IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
PENDIDIKAN
oleh
Muhammad Syamsuddin
Mahasiswa Pascasarjana IAIN Pekalongan
2016
PENDAHULUAN
Implementasi kebijakan publik merupakan salah satu aktivitas dalam proses
kebijakan publik yang menentukan apakah sebuah kebijakan itu bersentuhan dengan
kepentingan publik serta dapat diterima oleh publik. Dalam hal ini, dapat
ditekankan bahwa bisa saja dalam tahapan perencanaan dan formulasi kebijakan
dilakukan dengan sebaik baiknya, tetapi jika pada tahapan implementasinya tidak
diperhatikan optimalisasinya, maka tentu tidak jelas apa yang diharapkan dari
sebuah produk kebijakan itu. Pada akhirnya pun dipastikan bahwa pada tahapan
evaluasi kebijakan, akan menghasilkan penilaian bahwa antara formulasi dan
implementasi kebijakan tidak seiring sejalan, bahwa implementasi dari kebijakan
itu tidak sesuai dengan yang diharapkan, bahkan menjadikan produk kebijakan itu
sebagai batu sandungan bagi pembuat kebijakan itu sendiri.
Proses implementasi kebijakan merupakan proses yang sangat menentukan dan
menegangkan. Proses ini menjadi penting disebabkan akhir dari semua kebijakan
yang sudah diambil selalu pada tahap implementasi. Karena sebaik apapun rumusan
kebijakan yang dibuat, jika tidak diimplementasikan, maka tidak akan dapat
dirasakan manfaatnya. Sebaliknya sesederhana apapun rumusan kebijakan, jika
sudah diimplementasikan, maka akan lebih bermanfaat, apapun hasilnya.[1]
A. Definsi Implementasi Kebijakan Pendidikan
Implementasi menurut Mazmanian dan Sebastiar adalah
pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang,
namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif
yang penting atau keputusan badan peradilan.[2]
Sedangkan Cleaves dengan tegas menyebutkan bahwa implementasi itu mencakup
proses bergerak menuju tujuan kebijakan dengan cara langkah administratif dan
politik.[3]
Menurut Friedrich kebijakan adalah suatu tindakan
yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau
pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan
tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan
sasaran yang diinginkan.[4]
Kebijakan pendidikan merupakan keseluruhan proses dan hasil perumusan
langka-langkah strategis pendidikan yang dijabarkan dari visi, misi pendidikan,
dalam rangka untuk mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan dalam suatu
masyarakat untuk suatu kurun waktu tertentu.
B. Metodologi dalam Implementasi Kebijakan Pendidikan
Brian W. Hoogwood dan Lewis A. Gun
merupakan tokoh pencetus teori yang menggunakan top down approach. Dalam
teori ini, untuk dapat mengimplementasikan kebijakan dengan sempurna, maka
diperlukan beberapa syarat, diantaranya:
a. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh
lembaga atau badan pelaksana tidak akan menimbulkan masalah yang besar.
b. Apakah untuk melaksanakannya tersedia
sumber daya yang memadai termasuk sumber daya waktu.
c. Apakah perpaduan sumber-sumber yang
diperlukan benar-benar ada.
d. Apakah kebijakan yang akan
diimplementasikan didasari hubungan kausal yang andal.
e. Seberapa banyak hubungan kausalitas yang
terjadi. Asumsinya semakin sedikit hubungan sebab akibat semakin tinggi pula
hasil yang dikehendaki oleh kebijakan tersebut dapat dicapai.
f. Apakah hubungan saling ketergantungan
kecil. Asumsinya adalah jika hubungan saling ketergantungan tinggi,
implementasi tidak akan dapat berjalan secara efektif.
g. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan
terhadap tujuan.
h. Tugas-tugas telah dirinci dan
ditempatkan dalam urutan yang benar.
i. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna
j. Pihak-pihak yang memiliki wewenang
kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna.[5]
C. Pendekatan dalam Implementasi Kebijakan Pendidikan
Pendekatan
dalam Analisis Kebijakan diantaranya;
1)
Pendekatan
deskriptif/positif
Merupakan
prosedur/cara untuk menerangkan
suatu gejala yang
terjadi dalam masyarakat dengan keadaan tidak adanya kriteria; bertujuan
mengemukakan penafsiran yang
benar secara ilmiah
mengenai keadaan apa adanya (state of the art) dari
gejala kemasyarakatan agar diperoleh kesepakatan umum mengenai
suatu permasalahan yang
sedang disoroti.[6] Dengan
kata lain pendekatan ini
menekankan pada penafsiran
tentang terjadinya gejala
yang bersangkutan.
