KHANQAH, ZAWIYAH DAN RIBATH
SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
Oleh
Muhammad Syamsuddin
Magister Pendidikan Agama Islam
STAIN Pekalongan
A. Pendahuluan
Berbicara
mengenai lembaga pendidikan Islam tidak bisa dilepaskan dari konsep Islam itu
sendiri mengenai pendidikan. Pendidikan Islam merupakan wujud dari pengaruh
berbagai kebudayaan atau peradaban yang pernah ada dalam sejarah. Dalam usaha
mempelajari pendidikan Islam tidak dapat mengabaikan dari mempelajari akar
sejarah pendidikan Islam yang merupakan bagian integral dari sejarah Islam itu
sendiri.
Dengan
kata lain, sejarah pendidikan Islam merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari sejarah Islam. Hal itu bisa terjadi karena tidak pernah ada tulisan
sejarah yang ditulis pada masa-masa awal Islam yang khusus membicarakan secara
panjang lebar tentang sejarah pendidikan Islam. Sehingga mengambil saripati
yang berkenaan dengan pendidikan Islam dari sejarah Islam adalah hal yang tidak
terelakkan ketika mencoba mengeksplorasi sejarah pendidikan Islam.
Pada masa
kejayaan pendidikan Islam, lembaga-lembaga pendidikan Islam dan madrasah mengalami
perkembangan dan semakin luas. Pada masa ini, terdapat dua pola pemikiran yang
saling berlomba mengembangkan diri. Yaitu, pola pemikiran yang bersifat
tradisional, yang selalu mendasarkan diri pada wahyu, kemudian berkembang
menjadi pola pemikiran sufistis dan mengembangkan pola pendidikan sufi.
Dan pola
pemikiran yang lain adalah pola pemikiran rasional, yang mementingkan akal
pikiran, menimbulkan pola pendidikan empiris rasional, yang sangat
memperhatikan pendidikan intelektual dan penguasaan material. Kedua pola pendidikan
tersebut menghiasi dunia Islam dengan saling melengkapi. Setelah pola pemikiran
rasional diambil alih pengembangannya oleh dunia Barat (Eropa) dan dunia Islam pun
meninggalkan pola berpikir tersebut, maka dalam Islam tinggal pola pemikiran
sufistis, yang sangat memperhatikan kehidupan batin. Sehingga pola pendidikan
yang dikembangkanpun tidak lagi menghasilkan perkembangan budaya Islam yang
bersifat material.
Dari aspek
inilah dikatakan pendidikan dan kebudayaan islam mengalami kemunduran, atau
kemandegan. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Nasarudin Yusuf,
bahwasanya kemunduran umat Islam dalam peradabannya terjadi pada sekitar tahun
1250 M s/d tahun 1500 M.[1]
Kemunduran itu terjadi pada semua bidang terutama dalam bidang pendidikan Islam.
Di dalam pendidikan
Islam kemunduran itu oleh sebagian diyakini karena berasal dari berkembangnya
secara meluas pola pemikiran tradisional. Adanya pola itu menyebabkan hilangnya
kebebasan berpikir, tertutupnya pintu ijtihad, dan berakibat langsung kepada
menjadikan fatwa ulama masa lalu sebagai dogma yang harus diterima secara
mutlak (taken for garanted).
Di saat
umat Islam mengalami kemunduran, di dunia Eropa malah sebaliknya mengalami
kebangkitan mengejar ketertinggalan mereka, bahkan mampu menyalin akar kemajuan
- kemajuan Islam. Ilmu Pengetahuan dan filsafat tumbuh dengan subur di
tempat-tempat orang Eropa. Sebaliknya pola pikir tradisional yang berkembang di
dunia Islam terus tertanam dan tumbuh subur.
Hal ini
merupakan penyebab beralihnya secara drastis pusat pendidikan dari dunia Islam
ke Eropa. Dari sebab itulah minat keilmuan kaum muslim lebih kepada bidang
batiniah, bukan material yang juga berimbas kepada keberlangsungan dari
pendidikan Islam. Sehingga pusat pendidikan hanya terjadi di tempat yang
seadanya. Selanjutnya, tempat atau lembaga-lembaga pendidikan bagi para sufi
disebut dengan khanqah, zawiyah dan ribath.
