik Fahd Li Thibaat al-Mushhaf al-Syarief, 1418 H), h. 1079.
[5] Syeikh Mahmud Abdul Wahab Fayid, Al-Tarbiyah Fie Kitab Allah, diterjemahkan Drs. Judi Al.Falasany, “Pendidikan Dalam Alquran” (Semarang: CV.Wicaksana, 1989), h. 23-24
[6] M.Quraish shihab, Membumikan Alquran, (Cet I, Bandung: Penerbit Mizan, 1992), h .41
[7] Ibid 42
[8] Nurman Said, Sinergi Agama dan Sains, (Makassar: Alauddin Press, 2005), h. 129
[9] M. Amin Abdullah, Islamic Stadies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi, (Cet I; Yogyakarta: Penerbit Suka Press, 2007), h. 33
[10] Ibid
[11] Ibid h. 119
[12] Nurman Said, Sinergi Agama dan Sains, (Makassar: Alauddin Press, 2005), h. 129
[13] Ibid, h.133
[14] Ibid, h.134
[15] Zainal Abidin Bagir, Integrasi Ilmu dan Agama, Interprestasi dan Aksi, (Bandung: Mizan, 2005) h, 50-51
[16] Ibid, h. 51
[17] M. Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2006), h. VII-VIII.
[18] Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, (Jakarta: Penerbit Teraju, 2005), h.62

Tidak ada komentar:

Posting Komentar