Dalam analisis kebijakan, pendekatan ini dimaksudkan
menyajikan informasi apa adanya pada para pengambil keputusan, agar memahami
permasalahan yang sedang disotori dari kebijakan. Pendekatan ini hanyalah
sebagian dari proses analisis kebijakan dalam dimensi rasional.
2) Pendekatan
normatif/preskriptif
Merupakan upaya untuk menawarkan suatu norma,
kaidah, resep yang dapat digunakan dalam rangka memecahkan suatu masalah, yang.
Dalam analisis kebijakan, pendekatan ini dimaksudkan membantu para pengambil
keputusan dalam bentuk pemikiran mengenai prosedur paling efisien dalam
memecahkan masalah kebijakan publik, yang biasanya berbentuk alternatif
kebijakan sebagai hasil dari analisis data. Pendekatan ini hanyalah sebagian
dari proses analisis kebijakan dalam dimensi rasional.
3) Pendekatan
evaluatif
Menerangkan apa adanya tentang hasil dari suatu
keadaan / upaya yang dilakukan oleh suatu kegiatan / program dengan menerapkan
kriteria atas terjadinya keadaan tersebut. Gejala yang diterangkan adalah
gejala yang berkaitan dengan nilai dan pengukuran setelah dihubungkan dengan
kriteria yang sudah ditentukan sebelumnya. Misalnya, meningkatnya mutu
pendidikan adalah suatu gejala yang dipersepsikan setelah dilakukan pengukuran
dalam kaitannya dengan kriteria tentang mutu pendidikan yang ditentukan
sebelumnya. Dengan kata lain, pendekatan ini lebih menekankan pada pengukuran.[7]
D. Skenario Analisis Kebijakan
Skenario merupakan langkah-langkah hipotetik yang
difokuskan pada proses- proses kausalitas dan titik-titik kritis keputusan. Selanjutnya seorang
analis perlu memikirkan
beberapa hal dalam
menentukan langkah menyusun skenario analisis kebijakan sebagai berikut.
1. Merumuskan
lingkungan politik yang relevan dengan masalah kebijakan yang ditanganinya
2. Menghimpun
dan mengorganisasikan informasi politik yang diperlukan
3. Membuat
pertimbangan politik dan mneyiapkan perkiraan kelayakan politiknya.
Adapun langkah-langkah secara garis besar dalam
membuat skenario analisis kebijakan adalah sebagai berikut.
1. Sebelum
menyusun desain alternatif kebijakan, perlu merumuskan dulu bentuk serangkaian
pernyataan-pernyataan hipotetikal, misalnya, jika kita merekomendasikan
kebijakan X, maka kelompok Y akan mendukungnya, sebaliknya kelompok Z akan
cenderung menentangnya
2. Merumuskan
secara tepat policy space (ruang kebijakan) dan mengkaitkannya
dengan substansi kebijakan
sebagai policy issue
area (daerah isu
kebijakan). Setiap sistem politik pada esensinya diasumsikan terdiri
atas sejumlah ruang- ruang kebijakan yang posisinya tumpang tindih, yang
dicirikan adanya sejumlah aktor
tertentu yang preferensi dan predesposisi atas kebijakan sangat jelas.
Misalnya guru, siswa, dinas pendidikan, orangtua murid, stakeholders adalah
termasuk daerah isu kebijakan dalam lingkup ruang kebijakan pendidikan dasar
dan menengah.
