SPIRITUALITAS
DAN AKHLAK PADA ERA MODERN
Oleh
Muhammad Syamsuddin
Mahasiswa Pasca Sarjana STAIN Pekalongan
PENDAHULUAN
Kemajuan yang
telah merambah dalam berbagai aspek kehidupan manusia, baik sosial, ekonomi,
budaya dan polotik, mengharuskan individu untuk beradaptasi terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi secara cepat dan pasti. Padahal dalam
kenyataannya tidak semua individu mampu melakukannya sehingga yang terjadi
justru masyarakat atau manusia yang menyimpan banyak problem.
Berbicara
masalah solusi, kini muncul kecenderungan
masyarakat untuk mengikuti kegiatan-kegiatan spiritual atau tasawuf. Tasawuf
sebagai inti ajaran Islam
muncul dengan memberi solusi dan terapi bagi problem manusia dengan cara
mendekatkan diri kepada Allah yang maha pencipta. Peluang dalam menangani
problema ini semakin terbentang luas di era modern ini.
Makalah ini
berangkat dari sebuah fenomena sosial masyarakat yang kini hidup di era modern,
dengan perubahan sosial yang cepat dan komunikasi tanpa batas, dimana kehidupan
cenderung berorientasi pada materialistik, hedonistik, sekuleristik,
dan rasionalistik dengan kemajuan IPTEK di segala bidang. Mereka semakin
kehilangan visi keilahian. Kondisi ini ternyata tidak selamanya memberikan
kenyamanan, tetapi justru melahirkan abad kecemasan. Kemajuan ilmu dan
teknologi hasil karya cipta manusia yang memberikan segala fasilitas kemudahan,
ternyata juga memberikan dampak berbagai problema psikologis bagi manusia itu
sendiri.
Masyarakat
modern kini sangat mendewa-dewakan ilmu pengetahuan dan teknologi, sementara
pemahaman keagamaan yang didasarkan pada wahyu sering di tinggalkan dan hidup
dalam keadaan sekuler. Bagi masyarakat kita, kehidupan semacam ini sangat
terasa di daerah-daerah perkotaan yang saling bersaing dalam segala bidang.
Sehingga kondisi tersebut memaksa tiap individu untuk beradaptasi dengan cepat.
Keadaan yang seperti itu menjadikan spiritualitas dan akhlak harus lebih
berperan dalam menghadapi tantangan modernitas.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Spiritual
dan Akhlak
1. Pengertian Spiritual
Kata spiritual merupakan bentuk derivasi dari kata spirit.
Dalam bahasa Inggris, spirit berarti a person’s mind atau person’s
soul. Kemudian spiritual berarti human spirit atau human soul.
Kata spiritualitas diturunkan dari kata spirituality, yang dimaknai
sebagai kualitas manusia yang berhubungan dengan persoalan - persoalan
spiritual.[1]
Dalam bahasa Indonesia spiritual diartikan sebagai segala sesuatu yang
berhubungan dengan kejiwaan (rohani atau batin).
Spiritualitas
dalam makna yang luas, merupakan hal yang berhubungan dengan spirit. Sesuatu
yang spiritual memiliki kebenaran abadi yang berhubungan dengan tujuan hidup
manusia. Salah satu aspek menjadi spiritual adalah memiliki arah dan tujuan
hidup, yang secara terus menerus meningkatkan kebijaksanaan dan kekuatan
berkehendak dari seseorang, mencapai hubungan yang lebih dekat dengan Allah.[2]
2. Pengertian
Akhlak
Sebagaimana disebutkan oleh M. Yatimin
Abdullah, menurut bahasa (etimologi), akhlak ialah bentuk jamak dari khuluq
yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Dalam bahasa
Yunani, pengertian khuluq ini disamakan dengan kata ethicos atau ethos,
artinya adab kebiasaan, perasaan batin, kecenderungan hati untuk melakukan
perbuatan.