B. Khanqah,
Zawiyah dan Ribath sebagai Lembaga Pendidikan
Pada masa
kejayaan Islam, asrama bagi orang-orang yang menuntut ilmu, terutama ilmu
tasawuf biasa disebut dengan khanqah atau zawiyah. Di Afrika Utara, pusat
kegiatan sufi disebut ribath sedangkan di India disebut dengan jama’ah khana.[2]
Menyebutkan ribath adalah pusat latihan yang berasal dari daerah Arab. Sedangkan
di Khurasan disebut khanqah. Tempat ini merupakan pusat kegiatan kaum sufi
maupun tempat pembinaan dan penggemblengan para calon sufi yang diisi dengan
kegiatan pendidikan, pelatihan, kajian keagamaan, dan ibadah mahdhah kepada
Allah SWT.
Pada abad
ke-16 dan ke-17, di samping lembaga pendidikan madrasah dan kajian keislaman di
Masjid al-Haram dan Masjid al-Nabawi, berdiri zawiyah, khanqah atau ribath
dalam jumlah besar. Di Mekkah saja ada sekitar 50 ribath, sedangkan di Madinah
tercatat tidak kurang dari 30 ribath. Dalam awal perkembanganya, pelaksanaan
pendidikan dalam Islam adalah di masjid.[3]
Namun,
semakin lama jumlah peserta didik semakin banyak. Untuk menampung kegiatan
halaqah yang semakin marak sejalan dengan meningkatnya jumlah pelajar dan
berbagai ilmu pengetahuan yang berkembang maka dibangun ruang-ruang khusus
untuk kegiatan halaqah tersebut di sekitar masjid dan dibangun pula
tempat-tampat khusus untuk para guru dan pelajar sebagai tempat tinggal dan
tempat kegiatan belajar mengajar yang disebut dengan nama zawiyah atau ribath.
Pada dasarnya timbulnya madarasah di dunia Islam merupakan usaha pengembangan
dan penyempurnaan zawiyah - zawiyah tersebut guna menampung pertumbuhan dan
perkembangan ilmu. Dan keilmuan yang berkembang pada masa itu adalah dalam
bidang sufistis. Tempat belajar dan training tasawuf dikenal dengan nama
zawiyah (sudut ruangan), ribath (serambi atau koridor) dan khanqah (pondokan).
1.
Khanqah
Biasanya
sebuah persaudaraan sufi lahir karena adanya seorang guru Sufi yang memiliki
banyak murid atau pengikut. Pada abad ke-11 M persaudaraan sufi banyak tumbuh
di negeri-negeri Islam. Pada awalnya merupakan gerakan lapisan elit masyarakat muslim,
tetapi lama kelamaan menarik perhatian masyarakat lapisan bawah. Pada abad ke-12
M banyak orang Islam memasuki tarekat-tarekat sufi.
Pada waktu
itu kegiatan mereka berpusat di khanqah, yaitu sebuah pusat latihan sufi yang
banyak terdapat di Persia dan wilayah sebelah timur Persia. Khanqah bukan hanya
pusat para Sufi berkumpul, tetapi juga disitulah mereka melakukan latihan dan
kegiatan spiritual, serta pendidikan dan pengajaran formal, termasuk dalam hal
kepemimpinan.[4]
Selain itu
juga kegiatan-kegiatan sufi di khanqah, antara lain: kegiatan menyanyikan
puji-pujian, berdzikir dan membaca puisi. Para murid diberi tugas yang
berbeda-beda di dalam khanqah sesuai dengan kemajuan rohaninya. Murid yang
paling tulus hatinya dapat mencapai jajaran khalifah. Dia dapat tinggal di
dalam pesantren untuk menggantikan syekh kalau beliau meninggal atau dikirim ke
luar negeri untuk memperluas dan mengajarkan tarekat. Tentu hal ini dilakukan
setelah ia dilantik oleh sang guru dan dipakaikan khirqa atau jubah sufi
dengan disertai pemberian ijazah kepadanya dan tidak semua materi bisa
diajarkan olehnya tanpa perintah sang pembimbing.
Lembaga
khanqah pada paruh kedua abad ke-5 memiliki hubungan yang sangat erat dengan
penguasa politik dinasti Saljuk. Sehingga, Khanqah menjadi semakin kokoh
eksistensinya. Hal ini dibuktikan dengan meluasnya institusi khanqah secara pesat
bersamaan dengan ekspansi Saljuk ke luar Khurasan dan Irak. Salah satu fungsi
penting lain dari kanqah ialah sebagai pusat kebudayaan dan agama. Sebagai
pusat kebudayaan dan agama, lembaga kanqah mendapat subsidi dari pemerintah,
bangsawan kaya, saudagar dan organisasi/perusahaan dagang. Namun, ada juga yang
dari sumber dana pribadi.
2.
Zawiyah
Tempat lain
berkumpulnya para sufi ialah zawiyah, arti harafiahnya: sudut, suatu ruangan
yang terdapat di sudut masjid yang juga disebut sebagai maksurah yang
bisa difungsikan untuk kajian dan pendalam ilmu. zawiyah merupakan sebuah
tempat yang lebih kecil dari khanqah dan berfungsi sebagai tempat seorang Sufi
menyepi.[5]
Di Jawa disebut pesujudan, di Turki disebut
tekke (dari kata takiyah, menyepi). Zawiyah adalah tempat sekelompok
murid tinggal, bekerja dan beribadah di bawah bimbingan seorang syeikh. Zawiyah
dipimpin oleh seorang pemimpin spiritual yang merupakan grand master
suatu tarekat. Pendidikan di zawiyyah dimulai sejak dini yang diawali dengan
membaca dan menghafal al-Qur’an di bawah bimbingan guru. Pada tahap berikutnya
murid mulai belajar tafsir al-Qur’an.[6]
Di tempat
ini diajarkan juga ilmu syariat, ibadah ritual, etika, filsafat, dan tata
bahasa dengan guru tersendiri. Di sebagian zawiyyah bahkan diajarkan pula puisi
dan nyanyian. Untuk setiap materi dan kecakapan yang ditargetkan memiliki guru
tersendiri. Setelah mencapai usia baligh dan dianggap matang murid boleh
mengajukan diri untuk mengikuti baiat sebagai tanda masuknya seseorang ke dalam
tarekat, baiat ini langsung ditangani oleh Syeikh.
Bahkan dalam catatan Kabbani, banyak pola
pendidikan tasawuf berkembang menjadi lembaga pendidikan yang sangat terkenal.
Sebagai contoh, Ribath Abdulah Ibn Mubarak di Merv, Khaniqah Baibarsiyyah di
Kairo dan sebuah sekolah sufi yang dipimpin oleh seorang muhadits besar, Ibn
Hajar al-Asqalani.[7]
3.
Ribath
Tempat
lain lagi berkumpulnya sufi ialah ribath. Ribath punya kaitan dengan tempat
tinggal prajurit dan komandan perang, sebagai tangsi atau barak militer. Pada
masa berkecamuknya peperangan yang menyebabkan orang mengungsi, dan juga
berakibat banyaknya tentara tidak aktif lagi dalam dinas militer, membuat
ribath ditinggalkan tentara dan dirubah menjadi tempat tinggal para Sufi dan
pengungsi yang mengikuti perjalanan mereka.[8]
Ribath
biasanya adalah sebuah komplek bangunan yang terdiri dari madrasah, masjid,
pusat logistik dan tempat kegiatan lain termasuk asrama, dapur umum, klinik dan
perpustakaan. Dapur dibuat dalam ukuran besar, begitu pula ruang tamu dan
kamar-kamar asrama. Ini menunjukkan bahwa ribath setiap kali dikunjungi banyak
orang, selain tempat berkumpulnya banyak orang. Ribath secara harfiyah berarti
benteng. Dalam bahasa Arab, kata ribath mempunyai beberapa arti:
a. Sesuatu yang dibuat untuk
mengikat (tali, dsb)
b. Sekawanan kuda, rombongan
(pasukan) berkuda
c. Tangsi, markas tentara
d. Tempat yang diwakafkan untuk
fakir miskin
e. Hati Dalam bahasa Indonesia kata
“ribath” mengandung arti gedung atau tempat melakukan pelatihan peribadatan dan
kewajiban lain.[9]
Istilah
ribath itu sendiri diambil dari firman Allah SWT dalam surah Al-Anfal ayat 60 yang
artinya: Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu
sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan
persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang
selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa
saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup
kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).
Sehubungan
dengan pendidikan, Ribath adalah pusat kegiatan kaum sufi, tempat pembinaan dan
penggemblengan para calon sufi yang diisi dengan kegiatan pendidikan,
pelatihan, pengkajian agama dan ibadah kepada Allah SWT. Jadi, ribath merupakan
tempat kegiatan kaum sufi yang ingin menjauhkan diri dari kehidupan duniawi dan
mengkonsentrasikan diri untuk ibadah semata-mata. Istilah ribath banyak
dipergunakan di dunia Islam bagian barat, seperti; Maroko dan Tunisia. Ribath
mempunyai pengertian sama dengan khanqah dan zawiyah. Khanqah adalah istilah
yang banyak digunakan di bagian timur, seperti di Persia dan India.
Sedangkan
zawiyah banyak digunakan di bagian tengah dunia Islam atau tekke di Turki. Dan
dalam perkembangannya, istilah ribath tidak banyak digunakan untuk latihan
militer, tetapi lebih banyak diarahkan kepada latihan spiritual dari aliran
tarekat atau difungsikan sebagai tempat pendidikan calon sufi. Ribath banyak
dibangun di daerah perbatasan dan dilengkapi dengan menara pengawas.
Di dalam
ribath tentara-tentara muslim melakukan latihan-latihan militer disamping
ibadah keagamaan, sehingga ribath mempunyai dua fungsi yaitu tempat ibadah dan
markas tentara. Seiring dengan perjalanan waktu dan kondisi politik, maka
penghuni ribath mengalihkan kecenderungan hidup dari pola perang fisik melawan
musuh ke pola perang melawan diri dan jiwa dengan praktik sufi. Ribath biasanya
dihuni oleh sejumlah orang miskin yang secara bersama - sama menjalankan
aktivitas keilmuwan di samping melakukan praktik-praktik sufistik.[10]
Biasanya,
di setiap Ribath terdapat seorang syekh yang terkenal dengan kesalehan dan
ketinggian ilmunya. Ribath yang memiliki seorang syekh terkenal akan banyak
dikunjungi orang dan memiliki banyak murid. Sebuah ribath yang sangat kuno
ditemukan di Teluk Persia, yang cikal bakalnya adalah seorang sufi bernama
Abdul Wahid ibn Zayd (w.177 H/793 M). Ribath ini masih tetap ada
sepeninggalnya, bahkan menjadi terkenal. Ribath-ribath lain di bangun selama
penyerangan ke Byzantium dan juga Afrika Utara. Sentra-sentra peribadatan juga
disebut-sebut orang di Damaskus sekitar 150 H/767 M.[11]
Di dalam
ribath kaum sufi atau calon sufi di didik dengan berbagai macam pendidikan
agama dan dilatih melaksanakan suluk tertentu sesuai dengan ajaran dari tarekat
pemilik ribath tersebut. Disamping itu, di dalam ribath juga dilaksanakan
aktifitas ibadah keagamaan pada umumnya. Para pengikut suatu tarekat, dalam
menjalani latihan tarekatnya atau melakukan suluk, berada di dalam ribath untuk
waktu tertentu dengan bimbingan syekh pendirinya. Murid-murid pada masa itu
juga diajarkan berbagai macam kitab yang khusus yang dipergunakan di
kalangannya sendiri baik mengenai ilmu fiqh dan ilmu tasawuf, mempunyai dzikir
dan doa serta wirid yang khusus pula.
Di samping
itu, juga ada perjanjian-perjanjian tertentu dari murid terhadap gurunya yang
biasa disebut bai’at. Anggota dari sebuah ribath tersusun atas dua kelompok,
murid dan pengikut yang tinggal dalam ribath dan memusatkan perhatian pada
ibadat, serta pengikut awam yang tinggal di luar serta tetap bekerja dalam
pekerjaan mereka sehari-hari, tetapi pada waktu-waktu tertentu berkumpul di
ribath untuk mengadakan latihan spiritual. Fasilitas yang terdapat di dalam
ribath bermacam-macam, tergantung kemampuan pemilik ribath itu sendiri.
Kelompok tarekat yang besar dengan jumlah pengikut yang besar dan memiliki
kemampuan yang cukup, mempunyai ribath yang indah dan megah, sementara bagi
kelompok tarekat yang kecil, ribath mereka juga biasanya kecil dan sederhana.[12]
Pada beberapa ribath, para pengikut tarekat
tinggal di dalam kamar-kamar tertentu secara terpisah, tetapi ada juga ribath
yang tidak mempunyai kamar-kamar, dan hanya merupakan sebuah ruangan besar
serba guna yang dipakai secara bersama, baik untuk tempat tinggal, ruang
belajar, beribadah maupun bekerja. Sumber biaya untuk sebuah ribath juga
bermacam-macam. Ada ribath yang mendapat bantuan tetap dari pemerintah atau
dermawan tertentu, tetapi ada pula ribath yang hidup di futuh, yaitu
tanpa bantuan atau tunjangan dari siapapun.
Para
penghuni ribath terakhir ini melakukan segenap aktifitasnya dengan biaya mereka
sendiri. Sebagai sebuah tempat khusus untuk pembinaan dan penggemblengan para
pengikut suatu tarekat yang juga calon-calon sufi, ribath mempunyai peraturan-peraturan
tertentu, baik bagi penghuninya maupun bagi orang-orang yang akan berkunjung ke
tempat ini.
Ketat
tidaknya aturan tersebut tergantung kepada pemilik ribath yang bersangkutan,
dalam hal ini ajaran-ajaran dari tarekat pemilik ribath itu. Karena ribath
berfungsi sebagai tempat tinggal, pendidikan, dan latihan bagi para pengikut
suatu tarekat, maka ribath merupakan sebuah madrasah atau asrama, dan
keberadaannya tidak terlepas dari kaum sufi dan tarekat.
Pendidikan
yang dilakukan oleh para sufi dalam ribath ternyata sangat efektif, baik dalam
pembinaan akhlak, ibadat maupun penanaman rasa percaya diri pendalaman ilmu
pengetahuan agama. Kerena itu, Syekh Muhammad Abduh berkata: “seandainya
usahaku memperbaiki Al-Azhar tidak berhasil, aku akan memilih sepuluh orang
diantara muridku. Lalu, mereka akan kutempatkan di rumahku di Ain Syams (Kairo)
dan ku didik dengan metode pendidikan seperti yang dilakukan para sufi,
disertai peningkatan pengetahuan mereka”.
Syeikh
‘Abd al-Qadir al-Jilani mengggunakan model ribath untuk tempat tinggal bersama
keluarga dan tempat belajar muridnya dibanding model yang lain. Tersebarnya
para alumnus dari masing-masing institusi tarekat yang mendapatkan ijazah untuk
meninggalkan ribath gurunya dan mendirikan ribath tersendiri di daerah lain,
menjadikan banyak cabang ribath-ribath baru berdiri di berbagai daerah. Dan ini
menyebabkan tidak adanya kreasi baru oleh masing-masing pemimpin ribath (mursid).
Dalam
perjalanan sejarah, orang-orang ribath pernah berhasil membangun sebuah
kerajaan besar yang diberi nama Al-Murabitun. Kerajaan ini didirikan oleh Yahya
bin Umar sebagai pemimpin politik dengan Abdullah bin Yasin sebagai pemimpin
spiritualnya. Dinasti Al-Murabitun memegang tampuk kekuasaan selama sekitar 90
tahun dengan enam orang pengusanya: Abu Bakar bin Umar, Ibnu Tasyfin, Ali bin
Yusuf, Tasyfin bin Ali, Ibrahim bin Tasyfin, dan yang terakhir Ishak bin Ali.
Wilayah kekuasaannya cukup luas, meliputi daerah Maroko, gurun Sahara di Afrika
barat laut, dan Spanyol, dengan pusat pemerintahan di Marrakech (Maroko).[13]
Dinasty
Murabitun pada awalnya adalah sebuah paguyuban militer keagamaan yang didirikan
pada paaruh abad ke-11 oleh seorang muslim yang saleh di sebuah ribath (dari
sinilah berasal nama Murabitun), yang dalam bahasa Prancis marabout berarti
penggemar. Perjalanan kehidupan tidaklah stagnan, tetapi mengalami sebuah
fase-fase tertentu yang kadang kala membuahkan sejarah akan kemajuan atau
kemunduran suatu kaum, bangsa bahkan masa.
Hal ini
rupanya berlaku juga bagi eksistensi ribath sebagai lembaga pendidikan pada
masa klasik. Karenanya, setelah Madrasah berdiri, kebanyakan Ribath berubah
fungsi hanya sebagai asrama saja, sementara proses pendidikan dan pengajaran
berlangsung di Madrasah.
C. Peran
Khanqah, Zawiyah dan Ribath dalam Pendidikan pada Abad ke-13 M.
Ketika Baghdad
ditaklukkan tentara Mongol, khanqah serta ribath dan zawiyah berfungsi banyak.
Kajian keilmuan yang semula berkembang pesat dan mencapai masa keemasan, telah
luluh lantak tinggal keruntuhan. Sehingga, perkembangan pendidikan pun menjadi
tersendat dan mandeg.
Dan pada
tahap selanjutnya, arah pendidikan lebih cenderung kepada nuansa sufistis dan
lebih banyak memanfaatkan tempat-tempat tertentu untuk melakukan proses
pendidikan dan pengajaran, seperti halnya khanqah, zawiyah dan ribath. Karena
itu tidak heran apabila di berbagai tempat organisasi khanqah tidak sama. Ada
kanqah yang menerima subsidi khusus dari kerajaan, ada yang memperoleh dana
dari sumber swasta yang berbeda-beda, termasuk dari sumbangan para anggota
tarekat.
Salah satu
contoh khanqah terkemuka ialah Khanqah Sa`id al-Su`ada yang didirikan pada
zaman Bani Mameluk oleh Sultan Salahudin al-Ayyubi pada tahun 1173 M di Mesir.
Dalam khanqah itu hidup tiga ratus ahli suluk, guru sufi dan pengikut mereka,
serta menjalankan banyak aktivitas sosial keagamaan.
Organisasi
khanqah dipimpin oleh seorang guru yang terkemuka disebut amir majlis.
Khanqah, zawiyah dan ribath merupakan lembaga pendidikan yang bergerak untuk
pelaksanaan pendidikan dan pengajaran ilmu-ilmu keagamaan. Lembaga-lembaga
tersebut menjadi cikal bakal terbentuknya madrasah pada masa pembaharuan,
setelah terjadinya masa kemunduran pada masa bani Abbasiyah. Dan pada akhirnya,
lembaga-lembaga seperti khanqah, zawiyah dan ribath ini ditinggalkan karena
beralih kepada lembaga pendidikan yang lebih baik dan terstruktur dan
sistematis.
D. Penutup
Kesimpulan
1. Khanqah merupakan sebuah tempat
pemondokan yang dijadikan sebagai lembaga pendidikan kaum sufi dalam ilmu-ilmu
keagamaan.
2. Zawiyah sebuah tempat yang lebih
kecil dari khanqah. Zawiyah merupakan suatu ruangan yang terdapat di sudut
masjid yang juga disebut sebagai maksurah dan difungsikan untuk kajian
dan pendalaman ilmu dan sebagai tempat seorang Sufi menyepi.
3. Ribath pada awalnya merupakan
benteng atau tangsi pertahanan militer yang kemudian beralih fungsi sebagai
tempat berlangsungnya pendidikan dan pengajaran.
E. Daftar Pustaka
Asari, Hasan. 1994. Menyingkap Zaman
Keemasan Islam. Bandung: Mizan
Asrohah, Hanun. 1999. Sejarah
Pendidikan Islam. Jakarta: Logos
Fahmi,
Asma Hasan. 1979. Sejarah dan Filsafat Pendidikan
Islam. Jakarta:
Bulan Bintang
Nata, Abudin. 2011. Sejarah
Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana
Nizar, Samsul.
2008. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group
Yatim, Badri.
2007. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Press
[2] Abudin Nata, Sejarah
Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 161-162
[5] Abudin Nata, Sejarah
Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 161-162
[7] Ibid, h.113
[8] Abudin Nata, Sejarah
Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 161-162
[9] Ibid, h.162
[10] Hanun Asrohah, Sejarah
Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), h. 65
[11] Ibid, h.66
[12] Hasan Asari, Menyingkap Zaman
Keemasan Islam, (Bandung : Mizan, 1994), h.96.
[13] Ibid, h.96 - 97
Tidak ada komentar:
Posting Komentar