3. Memperhatikan
aspek waktu dan fisibilitas sebuah kebijakan
4. Mengkaji
informasi politik yang relevan yaitu menyangkut aktor kunci; motivasi aktor;
kepercayaan politik aktor; sumberdaya; pentas para aktor; dan pertukaran.[8]
Dalam kaitan dengan
skenario analisis kebijakan, ramalan (estimasi) merupakan hal penting bagaimana
fakta yang ada digunakan untuk memperkirakan apa yang akan terjadi. Estimasi
sendiri berkaitan dengan data dan teori yang dapat menjelaskan tentang subjek
yang kompleks. Data dilihat dalam kaitannya dengan teori yang menjelaskan
tentang hubungan antara komponen dalam sistem sosial. Kekurangpahaman tentang
hubungan sosial elementer dalam mengidentifikasi, mengumpulkan dan
mengklasifikasikan data akan mengakibatkan gagalnya analisis kebijakan dilaksanakan. Dunn mengemukakan
mengenai bentuk-bentuk estimasi (ramalan) kebijakan seperti berikut:
Bentuk
ramalan
|
Dasar ramalan
|
Fakus utama
argumen yang
mendukung
|
Proyeksi
|
Kecenderungan
sekarang
dan
historis
|
Metode kasus paralel
|
Prediksi
|
Asumsi teoritis
|
Sebab
(hukum teoritis)
analogi
|
Perkiraan
|
Judgment subjektif
|
Pemahaman motivasi
|
E. Hubungan Antara Pembuat dan Pelaksana Kebijakan
Pendidikan
Keterlibatan pembuat dan pelaksana dalam evaluasi kebijakan bergantung kepada corak hubungan antara
pembuat dan pelaksana kebijakan.Pada hubungan yang bersifat teknokratika,
kewenangan pembuat kebijakan sangat besar dan bahkan hampir-hampir mutlak,
evaluasi yang dilakukan oleh pembuat harus diterima oleh pelaksana. Sebaliknya,
pada hubungan yang bersifat swasta birokratis, keterlibatan pembuat kebijakan
sangat kecil, karena sebagian besar kewenangan evaluasi ini ada pada pelaksana.
Bahkan hak kontrol atas pelaksanaan kebijakan ini sangat banyak ditentukan oleh
pelaksana.[9]
Keterlibatan administrator dalam evaluasi kebijakan, umumnya berdasarkan
kewenangan yang diberikan oleh pelaksana kebijakan. Pertanggungjawaban hasil
evaluasi kebijakan secara formal dan legal ada di tangan pelaksana meskipun
secara materil berada di tangan administrator.Baik keterlibatan pembuat, pelaksana
maupun administrator dalam evaluasi kebijakan umumnya berada di dalam
arena.Jika mereka memberikan penilaian di luar arena, umunya berkapasitas
sebagai pribadi, atau pemberian penilaian yang bersifat tidak formal.
Sementara itu keterlibatan aktor-aktor kebijakan yang bersifat tidak formal
umumnya berada di luar arena.Sebab, jika memang mereka bermaksud memberikan
penilaian secara formal melalui arena, haruslah menjadi aktor kebijakan formal.
Media massa sering kali menjadi mediator dalam penilaian yang dilakukan oleh
peserta-peserta kebijakan tidak formal ini. Dengan demikian, hasil penilaian
tersebut akhirnya juga sampai kepada pelaksana, entah lambat atau cepat.
Dalam proses penilaian, tidak jarang antara aktor-aktor formal dan aktor
non formal tersebut bekerja sama atau membentuk suatu forum.[10]
Forum tersebut sengaja dibentuk dan dibuat dalam rangka memberikan penilaian
menyeluruh terhadap kebijakan. Dengan adanya forum, akan didapatkan hasil
penilaian yang berasal dari banyak variasi pandangan sehingga didapatkan hasil
penilaian hasil yang lebih komprehensif. Yang termasuk aktor-aktor non formal
evaluasi kebijakan adalah: partai politik, organisasi massa, interest group,
kelompok perantara, mitra pelaksana kebijakan, tokoh perorangan dan media massa.
F. Aktor yang
Terlibat dalam Implementasi Kebijakan Pendidikan
Aktor kebijakan pendidikan bisa dikategorikan menjadi dua, yaitu: para
pelaku resmi dan pelaku tak resmi.[11]
Pelaku resmi kebijakan pendidikan adalah perorangan atau lembaga yang secara
legal memiliki tanggungjawab berkenaan dengan pendidikan. Aktor tak resmi
kebijakan pendidikan adalah individu atau organisasi yang terdiri dari kelompok
kepentingan, partai politik, dan media.
G. Faktor-faktor yang Berpengaruh dalam Implementasi
Kebijakan Pendidikan
Keberhasilan
implementasi kebijakan akan ditentukan oleh banyak variabel atau faktor, dan
masing-masing variabel tersebut saling berhubungan satu sama lain. untuk
memperkaya pemahaman kita tentang berbagai variabel yang terlibat didalam
implementasi, maka dari itu ada pembatasan dalam penelitian ini maka peneliti
memilih pendekatan yang dikemukakan oleh
Edwards III. Dalam pandangan
Edwards III, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yakni: (1)
komunikasi, (2) sumberdaya, (3) disposisi, dan (4) struktur birokrasi.[12]
Keempat variabel tersebut juga saling berhubungan satu sama lain.
- Komunikasi
Implementasi
akan berjalan efektif apabila ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan kebijakan
dipahami oleh individu-individu yang bertanggungjawab dalam pencapaian tujuan
kebijakan. Kejelasan ukuran dan tujuan kebijakan dengan demikian perlu
dikomunikasikan secara tepat dengan para pelaksana. Konsistensi atau
keseragaman dari ukuran dasar dan tujuan perlu dikomunikasikan sehingga
implementor mengetahui secara tepat ukuran maupun tujuan kebijakan itu.
Komunikasi dalam
organisasi merupakan suatu proses yang amat kompleks dan rumit. Seseorang bisa
menahannya hanya untuk kepentingan tertentu, atau menyebarluaskannya. Di
samping itu sumber informasi yang berbeda juga akan melahirkan interpretasi
yang berbeda pula. Agar implementasi berjalan efektif, siapa yang
bertanggungjawab melaksanakan sebuah keputusan harus mengetahui apakah mereka
dapat melakukannya. Sesungguhnya implementasi kebijakan harus diterima oleh
semua personel dan harus mengerti secara jelas dan akurat mengenahi maksud dan
tujuan kebijakan. Jika para aktor pembuat kebijakan telah melihat
ketidakjelasan spesifikasi kebijakan sebenarnya mereka tidak mengerti apa
sesunguhnya yang akan diarahkan. Para implemetor kebijakan bingung dengan apa
yang akan mereka lakukan sehingga jika dipaksakan tidak akan mendapatkan hasil
yang optimal. Tidak cukupnya komunikasi kepada para implementor secara serius
mempengaruhi implementasi kebijakan.
Ada tiga
indikator yang dapat digunakan dalam mengukur keberhasilan aspek komunikasi
ini, yaitu:
a)
Transmisi, yaitu penyaluran komunikasi yang baik akan
dapat menghasilkan suatu hasil implementasi yang baik pula. Seringkali yang
terjadi dalam proses transmisi ini yaitu adanya salah pengertian, hal ini
terjadi karena komunikasi implementasi tersebut telah melalui beberapa
tingkatan birokrasi, sehingga hal yang diharapkan terdistorsi di tengah jalan.
b)
Kejelasan informasi, dimana komunikasi atau informasi
yang diterima oleh para pelaksana kebijakan haruslah jelas dan tidak
membingungkan. Kejelasan informasi kebijakan tidak selalu menghalangi
implementasi kebijakan, dimana pada tataran tertentu para pelaksana membutuhkan
fleksibilitas dalam melaksanakan kebijakan, tetapi pada tataran yang lain maka
hal tersebut justru akan menyelewengkan tujuan yang hendak dicapai oleh
kebijakan yang telah ditetapkan.
c)
Konsistensi informasi yang disampaikan, yaitu perintah
ataupun informasi yang diberikan dalam pelaksanaan suatu komunikasi haruslah
jelas dan konsisten untuk dapat diterapkan dan dijalankan. Apabila perintah
yang diberikan seringkali berubah-ubah, maka dapat menimbulkan kebingungan bagi
pelaksana di lapangan.
b.
Sumber daya
Walaupun isi
kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila
implementor kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan, implementasi tidak akan
berjalan efektif. Sumberdaya tersebut dapat berwujud sumberdaya manusia, yakni
kompetensi implementor dan sumber daya finansial. Sumberdaya adalah faktor
penting untuk implementasi kebijakan agar efiktif. Tanpa sumber daya, kebijakan
hanya tinggal di kertas menjadi dokumen saja.
Komponen
sumberdaya ini meliputi jumlah staf, keahlian dari para pelaksana, informasi
yang relevan dan cukup untuk mengimplementasikan kebijakan dan pemenuhan
sumber-sumber terkait dalam pelaksanaan program, adanya kewenangan yang
menjamin bahwa program dapat diarahkan kepada sebagaimana yamg diharapkan,
serta adanya fasilitas-fasilitas pendukung yang dapat dipakai untuk melakukan
kegiatan program seperti dana dan sarana prasarana.
Sumber daya
manusia yang tidak memadai (jumlah dan kemampuan) berakibat tidak dapat
dilaksanakannya program secara sempurna karena mereka tidak bisa melakukan
pengawasan dengan baik. Jika jumlah staf pelaksana kebijakan terbatas maka hal
yang harus dilakukan meningkatkan skill/kemampuan para pelaksana untuk
melakukan program. Untuk itu perlu adanya manajemen SDM yang baik agar dapat
meningkatkan kinerja program. Ketidakmampuan pelaksana program ini disebabkan
karena kebijakan konservasi energi merupakan hal yang baru bagi mereka dimana
dalam melaksanakan program ini membutuhkan kemampuan yang khusus, paling tidak
mereka harus menguasai teknik-teknik kelistrikan.
Informasi
merupakan sumberdaya penting bagi pelaksanaan kebijakan. Ada dua bentuk
informasi yaitu informasi mengenahi bagaimana cara menyelesaikan
kebijakan/program serta bagi pelaksana harus mengetahui tindakan apa yang harus
dilakukan dan informasi tentang data pendukung kepetuhan kepada peraturan
pemerintah dan undang-undang. Kenyataan dilapangan bahwa tingkat pusat tidak
tahu kebutuhan yang diperlukan para pelaksana dilapangan. Kekurangan
informasi/pengetahuan bagaimana melaksanakan kebijakan memiliki konsekuensi
langsung seperti pelaksana tidak bertanggungjawab, atau pelaksana tidak ada di
tempat kerja sehingga menimbulkan inefisien. Implementasi kebijakan membutuhkan
kepatuhan organisasi dan individu terhadap peraturan pemerintah yang ada.
Sumber
daya lain yang juga penting
adalah kewenangan untuk menentukan bagaimana program dilakukan, kewenangan
untuk membelanjakan/mengatur keuangan, baik penyediaan uang, pengadaan staf,
maupun pengadaan supervisor. Fasilitas yang diperlukan untuk melaksanakan
kebijakan/program harus terpenuhi seperti kantor, peralatan, serta dana yang
mencukupi. Tanpa fasilitas ini mustahil program dapat berjalan.
c.
Disposisi
Disposisi adalah
watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti komitmen,
kejujuran, dan sifat demokratis. Salah satu faktor yang mempengaruhi
efektifitas implementasi kebijakan adalah sikap implementor. Jika implemetor
setuju dengan bagian-bagian isi dari kebijakan maka mereka akan melaksanakan
dengan senang hati tetapi jika pandangan mereka berbeda dengan pembuat
kebijakan maka proses implementasi akan mengalami banyak masalah.
Ada tiga bentuk
sikap/respon implementor terhadap kebijakan, kesadaran pelaksana,
petunjuk/arahan pelaksana untuk merespon program kearah penerimaan atau
penolakan, dan intensitas dari respon tersebut. Para pelaksana mungkin memahami
maksud dan sasaran program namun seringkali mengalami kegagalan dalam
melaksanakan program secara tepat karena mereka menolak tujuan yang ada
didalamnya sehingga secara sembunyi mengalihkan dan menghindari implementasi
program. Disamping itu dukungan para pejabat pelaksana sangat dibutuhkan dalam
mencapai sasaran program.
Dukungan dari
pimpinan sangat mempengaruhi pelaksanaan program dapat mencapai tujuan secara
efektif dan efisien. Wujud dari dukungan pimpinan ini adalah Menempatkan
kebijakan menjadi prioritas program, penempatan pelaksana dengan orang-orang
yang mendukung program, memperhatikan keseimbangan daerah, agama, suku, jenis
kelamin dan karakteristik demografi yang lain. Disamping itu penyediaan dana
yang cukup guna memberikan insentif bagi para pelaksana program agar mereka
mendukung dan bekerja secara total dalam melaksanakan kebijakan/program.
d.
Struktur birokrasi
Struktur
organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang
penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standar
(standard operating procedures atau SOP). SOP menjadi pedoman bagi setiap
implementor dalam bertindak.
Struktur
organisasi yang panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan
red-tape yaitu prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks.ini pada gilirannya
menyebabkan aktivitas organisasi tidak fleksibel.
H. Problema dalam Implementasi Kebijakan Pendidikan
Implementasi
merupakan tahapan pelaksanaan
atas sebuah kebijakan. Interaksi merupakan konsep penting dalam
implementasi, yang mengacu pada suatu hubungan
yang terkadang kompleks.
Dalam implementasi terdapat
dua hal yang harus
diperhatikan, yaitu (a)
formulasi tujuan kebijakan
harus jelas termasuk kelompok sasaran; siapa yang berperan; dan bagaimana kebijakan
tersebut harus dilaksanakan; dan (b) dana pendukung yang proporsional. Tanpa
dana kebijakan tidak akan pernah terealisir.
Implementasi dalam kenyataannya tidak selalu
berjalan dengan baik, beberapa faktor diantaranya adalah:
a) Faktor
organisasi
Suatu kebijakan dalam implementasinya seringkali
memerlukan keterlibatan dari banyak organisasi (aktor) yang terkadang memiliki
persepsi dan interest yang berlainan, baik dalam organisasi pemerintah maupun
antara organisasi pemerintah dengan organisasi swasta. Keadaan ini sering
menimbulkan masalah (a) koordinasi,
menyangkut bagaimana mengkoordinasikan kepentingan
yang berbeda; (b) compliance, menyangkut ketaatan bawahan pada
instansi yang lebih tinggi.
b) Faktor
politik
Faktor politik seringkali disebit sebagai faktor non
teknis, yang mencakup: (a) legislasi tentang isu yang terlalu kabur sebagai akibat dari
tujuan yang ingin dicapai yang sering
tidak jelas. Misalnya masalah penanggulangan anak putus sekolah; (b) log-rolling,
dimaksudkan sebagai gagalnya implementasi suatu program diakibatkan kesalahan
pada saat proses legitimasi, proses bargaining yang dilakukan aktor-aktor
perumus kebijakan dilakukan dengan cara
setuju atau ketidaksetujuan terhadap uslan kebijakan dilakukan dengan tukar
tambah atau modifikasi usulan, sehingga akibatnya setelah usulan ditetapkan
menjadi kebijakan, tujuan menjadi tidak jelas (vague).
c) Faktor
politik antar organisasi (aktor)
Merupakan
perbedaan mengenai lingkungan
politik masing-masing organisasi,
yang disebabkan oleh perbedaan interest dan persepsi masing-masing aktor.
Dalam konteks hubungan antar organisasi politik
(pelaksana) terbagi dalam:
a. Struktur
implementasi secara vertikal
Yang
mempengaruhi keberhasilan impelementasi
adalah kepatuhan pemerintah daerah
kepada pemerintah pusat
untuk melaksanakan kebijakan seperti yang telah digariskan
b. Struktur
implementasi secara horisontal
Dalam struktur ini, koordinasi menjadi kata kunci
keberhasilan implementasi, walaupun seringkali ada kesombongan sektoral masing-masing instansi dalam mengejar
keberhasilan mereka sendiri-sendiri, yang dalam terminologi implementasi
disebut politik antar organisasi dalam implementasi.
Implementasi kebijakan dalam beberapa kasus dapat
dilakukan oleh bukan organisasi pemerintah, tetapi oleh swasta (interest
groups), yang sering bias karena pelaksana mempunyai keterkaitan dengan
kelompok sasaran (target groups).[13]
PENUTUP
Implementasi kebijakan
di Indonesia menyangkut program dan kebijakan lainnya yang bukan hanya sekedar
proses teknis dalam melaksanakan perencanaan yang sudah ditetapkan, melainkan
merupakan suatu proses interaksi politik yang dinamis dan tidak dapat
diperhitungkan. Beragam faktor politik, sosial, ekonomi, perilaku dan
organisasi kesemuanya sangat mempengaruhi seberapa jauh kebijakan yang sudah
ditetapkan dapat diimplementasikan sesuai dengan yang diharapkan, dan sampai
seberapa jauh pula implementasi tersebut mencapai tujuan-tujuan dari kebijakan
itu.
DAFTAR PUSTAKA
Akib, H. Implementasi
Kebijakan: Apa, Mengapa, dan Bagaimana”, Jurnal Administrasi Publik, Volume
1 No. 1 Thn. 2010
Chan, Sam M. dan Tuti T. Sam. Analisis SWOT,
Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
2005
Gunawan, Ary H. Kebijakan-kebijakan Pendidikan.
Jakarta: PT Rineka Cipta. 1995
Hasbullah, H.M. Kebijakan Pendidikan Dalam
Perspektif Teori, Aplikasi, dan Kondisi Objektif Pendidikan di Indonesia. Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2015
Munadi, Muhammad dan Barnawi. Kebijakan Publik di
Bidang Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. 2011
Tilaar, H.A.R. dan Riant Nugroho. Kebijakan
Pendidikan, Pengantar Untuk Memaahami Kebijakan Pendidikan Dan Kebijakan
Pendidikan Sebagai Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2012
Wahab, Solichin Abdul. Pengantar Analisis
Kebijakan Publik. Malang: UMM Press. 2008
[1] H.M. Hasbullah, Kebijakan
Pendidikan Dalam Perspektif Teori, Aplikasi, dan Kondisi Objektif Pendidikan di
Indonesia”, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015), h. 91
[2] Solichin Abdul
Wahab. Pengantar Analisis Kebijakan Publik”, (Malang: UMM Press. 2008),
h. 70
[3] ibid
[4] Muhammad Munadi
dan Barnawi, Kebijakan Publik di Bidang Pendidikan”, (Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2011), h. 111
[5] Haedar
Akib, Implementasi Kebijakan: Apa, Mengapa,
dan Bagaimana”, Jurnal Administrasi Publik, Volume 1 No. 1 Thn. 2010, h. 50
- 51
[6] Sam M. Chan dan
Tuti T. Sam, Analisis SWOT, Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah”,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 24
[7] H.A.R. Tilaar dan Riant Nugroho,
Kebijakan Pendidikan, Pengantar Untuk Memaahami Kebijakan Pendidikan Dan
Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan Publik”, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2012), h. 106
[8] Solichin Abdul
Wahab. Pengantar Analisis Kebijakan Publik”, (Malang: UMM Press. 2008),
h. 74 - 75
[9] Sam M. Chan dan
Tuti T. Sam, Analisis SWOT, Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah”,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 27
[10] Ibid
[11] Sam M. Chan dan
Tuti T. Sam, Analisis SWOT, Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah”,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 28 - 29
[12] H.A.R. Tilaar dan Riant Nugroho,
Kebijakan Pendidikan, Pengantar Untuk Memaahami Kebijakan Pendidikan Dan
Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan Publik”, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2012), h. 108
[13] H.M. Hasbullah, Kebijakan
Pendidikan Dalam Perspektif Teori, Aplikasi, dan Kondisi Objektif Pendidikan di
Indonesia”, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015), h. 106
Tidak ada komentar:
Posting Komentar