Sedangkan dari
sudut istilah (terminologi), para ahli berbeda pendapat, namun intinya sama
yaitu tentang perilaku manusia. Pendapat-pendapat ahli tersebut dihimpun
sebagai berikut:
a) Imam
Al-Ghazali mengatakan akhlak ialah sifat yang tertanam dalam jiwa yang
menimbulkan bermacam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan
pemikiran dan pertimbangan.[3]
b) Farid
Ma’ruf mendefinisikan akhlak sebagai kehendak jiwa manusia yang menimbulkan
perbuatan dengan mudah karena kebiasaan, tanpa memerlukan pertimbangan pikiran
terlebih dahulu.[4]
Jadi, pada hakikatnya khuluq (budi
pekerti) atau akhlak ialah suatu kondisiatau sifat yang telah meresap dalam
jiwa dan menjadi kepribadian. Dari sini, timbulah berbagai macam perbuatan
dengan cara spontan tanpa dibuat-buat dan tanpa memerlukan pikiran. Dapat
dirumuskan bahwa akhlak ialah ilmu yang mengajarkan manusia berbuat baik dan
mencegah perbuatan jahat dalam pergaulannya dengan Tuhan,manusia, dan makhluk
sekelilingnya.[5]
Adapun
pengertian akhlak Islam dapat diartikan sebagai akhlak yang berdasarkan ajaran
Islam atau akhlak yang bersifat Islami. Kata Islam yang berada di belakang kata
akhlak dalam hal menempati posisi sebagai sifat. Dengan demikian, akhlak
Islami adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah, disengaja,
mendarah daging dan sebenarnya yang didasarkan pada ajaran Islam. Dilihat dari
segi sifatnya yang universal, maka akhlak Islami juga bersifat universal.
Dengan
kata lain, akhlak Islami adalah akhlak yang di samping mengakui adanya nilai-nilai
universal sebagai dasar bentuk akhlak, juga mengakui nilai-nilai yang bersifat
lokal dan temporal sebagai penjabaran atas nilai-nilai universal
itu.Menghormati kedua orang tua misalnya adalah akhlak yang bersifat mutlak
danuniversal. Sedangkan bagaimana bentuk dan cara menghormati kedua orang tua dapat dimanifestasikan
oleh hasil pemikiran manusia yang dipengaruhi oleh kondisi dan situasi dimana
orang yang menjabarkan nilai universal itu berada.
Bagi
orang Jawa misalnya menghormati kedua orang tua dengan cara sungkem sambil menggelesor di
lantai. Bagi orang Sunda, menghormati orang tua dengancara mencium tangannya.
Dan, menurut orang Sumatera, menghormati keduaorang tua dengan cara
memeliharanya hidup bersama dengan anaknya.Selanjutnya bagi orang Barat berbuat
baik kepada kedua orang tua mungkindilakukan dengan memberikan berbagai
fasilitas hidup dan sebagainya.[6]
B. Pengertian Modern dan Masyarakat Modern
Kata
modern berasal dari bahasa Inggris dengan kata yang sama. Kata ini aslinya
berasal dari bahasa Latin, yaitu bentukan dari kata modo yang
berarti cara, dan ernus yang berarti masa kini. Zaman
modern biasanya merujuk pada tahun-tahun setelah 1500 M.[7]
Modern sendiri menurut KBBI adalah sikap dan cara berpikir serta cara bertindak
sesuai dengan tuntunan zaman.[8]
Zaman
modern ditandai dengan perkembangan pesat dibidang ilmu pengetahuan, politik,
dan teknologi. Dari akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, seni modern, politik,
ilmu pengetahuan dan teknologi, serta budaya tak hanya mendominasai Eropa Barat
dan Amerika Utara, namun juga hampir setiap jengkal daerah di dunia.[9]
Adapun
pengertian masyarakat modern menurut Abuddin Nata adalah himpunan orang yang
hidup bersama disuatu tempat dengan ikatan-ikatan dan aturan tertentu yang
bersifat mutakhir. Artinya masyarakat tersebut memiliki kehidupan modern yang
ditandai dengan kemajuan pesat dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta
komunikasi dan transportasi. Kemajuan pesat tersebut dinamakan globalisasi.
Globalisasi telah membawa perubahan terhadap perilaku kehidupan masyarakat,
baik dibidang politik, ekonomi, sosial maupun budaya.
