Senin, 04 April 2016

Khanqah, Zawiyah dan Ribath sebagai Lembaga Pendidikan Islam


KHANQAH, ZAWIYAH DAN RIBATH 
SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

Oleh 
Muhammad Syamsuddin
Magister Pendidikan Agama Islam
STAIN Pekalongan

A.      Pendahuluan
Berbicara mengenai lembaga pendidikan Islam tidak bisa dilepaskan dari konsep Islam itu sendiri mengenai pendidikan. Pendidikan Islam merupakan wujud dari pengaruh berbagai kebudayaan atau peradaban yang pernah ada dalam sejarah. Dalam usaha mempelajari pendidikan Islam tidak dapat mengabaikan dari mempelajari akar sejarah pendidikan Islam yang merupakan bagian integral dari sejarah Islam itu sendiri.
Dengan kata lain, sejarah pendidikan Islam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah Islam. Hal itu bisa terjadi karena tidak pernah ada tulisan sejarah yang ditulis pada masa-masa awal Islam yang khusus membicarakan secara panjang lebar tentang sejarah pendidikan Islam. Sehingga mengambil saripati yang berkenaan dengan pendidikan Islam dari sejarah Islam adalah hal yang tidak terelakkan ketika mencoba mengeksplorasi sejarah pendidikan Islam.
Pada masa kejayaan pendidikan Islam, lembaga-lembaga pendidikan Islam dan madrasah mengalami perkembangan dan semakin luas. Pada masa ini, terdapat dua pola pemikiran yang saling berlomba mengembangkan diri. Yaitu, pola pemikiran yang bersifat tradisional, yang selalu mendasarkan diri pada wahyu, kemudian berkembang menjadi pola pemikiran sufistis dan mengembangkan pola pendidikan sufi.
Dan pola pemikiran yang lain adalah pola pemikiran rasional, yang mementingkan akal pikiran, menimbulkan pola pendidikan empiris rasional, yang sangat memperhatikan pendidikan intelektual dan penguasaan material. Kedua pola pendidikan tersebut menghiasi dunia Islam dengan saling melengkapi. Setelah pola pemikiran rasional diambil alih pengembangannya oleh dunia Barat (Eropa) dan dunia Islam pun meninggalkan pola berpikir tersebut, maka dalam Islam tinggal pola pemikiran sufistis, yang sangat memperhatikan kehidupan batin. Sehingga pola pendidikan yang dikembangkanpun tidak lagi menghasilkan perkembangan budaya Islam yang bersifat material.
Dari aspek inilah dikatakan pendidikan dan kebudayaan islam mengalami kemunduran, atau kemandegan. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Nasarudin Yusuf, bahwasanya kemunduran umat Islam dalam peradabannya terjadi pada sekitar tahun 1250 M s/d tahun 1500 M.[1] Kemunduran itu terjadi pada semua bidang terutama dalam bidang pendidikan Islam.
Di dalam pendidikan Islam kemunduran itu oleh sebagian diyakini karena berasal dari berkembangnya secara meluas pola pemikiran tradisional. Adanya pola itu menyebabkan hilangnya kebebasan berpikir, tertutupnya pintu ijtihad, dan berakibat langsung kepada menjadikan fatwa ulama masa lalu sebagai dogma yang harus diterima secara mutlak (taken for garanted).
Di saat umat Islam mengalami kemunduran, di dunia Eropa malah sebaliknya mengalami kebangkitan mengejar ketertinggalan mereka, bahkan mampu menyalin akar kemajuan - kemajuan Islam. Ilmu Pengetahuan dan filsafat tumbuh dengan subur di tempat-tempat orang Eropa. Sebaliknya  pola pikir tradisional yang berkembang di dunia Islam terus tertanam dan tumbuh subur.
Hal ini merupakan penyebab beralihnya secara drastis pusat pendidikan dari dunia Islam ke Eropa. Dari sebab itulah minat keilmuan kaum muslim lebih kepada bidang batiniah, bukan material yang juga berimbas kepada keberlangsungan dari pendidikan Islam. Sehingga pusat pendidikan hanya terjadi di tempat yang seadanya. Selanjutnya, tempat atau lembaga-lembaga pendidikan bagi para sufi disebut dengan khanqah, zawiyah dan ribath.


