Kamis, 22 September 2016

EVALUASI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM



EVALUASI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

oleh 
Muhammad Syamsuddin
Mahasiswa Pascasarjana IAIN Pekalongan
2016

PENDAHULUAN
Madrasah sudah menjadi fenomena yang menonjol sejak abad ke-5 Hijriyah dan dipopulerkan oleh Nidzam Al-Mulk pada abad pertengahan bersamaan dengan reputasinya sebagai wazir dalam kekuasaan sejuk, sedangkan lahirnya madrasah di Indonesia bersamaan dengan masuknya Islam di Indonesia yang dibawa oleh para saudagar dari Arab dan Gujarat.
Peranan lembaga madrasah di Indonesia untuk mencerdaskan kehidupan anak bangsa memiliki andil yang cukup besar pada awal kemerdekaan dan lebih-lebih pada era reformasi ini.  Madrasah sudah  banyak  mengalami  perkembangan,  baik  yang  menyangkut  jumlah tingkat jenjang, jumlah lembaga, maupun jumlah murid dari masing-masing jenjang pendidikan.  Madrasah  tumbuh  dari  arus  bawah  (masyarakat)  yang  kebanyakan  berawal diurus oleh sekelompok tokoh masyarakat yang merespon terhadap pendidikan masyarakat. Perlahan-lahan  tapi  pasti,  madrasah  tahap  demi  tahap  mengalami  perkembangan dan terangkat keberadaannya yang ditandai dengan dikeluarkannya SKB tiga menteri pada tahun 1975  yaitu Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Dikeluarkannya  SKB  tiga  menteri  tersebut   mampu  mengangkat  harkat  dan  martabat madrasah dengan ditandai ada kucuran dana rehab untuk lembaga-lembaga madrasah.[1]
Pada era sekarang, pendekatan pendidikan madrasah berlangsung melalui proses operasional menuju pada tujuan yang diinginkan, memerlukan strategi dan model yang konsisten   yang   dapat   mendukung   nilai-nilai   moral   spiritual   dan   intelektual   yang melandasinya, sebagaimana landasan pertama yang telah dibangun Nabi Muhammad SAW.
Sikap diskriminatif terhadap madrasah sebelum disahkannya UUSPN nomor 20 tahun 2003 lebih disebabkan karena anggapan bahwa madrasah merupakan lembaga pendidikan agama yang berjarak dengan sistem pendidikan nasional. Pandangan semacam ini berawal dari sistem pendidikan yang dualistik antara pendidikan umum (nasional) yang mengambil peran lebih dominan di satu pihak dan pendidikan agama (Islam) di lain pihak.[2] Dualisme tersebut  pada awalnya merupakan produk penjajahan Belanda, namun selanjutnya  dalam batas tertentu  merupakan refleksi dari pergumulan dua basis ideologi politik, nasionalisme Islami dan nasionalisme sekular. Pada awal kemerdekaan, dua ideologi ini telah  menjadi faktor benturan yang cukup serius meskipun kenyataannya telah terjadi rekonsiliasi dalam formula negara berdasarkan Pancasila. Tetapi implikasi dualisme itu tidak bisa dihapuskan pada masa yang pendek. Hal ini dapat dilihat dalam perkembangan posisi madrasah dalam sistem  pendidikan nasional sebelum disahkannya UUSPN nomor 20 tahun  2003. Dengan disahkannya UU UUSPN nomor 20 tahun  2003 madrasah benar-benar terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional. Oleh karenanya, madrasah mendapat legalitas, persamaan, dan kesetaraan sebagai bagian sistem pendidikan nasional.[3]
Enam tahun pasca disahkannya UUSPN nomor 20 tahun 2003 yang mengintegrasikan madrasah dalam Standar  Pendidikan Nasional, madrasah tampaknya masih belum mampu memacu ketertinggalannya dalam pengelolaan sistem pendidikan. Akibatnya, meskipun mendapatkan perlakuan, kesempatan, dan perhatian pendanaan yang proporsional, madrasah masih dipandang sebagai sekolah kelas dua setelah sekolah umum. Selain itu, masyarakat masih   mempunyai   image  bahwa  madrasah   adalah   sekolah   yang   “kurang”  bermutu, berkualitas dan lulusannya kurang mampu berkompetisi dalam melanjutkan di sekolah/perguruan   tinggi   berkelas   favorit.   Realitas   menunjukkan   bahwa   sulit   untuk menjadikan   madrasah   menjadi   pilihan   utama   bagi   masyarakat,   sedangkan   anggota masyarakat yang sama sekali belum mengenal madrasah pun masih banyak.
Dalam masyarakat yang terus berubah dan berkembang, sistem pendidikan madrasah memiliki peranan yang sangat mendasar dalam menanamkan berbagai nilai-nilai kehidupan dan bermasyarakat. Sistem pendidikan harus bersifat fungsional terhadap perkembangan masyarakat muslim Indonesia. Oleh karena itu, sistem pendidikan madrasah harus fungsional terhadap perkembangan kehidupan masyarakat. Pengembangan umat muslim dalam arti luas yaitu pengembangan peserta didik yang didasari nilai-nilai Islam merupakan kriteria dasar dalam mewujudkan suatu  sistem  pendidikan madrasah selaras dengan tujuan  pendidikan Nasional.

POSISI DAN FUNGSI EVALUASI DI MADRASAH
Posisi evaluasi di madrasah sangat penting karena posisi madrasah saat ini seringkali diperlakukakn kurang adil, pada satu sisi madrasah dituntut mengahasilkan lulusan yang sama dengan sekolah umum akan tetapi kurang memproleh dukungan finansial yang memadai, lebih-lebih lagi bagi madrasah swasta yang pada umumnya sebagai penyangga finansial kehidupan madrasah adalah wali murid.
Tidak kalah penting juga dari segi angggaran, perolehan anggaran untuk operasional pendidikan terdapat perbedaan antara lembaga-lembaga pendidikan dibawah naungan kementerian agama dengan sekolah-sekolah di bawah kementerian pendidikan dan kebudayaan. Sebagai akibat perbedaan dalam pengadaan sarana fisik serta kegiatan pendidikan yang bersifat non fisik lainnya.
Masalah yang lain muncul adalah kekurangan tenaga pengajar khususnya guru-guru yang sesuai dengan bidang studi keahlian dan  problem –problem lain yang  tidak  sedikit. Seharusnya pemerintah bersikap adil, demokratis dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan di Indonesia tanpa harus mendiskriminasi antara lembaga pendidikan yang berada dalam pengelolaan kementerian pendidikan dan kebudayaan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar kebijakan otonomi daerah, karena madrasah juga memiliki kontribusi yang cukup besar dalam mencerdaskan anak bangsa.
Salah satu “ kekeliruan” kebijakan pendidikan yang berpengaruh  secara langsung maupun tidak langsung terhadap rendahnya kinerja pendidikan (educational performance) Indonesia adalah kurang memperhitungkannya madrasah dalam system pendidikan nasional. kalau kita berbica mengenai peningkatan mutu pendidikan dan masalah-masalah kependidikan lainnya seolah-olah semua ditentukan oleh sekolah. 

CARA MELAKUKAN EVALUASI DI MADRASAH
Ki Supriyoko melihat paling tidak dua cara yaitu cara konvensional dan cara modern. Cara yang paling konvensioanal adalah menyampaikan “ilmu umum” yang porsinya sama dengan yang diberikan disekolah, kemudian ditambah dengan “ilmu Agama”. Cara ini bagus akan tetapi hanya efektif dijalankan oleh madrasah dengan siswa diasrama alias di pondokkan. Madrasah yang eksistensinya di tengah pesantren biasanya bisa menjalankan cara ini secara produktif, namun pada madrasah nonpesantren yang siswanya tidak menginap cara ini sangat berat dijalankan.[4]
Cara modern yang bisa dijalankan adalah membenahi metode pembelajaran (learning method) meningkatkan mutu guru (teacher quality), atau melengkapi sarana dan fasilitas belajar (facility). Ketiga pembenahan ini bisa dilakukan secara sendiri-sendiri tetapi lebih  produktif  dijalnkan secara terintegrasi. Lebih daripada itu bahkan di antara cara konvensioanal dengan  cara modern tersebut pun bisa dipadukan secara produktif.[5]
Bagaimanpun juga, pembaharuan-pembaharuan yang kan dilakukan dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan Islam  (madrasah) harus tetap mempertimbngkan aspek realitas structural dan kultural yang terjadi. Menurut A. Malik Fajar. Kebijakan-kebijakan mengembangkan madrasah perlu mengakomodasikan tiga kepentingan, yaitu Pertama, kebijakan itu harus memberi ruang tumbuh dan wajar bagi aspirasi utama ummat islam. Kedua, kebijakan itu memperjelas dan memperkukuh madrasah sebagai ajang membina warga Negara yang cerdas, berpengatahuan, berkepribadian, serta produktif sederajat dengan sistem sekolah. Ketiga, kebijakan  itu harus bisa menjadikan madrasah mampu merespon tuntutan-tuntutan masa depan.[6]
Oleh karena itu madrasah juga harus mulai berbenah diri untuk memperbaiki manajemen melalui berbagai upaya alternatif untuk mengatasi berbagai problematika baik secara internal maupun eksternal, sehingga mampu meningkatkan kualitas dan daya saing di era globalisasi.
Atas dasar itulah maka untuk memajukan dan meningkatkan penyelenggaraan pendidikan madrasah sangat bergantung pada kemampuan dan kesadaran masyarakat setempat. Kalau tingkat ekonomi masyarakat kurang mendukung, madrasah cenderung sulit berkembang dan terkesan asal jalan. Sebaliknya, bila kemampuan ekonomi masyarakat yang mendukung madrasah sangat kuat, maka kualitas madrasah dapat sejajar dengan sekolah-sekolah umum atau sekolah-sekolah negeri lainnya.
Di sinilah diperlukan kepandaian penyelenggara madrasah untuk menjalin kerja sama dengan tokoh-tokoh masyarakat di sekitarnya. Bagaimana agar masyarakat dapat turut merasa memiliki, sehingga dengan sukarela ikut berpartisipasi membesarkan madrasah. Untuk itu, madrasah hendaknya dikelola secara baik dan profesional sehingga dapat bersaing dengan sekolah lainnya. Sudah bukan masanya lagi penyelenggara madrasah bekerja hanya berorientasi ibadah semata-mata tanpa memperhatikan profesionalisme dan manajemen yang baik. Dewasa ini persaingan antarsekolah cukup ketat, sehingga sekolah atau madrasah yang tidak dikelola dengan baik akan kehilangan kepercayaan masyarakat.

PROBLEMATIKA MADRASAH
Hari demi hari, problematika pendidikan madrasah terus menapaki tahap demi tahap baru yang di dalamnya banyak hal, bukan saja baru dan berbeda melainkan adakalanya justru bertentangan  dengan apa yang telah terwujud di masa lalu. Problematika  madrasah yang paling mendasar yaitu masalah manajemen pengelolaan madrasah, kepemimpinan madrasah, sumber daya madrasah, pendanaan, dan mutu madrasah. Sebagai penjabarannya antara lain:
1.         Manajemen Pengelolaan Madrasah.
Manajemen  pendidikan  merupakan  suatu  sistem  pengelolaan  dan  penataan  sumber daya pendidikan, seperti tenaga kependidikan, peserta didik, kurikulum, dana, sarana dan prasarana pendidikan, tata laksana,  dan   lingkungan. Dengan demikian, manajemen pendidikan haruslah merupakan subsistem dari sistem manajemen pengembangan madrasah. Karena manajemen pendidikan nasional sangat penting sebagai dasar kebutuhan manusia dan sebagai dinamisator  pembangunan madrasah. Manajemen pendidikan dirumuskan sebagai mobilitas  segala  sumber daya pendidikan  untuk  mencapai  tujuan  pendidikan  yang  telah ditetapkan.
Upaya pengembangan pendidikan sebetulnya upaya komprehensif yang tidak bisa dipilah-pilah antara satu bagian dengan bagian lainnya. Salah satu terkadang terabaikan dalam pendidikan madrasah adalah masalah manajerial secara makro. Sebagai contohnya, sebagian besar madrasah yang ada, masih dikelola dengan manajemen “apa-adanya” (tradisional), sehingga kurang diterapkannya secara baik dan sistematis fungsi-fungsi manajemen, seperti perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan evaluasinya. Agar proses suatu  organisasi berjalan mantap maka perlu adanya suatu  manajemen yang baik dan terarah.[7]
Manajemen sangat penting dalam suatu organisasi karena manajemen melibatkan semua faktor yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan tertentu  dari organisasi. Madrasah merupakan organisasi formal dalam pendidikan yang harus diperhatikan bersama, baik dari segi tatakelola  maupun kegiatan  di dalamnya. Oleh sebab itu,  setiap  lembaga pendidikan yang berstatus negeri maupun swasta membutuhkan manajemen yang efektif dan efisien.  Dengan  adanya  manajemen  yang  bagus  diharapkan  dapat  member  kontribusi terhadap peningkatan kualitas pendidikan.
Manajemen  madrasah  harus  ditangani  secara  profesional  demi  mutu  pendidikan madrasah, sebab manajemen merupakan penerjemahan dari sistem pendidikan pada tahap operasional, jika ini ditangani secara acak-acakan maka mutu pendidikan tidak akan pernah terdongkrak menjadi unggul. Pendidikan unggul diperlukan seorang kepala sekolah atau manajer yang mau mencoba terobosan baru bagi perkembangan madrasah. Mengingat pentingnya peran manajer dalam pengembangan madrasah, maka secara struktural,  semua lapisan manajer harus bergerak dan bersinergi sesuai kewenangan masing-masing. Kekompakan  kerja  para  manajer  tersebut   merupakan  modal  besar  untuk  memajukan madrasah.[8]
  1. Kepemimpinan Madrasah.
Kepemimpinan adalah melibatkan dua orang atau lebih dan melibatkan proses mempengaruhi, dimana pengaruh yang sengaja digunakan oleh pemimpin terhadap bawahan. Istilah kepemimpinan merupakan sifat, prilaku pribadi, pengaruh terhadap orang lain, pola- pola interaksi, hubungan kerjasama antar peran, kedudukan dari satu jabatan administratif, dan persepsi dari lain-lain tentang legitimasi pengaruh.  Dalam sebuah struktur organisasi lembaga pendidikan diperlukan seorang pemimpin yang mahir dalam menggerakkan organisasi.[9] Pemimpin memiliki political power (kekuasaan politis), suatu kekuasaan yang tidak dimiliki oleh para guru. Melalui kekuasaan itu, mereka memiliki kewenangan untuk mengadakan pembaharuan. Apalagi jika kewenangan itu  di dukung dengan political will (kehendak politik) atau good will (kehendak baik) dari para pimpinan. Dengan demikian, diperlukan upaya-upaya perbaikan  dan pengembangan manajemen dengan harapan dapat meningkatkan kualitas madrasah menjadi unggul.
Realitas di tengah-tengah masyarakat ditemukan problem-problem tentang kepemimpinan   madrasah   yaitu   pemimpin       atau   kepala   madrasah   sebagian   besar berpendidikan baru atau kurang dari sarjana S1 dan kurang memenuhi kualifikasi dan kompetensi sebagai kepala sekolah.[10] Di samping masih rendahnya kualifikasi pendidikan dan kompetensi kepala madrasah tersebut, juga dari segi gaya kepemimpinan karismatik banyak dipraktikkan  dalam  pengelolaan  madrasah  sehingga  menghambat  dalam  usaha pengembangan, inovasi, dan transformasi madrasah.
Gaya kepemimpinan seseorang dalam memimpin memberi pengaruh terhadap lembaga yang dipimpinnya, baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif. Begitu juga sukses tidaknya suatu kepemimpinan tidak hanya dipengaruhi oleh kemampuan atau sifat-sifat yang dimiliki oleh seseorang, tetapi justru yang lebih penting dipengaruhi oleh sifat-sifat dan ciri- ciri kelompok yang dipimpinnya. Sedangkan untuk pengaruh positif dari kepemimpinan kharismatik kekuatan energi, daya tarik dan wibawa yang kuat atau luar biasa untuk menarik serta  mempengaruhi  orang  lain.  Sehingga  ia  mempunyai  pengikut  yang  sangat  besar jumlahnya serta sangat loyal kepadanya. Untuk pengaruh negatif dari kepemimpinan kharismatik  lebih  pada  pengambilan  kebijakan  yang  tidak  sesuai  konsep  kepemimpinan dalam mengembangkan lembaga.
Kualitas kepemimpinan kepala madrasah merupakan pra-syarat berjalannya roda keorganisasian madrasah. Kepala madrasah yang tidak mempunyai kemampuan manajerial yang memadai akan sulit menggerakkan, kalau tidak dikatakan gagal dalam menggerakkan roda keorganisasian madrasahnya. Untuk itu, di samping melalui asah pengalaman empirik, meningkatkan mutu kepemimpinannya, kepala madrasah juga perlu meningkatkan pengetahuan tentang konsep kepemimpinan secara detail. Kepala sekolah merupakan seorang manajer di madrasah. Ia harus bertanggung jawab terhadap perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian, perubahan atau perbaikan program pembelajaran di madrasah. Untuk kepentingan tersebut sedikitnya ada empat langkah yang harus dilakukan, yaitu:
a)      Menilai kesesuaian program yang ada dengan tuntutan kebudayaan dan kebutuhan murid.
b)      Meningkatkan perencanaan program.
c)      Memilih dan melaksanakan program.
d)     Menilai perubahan program.[11]
Dari poin-poin di atas tentang  langkah-langkah yang menjadi pedoman bagi kepala sekolah, maka dapat diartikan bahwa  kepemimpinan yang efektif dapat ditunjukkan dengan kemampuan seseorang dalam membaca situasi dan kondisi yang berkaitan dengan iklim kerja dalam sebuah organisasi yang ditunjukkan, misalnya dengan tinggi-rendahnya angka ketidakhadiran bawahan dalam bekerja, rendahnya kedisiplinan, tinggi-rendahnya produktivitas kerja sumber daya  madrasah dan banyak-sedikitnya keluhan di madrasah, baik yang disampaikan secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Seorang pemimpin harus mampu memberikan dorongan kepada anggota kelompoknya untuk bekerja dengan penuh rasa tanggung jawab serta dapat bekerjasama untuk mencapai tujuan madrasah yang telah ditetapkan.[12]
Pimpinan madrasah wajib memiliki visi, tanggung jawab, wawasan, dan ketrampilan manajerial yang tangguh. Ia hendaknya dapat memainkan peran sebagai lokomotif perubahan menuju terciptanya madrasah yang berkualitas, maka kepala madrasah seharusnya menyandang dua macam profesi, yaitu profesi keguruan dan profesi administratif  (sebagai administrator).  Oleh  sebab  itu,  pimpinan  madrasah  dituntut  untuk  melakukan  langkah- langkah ke arah perwujudan visi madrasah yaitu agamis, populis, berkualitas, dan beragam. Langkah-langkah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a)      Membangun  kepemimpinan  madrasah  yang  kuat   dengan  meningkatkan  koordinasi,menggerakkan semua komponen madrasah, menyinergikan semua potensi,  merangsang perumusan tahapan-tahapan perwujudan visi dan misi madrasah serta mengambil prakarsa yang berani dalam pembaharuan.
b)      Menjalankan  manajemen  madrasah  yang  terbuka  dalam  pengambilan  keputusan  dan penggunaan keuangan madrasah.
c)      Mengembangkan tim kerja yang solid, cerdas, dan dinamis.
d)     Mengupayakan kemandirian madrasah untuk melakukan langkah terbaik bagi madrasah.
e)      Menciptakan    proses    pembelajaran    yang    efektif    dengan    ciri-ciri:    proses    itu memberdayakan siswa untuk aktif dan partisipatif,  target  pembelajaran sampai dengan pemahaman yang ekspresif, mengutamakan proses internalisasi ajaran agama dengan kesadaran sendiri, dan menciptakan semangat yang tinggi dalam menjalankan tugas. Seorang kepala sekolah di tuntut  untuk  mampu membangun, mengembangkan dan menciptakan roda kepemimpinannya dalam pencapaian pembelajaran yang efektif di madrasah.[13]

3.      Sumber Daya Madrasah.
Seiring dengan model pengelolaan sistem pendidikan nasional lengkap dengan paradigmanya dalam memandang ilmu dan mengembangkan kecerdasan dan model pendekatan serta metodologi pembelajaran, maka pola pemberdayaan sumber daya manusia dalam kerja kependidikan sama dengan pola yang digunakan dalam mengembangkan dan memberdayakan  sumber  daya manusia dibidang-bidang pembangunan  lainnya,  yaitu dilaksanakannya di bawah otoritas  kekuasaan dan kekuatan  administrasi  birokrasi. Guru merupakan salah satu sumber daya manusia dalam lembaga pendidikan yang memiliki peran utama dalam upayanya mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas, maka guru harus terus mengembangkan diri, karena mau tidak mau pengembangan guru harus dilaksanakan, agar yang mereka jalani dapat membantu mencapai tujuan madrasah. Di samping itu,  sebagai salah satu  fungsi dari manajemen tenaga kependidikan, pembinaan, pengembangan guru sebagai tenaga pendidik di sekolah perlu diperhatikan dengan lebih teliti karena perlu dilakukan dengan baik dan benar agar apa yang diharapkan tercapai, yakni tersedianya tenaga pendidik yang diperlukan dengan kualifikasi dan kemampuan yang sesuai serta dapat melaksanakan pekerjaan dengan baik dan berkualitas.
Guru merupakan subjek pengetahuan  sekaligus berhadapan secara langsung dengan subjek pengetahuan yang lain yakni murid. Guru tidak lagi hanya sekedar mengingat-ngingat apa yang telah dibacanya, namun orang yang akan selalu membenahi pengetahuan dan akan terus bertambah ketika berdialog dengan siswanya. Peranan guru semakin penting dalam era informasi ini, hanya melalui bimbingan guru yang profesional, setiap siswa dapat menjadi sumber daya manusia yang berkualitas, kompetitif dan produktif sebagai aset dalam menghadapi persaingan yang makin ketat dan berat sekarang dan dimasa datang.
Menurut Mastuhu, dewasa ini permasalahan guru di tanah air dirasakan bahwa baik secara kuantitatif  maupun kualitatif,  kurang memadai, juga dirasakan adanya kekurangan dalam keragaman dan kompetensi ilmu mengajar. Banyak guru “yang salah kamar”, yaitu tidak  sesuai  antara  ilmu  yang  dipelajari  dengan  mata  pelajaran  yang  diajarkan.  Banyak tenaga atau pegawai kantor-kantor, pegawai-pegawai perusahaan dan instansi nonpendidikan yang terpaksa direkrut menjadi guru.[14] Rendahnya kualitas atau kualifikasi tenaga pendidik juga menjadi problem tersendiri bagi peningkatan kualitas dan kepercayaan madrasah. Lembaga-lembaga pendidikan guru kita sangat lemah dilihat dari berbagai sisi, baik dari segi persiapan ilmu yang dituntut di dalam abad informasi dan masyarakat belajar abad 21, juga dari persiapan professional para pendidik kita yang sangat minim.
Desentralisasi  dan demokratisasi  proses pendidikan memerlukan tenaga-tenaga  yang trampil dan profesional. Pada masa orde baru kita lihat matinya berpikir kritis dan inisiatif. Yang  ditumbuhkan  ialah  berpikir  uniform  untuk  mencapai  suatu  standar  nasional  yang abstrak.   Demikian   pula   para   pengasuh   pendidikan   nasional   tidak   mengembangkan kemampuan kualitas di dalam manajemennya serta proses pendidikan tidak diarahkan kepada mengembangkan  berpikir kritis  dan  inovatif.  Dengan  demikian  pendidikan  semacam  itu tidak mempunyai relevansi dan akuntabilitas. Kurikulum semakin menjauhkan peserta didik dari keterlibatannya dengan kehidupan yang nyata. 
Menurut H.A.R Tilaar, kunci utama di dalam peningkatan kualitas pendidikan ialah mutu para gurunya. Dalam kaitan ini bukan hanya diperlukan suatu  reformasi mendasar dari pendidikan guru kita  tetapi  juga sejalan dengan  penghargaan  yang  wajar  terhadap  profesi  guru  sebagaimana di Negara-negara industri maju lainnya.[15] Hanya dengan peningkatan mutu serta penghargaan yang layak terhadap profesi guru dapat dibangun suatu sistem pendidikan yang menunjang lahirnya masyarakat demokrasi, masyarakat yang berdisiplin, masyarakat yang bersatu penuh toleransi dan pengertian, serta yang dapat bekerja sama. Dengan demikian, mendidik generasi masa depan membutuhkan guru yang mampu memberikan ilmu  pengetahuan dengan baik sesuai dengan kompetensi. Untuk  menumbuhkan  kompetensi  tersebut  harus  terus  dilatih  dan  diasah  kemampuan seorang guru agar metode dan strategi pengajaran yang dimiliki mampu membimbing peserta didik dengan penuh kreatif dan inovatif.
Selama ini profesi guru masih membius orang untuk menempatkan posisinya dalam strata sosial yang cukup bergengsi dan figur yang dianggap memiliki idealisme, dan masih cocok untuk diteladani. Predikat yang bergengsi tersebut pantas jika disematkan pada guru yang benar-benar berprofesi guru atau guru yang berjiwa guru yaitu guru yang penuh pengabdian dan menunaikan tugasnya dengan penuh pengorbanan tenaga dan waktu untuk mendidik, mengajar, dan membimbing anak didik. Masyarakat terdidik hanya dapat terwujud melalui proses pendidikan yang demokratis, berkeadilan, dialogis, dan adanya unsur keteladanan. Proses transfer ilmu dan nilai-nilai kebajikan akan dapat diterima dengan baik dan benar oleh sang  penerima  (anak didik)  ketika  posisi guru sebagai  pendidik mampu memberi teladan bagi peserta didiknya sehingga penerapan ilmu yang didapat menjadi bermakna dan bermanfaat. Segala upaya mengarungi samudra ilmu tanpa terbatas oleh ruang dan waktu, menjadikan pendidikan seumur hidup sebagai prinsip atau spirit bagi kaum pembelajar.[16]
Pendidikan adalah masalah bagi setiap orang. Setiap kali selalu saja muncul berbagai keluhan tentang pendidikan, baik kurikulum, sistem, tenaga pendidik, dan lain sebagainya. Setiap orang selalu menuntut dan menginginkannya lebih, tidak mengherankan karena pendidikan harus selalu berubah seiring dengan perubahan zaman dan perkembangan teknologi.     Dasar   pendidikan   adalah   cita-cita    kemanusiaan   universal   yang   harus diperbaharui  sesuai  perubahan  zaman  sebagai  upaya  mengembangkan  potensi-potensi manusiawi,  baik  potensi  fisik  dan  potensi  cipta,  rasa,  dan  karsa,  agar  potensi  tersebut menjadi nyata  dan dapat  berfungsi dalam perjalanan hidup. Terwujudnya impian sumber daya manusia yang berkualitas dan professional akan mampu terwujud manakala manajemen secara makro dan mikro dalam lembaga dapat terlaksana dengan efektif dan efisien serta pelaksanaan   terorganisir   dengan   baik.   Berhasilnya   suatu   satuan   pendidikan   dalam menunaikan fungsinya perlu ditunjang dengan penyediaan sumberdaya pendidikan yang meliputi: gedung dan perlengkapannya, sumber belajar seperti buku-buku dan alat-alat bantu mengajar dan dana yang memadai.

4.      Pendanaan.
Dana  merupakan  salah  satu  syarat  yang  ikut  menentukan  keberhasilan penyelenggaraan  pendidikan  bermutu.  Selama  ini,  dikeluhkan  bahwa  mutu  pendidikan rendah karena dana yang tidak cukup.23 Dalam system pendidikan nasional biaya pendidikan di atur oleh undang-undang  No. 10 Pasal 1 2003 yaitu Standar pembiayaan adalah standar yang mengatur komponen dan besarnya biaya operasi satuan pendidikan yang berlaku selama satu tahun.[17] Penyelenggaraan pendidikan bermutu memang membutuhkan dana, tanpa adanya dana  tidak  dapat  diselenggarakan  pendidikan  yang  bermutu.  Namun,  dana  bukan  satu- satunya  unsur  yang  menentukan  keberhasilan  usaha  penyelenggaran  pendidikan  mutu keahlian dan moral pelaksanaannya.
Pembiayaan pendidikan dipahami secara makro, berorientasi  pada peran pendidikan dalam pembangunan ekonomi, sebagai investasi (konsep human capital) terkait fakta bahwa pada dasarnya manusia akan menanamkan investasi dalam dirinya melalui pendidikan, pelatihan  dan aktivitas  lain yang akan meningkatkan  pendapatan  mereka di masa depan melalui peningkatan life time learnings. Sedang secara mikro berorientasi kepada kemampuan Institusi sekolah/madrasah untuk dapat mencari atau memperoleh dan mengalokasikan  pembiayaan  pendidikan  secara  efisien,  efektif  dan  produktif.  Hal  ini didukung oleh kemampuan institusi  sekolah/madrasah melaksanakan tugas  dan tanggung jawabnya, yang sangat  tergantung dari otonomi dan profesionalisasi institusi tersebut.
Isu yang menarik dan selalu diperbincangkan terkait  penyelenggaraan pendidikan di sekolah   atau   madrasah   adalah   pembiayaan   pendidikan.   Terlebih   lagi   bagi   institusi pendidikan swasta,  terkait  dengan kebijakan pemerintah  berupa pendidikan gratis  dalam rangka wajib belajar 9 tahun yang bermutu. Dinamika yang ada menggambarkan sekolah swasta  mengalami  kesulitan  serius  menyikapi  kebijakan  pemerintah  itu,  apalagi  yang memiliki keterbatasan daya saing.[18]
Biaya pendidikan adalah total biaya yang dikeluarkan baik oleh individu peserta didik, keluarga yang menyekolahkan anak, warga masyarakat perorangan, kelompok masyarakat maupun yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk kelancaran pendidikan. Biaya pendidikan adalah  beban  masyarakat  dalam  perluasan dan  fungsi  dari  sistem  pendidikan.  Produsen, penjual dan konsumen pendidikan (input, proses dan output/outcome)  akan bekerjasama menyatukan diri ke dalam satu transaksi ekonomi di bidang pendidikan.   Analisis sumber biaya dan penggunaan dana secara efisien amat  penting.  Efisien berarti  banyak program terlaksana dengan menggunakan sedikit dana.  Pendanaan madrasah sebagian besar mengandalkan  pada  masyarakat  melalui  orang  tua  murid,  yayasan  atau  wakaf  sehingga kebutuhan  pengelolaan  pendidikan  secara  maksimal  tidak  tercukupi.  Sedangkan  bantuan yang diberikan pemerintah tidak mencukupi, bahkan sebagian besar madrasah tidak mendapatkan bantuan pendanaan dari pemerintah.
Perhitungan dana pendidikan harus selalu berorientasi pada mutu pendidikan dan perhitungannya harus bertolak dari kebutuhan belajar per-murid yang aktif belajar, bukan menurut  jumlah murid terdaftar  secara resmi, dan bukan pula menurut  jumlah sekolah. Pasal 2 ayat (1) PP Nomor 48 Tahun 2008 menyatakan: Pendanaaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Masyarakat di sini terdiri  dari satuan  pendidikan, orang tua siswa, alumni juga para donatur.  Semua menjadi komponen input pendanaan pendidikan. Input pendidikan terdiri dari input sekolah (gedung,  peralatan)  dan  input  manusia  (guru,  pegawai,  administrator  sekolah, kesekretariatan, TU, penyuluh/pembimbing dan petugas pendidikan lainnya). Sedang proses pengacu pada situasi belajar-mengajar dan faktor pendukung, baik manajemen maupun jaminan keberlangsungannya. Adapun output ada dua, konsumtif (manfaat pada siswa, keluarga, masyarakat) dan investatif (skill, moral, human capital di masa datang).
Beberapa permasalahan pengelolaan keuangan Madrasah:
a)      BOS sering datang terlambat,  sementara  regulasi  yang  ada  tidak  solutif  terhadap  masalah  ini, 
b)      biaya personalia guru honorer hanya mengandalkan 30% BOS, belum ada sumber lain,
c)      guru sertifikasi belum ada yang menerima uang sertifikasi, sehingga hanya mengandalkan BOS sementara  regulasi  yang  ada  juga  tidak  solutif, 
d)     Beasiswa  yang  ada  (BSM)  tidak digunakan untuk  menunjang kegiatan  belajar siswa di madrasah,
e)      kolega Madrasah seperti KKM dan Gugus belum efektif, manfaat keberadaan dan aktifitasnya belum optimal. Menurut Mastuhu, biaya rutin yang dibayarkan ke lembaga ini tidak efektif. Pengelolaan dana pendidikan dapat menjalin kerjasama dengan berbagai   pihak  untuk   mengakses  sumber-sumber  dana  pendidikan,   kerjasama  secara komersial atau perdagangan dengan orientasi mencari untung, namun semua dana yang diperoleh   adalah   untuk   meningkatkan   mutu   pendidikan.   Oleh   karena   itu,   dalam membelanjakan dana yang diperoleh adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan.[19]

5.      Mutu Madrasah.
Sejak Negara ini berdiri, telah banyak upaya yang dilakukan untuk mencapai mutu pendidikan yang terbaik, kendati belum sebaik dan sebanyak yang diinginkan. Setidak- tidaknya bangsa Indonesia telah mempunyai pengalaman yang hikmahnya dapat dipetik dan menjadi   salah   satu   kekuatan   motivasional   untuk   melanjutkan   usaha   pengembangan pendidikan yang bermutu.
Mencermati tentang Pasal 4 bab II tahun 2003 Standar Nasional Pendidikan bertujuan menjamin  mutu  pendidikan  nasional  dalam  rangka  mencerdaskan  kehidupan  bangsa dan membentuk  watak  serta  peradaban  bangsa yang  bermartabat.  Undang-undang  ini  belum menyentuh seluruh lapisan masyarakat, menurut Maftuh Basyuni (2009), realitanya kondisi Pendidikan Islam di Indonesia saat ini belum kondusif.[20] Hal ini karena sebagian umat Islam di Indonesia belum siap untuk menghadapi dan melakukan transformasi sosial-budaya secara kreatif. Hal ini dikuatkan oleh hasil jajak pendapat kompas (2012), pendidikan Islam belum berhasil mengembangkan Islam sebagai agama yang bermanfaat  bagi masyarakat.  Proses pendidikan di lembaga pendidikan Islam juga belum berhasil mengembangkan keterbukaan berpikir   untuk   memajukan   Islam.   Sedangkan,   dalam   penilaian   Komnas   Pendidikan, pendidikan di negara kita belum sepenuhnya menjadi sebuah kekuatan bangsa ini. Padahal dengan taraf keberagamannya yang begitu tinggi, tidak ada di Negara lain di dunia kecuali Indonesia yang sesungguhnya memiliki semua syarat untuk tidak pernah bersatu. Keberagaman ini  memungkinkan kita  terpecah-belah.  Namun, ternyata  bangsa ini justru mampu  bersatu.  Kita  berharap,  melalui  pendidikan  berbangsa  dapat  kita   tumbuhkan semangat persatuan yang kokoh menjiwai segala keberagaman sebagai potensi persatuan dan kesatuan  bangsa. Pendidikan seyogyanya memahami keberagaman bukan sebagai sumber masalah, melainkan sebagai sumber kekuatan.
Pada dekade pertama dari millennium ketiga ini, berbagai ikhtiar perbaikan telah kita lakukan untuk memecahkan permasalahan utama, yaitu bahwa pendidikan kita sedang menghadapi problematic  paradox di alam globalisasi. Di satu sisi kita  harus membangun mutu  pendidikan sesuai dengan rujuk mutu  (benchmarking) kompetensi  global agar kita tidak tersisihkan di dalam persaingan antar bangsa. Di sisi yang lain pendidikan kita juga harus menimbang mutu  pendidikan dalam keragaman dan kearifan local agar siswa kita hidup menapak dibumi sendiri.[21] Problem ini sesungguhnya merupakan akumulasi dari berbagai   problem   yang   dihadapi   madrasah   (manajemen,   kepemimpinan,   SDM,   dan pembiayaan) yang pada akhirnya bermuara pada mutu pendidikan madrasah. Indikator mutu pendidikan adalah tercapainya delapan standar menurut standar nasional pendidikan, yaitu: standar kompetensi lulusan, standar isi, standar   pendidika dan tenaga kepstandar proses, standar  sarana  dan  prasarana,  standar  pembiayaan,  standar  pengelolaan,  dan  standar penilaian pendidikan. Kedelapan standar tersebut tampaknya harus terus diupayakan untuk mencapai pendidikan madrasah yang bermutu.
Madrasah harus dinamis dan kreatif  dalam melaksanakan perannya untuk mengupayakan peningkatan mutu.  Menurut Dr. John Whan, bahwa demi mencapai keberhasilan  penerapan  mutu  di  lembaga  pendidikan  maka  harus  mendorong  para  staf lembaga untuk menemukan cara baru dalam meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan mutu layanan.[22]  Sesuatu yang bermutu terutama pada tataran pendidikan menjadi dambaan bagi setiap kalangan. Banyak orang berbondong-bondong dengan berbagai alasan berusaha untuk mendapatkan hal yang berbentuk mutu, terutama dalam hal pendidikan, mereka tidak peduli harga yang harus dibayarkan. Dengan demikian banyak lembaga pendidikan memanfaatkan peluang ini untuk menawarkan kualitas program pendidikannya.

PENUTUP
Madrasah   merupakan   salah   satu   wadah   pendidikan   formal   yang   berbentuk persekolahan, pada dasarnya hanya merupakan salah satu  proses pendidikan yang terjadi dalam suatu masyarakat, perhatian yang luar biasa terhadapnya telah menimbulkan proses- proses dalam jalur lain yang kurang mendapat perhatian secara sepadan. Namun demikian ini, bukan suatu  hal yang perlu dijadikan tertuduh  bagi ketertinggalan  mutu pendidikan, melainkan harus menjadi penggerak bagi upaya-upaya untuk terus membangun, memperkuat, dan meningkatkan mutu madrasah. Mutu pendidikan identik dengan pengelolaan lembaga pendidikan yang baik. Manajemen madrasah yang baik secara langsung akan mempengaruhi dan menentukan efektif tidaknya kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu madrasah. Pendidikan madrasah harus diupayakan agar dikelola secara baik dan teratur penuh dengan komitmen, dengan demikian sudah barang tentu akan menghasilkan hasil yang memuaskan. Sebaliknya pendidikan yang tidak dikelola secara baik sudah barang tentu  akan menghasilkan barang yang tidak menentu pula.
Agar proses suatu organisasi lembaga madrasah berjalan dengan baik sesuai tujuan, maka perlu adanya suatu  manajemen yang baik dan terarah.  Manajemen sangat  penting dalam suatu lembaga pendidikan madrasah karena manajemen melibatkan semua faktor yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan tertentu dari organisasi. Madrasah merupakan organisasi formal dalam pendidikan yang harus diperhatikan bersama, baik dari segi tatakelola maupun kegiatan  didalamnya.  Oleh karena  itu,  setiap  lembaga  pendidikan  yang  berstatus  negeri maupun  swasta   membutuhkan   manajemen  yang  efektif   dan  efisien.  Dengan adanya manajemen yang bagus diharapkan dapat member kontribusi terhadap peningkatan kualitas madrasah.

DAFTAR PUSTAKA
Darmaningtias. Membongkar Ideologi Pendidikan, Jelajah Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. Yogyakarta: Resolusi Press. 2004
Fajar,  H.A Malik. Visi Pembaharuan Pendidikan Islam. Jakarta: LP3NI. 1998
H.A.R. Tilaar. Paradigma baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta. 2000
Hamalik, Oemar.  Manajemen Pengembangan Kurikulum. Bandung: Kerja Sama UPI dan Rosdakarya. 2006
Hidayat, Ara & Imam Machali. Pengelolaan Pendidikan. Bandung: Pustaka Educa. 2010
Mastuhu. Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan nasional Dalam Abad 21. Yogyakarta: Safiria Insania Press. 2003
Mulyono. Konsep Pembiayaan Pendidikan, Cetakan ke-2. Yogyakarta: ar-Ruzz Media. 2010
Qomar, Mujamil. Manajemen Pendidikan Islam Strategi Baru Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam. Jakarta: Erlangga. 2007
Sagala, Syaiful. Administrasi Pendidikan Kontemporer, Cetakan ke-5. Bandung: Alfabeta. 2009
Suhardan, Dadang. Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan. Bandung: Alfabeta. 2012
Wahjosumindjo. Kepemimpian Kepala Sekolah Tinjauan Teoritis dan Permasalahannya. Jakarta: Rajawali Press. 2002



[1] Darmaningtias dkk, Membongkar Ideologi Pendidikan, Jelajah Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, (Yogyakarta: Resolusi Press, 2004), h. 17 - 18
[2] Ara hidayat & Imam Machali, Pengelolaan Pendidikan, (Bandung: Pustaka Educa, 2010), h. 67
[3] Ibid
[4] H.A Malik Fajar, Visi Pembaharuan Pendidikan Islam, (Jakarta: LP3NI, 1998). h. 34
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Syaiful Sagala, Administrasi Pendidikan Kontemporer, Cetakan  ke-5, (Bandung: Alfabeta,
2009), h. 11 - 12
[8] Wahjosumindjo, Kepemimpian Kepala Sekolah Tinjauan Teoritis dan Permasalahannya, (Jakarta: Rajawali Press, 2002), h. 17
[9] Mujamil  Qomar,  Manajemen Pendidikan Islam Strategi Baru Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam, (Jakarta: Erlangga, 2007), h. 81
[10] Wahjosumindjo,  Kepemimpian Kepala Sekolah Tinjauan Teoritis dan Permasalahannya,
(Jakarta: Rajawali Press, 2002), h. 22
[11] Oemar Hamalik, Manajemen Pengembangan Kurikulum, (Bandung: Kerja Sama UPI dan Rosdakarya, 2006), h. 59
[12] Ibid
[13] Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan nasional Dalam Abad 21, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003), h. 46
[14] Ibid, h. 47
[15] H.A.R. Tilaar, Paradigma baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), h. 24.
[16] Syaiful Sagala, administrasi Pendidikan Kontemporer, Cetakan ke-5, (Bandung: Alfabeta, 2009), h. 135-136
[17] Mulyono, Konsep Pembiayaan Pendidikan, Cetakan ke-2, (Yogyakarta: ar-Ruzz Media, 2010), h. 75
[18] Dadang Suhardan, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2012), h. 22
[19] Syaiful Sagala, Administrasi Pendidikan Kontemporer, Cetakan ke-5, (Bandung: Alfabeta, 2009), h. 136
[20] Qomar,  Mujamil.  Manajemen Pendidikan  Islam  Strategi  Baru  Pengelolaan Lembaga
Pendidikan Islam, (Jakarta: Erlangga, 2007), h. 66
[21] Ibid
[22] Syaiful Sagala, Administrasi Pendidikan Kontemporer, Cetakan  ke-5, (Bandung: Alfabeta, 2009), h. 29 - 30

Tidak ada komentar:

Posting Komentar