C. Spiritual dan Akhlak di Era Modern
Kebanyakan
manusia lebih cenderung pada urusan dunia sehingga ia tidak begitu tergugah
hatinya untuk menelusuri perjalanan rohani atau spiritual. Manusia merasa tidak
membutuhkan sesuatu apapun selain materi karena ia merasa terpuaskan dengan
kesenangan dunia yang sejatinya hanyalah akan memperbudak dirinya. Padahal,
rohani manusia sangatlah jauh lebih fundamental dan tentu akan mengantarkan
manusia pada kebahagiaan yang jauh lebih tinggi dari kebahagiaan duniawi.
Manusia yang cenderung pada dunia materi, tentu materi akan menutupi dirinya
dari hakikat kebahagiaan sebenarnya.
Di
zaman modern, dimana materi lebih sebagai orientasi dan pusat hidup yang utama,
kejernihan hati pun telah mulai sirna. Oleh karena itu, hanya jalan spiritual yang sebagai jalan
penjernihan hati yang mampu mengatasi budaya modern yang kian menjauh dari
nilai-nilai agama. Untuk memberikan arahan manusia pada perjalanan spiritual,
tentu sangat lazim bagi manusia untuk mengenal terlebih dahulu arti perjalanan
spiritual itu sendiri.
Perjalanan
spiritual adalah salah satu bagian dari tasawuf. Dalam pandangan tasawuf,
manusia pesuluk adalah manusia yang dengan menapaki jalan-jalan spiritual. Ia
kembali ke tempat asalnya dengan kedekatan kepada Allah serta mengabadikan dirinya dengan
kebersamaan dengan Allah.
Untuk
itu, mendekati Allah
itu tidaklah mudah, manusia harus menyucikan dirinya dengan melepaskan roh dari
kukungan materi. Banyak tahap-tahap perjalanan spiritual yang ditawarkan oleh
kaum sufi dimana manusia yang hendak melakukan perjalanan spiritual haruslah
mengikuti tahapan tersebut. Oleh karena itu, dalam prosesnya, haruslah
dilakukan dibawah bimbingan seorang pembimbing spiritual yang benar-benar
berpengalaman yang mungkin akrab dan sangat mengetahui prosedur perjalanan
serta pernah melewati sendiri semua tahap dalam perjalanan tersebut. Dikatakan
demikian, karena tanpa bimbingan seorang syaikh yang berpengalaman, sang salik
bisa kehilangan jalan dan tersesat.
H.
Abdul Muhaya berpendapat
bahwa tasawuf mampu berfungsi
sebagai terapi krisis spiritual dengan beberapa sebab. Tasawuf secara
psikologis, merupakan hasil dari berbagai perngalaman spiritual dan merupakan
bentuk dari pengetahuan langsung mengenai realitas-realitas ketuhanan yang
cenderung menadi inovator dalam agama. Pengalaman keagamaan ini memberikan
sugesti dan pemuasan (pemenuhan kebutuhan) yang luar biasa bagi pemeluk agama.[10]
Sementara itu, M.
Amin Syukur mengatakan: Tasawuf
merupakan wujud dari hadits Nabi saw tentang ihsan yakni, “Beribadah kepada
Allah seakan-akan melihat-Nya, namun apabila Anda tidak mampu, maka hendaknya
diketahui bahwa Dia melihat kepada Anda.” Dengan landasan ihsan ini,
selanjutnya tasawuf mengandung makna ibadah dengan penuh keikhlasan dan
kekhusyukan, penuh ketundukan dengan cara yang baik. Dengan kata lain, menurut
Annemarie Shcimmel, pelaksanaan ihsan atau tasawuf berarti “pembatinan” (interiorization)
Islam.[11]
Dengan pembatinan
itu berarti melaksanakan ajaran Islam secara sempurna. Sebab, seseorang harus
merasakan setiap saat ia berada di hadapan Tuhan, dia harus selalu berlaku
penuh hormat dan puja, jangan sampai terjerumus lagi ke dalam kelalaian dan tak
pernah melupakan kehadiran Ilahi yang merengkuh segalanya. Maka ihsan atau
tasawuf meliputi semua tingkah laku, baik tindakan lahiri maupun batini, dalam
ibadah maupun mu’amalah. Sebab ihsan atau tasawuf adalah jiwa atau roh dari
Iman dan Islam. Iman sebagai fondasi yang ada pada jiwa seseorang dari hasil
perpaduan antara ilmu dan keyakinan.
Kaitannya
dengan modernitas. Modernitas itu muaranya materialistik dan ujungnya lagi
lebih ke sekuler. Akhirnya terjadi kontradiksi antara modernitas dengan sufisme
itu. Masalahnya kehidupan ini tidak bisa menghindari modernitas. Karena perlu
ada keterpaduan antara fungsi sufisme dan modernitas. Modernitas sesungguhnya
tidak bertentangan dengan sufi, sebab manusia terdiri dari jiwa dan raga.
Sufisme harus menjadi pembimbing modernitas. Sufi akan mengembalikan jiwa
menguasai materi, bukan sebaliknya justru jiwa dikuasai oleh materi. Dan
bagaimana memanusiakan nilai-nilai ketuhanan itu menyatu dalam diri manusia.
Selain itu, pada
akhir abad kelima belas Masehi, Eropa mulai mengalami kebangkitan dalam bidang
filsafat, ilmu pengetahuan dan teknologi. Para ahli bangsa Eropa termasuk
Itali mulai meningkatkan kegiatan dalam bidang filsafat Yunani, ilmu
pengetahuan dan teknologi tersebut. Kehidupan mereka yang semula terikat pada
dogma Kristiani, khayal dan mitos mulai digeser dengan memberikan peran
yang lebih besar kepada kemampuan akal pikiran. Segala sesuatu yang selama ini
dianggap mapan mulai diteliti, dikritik dan diperbaharui hingga akhirnya mereka
menerapkan pola bertindak dan berpikir secara liberal.
Diantara masalah
yang mereka kritik dan dilakukan pembaharuan adalah masalah akhlak. Penentuan
patokan baik buruk yang semula didasarkan paradogma gereja diganti dengan
penentuan baik buruk berdasarkan pandangan ilmu pengetahuan yang
didasarkan pada pengalaman empirik. Hal yang demikian pada gilirannya
melahirkan apa yang disebut dengan etika dan moral yang berbasis pada
pemikiran akal pikiran.
Pandangan baru
terhadap akhlak tersebut pada tahap selanjutnya mampu mengubah konsep-konsep akhlak termasuk dalam
menilai sesuatu yang baik dan mulia. Selanjutnya pandangan akhlak mereka
diarahkan pada perbaikan yang berkaitan dengan kehidupan para pemuda,
wanita dan anak-anak dengan tujuan agar mereka menjadi anggota masyarakat yang
mandiri. Penyelidikan baru yang mereka lakukan itu berjasa bagi penentuan
patokan mengenai hak dan kewajiban yang pada akhirnya melahirkan masyarakat
yang bersifat individualistik, mandiri dan inovatif.
Banyak tokoh
pemikir akhlak yang lahir pada abad baru ini. Mereka itu diantaranya adalah
Descartes, Shafesbury dan Hatshon, Bentham, John Stuart, MillKant dan Bertrand
Russel. Pemikiran akhlak telah banyak mereka kemukakan dan tersebar dalam
berbagai literatur mengenai etika, dan sebagian menjadi pedoman hidup
masyarakat Barat dan Eropa hingga saat ini.[12]
Sebagai contoh
pemikiran akhlak era modern, Bertrand Russel, menurutnya manusia bersifat
materialistik, dan ia tidak lebih dari wujud benda. Dengan dasar ini, maka
ia mengingkari adanya perbuatan yang ditujukan untuk kebaikan orang lain. Ia
mengklaim bahwa perasaan mencintai orang lain adalah kebohongan semata. Karena
mencintai orang lain tidak lebih sekadar dari basa-basi.
Menurut Russel,
pada dasarnya setiap orang hanya menginginkan segala sesuatu untuk dirinya
sendiri. Manusia tidak mungkin melakukan perbuatan untuk orang lain. Russel
menolak adanya intuisi akhlaki dan keindahan esenial
suatu perbuatan.Menurut Russel, manusia tidak mampu memahami keindahan dan
keburukan pada perbuatan. Dia juga menolak keindahan dan keburukan roh. Menurutnya,
manusia sama sekali tidak mempunyai akal atau roh murni.
Jika diamati
secara seksama, tampak pandangan akhlaki yang dikemukakan Russel bercorak
humanistik. Menurutnya, akhlak adalah senyawa dengan kelicikan dan pandangan
jauh yang dilatarbelakangi oleh tujuan mencarikeuntungan. Semua madzhab akhlaki
memandang bahwa mencari keuntungan berlawanan dengan akhlak, kecuali
madzhab moral Russel. Menurutnya, akhlak harus diwujudkan dalam rangka
mencari keuntungan, akan tetapi mencarikeuntungan secara licik dan dengan
pandangan yang jauh. Manusia yang hendak memenuhi kepentingan
individualitistiknya dengan pandangan jauh dan kelicikan,tindakannya itulah
yang dinamakan akhlak.
Pandangan akhlak
yang terdapat dalam pemikiran Barat tersebut tampak memperlihatkan
coraknya yang amat sekuler, yakni memisahkan pandangan akhlak tersebut dari
agama atau wahyu Tuhan. Pandangan akhlak yang dikemukakan para sarjana Barat
itu sepenuhnya didasarkan pada pemikiran manusia semata-mata.[13]
D.
Problematika Spiritualitas dan
Akhlak di Era Modern
Proses
modernisasi, yang dijalankan oleh dunia barat sejak zaman renaissance,
disamping membawa dampak positif, juga telah menimbulkan dampak negatif. Dampak
positifnya, modernisasi telah membawa kemudahan-kemudahan dalam kehidupan
manusia. Sementara dampak negatifnya, modernisasi telah menimbulkan krisis
makna hidup, kehampaan spiritual dan tersingkirnya agama dalam kehidupan
manusia.[14]
Manusia
modern memperlakukan alam sama dengan pelacur, mereka menikmati dan
mengekploitasi kepuasan darinya tanpa rasa kewajiban dan tanggungjawab apapun.
Inilah yang menciptakan berbagai krisis dunia modern, tidak hanya krisisi dalam
kehidupan spiritual tapi juga dalam kehidupan sosial sehari-hari.[15]
Problem
paling akut yang dihadapi manusia modern, tidak muncul dari situasi pembangunan
yang terbelakang, tapi justru dari pembangunan yang berlebihan. Manusia modern
yang memberontak melawan Allah,
telah menciptakan sebuah sains yang tidak berlandaskan cahaya Allah melainkan yang berdasarkan
kekuatan akal (rasio) manusia
semata untuk memperoleh data melalui indera.[16]
Sikap
hidup yang mengutamakan materi (materialistik) memperturutkan kesenangan
dan kelezatan syahwat (hedonistik) ingin menguasai semua aspek kehidupan
(totaliteristik) hanya percaya pada rumus-rumus pengetahuan empiris saja, serta
paham hidup yang bertumpu pada kemampuan akal pikiran manusia tampak lebih
menguasai manusia yang memegang ilmu pengetahuan dan teknologi. Di tangan
mereka yang berjiwa dan bermental demikian itu, ilmu pengetahuan dan teknologi
modern memang sangat mengkhawatirkan. Mereka akan menjadi penyebab kerusakan di
daratan dan di lautan sebagaimana di isyaratkan Al-Qur'an:
“Telah
nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan
manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan
mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
(QS. Al-Rum
30 : 41)
Dari
sikap mental yang demikian itu kehadiran ilmu pengetahuan dan teknologi telah
melahirkan sejumlah problematika masyarakat modern sebagai berikut :
1. Desintegrasi
Ilmu Pengetahuan. Kehidupan moden antara lain ditandai oleh adanya spesialisasi
di bidang ilmu pengetahuan. Masing-masing ilmu pengetahuan memiliki paradigma
sendiri dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
2. Pendangkalan iman. Lebih
mengutamakan keyakinan kepada akal pikiran dari pada keyakinan religius.
Pornografi dan budaya hidup liberal menyergap generasi muda.
3.
Kepribadian yang
terpecah (Split personality). Karena kehidupan manusia modern dipolakan
oleh ilmu pengetahuan yang coraknya kering nilai-nilai spiritual dan
berkotak-kotak itu, maka manusianya menjadi pribadi yang terpecah (split
personality). Jika proses keilmuan yang berkembang itu tidak berada di bawah
kendali agama, maka proses kehancuran pribadi manusia akan terns bedalan.
Dengan berlangsungnya proses tersebut. Semua kekuatan yang lebih tinggi untuk
mempertinggi derajat kehidupan manusia menjadi hilang, sehingga bukan hanya
kehidupan kita yang mengalami kemerosotan tetapi jugs kecerdasan dan moral.
4. Penyalahgunaan
IPTEK. karena terlepas dari spriritualitas.
Kemampuan membuat senjata telah diarahkan untuk tujuan menjajah bangsa lain
menindas yang lemah. Seperti yang ada kawasan timur tengah, seperti Libya,
Suriah, Palestina, Irak, dan lain sebagainya.
5. Pola hubungan materialistik. Memilih
pergaulan atau hubungan yang saling menguntungkan secara materi.
6. Stress dan frustasi. Jika tujuan
tidak tercapai, sering berputus asa bahkan tidak jarang yang depresi.
Dalam
masyarakat modern yang cenderung rasionalis, sekuler, dan materialis, ternyata
tidak menambah kebahagiaan dan ketentraman hidupnya. Berkaitan dengan itu,
Sayyid Hussein Nasr menilai bahwa akibat masyarakat modern yang mendewakan ilmu
pengetahuan dan teknologi, mereka berada dalam wilayah pinggiran eksistensinya
sendiri. Masyarakat yang demikian adalah masyarakat Barat yang telah kehilangan
visi keilahian. Hal ini menimbulkan kehampaan spiritual, yang berakibat banyak
dijumpai orng yang stres dan gelisah, akibat tidak mempunyai pegangan hidup.[17]
E. Fungsi Spiritualitas Serta Penanaman Akhlak di Era
Modern
Banyak
cara yang diajukan para ahli untuk mengatasi problematika modern. Salah satu
cara yang hampir disepakati secara bulat oleh para ahli adalah dengan cara
mengembangkan kehidupan yang berakhlak dan bertasawuf. Bertasawuf disini
diartikan sebagai jalan atau proses untuk menuju pada ketenangan batin. Yaitu
melalui jalan untuk mendekatkan diri pada Tuhan.
Tujuan ajaran tasawuf sendiri adalah memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga seseorang merasa dengan kesadarannya itu berada di dekat hadirat-Nya. Upaya ini antara lain dilakukan dengan kontemplasi, melepaskan diri dari jeratan dunia yang senantiasa berubah dan bersifat sementara.
Tujuan ajaran tasawuf sendiri adalah memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga seseorang merasa dengan kesadarannya itu berada di dekat hadirat-Nya. Upaya ini antara lain dilakukan dengan kontemplasi, melepaskan diri dari jeratan dunia yang senantiasa berubah dan bersifat sementara.
Sikap
dan pandangan sufistik ini sangat diperlukan oleh masyarkat modern yang
mengalami jiwa yang terpecah sebagaimana disebutkan diatas. Dengan catatan,
asalkan pandangan terhadap tujuan tasawuf tidak dilakukan secara ekslusif dan individual,
melainkan merespon segala masalah yang diihadapi.
Kemampuan
berhubungan dengan Tuhan ini dapat mengintegrasikan seluruh ilmu pengetahuan yang berserakan
itu. Karena melalui tasawuf ini, seseorang di sadarkan bahwa sumber segala
sesuatu, termasuk ilmu adalah Tuhan. Selanjutnya tasawuf melatih manusia agar
memiliki ketajaman batin dan kehalusan budi pekerti. Sikap batin dan kehalusan
ini akan membuat seseorang untuk mengutamakan pertimbangan kemanusiaan pada
setiap masalah yang dia hadapi.
Demikian
pula tarikat yang terdapat dalam tasawuf akan membawa manusia memiliki jiwa
istiqomah dan jiwa yang selalu diisi dengan nilai-nilai ketuhanan. Ia selalu
mempunyai pegangan dalam hidupnya. Keadaan demikian menyebabkan ia tetap tabah
dan tidak mudah terhempas oleh cobaan yang akan membelokkan ke jurang
kehancuran. Dengan demikian, stress, putus asa dan lainya akan dapat dihindari.
Poin
terakhir problematika masyarakat modern diatas adalah kehilangan masa depannya,
merasa sunyi dan kehampaan jiwa di tengah laju dunia modern. Menanggapi hal itu
dalam tasawuf diajarkan untuk ibadah, berdoa, dzikir, taubah dan lain-lainnya.
Inilah yang memberikan harapan pada kehidupan yang lebih bermakna, kehidupan
yang lebih kekal yaitu akhirat.
Itulah
beberapa sumbangan positif dari akhlak tasawuf dalam rangka memecahkan atau
memberikan
solusi atas beberapa permasalahan yang terjadi dalam dunia modern. Akhlak
tasawuf benar-benar menjadi alternatif terbaik yang mampu diterapkan dalam
konsep kehidupan manusia. Maka sudah sewajarnya, kita bersama menyisipkan
sedikit demi sedikit akhlak tasawuf dalam kehidupan kita agar segala sesuatu
menjadi seimbang dan bermakna.
PENUTUP
KESIMPULAN
Spiritualitas
merupakan bentuk kepribadian seseorang yang bersifat kerohaniahan. Sementara
akhlak adalah penyempurna dari rangkaian kegiatan spiritualitas yang terdiri
dari dua bentuk baik mahmudah maupun madzmumah.
Spiritualitas dan akhlak manusia yang terangkum dalam dunia
tasawuf sangat diperlukan untuk
membentengi kehampaan dan bahaya di dalam dunia modern yang cenderung bersifat
rasionalis, hedonis, dan materialis.
DAFTAR PUSTAKA
Syukur, M. Amin. 2012. Sufi Healing, Terapi
dengan Model Tasawuf, (Jakarta : Erlangga,
2012)
________________.
2012. Tasawuf Kontekstual. Yogyakarta, Pustaka
Pelajar
Abdullah, M. Yatimin. 2007. Studi
Akhlak dalam Perspektif Al-Quran.
Jakarta: AMZAH
Al Ghozali, Ihya’
Ulumuddin, bab Bayanu Haqiqoil Kholqi wa Su’i Al-kholqi, Juz 2
Departemen
Pendidikan Nasional. 2008.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa
M.
Pamungkas, Imam. 2012. Akhlak
Muslim Modern. Bandung:
Penerbit Marja
Nata, Abuddin. 2011. Akhlak
Tasawuf.
Jakarta, Raja Grafindo Persada
Nisa, Roisatun. 2009. Aspek
Kecerdasan Spiritual dalam Perspektif Al-Qur’an Malang: UIN Malik Ibrahim
Toriquddin, Moh. 2012. Sekularitas Tasawuf,
Membumikan Tasawuf dalam Dunia Modern, Malang : UIN Malang Press
[1] Amin Syukur, Sufi Healing,
Terapi dengan Model Tasawuf, (Jakarta : Erlangga, 2012), hlm. 43.
[2] Roisatun Nisa, Aspek
Kecerdasan Spiritual dalam Perspektif Al-Qur’an, (Malang: UIN Malik
Ibrahim, 2009), hlm. 53-54.
[3] Al Ghozali, Ihya’ Ulumuddin,
bab Bayanu Haqiqoil Kholqi wa Su’i Al-kholqi, Juz 2, hlm. 253.
[4] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta, Raja
Grafindo Persada, 2011), hlm. 137
[6] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf,
(Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 147-148.
[7] M. Imam Pamungkas, Akhlak
Muslim Modern, (Bandung: Penerbit Marja, 2012), hlm.115
[8] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa), hlm. 965
[10] M. Amin Syukur,Tasawuf Kontekstual,
(Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2012), hlm 38
[11] M. Amin Syukur,Tasawuf Kontekstual,
hlm.39
[12] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf,
(Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 81-82.
[14] Moh. Toriquddin, Sekularitas
Tasawuf, Membumikan Tasawuf dalam Dunia Modern, (Malang : UIN-Malang Press,
2008), hlm. 63-64.
[15] Moh. Toriquddin, Sekularitas
Tasawuf, Membumikan Tasawuf dalam Dunia Modern, hlm. 64.
[17] Moh. Toriquddin, Sekularitas
Tasawuf, Membumikan Tasawuf dalam Dunia Modern, (Malang : UIN-Malang Press,
2008), hlm. 226.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar