EVALUASI LEMBAGA
PENDIDIKAN ISLAM
oleh
Muhammad Syamsuddin
Mahasiswa Pascasarjana IAIN Pekalongan
2016
PENDAHULUAN
Madrasah sudah menjadi
fenomena yang menonjol sejak abad ke-5 Hijriyah dan dipopulerkan oleh Nidzam
Al-Mulk pada abad pertengahan bersamaan dengan reputasinya sebagai wazir dalam
kekuasaan sejuk, sedangkan lahirnya madrasah di Indonesia bersamaan dengan
masuknya Islam di Indonesia yang dibawa oleh para saudagar dari Arab dan
Gujarat.
Peranan lembaga
madrasah di Indonesia untuk mencerdaskan kehidupan anak bangsa memiliki andil
yang cukup besar pada awal kemerdekaan dan lebih-lebih pada era reformasi
ini. Madrasah sudah banyak
mengalami perkembangan, baik
yang menyangkut jumlah tingkat jenjang, jumlah lembaga, maupun
jumlah murid dari masing-masing jenjang pendidikan. Madrasah
tumbuh dari arus
bawah (masyarakat) yang
kebanyakan berawal diurus oleh
sekelompok tokoh masyarakat yang merespon terhadap pendidikan masyarakat.
Perlahan-lahan tapi pasti,
madrasah tahap demi tahap mengalami
perkembangan dan terangkat keberadaannya yang ditandai dengan
dikeluarkannya SKB tiga menteri pada tahun 1975
yaitu Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan. Dikeluarkannya SKB tiga
menteri tersebut mampu
mengangkat harkat dan
martabat madrasah dengan ditandai ada kucuran dana rehab untuk
lembaga-lembaga madrasah.[1]
Pada era sekarang,
pendekatan pendidikan madrasah berlangsung melalui proses operasional menuju
pada tujuan yang diinginkan, memerlukan strategi dan model yang konsisten yang
dapat mendukung nilai-nilai
moral spiritual dan
intelektual yang melandasinya,
sebagaimana landasan pertama yang telah dibangun Nabi Muhammad SAW.
Sikap diskriminatif
terhadap madrasah sebelum disahkannya UUSPN nomor 20 tahun 2003 lebih
disebabkan karena anggapan bahwa madrasah merupakan lembaga pendidikan agama
yang berjarak dengan sistem pendidikan nasional. Pandangan semacam ini berawal
dari sistem pendidikan yang dualistik antara pendidikan umum (nasional) yang
mengambil peran lebih dominan di satu pihak dan pendidikan agama (Islam) di
lain pihak.[2] Dualisme
tersebut pada awalnya merupakan produk
penjajahan Belanda, namun selanjutnya
dalam batas tertentu merupakan
refleksi dari pergumulan dua basis ideologi politik, nasionalisme Islami dan
nasionalisme sekular. Pada awal kemerdekaan, dua ideologi ini telah menjadi faktor benturan yang cukup serius
meskipun kenyataannya telah terjadi rekonsiliasi dalam formula negara
berdasarkan Pancasila. Tetapi implikasi dualisme itu tidak bisa dihapuskan pada
masa yang pendek. Hal ini dapat dilihat dalam perkembangan posisi madrasah
dalam sistem pendidikan nasional sebelum
disahkannya UUSPN nomor 20 tahun 2003.
Dengan disahkannya UU UUSPN nomor 20 tahun
2003 madrasah benar-benar terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional.
Oleh karenanya, madrasah mendapat legalitas, persamaan, dan kesetaraan sebagai
bagian sistem pendidikan nasional.[3]
Enam tahun pasca
disahkannya UUSPN nomor 20 tahun 2003 yang mengintegrasikan madrasah dalam
Standar Pendidikan Nasional, madrasah
tampaknya masih belum mampu memacu ketertinggalannya dalam pengelolaan sistem
pendidikan. Akibatnya, meskipun mendapatkan perlakuan, kesempatan, dan
perhatian pendanaan yang proporsional, madrasah masih dipandang sebagai sekolah
kelas dua setelah sekolah umum. Selain itu, masyarakat masih mempunyai
image bahwa madrasah
adalah sekolah yang
“kurang” bermutu, berkualitas dan
lulusannya kurang mampu berkompetisi dalam melanjutkan di
sekolah/perguruan tinggi berkelas
favorit. Realitas menunjukkan
bahwa sulit
untuk menjadikan madrasah menjadi
pilihan utama bagi
masyarakat, sedangkan anggota masyarakat yang sama sekali belum
mengenal madrasah pun masih banyak.
Dalam masyarakat yang
terus berubah dan berkembang, sistem pendidikan madrasah memiliki peranan yang
sangat mendasar dalam menanamkan berbagai nilai-nilai kehidupan dan
bermasyarakat. Sistem pendidikan harus bersifat fungsional terhadap
perkembangan masyarakat muslim Indonesia. Oleh karena itu, sistem pendidikan
madrasah harus fungsional terhadap perkembangan kehidupan masyarakat.
Pengembangan umat muslim dalam arti luas yaitu pengembangan peserta didik yang
didasari nilai-nilai Islam merupakan kriteria dasar dalam mewujudkan suatu sistem
pendidikan madrasah selaras dengan tujuan pendidikan Nasional.
POSISI DAN FUNGSI EVALUASI DI MADRASAH
Posisi evaluasi di
madrasah sangat penting karena posisi madrasah saat ini seringkali
diperlakukakn kurang adil, pada satu sisi madrasah dituntut mengahasilkan
lulusan yang sama dengan sekolah umum akan tetapi kurang memproleh dukungan
finansial yang memadai, lebih-lebih lagi bagi madrasah swasta yang pada umumnya
sebagai penyangga finansial kehidupan madrasah adalah wali murid.