B.       Khanqah, Zawiyah dan Ribath sebagai Lembaga Pendidikan

Pada masa kejayaan Islam, asrama bagi orang-orang yang menuntut ilmu, terutama ilmu tasawuf biasa disebut dengan khanqah atau zawiyah. Di Afrika Utara, pusat kegiatan sufi disebut ribath sedangkan di India disebut dengan jama’ah khana.[2] Menyebutkan ribath adalah pusat latihan yang berasal dari daerah Arab. Sedangkan di Khurasan disebut khanqah. Tempat ini merupakan pusat kegiatan kaum sufi maupun tempat pembinaan dan penggemblengan para calon sufi yang diisi dengan kegiatan pendidikan, pelatihan, kajian keagamaan, dan ibadah mahdhah kepada Allah SWT.
Pada abad ke-16 dan ke-17, di samping lembaga pendidikan madrasah dan kajian keislaman di Masjid al-Haram dan Masjid al-Nabawi, berdiri zawiyah, khanqah atau ribath dalam jumlah besar. Di Mekkah saja ada sekitar 50 ribath, sedangkan di Madinah tercatat tidak kurang dari 30 ribath. Dalam awal perkembanganya, pelaksanaan pendidikan dalam Islam adalah di masjid.[3]
Namun, semakin lama jumlah peserta didik semakin banyak. Untuk menampung kegiatan halaqah yang semakin marak sejalan dengan meningkatnya jumlah pelajar dan berbagai ilmu pengetahuan yang berkembang maka dibangun ruang-ruang khusus untuk kegiatan halaqah tersebut di sekitar masjid dan dibangun pula tempat-tampat khusus untuk para guru dan pelajar sebagai tempat tinggal dan tempat kegiatan belajar mengajar yang disebut dengan nama zawiyah atau ribath. Pada dasarnya timbulnya madarasah di dunia Islam merupakan usaha pengembangan dan penyempurnaan zawiyah - zawiyah tersebut guna menampung pertumbuhan dan perkembangan ilmu. Dan keilmuan yang berkembang pada masa itu adalah dalam bidang sufistis. Tempat belajar dan training tasawuf dikenal dengan nama zawiyah (sudut ruangan), ribath (serambi atau koridor) dan khanqah (pondokan).
1.         Khanqah
Biasanya sebuah persaudaraan sufi lahir karena adanya seorang guru Sufi yang memiliki banyak murid atau pengikut. Pada abad ke-11 M persaudaraan sufi banyak tumbuh di negeri-negeri Islam. Pada awalnya merupakan gerakan lapisan elit masyarakat muslim, tetapi lama kelamaan menarik perhatian masyarakat lapisan bawah. Pada abad ke-12 M banyak orang Islam memasuki tarekat-tarekat sufi.
Pada waktu itu kegiatan mereka berpusat di khanqah, yaitu sebuah pusat latihan sufi yang banyak terdapat di Persia dan wilayah sebelah timur Persia. Khanqah bukan hanya pusat para Sufi berkumpul, tetapi juga disitulah mereka melakukan latihan dan kegiatan spiritual, serta pendidikan dan pengajaran formal, termasuk dalam hal kepemimpinan.[4]
Selain itu juga kegiatan-kegiatan sufi di khanqah, antara lain: kegiatan menyanyikan puji-pujian, berdzikir dan membaca puisi. Para murid diberi tugas yang berbeda-beda di dalam khanqah sesuai dengan kemajuan rohaninya. Murid yang paling tulus hatinya dapat mencapai jajaran khalifah. Dia dapat tinggal di dalam pesantren untuk menggantikan syekh kalau beliau meninggal atau dikirim ke luar negeri untuk memperluas dan mengajarkan tarekat. Tentu hal ini dilakukan setelah ia dilantik oleh sang guru dan dipakaikan khirqa atau jubah sufi dengan disertai pemberian ijazah kepadanya dan tidak semua materi bisa diajarkan olehnya tanpa perintah sang pembimbing.
Lembaga khanqah pada paruh kedua abad ke-5 memiliki hubungan yang sangat erat dengan penguasa politik dinasti Saljuk. Sehingga, Khanqah menjadi semakin kokoh eksistensinya. Hal ini dibuktikan dengan meluasnya institusi khanqah secara pesat bersamaan dengan ekspansi Saljuk ke luar Khurasan dan Irak. Salah satu fungsi penting lain dari kanqah ialah sebagai pusat kebudayaan dan agama. Sebagai pusat kebudayaan dan agama, lembaga kanqah mendapat subsidi dari pemerintah, bangsawan kaya, saudagar dan organisasi/perusahaan dagang. Namun, ada juga yang dari sumber dana pribadi.

2.             Zawiyah
Tempat lain berkumpulnya para sufi ialah zawiyah, arti harafiahnya: sudut, suatu ruangan yang terdapat di sudut masjid yang juga disebut sebagai maksurah yang bisa difungsikan untuk kajian dan pendalam ilmu. zawiyah merupakan sebuah tempat yang lebih kecil dari khanqah dan berfungsi sebagai tempat seorang Sufi menyepi.[5]
 Di Jawa disebut pesujudan, di Turki disebut tekke (dari kata takiyah, menyepi). Zawiyah adalah tempat sekelompok murid tinggal, bekerja dan beribadah di bawah bimbingan seorang syeikh. Zawiyah dipimpin oleh seorang pemimpin spiritual yang merupakan grand master suatu tarekat. Pendidikan di zawiyyah dimulai sejak dini yang diawali dengan membaca dan menghafal al-Qur’an di bawah bimbingan guru. Pada tahap berikutnya murid mulai belajar tafsir al-Qur’an.[6]
Di tempat ini diajarkan juga ilmu syariat, ibadah ritual, etika, filsafat, dan tata bahasa dengan guru tersendiri. Di sebagian zawiyyah bahkan diajarkan pula puisi dan nyanyian. Untuk setiap materi dan kecakapan yang ditargetkan memiliki guru tersendiri. Setelah mencapai usia baligh dan dianggap matang murid boleh mengajukan diri untuk mengikuti baiat sebagai tanda masuknya seseorang ke dalam tarekat, baiat ini langsung ditangani oleh Syeikh.
 Bahkan dalam catatan Kabbani, banyak pola pendidikan tasawuf berkembang menjadi lembaga pendidikan yang sangat terkenal. Sebagai contoh, Ribath Abdulah Ibn Mubarak di Merv, Khaniqah Baibarsiyyah di Kairo dan sebuah sekolah sufi yang dipimpin oleh seorang muhadits besar, Ibn Hajar al-Asqalani.[7]

3.             Ribath
Tempat lain lagi berkumpulnya sufi ialah ribath. Ribath punya kaitan dengan tempat tinggal prajurit dan komandan perang, sebagai tangsi atau barak militer. Pada masa berkecamuknya peperangan yang menyebabkan orang mengungsi, dan juga berakibat banyaknya tentara tidak aktif lagi dalam dinas militer, membuat ribath ditinggalkan tentara dan dirubah menjadi tempat tinggal para Sufi dan pengungsi yang mengikuti perjalanan mereka.[8]
Ribath biasanya adalah sebuah komplek bangunan yang terdiri dari madrasah, masjid, pusat logistik dan tempat kegiatan lain termasuk asrama, dapur umum, klinik dan perpustakaan. Dapur dibuat dalam ukuran besar, begitu pula ruang tamu dan kamar-kamar asrama. Ini menunjukkan bahwa ribath setiap kali dikunjungi banyak orang, selain tempat berkumpulnya banyak orang. Ribath secara harfiyah berarti benteng. Dalam bahasa Arab, kata ribath mempunyai beberapa arti:
a. Sesuatu yang dibuat untuk mengikat (tali, dsb)
b. Sekawanan kuda, rombongan (pasukan) berkuda
c. Tangsi, markas tentara
d. Tempat yang diwakafkan untuk fakir miskin
e. Hati Dalam bahasa Indonesia kata “ribath” mengandung arti gedung atau tempat melakukan pelatihan peribadatan dan kewajiban lain.[9]

Istilah ribath itu sendiri diambil dari firman Allah SWT dalam surah Al-Anfal ayat 60 yang artinya: Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).
Sehubungan dengan pendidikan, Ribath adalah pusat kegiatan kaum sufi, tempat pembinaan dan penggemblengan para calon sufi yang diisi dengan kegiatan pendidikan, pelatihan, pengkajian agama dan ibadah kepada Allah SWT. Jadi, ribath merupakan tempat kegiatan kaum sufi yang ingin menjauhkan diri dari kehidupan duniawi dan mengkonsentrasikan diri untuk ibadah semata-mata. Istilah ribath banyak dipergunakan di dunia Islam bagian barat, seperti; Maroko dan Tunisia. Ribath mempunyai pengertian sama dengan khanqah dan zawiyah. Khanqah adalah istilah yang banyak digunakan di bagian timur, seperti di Persia dan India.
Sedangkan zawiyah banyak digunakan di bagian tengah dunia Islam atau tekke di Turki. Dan dalam perkembangannya, istilah ribath tidak banyak digunakan untuk latihan militer, tetapi lebih banyak diarahkan kepada latihan spiritual dari aliran tarekat atau difungsikan sebagai tempat pendidikan calon sufi. Ribath banyak dibangun di daerah perbatasan dan dilengkapi dengan menara pengawas.
Di dalam ribath tentara-tentara muslim melakukan latihan-latihan militer disamping ibadah keagamaan, sehingga ribath mempunyai dua fungsi yaitu tempat ibadah dan markas tentara. Seiring dengan perjalanan waktu dan kondisi politik, maka penghuni ribath mengalihkan kecenderungan hidup dari pola perang fisik melawan musuh ke pola perang melawan diri dan jiwa dengan praktik sufi. Ribath biasanya dihuni oleh sejumlah orang miskin yang secara bersama - sama menjalankan aktivitas keilmuwan di samping melakukan praktik-praktik sufistik.[10]
Biasanya, di setiap Ribath terdapat seorang syekh yang terkenal dengan kesalehan dan ketinggian ilmunya. Ribath yang memiliki seorang syekh terkenal akan banyak dikunjungi orang dan memiliki banyak murid. Sebuah ribath yang sangat kuno ditemukan di Teluk Persia, yang cikal bakalnya adalah seorang sufi bernama Abdul Wahid ibn Zayd (w.177 H/793 M). Ribath ini masih tetap ada sepeninggalnya, bahkan menjadi terkenal. Ribath-ribath lain di bangun selama penyerangan ke Byzantium dan juga Afrika Utara. Sentra-sentra peribadatan juga disebut-sebut orang di Damaskus sekitar 150 H/767 M.[11]
Di dalam ribath kaum sufi atau calon sufi di didik dengan berbagai macam pendidikan agama dan dilatih melaksanakan suluk tertentu sesuai dengan ajaran dari tarekat pemilik ribath tersebut. Disamping itu, di dalam ribath juga dilaksanakan aktifitas ibadah keagamaan pada umumnya. Para pengikut suatu tarekat, dalam menjalani latihan tarekatnya atau melakukan suluk, berada di dalam ribath untuk waktu tertentu dengan bimbingan syekh pendirinya. Murid-murid pada masa itu juga diajarkan berbagai macam kitab yang khusus yang dipergunakan di kalangannya sendiri baik mengenai ilmu fiqh dan ilmu tasawuf, mempunyai dzikir dan doa serta wirid yang khusus pula.
Di samping itu, juga ada perjanjian-perjanjian tertentu dari murid terhadap gurunya yang biasa disebut bai’at. Anggota dari sebuah ribath tersusun atas dua kelompok, murid dan pengikut yang tinggal dalam ribath dan memusatkan perhatian pada ibadat, serta pengikut awam yang tinggal di luar serta tetap bekerja dalam pekerjaan mereka sehari-hari, tetapi pada waktu-waktu tertentu berkumpul di ribath untuk mengadakan latihan spiritual. Fasilitas yang terdapat di dalam ribath bermacam-macam, tergantung kemampuan pemilik ribath itu sendiri. Kelompok tarekat yang besar dengan jumlah pengikut yang besar dan memiliki kemampuan yang cukup, mempunyai ribath yang indah dan megah, sementara bagi kelompok tarekat yang kecil, ribath mereka juga biasanya kecil dan sederhana.[12]
 Pada beberapa ribath, para pengikut tarekat tinggal di dalam kamar-kamar tertentu secara terpisah, tetapi ada juga ribath yang tidak mempunyai kamar-kamar, dan hanya merupakan sebuah ruangan besar serba guna yang dipakai secara bersama, baik untuk tempat tinggal, ruang belajar, beribadah maupun bekerja. Sumber biaya untuk sebuah ribath juga bermacam-macam. Ada ribath yang mendapat bantuan tetap dari pemerintah atau dermawan tertentu, tetapi ada pula ribath yang hidup di futuh, yaitu tanpa bantuan atau tunjangan dari siapapun.
Para penghuni ribath terakhir ini melakukan segenap aktifitasnya dengan biaya mereka sendiri. Sebagai sebuah tempat khusus untuk pembinaan dan penggemblengan para pengikut suatu tarekat yang juga calon-calon sufi, ribath mempunyai peraturan-peraturan tertentu, baik bagi penghuninya maupun bagi orang-orang yang akan berkunjung ke tempat ini.
Ketat tidaknya aturan tersebut tergantung kepada pemilik ribath yang bersangkutan, dalam hal ini ajaran-ajaran dari tarekat pemilik ribath itu. Karena ribath berfungsi sebagai tempat tinggal, pendidikan, dan latihan bagi para pengikut suatu tarekat, maka ribath merupakan sebuah madrasah atau asrama, dan keberadaannya tidak terlepas dari kaum sufi dan tarekat.
Pendidikan yang dilakukan oleh para sufi dalam ribath ternyata sangat efektif, baik dalam pembinaan akhlak, ibadat maupun penanaman rasa percaya diri pendalaman ilmu pengetahuan agama. Kerena itu, Syekh Muhammad Abduh berkata: “seandainya usahaku memperbaiki Al-Azhar tidak berhasil, aku akan memilih sepuluh orang diantara muridku. Lalu, mereka akan kutempatkan di rumahku di Ain Syams (Kairo) dan ku didik dengan metode pendidikan seperti yang dilakukan para sufi, disertai peningkatan pengetahuan mereka”.
Syeikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani mengggunakan model ribath untuk tempat tinggal bersama keluarga dan tempat belajar muridnya dibanding model yang lain. Tersebarnya para alumnus dari masing-masing institusi tarekat yang mendapatkan ijazah untuk meninggalkan ribath gurunya dan mendirikan ribath tersendiri di daerah lain, menjadikan banyak cabang ribath-ribath baru berdiri di berbagai daerah. Dan ini menyebabkan tidak adanya kreasi baru oleh masing-masing pemimpin ribath (mursid).
Dalam perjalanan sejarah, orang-orang ribath pernah berhasil membangun sebuah kerajaan besar yang diberi nama Al-Murabitun. Kerajaan ini didirikan oleh Yahya bin Umar sebagai pemimpin politik dengan Abdullah bin Yasin sebagai pemimpin spiritualnya. Dinasti Al-Murabitun memegang tampuk kekuasaan selama sekitar 90 tahun dengan enam orang pengusanya: Abu Bakar bin Umar, Ibnu Tasyfin, Ali bin Yusuf, Tasyfin bin Ali, Ibrahim bin Tasyfin, dan yang terakhir Ishak bin Ali. Wilayah kekuasaannya cukup luas, meliputi daerah Maroko, gurun Sahara di Afrika barat laut, dan Spanyol, dengan pusat pemerintahan di Marrakech (Maroko).[13]
Dinasty Murabitun pada awalnya adalah sebuah paguyuban militer keagamaan yang didirikan pada paaruh abad ke-11 oleh seorang muslim yang saleh di sebuah ribath (dari sinilah berasal nama Murabitun), yang dalam bahasa Prancis marabout berarti penggemar. Perjalanan kehidupan tidaklah stagnan, tetapi mengalami sebuah fase-fase tertentu yang kadang kala membuahkan sejarah akan kemajuan atau kemunduran suatu kaum, bangsa bahkan masa.
Hal ini rupanya berlaku juga bagi eksistensi ribath sebagai lembaga pendidikan pada masa klasik. Karenanya, setelah Madrasah berdiri, kebanyakan Ribath berubah fungsi hanya sebagai asrama saja, sementara proses pendidikan dan pengajaran berlangsung di Madrasah.

C.      Peran Khanqah, Zawiyah dan Ribath dalam Pendidikan pada Abad ke-13 M.
Ketika Baghdad ditaklukkan tentara Mongol, khanqah serta ribath dan zawiyah berfungsi banyak. Kajian keilmuan yang semula berkembang pesat dan mencapai masa keemasan, telah luluh lantak tinggal keruntuhan. Sehingga, perkembangan pendidikan pun menjadi tersendat dan mandeg.
Dan pada tahap selanjutnya, arah pendidikan lebih cenderung kepada nuansa sufistis dan lebih banyak memanfaatkan tempat-tempat tertentu untuk melakukan proses pendidikan dan pengajaran, seperti halnya khanqah, zawiyah dan ribath. Karena itu tidak heran apabila di berbagai tempat organisasi khanqah tidak sama. Ada kanqah yang menerima subsidi khusus dari kerajaan, ada yang memperoleh dana dari sumber swasta yang berbeda-beda, termasuk dari sumbangan para anggota tarekat.
Salah satu contoh khanqah terkemuka ialah Khanqah Sa`id al-Su`ada yang didirikan pada zaman Bani Mameluk oleh Sultan Salahudin al-Ayyubi pada tahun 1173 M di Mesir. Dalam khanqah itu hidup tiga ratus ahli suluk, guru sufi dan pengikut mereka, serta menjalankan banyak aktivitas sosial keagamaan.
Organisasi khanqah dipimpin oleh seorang guru yang terkemuka disebut amir majlis. Khanqah, zawiyah dan ribath merupakan lembaga pendidikan yang bergerak untuk pelaksanaan pendidikan dan pengajaran ilmu-ilmu keagamaan. Lembaga-lembaga tersebut menjadi cikal bakal terbentuknya madrasah pada masa pembaharuan, setelah terjadinya masa kemunduran pada masa bani Abbasiyah. Dan pada akhirnya, lembaga-lembaga seperti khanqah, zawiyah dan ribath ini ditinggalkan karena beralih kepada lembaga pendidikan yang lebih baik dan terstruktur dan sistematis.

D.      Penutup
Kesimpulan
1.      Khanqah merupakan sebuah tempat pemondokan yang dijadikan sebagai lembaga pendidikan kaum sufi dalam ilmu-ilmu keagamaan.
2.      Zawiyah sebuah tempat yang lebih kecil dari khanqah. Zawiyah merupakan suatu ruangan yang terdapat di sudut masjid yang juga disebut sebagai maksurah dan difungsikan untuk kajian dan pendalaman ilmu dan sebagai tempat seorang Sufi menyepi.
3.      Ribath pada awalnya merupakan benteng atau tangsi pertahanan militer yang kemudian beralih fungsi sebagai tempat berlangsungnya pendidikan dan pengajaran.

E.       Daftar Pustaka
Asari, Hasan. 1994. Menyingkap Zaman Keemasan Islam. Bandung: Mizan
Asrohah, Hanun. 1999. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Logos
Fahmi, Asma Hasan. 1979. Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Nata, Abudin. 2011. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana
Nizar, Samsul. 2008. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Yatim, Badri. 2007. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Press



[1] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h.75
[2] Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 161-162
[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2007), h.111
[4] Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979),  h. 46
[5] Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 161-162
[6] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2007), h.112
[7] Ibid, h.113
[8] Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 161-162
[9] Ibid, h.162
[10] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), h. 65
[11] Ibid, h.66
[12] Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam, (Bandung : Mizan, 1994), h.96.
[13] Ibid, h.96 - 97

Tidak ada komentar:

Posting Komentar