Tidak kalah penting
juga dari segi angggaran, perolehan anggaran untuk operasional pendidikan
terdapat perbedaan antara lembaga-lembaga pendidikan dibawah naungan
kementerian agama dengan sekolah-sekolah di bawah kementerian pendidikan dan
kebudayaan. Sebagai akibat perbedaan dalam pengadaan sarana fisik serta
kegiatan pendidikan yang bersifat non fisik lainnya.
Masalah yang lain
muncul adalah kekurangan tenaga pengajar khususnya guru-guru yang sesuai dengan
bidang studi keahlian dan problem
–problem lain yang tidak sedikit. Seharusnya pemerintah bersikap adil,
demokratis dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan di
Indonesia tanpa harus mendiskriminasi antara lembaga pendidikan yang berada
dalam pengelolaan kementerian pendidikan dan kebudayaan sesuai dengan
prinsip-prinsip dasar kebijakan otonomi daerah, karena madrasah juga memiliki
kontribusi yang cukup besar dalam mencerdaskan anak bangsa.
Salah satu “
kekeliruan” kebijakan pendidikan yang berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung
terhadap rendahnya kinerja pendidikan (educational performance)
Indonesia adalah kurang memperhitungkannya madrasah dalam system pendidikan
nasional. kalau kita berbica mengenai peningkatan mutu pendidikan dan
masalah-masalah kependidikan lainnya seolah-olah semua ditentukan oleh sekolah.
CARA
MELAKUKAN EVALUASI DI MADRASAH
Ki Supriyoko melihat paling tidak dua cara yaitu
cara konvensional dan cara modern. Cara yang paling konvensioanal adalah
menyampaikan “ilmu umum” yang porsinya sama dengan yang diberikan disekolah,
kemudian ditambah dengan “ilmu Agama”. Cara ini bagus akan tetapi hanya efektif
dijalankan oleh madrasah dengan siswa diasrama alias di pondokkan. Madrasah
yang eksistensinya di tengah pesantren biasanya bisa menjalankan cara ini
secara produktif, namun pada madrasah nonpesantren yang siswanya tidak menginap
cara ini sangat berat dijalankan.[4]
Cara modern yang bisa dijalankan adalah membenahi
metode pembelajaran (learning method) meningkatkan mutu guru (teacher
quality), atau melengkapi sarana dan fasilitas belajar (facility).
Ketiga pembenahan ini bisa dilakukan secara sendiri-sendiri tetapi lebih produktif
dijalnkan secara terintegrasi. Lebih daripada itu bahkan di antara cara
konvensioanal dengan cara modern
tersebut pun bisa dipadukan secara produktif.[5]
Bagaimanpun juga, pembaharuan-pembaharuan yang kan
dilakukan dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan Islam (madrasah) harus tetap mempertimbngkan aspek
realitas structural dan kultural yang terjadi. Menurut A. Malik Fajar.
Kebijakan-kebijakan mengembangkan madrasah perlu mengakomodasikan tiga kepentingan,
yaitu Pertama, kebijakan itu harus memberi ruang tumbuh dan wajar bagi
aspirasi utama ummat islam. Kedua, kebijakan itu memperjelas dan
memperkukuh madrasah sebagai ajang membina warga Negara yang cerdas,
berpengatahuan, berkepribadian, serta produktif sederajat dengan sistem
sekolah. Ketiga, kebijakan itu
harus bisa menjadikan madrasah mampu merespon tuntutan-tuntutan masa depan.[6]
Oleh karena itu madrasah juga harus mulai berbenah
diri untuk memperbaiki manajemen melalui berbagai upaya alternatif untuk
mengatasi berbagai problematika baik secara internal maupun eksternal, sehingga
mampu meningkatkan kualitas dan daya saing di era globalisasi.
Atas dasar itulah maka untuk memajukan dan
meningkatkan penyelenggaraan pendidikan madrasah sangat bergantung pada
kemampuan dan kesadaran masyarakat setempat. Kalau tingkat ekonomi masyarakat
kurang mendukung, madrasah cenderung sulit berkembang dan terkesan asal jalan.
Sebaliknya, bila kemampuan ekonomi masyarakat yang mendukung madrasah sangat
kuat, maka kualitas madrasah dapat sejajar dengan sekolah-sekolah umum atau
sekolah-sekolah negeri lainnya.
Di sinilah diperlukan kepandaian penyelenggara
madrasah untuk menjalin kerja sama dengan tokoh-tokoh masyarakat di sekitarnya.
Bagaimana agar masyarakat dapat turut merasa memiliki, sehingga dengan sukarela
ikut berpartisipasi membesarkan madrasah. Untuk itu, madrasah hendaknya
dikelola secara baik dan profesional sehingga dapat bersaing dengan sekolah
lainnya. Sudah bukan masanya lagi penyelenggara madrasah bekerja hanya
berorientasi ibadah semata-mata tanpa memperhatikan profesionalisme dan
manajemen yang baik. Dewasa ini persaingan antarsekolah cukup ketat, sehingga
sekolah atau madrasah yang tidak dikelola dengan baik akan kehilangan
kepercayaan masyarakat.
PROBLEMATIKA
MADRASAH
Hari demi hari, problematika pendidikan madrasah
terus menapaki tahap demi tahap baru yang di dalamnya banyak hal, bukan saja
baru dan berbeda melainkan adakalanya justru bertentangan dengan apa yang telah terwujud di masa lalu.
Problematika madrasah yang paling
mendasar yaitu masalah manajemen pengelolaan madrasah, kepemimpinan madrasah,
sumber daya madrasah, pendanaan, dan mutu madrasah. Sebagai penjabarannya
antara lain:
1.
Manajemen
Pengelolaan Madrasah.
Manajemen
pendidikan merupakan suatu
sistem pengelolaan dan
penataan sumber daya pendidikan,
seperti tenaga kependidikan, peserta didik, kurikulum, dana, sarana dan
prasarana pendidikan, tata laksana, dan lingkungan. Dengan demikian, manajemen pendidikan
haruslah merupakan subsistem dari sistem manajemen pengembangan madrasah.
Karena manajemen pendidikan nasional sangat penting sebagai dasar kebutuhan
manusia dan sebagai dinamisator
pembangunan madrasah. Manajemen pendidikan dirumuskan sebagai
mobilitas segala sumber daya pendidikan untuk
mencapai tujuan pendidikan
yang telah ditetapkan.
Upaya pengembangan pendidikan sebetulnya upaya
komprehensif yang tidak bisa dipilah-pilah antara satu bagian dengan bagian
lainnya. Salah satu terkadang terabaikan dalam pendidikan madrasah adalah
masalah manajerial secara makro. Sebagai contohnya, sebagian besar madrasah
yang ada, masih dikelola dengan manajemen “apa-adanya” (tradisional), sehingga
kurang diterapkannya secara baik dan sistematis fungsi-fungsi manajemen,
seperti perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan evaluasinya. Agar
proses suatu organisasi berjalan mantap
maka perlu adanya suatu manajemen yang
baik dan terarah.[7]
Manajemen sangat penting dalam suatu organisasi karena
manajemen melibatkan semua faktor yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan
tertentu dari organisasi. Madrasah
merupakan organisasi formal dalam pendidikan yang harus diperhatikan bersama,
baik dari segi tatakelola maupun
kegiatan di dalamnya. Oleh sebab
itu, setiap lembaga pendidikan yang berstatus negeri
maupun swasta membutuhkan manajemen yang efektif dan efisien. Dengan
adanya manajemen yang
bagus diharapkan dapat
member kontribusi terhadap
peningkatan kualitas pendidikan.
Manajemen
madrasah harus ditangani
secara profesional demi
mutu pendidikan madrasah, sebab
manajemen merupakan penerjemahan dari sistem pendidikan pada tahap operasional,
jika ini ditangani secara acak-acakan maka mutu pendidikan tidak akan pernah
terdongkrak menjadi unggul. Pendidikan unggul diperlukan seorang kepala sekolah
atau manajer yang mau mencoba terobosan baru bagi perkembangan madrasah.
Mengingat pentingnya peran manajer dalam pengembangan madrasah, maka secara
struktural, semua lapisan manajer harus
bergerak dan bersinergi sesuai kewenangan masing-masing. Kekompakan kerja
para manajer tersebut
merupakan modal besar
untuk memajukan madrasah.[8]
- Kepemimpinan Madrasah.
Kepemimpinan adalah melibatkan dua orang atau lebih
dan melibatkan proses mempengaruhi, dimana pengaruh yang sengaja digunakan oleh
pemimpin terhadap bawahan. Istilah kepemimpinan merupakan sifat, prilaku
pribadi, pengaruh terhadap orang lain, pola- pola interaksi, hubungan kerjasama
antar peran, kedudukan dari satu jabatan administratif, dan persepsi dari
lain-lain tentang legitimasi pengaruh.
Dalam sebuah struktur organisasi lembaga pendidikan diperlukan seorang
pemimpin yang mahir dalam menggerakkan organisasi.[9]
Pemimpin memiliki political power (kekuasaan politis), suatu kekuasaan
yang tidak dimiliki oleh para guru. Melalui kekuasaan itu, mereka memiliki
kewenangan untuk mengadakan pembaharuan. Apalagi jika kewenangan itu di dukung dengan political will
(kehendak politik) atau good will (kehendak baik) dari para pimpinan.
Dengan demikian, diperlukan upaya-upaya perbaikan dan pengembangan manajemen dengan harapan
dapat meningkatkan kualitas madrasah menjadi unggul.
Realitas di tengah-tengah masyarakat ditemukan
problem-problem tentang kepemimpinan
madrasah yaitu pemimpin atau
kepala madrasah sebagian besar berpendidikan baru atau kurang dari
sarjana S1 dan kurang memenuhi kualifikasi dan kompetensi sebagai kepala
sekolah.[10] Di
samping masih rendahnya kualifikasi pendidikan dan kompetensi kepala madrasah
tersebut, juga dari segi gaya kepemimpinan karismatik banyak dipraktikkan dalam
pengelolaan madrasah sehingga
menghambat dalam usaha pengembangan, inovasi, dan transformasi
madrasah.
Gaya kepemimpinan seseorang dalam memimpin memberi
pengaruh terhadap lembaga yang dipimpinnya, baik pengaruh positif maupun
pengaruh negatif. Begitu juga sukses tidaknya suatu kepemimpinan tidak hanya
dipengaruhi oleh kemampuan atau sifat-sifat yang dimiliki oleh seseorang,
tetapi justru yang lebih penting dipengaruhi oleh sifat-sifat dan ciri- ciri
kelompok yang dipimpinnya. Sedangkan untuk pengaruh positif dari kepemimpinan
kharismatik kekuatan energi, daya tarik dan wibawa yang kuat atau luar biasa
untuk menarik serta mempengaruhi orang
lain. Sehingga ia
mempunyai pengikut yang
sangat besar jumlahnya serta
sangat loyal kepadanya. Untuk pengaruh negatif dari kepemimpinan
kharismatik lebih pada
pengambilan kebijakan yang
tidak sesuai konsep
kepemimpinan dalam mengembangkan lembaga.
Kualitas kepemimpinan kepala madrasah merupakan
pra-syarat berjalannya roda keorganisasian madrasah. Kepala madrasah yang tidak
mempunyai kemampuan manajerial yang memadai akan sulit menggerakkan, kalau
tidak dikatakan gagal dalam menggerakkan roda keorganisasian madrasahnya. Untuk
itu, di samping melalui asah pengalaman empirik, meningkatkan mutu
kepemimpinannya, kepala madrasah juga perlu meningkatkan pengetahuan tentang
konsep kepemimpinan secara detail. Kepala sekolah merupakan seorang manajer di
madrasah. Ia harus bertanggung jawab terhadap perencanaan, pelaksanaan, dan
penilaian, perubahan atau perbaikan program pembelajaran di madrasah. Untuk
kepentingan tersebut sedikitnya ada empat langkah yang harus dilakukan, yaitu:
a) Menilai
kesesuaian program yang ada dengan tuntutan kebudayaan dan kebutuhan murid.
b) Meningkatkan
perencanaan program.
c) Memilih
dan melaksanakan program.
d) Menilai
perubahan program.[11]
Dari poin-poin di atas tentang langkah-langkah yang menjadi pedoman bagi
kepala sekolah, maka dapat diartikan bahwa
kepemimpinan yang efektif dapat ditunjukkan dengan kemampuan seseorang
dalam membaca situasi dan kondisi yang berkaitan dengan iklim kerja dalam
sebuah organisasi yang ditunjukkan, misalnya dengan tinggi-rendahnya angka
ketidakhadiran bawahan dalam bekerja, rendahnya kedisiplinan, tinggi-rendahnya
produktivitas kerja sumber daya madrasah
dan banyak-sedikitnya keluhan di madrasah, baik yang disampaikan secara
terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Seorang pemimpin harus mampu
memberikan dorongan kepada anggota kelompoknya untuk bekerja dengan penuh rasa
tanggung jawab serta dapat bekerjasama untuk mencapai tujuan madrasah yang
telah ditetapkan.[12]
Pimpinan madrasah wajib memiliki visi, tanggung
jawab, wawasan, dan ketrampilan manajerial yang tangguh. Ia hendaknya dapat
memainkan peran sebagai lokomotif perubahan menuju terciptanya madrasah yang
berkualitas, maka kepala madrasah seharusnya menyandang dua macam profesi,
yaitu profesi keguruan dan profesi administratif (sebagai administrator). Oleh
sebab itu, pimpinan
madrasah dituntut untuk
melakukan langkah- langkah ke
arah perwujudan visi madrasah yaitu agamis, populis, berkualitas, dan beragam.
Langkah-langkah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a) Membangun kepemimpinan
madrasah yang kuat
dengan meningkatkan koordinasi,menggerakkan semua komponen
madrasah, menyinergikan semua potensi,
merangsang perumusan tahapan-tahapan perwujudan visi dan misi madrasah
serta mengambil prakarsa yang berani dalam pembaharuan.
b) Menjalankan manajemen
madrasah yang terbuka
dalam pengambilan keputusan
dan penggunaan keuangan madrasah.
c) Mengembangkan
tim kerja yang solid, cerdas, dan dinamis.
d) Mengupayakan
kemandirian madrasah untuk melakukan langkah terbaik bagi madrasah.
e) Menciptakan proses
pembelajaran yang efektif
dengan ciri-ciri: proses
itu memberdayakan siswa untuk aktif dan partisipatif, target
pembelajaran sampai dengan pemahaman yang ekspresif, mengutamakan proses
internalisasi ajaran agama dengan kesadaran sendiri, dan menciptakan semangat
yang tinggi dalam menjalankan tugas. Seorang kepala sekolah di tuntut untuk
mampu membangun, mengembangkan dan menciptakan roda kepemimpinannya
dalam pencapaian pembelajaran yang efektif di madrasah.[13]
3. Sumber
Daya Madrasah.
Seiring dengan model pengelolaan sistem pendidikan
nasional lengkap dengan paradigmanya dalam memandang ilmu dan mengembangkan
kecerdasan dan model pendekatan serta metodologi pembelajaran, maka pola
pemberdayaan sumber daya manusia dalam kerja kependidikan sama dengan pola yang
digunakan dalam mengembangkan dan memberdayakan
sumber daya manusia
dibidang-bidang pembangunan
lainnya, yaitu dilaksanakannya di
bawah otoritas kekuasaan dan kekuatan administrasi
birokrasi. Guru merupakan salah satu sumber daya manusia dalam lembaga
pendidikan yang memiliki peran utama dalam upayanya mempersiapkan sumber daya
manusia yang berkualitas, maka guru harus terus mengembangkan diri, karena mau
tidak mau pengembangan guru harus dilaksanakan, agar yang mereka jalani dapat
membantu mencapai tujuan madrasah. Di samping itu, sebagai salah satu fungsi dari manajemen tenaga kependidikan,
pembinaan, pengembangan guru sebagai tenaga pendidik di sekolah perlu
diperhatikan dengan lebih teliti karena perlu dilakukan dengan baik dan benar
agar apa yang diharapkan tercapai, yakni tersedianya tenaga pendidik yang
diperlukan dengan kualifikasi dan kemampuan yang sesuai serta dapat
melaksanakan pekerjaan dengan baik dan berkualitas.
Guru merupakan subjek pengetahuan sekaligus berhadapan secara langsung dengan
subjek pengetahuan yang lain yakni murid. Guru tidak lagi hanya sekedar
mengingat-ngingat apa yang telah dibacanya, namun orang yang akan selalu
membenahi pengetahuan dan akan terus bertambah ketika berdialog dengan
siswanya. Peranan guru semakin penting dalam era informasi ini, hanya melalui
bimbingan guru yang profesional, setiap siswa dapat menjadi sumber daya manusia
yang berkualitas, kompetitif dan produktif sebagai aset dalam menghadapi
persaingan yang makin ketat dan berat sekarang dan dimasa datang.
Menurut Mastuhu, dewasa ini permasalahan guru di
tanah air dirasakan bahwa baik secara kuantitatif maupun kualitatif, kurang memadai, juga dirasakan adanya
kekurangan dalam keragaman dan kompetensi ilmu mengajar. Banyak guru “yang
salah kamar”, yaitu tidak sesuai antara
ilmu yang dipelajari
dengan mata pelajaran
yang diajarkan. Banyak tenaga atau pegawai kantor-kantor,
pegawai-pegawai perusahaan dan instansi nonpendidikan yang terpaksa direkrut
menjadi guru.[14]
Rendahnya kualitas atau kualifikasi tenaga pendidik juga menjadi problem
tersendiri bagi peningkatan kualitas dan kepercayaan madrasah. Lembaga-lembaga
pendidikan guru kita sangat lemah dilihat dari berbagai sisi, baik dari segi
persiapan ilmu yang dituntut di dalam abad informasi dan masyarakat belajar
abad 21, juga dari persiapan professional para pendidik kita yang sangat minim.
Desentralisasi
dan demokratisasi proses
pendidikan memerlukan tenaga-tenaga yang
trampil dan profesional. Pada masa orde baru kita lihat matinya berpikir kritis
dan inisiatif. Yang ditumbuhkan ialah
berpikir uniform untuk
mencapai suatu standar
nasional yang abstrak. Demikian
pula para pengasuh
pendidikan nasional tidak
mengembangkan kemampuan kualitas di dalam manajemennya serta proses
pendidikan tidak diarahkan kepada mengembangkan
berpikir kritis dan inovatif.
Dengan demikian pendidikan
semacam itu tidak mempunyai
relevansi dan akuntabilitas. Kurikulum semakin menjauhkan peserta didik dari
keterlibatannya dengan kehidupan yang nyata.
Menurut H.A.R Tilaar, kunci utama di dalam
peningkatan kualitas pendidikan ialah mutu para gurunya. Dalam kaitan ini bukan
hanya diperlukan suatu reformasi
mendasar dari pendidikan guru kita
tetapi juga sejalan dengan penghargaan
yang wajar terhadap
profesi guru sebagaimana di Negara-negara industri maju
lainnya.[15] Hanya
dengan peningkatan mutu serta penghargaan yang layak terhadap profesi guru dapat
dibangun suatu sistem pendidikan yang menunjang lahirnya masyarakat demokrasi,
masyarakat yang berdisiplin, masyarakat yang bersatu penuh toleransi dan
pengertian, serta yang dapat bekerja sama. Dengan demikian, mendidik generasi
masa depan membutuhkan guru yang mampu memberikan ilmu pengetahuan dengan baik sesuai dengan
kompetensi. Untuk menumbuhkan kompetensi
tersebut harus terus
dilatih dan diasah
kemampuan seorang guru agar metode dan strategi pengajaran yang dimiliki
mampu membimbing peserta didik dengan penuh kreatif dan inovatif.
Selama ini profesi guru masih membius orang untuk
menempatkan posisinya dalam strata sosial yang cukup bergengsi dan figur yang
dianggap memiliki idealisme, dan masih cocok untuk diteladani. Predikat yang
bergengsi tersebut pantas jika disematkan pada guru yang benar-benar berprofesi
guru atau guru yang berjiwa guru yaitu guru yang penuh pengabdian dan
menunaikan tugasnya dengan penuh pengorbanan tenaga dan waktu untuk mendidik,
mengajar, dan membimbing anak didik. Masyarakat terdidik hanya dapat terwujud
melalui proses pendidikan yang demokratis, berkeadilan, dialogis, dan adanya
unsur keteladanan. Proses transfer ilmu dan nilai-nilai kebajikan akan dapat
diterima dengan baik dan benar oleh sang
penerima (anak didik) ketika
posisi guru sebagai pendidik
mampu memberi teladan bagi peserta didiknya sehingga penerapan ilmu yang
didapat menjadi bermakna dan bermanfaat. Segala upaya mengarungi samudra ilmu
tanpa terbatas oleh ruang dan waktu, menjadikan pendidikan seumur hidup sebagai
prinsip atau spirit bagi kaum pembelajar.[16]
Pendidikan adalah masalah bagi setiap orang. Setiap
kali selalu saja muncul berbagai keluhan tentang pendidikan, baik kurikulum,
sistem, tenaga pendidik, dan lain sebagainya. Setiap orang selalu menuntut dan
menginginkannya lebih, tidak mengherankan karena pendidikan harus selalu
berubah seiring dengan perubahan zaman dan perkembangan teknologi. Dasar
pendidikan adalah cita-cita
kemanusiaan universal yang
harus diperbaharui sesuai perubahan
zaman sebagai upaya
mengembangkan potensi-potensi manusiawi, baik
potensi fisik dan
potensi cipta, rasa,
dan karsa, agar
potensi tersebut menjadi
nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidup. Terwujudnya
impian sumber daya manusia yang berkualitas dan professional akan mampu
terwujud manakala manajemen secara makro dan mikro dalam lembaga dapat
terlaksana dengan efektif dan efisien serta pelaksanaan terorganisir dengan
baik. Berhasilnya suatu
satuan pendidikan dalam menunaikan fungsinya perlu ditunjang
dengan penyediaan sumberdaya pendidikan yang meliputi: gedung dan
perlengkapannya, sumber belajar seperti buku-buku dan alat-alat bantu mengajar
dan dana yang memadai.
4. Pendanaan.
Dana
merupakan salah satu
syarat yang ikut
menentukan keberhasilan
penyelenggaraan pendidikan bermutu.
Selama ini, dikeluhkan
bahwa mutu pendidikan rendah karena dana yang tidak
cukup.23 Dalam system pendidikan nasional biaya pendidikan di atur oleh
undang-undang No. 10 Pasal 1 2003 yaitu
Standar pembiayaan adalah standar yang mengatur komponen dan besarnya biaya
operasi satuan pendidikan yang berlaku selama satu tahun.[17]
Penyelenggaraan pendidikan bermutu memang membutuhkan dana, tanpa adanya
dana tidak dapat
diselenggarakan pendidikan yang
bermutu. Namun, dana
bukan satu- satunya unsur
yang menentukan keberhasilan
usaha penyelenggaran pendidikan
mutu keahlian dan moral pelaksanaannya.
Pembiayaan pendidikan dipahami secara makro,
berorientasi pada peran pendidikan dalam
pembangunan ekonomi, sebagai investasi (konsep human capital) terkait
fakta bahwa pada dasarnya manusia akan menanamkan investasi dalam dirinya
melalui pendidikan, pelatihan dan
aktivitas lain yang akan
meningkatkan pendapatan mereka di masa depan melalui peningkatan life
time learnings. Sedang secara mikro berorientasi kepada kemampuan Institusi
sekolah/madrasah untuk dapat mencari atau memperoleh dan mengalokasikan pembiayaan
pendidikan secara efisien,
efektif dan produktif.
Hal ini didukung oleh kemampuan
institusi sekolah/madrasah melaksanakan
tugas dan tanggung jawabnya, yang sangat tergantung dari otonomi dan profesionalisasi
institusi tersebut.
Isu yang menarik dan selalu diperbincangkan
terkait penyelenggaraan pendidikan di sekolah atau
madrasah adalah pembiayaan
pendidikan. Terlebih lagi
bagi institusi pendidikan
swasta, terkait dengan kebijakan pemerintah berupa pendidikan gratis dalam rangka wajib belajar 9 tahun yang
bermutu. Dinamika yang ada menggambarkan sekolah swasta mengalami
kesulitan serius menyikapi
kebijakan pemerintah itu,
apalagi yang memiliki
keterbatasan daya saing.[18]
Biaya pendidikan adalah total biaya yang dikeluarkan
baik oleh individu peserta didik, keluarga yang menyekolahkan anak, warga
masyarakat perorangan, kelompok masyarakat maupun yang dikeluarkan oleh
pemerintah untuk kelancaran pendidikan. Biaya pendidikan adalah beban
masyarakat dalam perluasan dan
fungsi dari sistem
pendidikan. Produsen, penjual dan
konsumen pendidikan (input, proses dan output/outcome) akan bekerjasama menyatukan diri ke dalam
satu transaksi ekonomi di bidang pendidikan.
Analisis sumber biaya dan penggunaan dana secara efisien amat penting.
Efisien berarti banyak program
terlaksana dengan menggunakan sedikit dana.
Pendanaan madrasah sebagian besar mengandalkan pada
masyarakat melalui orang
tua murid, yayasan
atau wakaf sehingga kebutuhan pengelolaan
pendidikan secara maksimal
tidak tercukupi. Sedangkan
bantuan yang diberikan pemerintah tidak mencukupi, bahkan sebagian besar
madrasah tidak mendapatkan bantuan pendanaan dari pemerintah.
Perhitungan dana pendidikan harus selalu
berorientasi pada mutu pendidikan dan perhitungannya harus bertolak dari
kebutuhan belajar per-murid yang aktif belajar, bukan menurut jumlah murid terdaftar secara resmi, dan bukan pula menurut jumlah sekolah. Pasal 2 ayat (1) PP Nomor 48
Tahun 2008 menyatakan: Pendanaaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama
antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Masyarakat di sini
terdiri dari satuan pendidikan, orang tua siswa, alumni juga para
donatur. Semua menjadi komponen input
pendanaan pendidikan. Input pendidikan terdiri dari input sekolah (gedung, peralatan)
dan input manusia
(guru, pegawai, administrator
sekolah, kesekretariatan, TU, penyuluh/pembimbing dan petugas pendidikan
lainnya). Sedang proses pengacu pada situasi belajar-mengajar dan faktor
pendukung, baik manajemen maupun jaminan keberlangsungannya. Adapun output ada
dua, konsumtif (manfaat pada siswa, keluarga, masyarakat) dan investatif
(skill, moral, human capital di masa datang).
Beberapa
permasalahan pengelolaan keuangan Madrasah:
a) BOS
sering datang terlambat, sementara regulasi
yang ada tidak
solutif terhadap masalah
ini,
b) biaya
personalia guru honorer hanya mengandalkan 30% BOS, belum ada sumber lain,
c) guru
sertifikasi belum ada yang menerima uang sertifikasi, sehingga hanya
mengandalkan BOS sementara regulasi yang
ada juga tidak
solutif,
d) Beasiswa yang
ada (BSM) tidak digunakan untuk menunjang kegiatan belajar siswa di madrasah,
e) kolega
Madrasah seperti KKM dan Gugus belum efektif, manfaat keberadaan dan
aktifitasnya belum optimal. Menurut Mastuhu, biaya rutin yang dibayarkan ke
lembaga ini tidak efektif. Pengelolaan dana pendidikan dapat menjalin kerjasama
dengan berbagai pihak untuk
mengakses sumber-sumber dana
pendidikan, kerjasama secara komersial atau perdagangan dengan
orientasi mencari untung, namun semua dana yang diperoleh adalah
untuk meningkatkan mutu
pendidikan. Oleh karena
itu, dalam membelanjakan dana
yang diperoleh adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan.[19]
5. Mutu
Madrasah.
Sejak Negara ini berdiri, telah banyak upaya yang
dilakukan untuk mencapai mutu pendidikan yang terbaik, kendati belum sebaik dan
sebanyak yang diinginkan. Setidak- tidaknya bangsa Indonesia telah mempunyai
pengalaman yang hikmahnya dapat dipetik dan menjadi salah
satu kekuatan motivasional untuk
melanjutkan usaha pengembangan pendidikan yang bermutu.
Mencermati tentang Pasal 4 bab II tahun 2003 Standar
Nasional Pendidikan bertujuan menjamin
mutu pendidikan nasional
dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang
bermartabat. Undang-undang ini
belum menyentuh seluruh lapisan masyarakat, menurut Maftuh Basyuni
(2009), realitanya kondisi Pendidikan Islam di Indonesia saat ini belum
kondusif.[20] Hal ini
karena sebagian umat Islam di Indonesia belum siap untuk menghadapi dan
melakukan transformasi sosial-budaya secara kreatif. Hal ini dikuatkan oleh
hasil jajak pendapat kompas (2012), pendidikan Islam belum berhasil
mengembangkan Islam sebagai agama yang bermanfaat bagi masyarakat. Proses pendidikan di lembaga pendidikan Islam
juga belum berhasil mengembangkan keterbukaan berpikir untuk
memajukan Islam. Sedangkan,
dalam penilaian Komnas
Pendidikan, pendidikan di negara kita belum sepenuhnya menjadi sebuah
kekuatan bangsa ini. Padahal dengan taraf keberagamannya yang begitu tinggi,
tidak ada di Negara lain di dunia kecuali Indonesia yang sesungguhnya memiliki
semua syarat untuk tidak pernah bersatu. Keberagaman ini memungkinkan kita terpecah-belah. Namun, ternyata bangsa ini justru mampu bersatu.
Kita berharap, melalui
pendidikan berbangsa dapat
kita tumbuhkan semangat
persatuan yang kokoh menjiwai segala keberagaman sebagai potensi persatuan dan
kesatuan bangsa. Pendidikan seyogyanya
memahami keberagaman bukan sebagai sumber masalah, melainkan sebagai sumber
kekuatan.
Pada dekade pertama dari millennium ketiga ini,
berbagai ikhtiar perbaikan telah kita lakukan untuk memecahkan permasalahan
utama, yaitu bahwa pendidikan kita sedang menghadapi problematic paradox di alam globalisasi. Di satu sisi
kita harus membangun mutu pendidikan sesuai dengan rujuk mutu (benchmarking) kompetensi global agar kita tidak tersisihkan di dalam
persaingan antar bangsa. Di sisi yang lain pendidikan kita juga harus menimbang
mutu pendidikan dalam keragaman dan
kearifan local agar siswa kita hidup menapak dibumi sendiri.[21]
Problem ini sesungguhnya merupakan akumulasi dari berbagai problem
yang dihadapi madrasah
(manajemen, kepemimpinan, SDM,
dan pembiayaan) yang pada akhirnya bermuara pada mutu pendidikan
madrasah. Indikator mutu pendidikan adalah tercapainya delapan standar menurut
standar nasional pendidikan, yaitu: standar kompetensi lulusan, standar isi,
standar pendidika dan tenaga kepstandar
proses, standar sarana dan
prasarana, standar pembiayaan,
standar pengelolaan, dan
standar penilaian pendidikan. Kedelapan standar tersebut tampaknya harus
terus diupayakan untuk mencapai pendidikan madrasah yang bermutu.
Madrasah harus dinamis dan kreatif dalam melaksanakan perannya untuk mengupayakan
peningkatan mutu. Menurut Dr. John Whan,
bahwa demi mencapai keberhasilan
penerapan mutu di
lembaga pendidikan maka
harus mendorong para
staf lembaga untuk menemukan cara baru dalam meningkatkan efisiensi, produktivitas,
dan mutu layanan.[22] Sesuatu yang bermutu terutama pada tataran
pendidikan menjadi dambaan bagi setiap kalangan. Banyak orang
berbondong-bondong dengan berbagai alasan berusaha untuk mendapatkan hal yang
berbentuk mutu, terutama dalam hal pendidikan, mereka tidak peduli harga yang
harus dibayarkan. Dengan demikian banyak lembaga pendidikan memanfaatkan peluang
ini untuk menawarkan kualitas program pendidikannya.
PENUTUP
Madrasah merupakan
salah satu wadah
pendidikan formal yang
berbentuk persekolahan, pada dasarnya hanya merupakan salah satu proses pendidikan yang terjadi dalam suatu
masyarakat, perhatian yang luar biasa terhadapnya telah menimbulkan proses-
proses dalam jalur lain yang kurang mendapat perhatian secara sepadan. Namun
demikian ini, bukan suatu hal yang perlu
dijadikan tertuduh bagi
ketertinggalan mutu pendidikan,
melainkan harus menjadi penggerak bagi upaya-upaya untuk terus membangun,
memperkuat, dan meningkatkan mutu madrasah. Mutu pendidikan identik dengan
pengelolaan lembaga pendidikan yang baik. Manajemen madrasah yang baik secara
langsung akan mempengaruhi dan menentukan efektif tidaknya kebijakan, tujuan,
dan sasaran mutu madrasah. Pendidikan madrasah harus diupayakan agar dikelola
secara baik dan teratur penuh dengan komitmen, dengan demikian sudah barang
tentu akan menghasilkan hasil yang memuaskan. Sebaliknya pendidikan yang tidak
dikelola secara baik sudah barang tentu
akan menghasilkan barang yang tidak menentu pula.
Agar proses suatu
organisasi lembaga madrasah berjalan dengan baik sesuai tujuan, maka perlu
adanya suatu manajemen yang baik dan
terarah. Manajemen sangat penting dalam suatu lembaga pendidikan
madrasah karena manajemen melibatkan semua faktor yang dibutuhkan untuk
mencapai tujuan tertentu dari organisasi. Madrasah merupakan organisasi formal
dalam pendidikan yang harus diperhatikan bersama, baik dari segi tatakelola
maupun kegiatan didalamnya. Oleh karena
itu, setiap lembaga
pendidikan yang berstatus
negeri maupun swasta membutuhkan
manajemen yang efektif
dan efisien. Dengan adanya manajemen yang bagus diharapkan
dapat member kontribusi terhadap peningkatan kualitas madrasah.
DAFTAR PUSTAKA
Darmaningtias. Membongkar Ideologi Pendidikan,
Jelajah Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. Yogyakarta: Resolusi
Press. 2004
Fajar, H.A
Malik. Visi Pembaharuan Pendidikan Islam. Jakarta: LP3NI. 1998
H.A.R. Tilaar. Paradigma baru Pendidikan Nasional.
Jakarta: Rineka Cipta. 2000
Hamalik, Oemar. Manajemen Pengembangan Kurikulum. Bandung:
Kerja Sama UPI dan Rosdakarya. 2006
Hidayat, Ara & Imam Machali. Pengelolaan
Pendidikan. Bandung: Pustaka Educa. 2010
Mastuhu. Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan
nasional Dalam Abad 21. Yogyakarta: Safiria Insania Press. 2003
Mulyono. Konsep Pembiayaan Pendidikan,
Cetakan ke-2. Yogyakarta: ar-Ruzz Media. 2010
Qomar, Mujamil. Manajemen Pendidikan Islam
Strategi Baru Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam. Jakarta: Erlangga. 2007
Sagala, Syaiful. Administrasi Pendidikan
Kontemporer, Cetakan ke-5. Bandung: Alfabeta. 2009
Suhardan, Dadang. Ekonomi dan Pembiayaan
Pendidikan. Bandung: Alfabeta. 2012
Wahjosumindjo. Kepemimpian Kepala Sekolah
Tinjauan Teoritis dan Permasalahannya. Jakarta: Rajawali Press. 2002
[1] Darmaningtias dkk, Membongkar
Ideologi Pendidikan, Jelajah Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional,
(Yogyakarta: Resolusi Press, 2004), h. 17 - 18
[3] Ibid
[4] H.A Malik Fajar, Visi
Pembaharuan Pendidikan Islam, (Jakarta: LP3NI, 1998). h. 34
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Syaiful Sagala, Administrasi
Pendidikan Kontemporer, Cetakan
ke-5, (Bandung: Alfabeta,
2009), h. 11 - 12
[8] Wahjosumindjo, Kepemimpian
Kepala Sekolah Tinjauan Teoritis dan Permasalahannya, (Jakarta: Rajawali
Press, 2002), h. 17
[9] Mujamil Qomar,
Manajemen Pendidikan Islam Strategi Baru Pengelolaan Lembaga
Pendidikan Islam, (Jakarta: Erlangga, 2007), h. 81
[10] Wahjosumindjo, Kepemimpian Kepala Sekolah Tinjauan
Teoritis dan Permasalahannya,
(Jakarta:
Rajawali Press, 2002), h. 22
[11] Oemar Hamalik, Manajemen
Pengembangan Kurikulum, (Bandung: Kerja Sama UPI dan Rosdakarya, 2006), h.
59
[12] Ibid
[13] Mastuhu, Menata Ulang
Pemikiran Sistem Pendidikan nasional Dalam Abad 21, (Yogyakarta: Safiria
Insania Press, 2003), h. 46
[15] H.A.R. Tilaar, Paradigma baru
Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), h. 24.
[16] Syaiful Sagala, administrasi
Pendidikan Kontemporer, Cetakan ke-5, (Bandung: Alfabeta, 2009), h. 135-136
[17] Mulyono, Konsep Pembiayaan
Pendidikan, Cetakan ke-2, (Yogyakarta: ar-Ruzz Media, 2010), h. 75
[18] Dadang Suhardan, Ekonomi dan
Pembiayaan Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2012), h. 22
[19] Syaiful Sagala, Administrasi Pendidikan
Kontemporer, Cetakan ke-5, (Bandung: Alfabeta, 2009), h. 136
[20] Qomar, Mujamil.
Manajemen Pendidikan
Islam Strategi Baru
Pengelolaan Lembaga
Pendidikan Islam, (Jakarta: Erlangga, 2007), h.
66
[21] Ibid
[22] Syaiful Sagala, Administrasi
Pendidikan Kontemporer, Cetakan
ke-5, (Bandung: Alfabeta, 2009), h. 29 - 30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar