MADRASAH DAN
TANTANGAN
MODERNITAS
(Perspektif Filsafat Pendidikan
Islam)
oleh
Muhammad Syamsuddin
Pascasarjana IAIN Pekalongan
Jurnal Islamic Studies and Character Building
Penerbit NEM Pekalongan
Tahun 2017
Penerbit NEM Pekalongan
Tahun 2017
A.
PENDAHULUAN
Dewasa
ini, dunia mengalami proses modernisasi, yakni
proses mendunia akibat
perkembangan ilmu pengetauan dan teknologi. Perkembangan global dapat maju
kearah yang positif namun juga dapat maju kearah yang negatif tergantung pada
mereka yang berorientasi pada masa depan, yang mampu mengubah pengetahuan
menjadi kebijakan dan mereka yang memiliki ciri-ciri sebagaimana yang dimiliki
masyarakat modern. Dari keadaan ini, keberadaan masyarakat satu bangsa dengan
bangsa lain menjadi satu disegala bidang ekonomi, budaya, sosial dan lain
sebagainya.
Itulah
gambaran masa depan yang akan terjadi, dan umat manusia mau tidak mau harus
menghadapinya. Masa depan yang demikian itu selanjutnya akan mempengaruhi dunia
pendidikan baik dari segi kelembagaan, materi pendidikan, guru, metode, sarana
dan prasarana dan lain sebagainya. Hal ini pada gilirannya menjadi tantangan
yang harus dijawab oleh dunia pendidikan.
Madrasah
sebagai lembaga pendidikan Islam telah muncul dan berkembang seiring dengan
masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia. Madrasah telah mengalami
perkembangan jenjang dan jenisnya seirama dengan perkembangan bangsa sejak masa
kesultanan, masa penjajahan, dan masa kemerdekaan. Perkembangan tersebut telah
merubah pendidikan dari bentuk awalnya, seperti pengajian di rumah-rumah, langgar,
mushalla, dan masjid, menjadi lembaga formal sekolah seperti bentuk madrasah
yang kita kenal saat ini.
Minat
masyarakat Islam di Indonesia terhadap madrasah sebenarnya cukup tinggi. Di
beberapa daerah, jumlah siswa madrasah ibtidaiyah dan tsanawiyah bahkan lebih
banyak daripada jumlah siswa Sekolah Dasar atau SMP. Di mata mereka, madrasah
memiliki beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan sekolah umum. Madrasah,
terutama yang ada di dalam pondok pesantren,
memberikan bekal mental keagamaan (keimanan dan ketaqwaan) yang kuat
kepada peserta didiknya. Dengan bekal mental yang kuat ini, diharapkan apabila
menjadi pemimpin dikemudian hari, mereka akan menjadi pemimpin yang jujur,
amanah, dan adil.
Sayang,
kualitas lembaga yang mengemban misi kepentingan ini, menurut banyak
pengamat, amat memprihatinkan. Kualitas
pendidikan yang ada
di madrasah di
luar pondok pesantren terutama yang yayasannya kurang kuat sering berada
di bawah standar, baik dilihat dari segi pendidikan agama maupun segi
pendidikan umum. Di bidang pendidikan
agama madrasah di luar
pondok pesantren kalah
dengan madrasah dalam pondok pesantren.
Sedangkan di bidang pendidikan umum ia juga kalah dari sekolah umum yang ada
disekitarnya.[1]
Meskipun kini sudah terdapat madrasah unggulan dan modern namun jika
dibandingkan dengan jumlah madrasah secara keseluruhan maka masih sangat
sedikit sekali jumlahnya.
Persoalan
ini menjadi semakin serius apabila dikaitkan dengan isu besar akhir-akhir ini,
yakni modern. Jika banyak orang yang mengatakan bahwa Indonesia belum siap
untuk memasuki era modern, maka lulusan madrasah dikhawatirkan lebih tidak siap
lagi menghadapi era modern.
Namun
apa yang terjadi dan dirasakan oleh madrasah
hingga kurun terakhir tak lain adalah peminat madrasah hanyalah
siswa-siswa yang kemampuan inteligensi dan ekonominya pas-pasan. Akibatnya
usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan selalu mengalami kesulitan.
Banyaknya
persoalan madrasah sebagai salah satu jenis lembaga pendidikan bagi
masyarakat modern tersebut
mengharuskan adanya keseriusan
berbagai pihak untuk terlibat langsung dalam upaya
penanganan madrasah. Untuk itu diperlukan adanya revitalisasi madrasah
guna memaksimalkan pendidikan yang
diberikan kepada peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan
nasional.
B.
PENGERTIAN MADRASAH
Secara
etimologi, kata “madrasah” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sekolah atau perguruan yang biasanya berdasarkan
Agama Islam. Sedangkan di dalam
Ensiklopedi Islam di Indonesia, kata madrasah
adalah kata yang
berasal dari bahasa Arab,
dari kata dasar darasa
yang artinya belajar. Madrasah berarti tempat untuk belajar.[2]
Kata darasa dengan pengertian
“membaca dan belajar”, yang merupakan akar kata madrasah itu sendiri, berasal
dari Bahasa Hebrew atau Aramy[3].
Secara
epistemologi, madrasah adalah salah satu
jenis lembaga pendidikan Islam yang berkembang di Indonesia yang diusahakan di
samping masjid dan pesantren. Lebih lanjut, dalam konteks Indonesia, lembaga
pendidikan ini merupakan lembaga madrasah timur tengah masa modern karena
pengaruh pendidikan barat yang diisi secara dominan dengan kurikulum
keagamaan. Meskipun demikian, karena pengaruh pengaruh politik penjajah, sekolah
dan madrasah dipandang sebagai dua bentuk
lembaga pendidikan yang
berbeda secara dikhotomis:
sekolah bersifat sekuler dan madrasah bersifat Islam.[4]
Secara
teknis, yakni dalam proses belajar-mengajar secara formal, di Indonesia
madrasah tidak hanya dipahami sepintas sebagai sekolah. Melainkan diberi
konotasi yang lebih
spesifik lagi, yakni
”Sekolah Agama”, tempat di mana anak-anak didik memperoleh pembelajaran
hal- ihwal atau seluk-beluk agama dan keagamaan (Agama Islam).
Dari
penjelasan di atas, madrasah dimaksudkan
sebagai lembaga pendidikan. Kaitannya dengan pembahasan ini, adalah madrasah sebagai sebuah lembaga
yang mengemban visi-misi keislaman (li
tafaqquh fiddin). Untuk memenuhi
kebutuhan sumber daya manusia, muncul berbagai
macam model atau format madrasah, yaitu antara lain:
a)
Madrasah Model.
Madrasah
model adalah madrasah negeri yang memiliki standard tertentu dari segi sarana
dan prasarana, jumlah dan kualifikasi tenaga kependidikan (guru), dan
siswa-siswi yang terseleksi sehingga pelaksanaan pembelajaran
dapat berjalan dengan
intensitas tinggi.[5]
Intervensi utama terhadap madrasah model
adalah meningkatkan kualitas
bidang sains dan
matematika (MAFIKIB), di
samping manajemen dan sarana dan prasarana belajar.
Madrasah
model ini akan memiliki berbagai fungsi, yaitu fungsi model (contoh, teladan), fungsi pelatihan, fungsi kepemimpinan, fisika, kimia
biologi dan bahasa Inggris. Mata pelajaran ini yang merupakan titik lemah dari
madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam. fungsi pengawasan (supervisi)
pendidikan, fungsi pelayanan,
dan fungsi pengembangan profesi.
b)
Madrasah
Terpadu.
Madrasah
terpadu adalah madrasah 12 (dua belas) tahun, yang terdiri dari Madrasah
Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah yang berada dalam satu
lokasi, memiliki satu kesatuan administrasi, manajemen, dan kurikulum.[6]
Madrasah yang ditunjuk sebagai madrasah terpadu harus melakukan integrasi
administrasi, integrasi kurikulum, integrasi personel, integrasi sarana dan
prasarana,dan integrasi pembiayaan. Sampai saat ini Departemen Agama telah
menunjuk 7 MI, 7 MTs dan 7 MA sebagai madrasah terpadu diantaranya:
1) Madrasah Terpadu Malang;
2) Madrasah Terpadu Jogyakarta;
3) Madrasah Terpadu Palembang;
4) Madrasah Terpadu Aceh;
5) Madrasah Terpadu Jakarta;
6) Madrasah Terpadu Padang;
7) Madrasah Terpadu Jambi;
8) Madrasah Terpadu YASUCI Jakarta.[7]
Konsep madrasah
terpadu ini bukanlah
konsep yang berdiri sendiri, tetapi
merupakan konsep pendukung
yang diintegrasikan dengan konsep
madrasah model dan
madrasah unggul. Dengan demikian akan terjadi sinergi yang
kuat dalam mewujudkan madrasah berkualitas yang Islami.
c)
Madrasah Aliyah
Keagamaan (MAK).
Madrasah
Aliyah Keagamaan adalah Madrasah Aliyah Program Khusus sebagai
upaya mempertahankan madrasah
aliyah program ilmu-ilmu agama yang diharapkan dapat menghasilkan siswa yang
memiliki kemampuan dasar ilmu agama dan bahasa arab yang diperlukan untuk
melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi Agama (IAIN/ PTAI) atau perguruan
tinggi di Timur Tengah.
Madrasah Aliyah Keagamaan merupakan
upaya program tambahan bagi madrasah tingkat lanjutan atas yang
memfokuskan keahlian sebagaimana
Madrasah Aliyah atau
setingkat dengan SMA yang memiliki
jurusan pilihan bagi anak didik berupa jurusan IPA dan IPS, serta Bahasa,
namun pada MAK ditekankan
lebih pada keagamaan.
d)
Madrasah Aliyah
Program Ketrampilan (MAPK)
Madrasah
Aliyah Program Ketrampilan (MAPK) adalah Madrasah Aliyah yang diberi tambahan program ekstrakulrikuler dalam
berbagai bidang ketrampilan yang terstruktur. Tujuan penyelenggaraan program
ini adalah untuk
membekali siswa yang tidak dapat melanjutkan ke perguruan
tinggi dalam memasuki dunia kerja
dengan bekal ketrampilan tertentu.
e)
Madrasah Wajib
Belajar (MWB).
Madrasah
wajib belajar adalah lembaga pendidikan 8 tahun yang difungsikan untuk
mendukung kenajuan ekonomi, industri, dan transmigrasi. MWB
merupakan rangkaian pelaksanaan
undang- undang wajib belajar yang baru terealisasi tahun 1980-an. Namun,
kementerian Agama yang pada saat itu dijabat KH Moh. Ilyas, mengeluarkan kebijakan
yang cukup drastis
dengan mengadakan pembaruan
sistem pendidikan di madrasah dengan memperkenalkan madrasah wajib belajar
(MWB) 8 tahun. Jadi, jauh sebelum presiden Soeharto mencanangkan
wajib belajar 6 tahun, kemudian
menjadi 9 tahun pada
tahun 1994, di
madrasah telah ada
kewajiban belajar 8 tahun.
C.
KARAKTERISTIK MASYARAKAT MODERN
Pendapat
Alvin Tofler dalam bukunya The Third Wave yang bercerita tentang peradaban
manusia, yaitu;
1)
Perdaban yang
dibawa oleh penemuan pertanian,
2)
Peradaban yang
diciptakan dan dikembangkan oleh revolusi industri, dan
3)
Peradaban baru
yang tengah digerakan oleh revolusi komunikasi dan informasi. Perubahan
tersebesar yang diakibatkan oleh gelombang ketiga adalah, terjadinya pergeseran
yang mendasar dalam sikap dan tingkah laku masyarakat.[8]
Salah
satu ciri utama kehidupan di masa sekarang dan masa yang akan datang adalah
cepatnya terjadi perubahan yang terjadi
dalam kehidupan manusia. Banyak
paradigma yang digunakan untuk menata kehidupan, baik kehidupan individual
maupun kehidupan organisasi yang pada waktu yang lalu sudah mapan, kini menjadi
ketinggalan zaman.[9]
Akbar
S. Ahmed dan Hastings Donnan, seorang tokoh pemikir Muslim, juga memberikan
kesimpulan tentang modern, dengan penjelasannya sebagaimana:
If modern meant the pursuit of
Western education, technology and
industrialization in the first flush of the post-colonial period,
postmodern would mean
a reversion to
traditional Muslim values and a
rejection of modernism. This would generate an entire range of Muslim responses from
politics to clothes to architecture.
For us definition
is literal.[10]
Secara
umum masyakarat modern adalah masyarakat yang proaktif, individual, dan
kompetitif. Masyarakat modern dewasa
ini yang ditandai
dengan munculnya pasca industri (postindustrial society) seperti dikatakan Daniel Bell, atau
masyarakat informasi (information society)
sebagai tahapan ketiga dari perkembangan perdaban seperti dikatakan oleh Alvin
Tofler, tak pelak lagi telah menjadikan kehidupan manusia secara teknologis
memperoleh banyak kemudahan. Tetapi juga masyarakat modern menjumpai banyak
paradoks dalam kehidupannya.
Semakin
banyak informasi telah menyebabkan semakin disadari bahwa segala sesuatunya
tidak terkendali. Karena itu Ziauddin Sardar, menyatakan bahwa abad informasi
ternyata sama sekali bukan rahmat. Di masyarakat Barat, ia telah menimbulkan
sejumlah besar persoalan, yang tidak ada pemecahannya kecuali cara pemecahan
yang tumpul. Di lingkungan masyarakat kita sendiri misalnya, telah terjadi
swastanisasi televisi, masyarakat mulai merasakan ekses negatifnya.[11]
Toynbee melihat
perkembangan peradaban modern
yang semakin kehilangan jangkar spritual dengan segala dampak
destruktifnya pada berbagai dimensi kehidupan manusia. Manusia modern ibarat
layang-layang putus tali, tidak mengenal
secara pasti di mana tempat hinggap yang seharusnya. Teknologi yang tanpa
kendali moral lebih merupakan ancaman.[12]
Menurut
A. Syafi'i Ma'arif, bahwa sistem pendidikan tinggi modern yang kini berkembang
di seluruh dunia lebih merupakan pabrik doktor yang kemudian menjadi tukang-tukang
tingkat tinggi, bukan melahirkan homo sapiens. Bangsa-bangsa Muslim pun
terjebak dan terpasung dalam arus sekuler ini dalam penyelenggaraan pendidikan
tingginya. Kita belum mampu menampilkan corak pendidikan alternatif terhadap
arus besar high learning yang dominan dalam peradaban sekuler sekarang ini.
Prinsip ekonomi yang menjadikan pasar sebagai agama baru masih sedang berada di
atas angin. Manusia modern sangat tunduk kepada agama baru ini.[13]
Dampak
dari semua kemajuan masyarakat modern, kini dirasakan demikian fundamental
sifatnya. Ini dapat ditemui dari beberapa konsep yang diajukan oleh kalangan
agamawan, ahli filsafat dan ilmuan sosial untuk menjelaskan persoalan yang dialami
oleh masyarakat. Misalnya, konsep keterasingan (alienation) dari Marx dan Erich Fromm, yakni mengacu kepada suatu
keadaan dimana manusia secara personal sudah kehilangan keseimbangan diri dan
ketidakberdayaan eksistensial akibat dari benturan struktural yang diciptakan
sendiri. Dalam keadaan
seperti ini, manusia
tidak lagi merasakan dirinya sebagai pembawa aktif dari
kekuatan dan kekayaannya, tetapi sebagai benda yang dimiskinkan, tergantung
kepada kekuatan di luar dirinya, kepada siapa ia telah memproyeksikan substansi
hayati dirinya.[14]
Semua
persoalan fundamental yang dihadapi oleh masyarakat modern yang digambarkan di
atas, menjadi pemicu munculnya kesadaran epistemologis baru bahwa persoalan
kemanusian tidak cukup diselesaikan dengan cara empirik rasional, tetapi perlu
jawaban yang bersifat transendental. Melihat persoalam ini, maka
ada peluang bagi
pendidikan Islam yang
memiliki kandungan spritual keagamaan untuk menjawab tantangan
perubahan tersebut. Fritjop Capra dalam buku The Turning Point, A.Malik Padjar mengajak
untuk meninggalkan paradigma keilmuan yang terlalu materialistik dengan mengenyampingkan aspek spritual
keagamaan.[15]
Demikianlah, agama pada akhirnya
dipandang sebagai alternatif
paradigma yang dapat
memberikan solusi secara mendasar terhadap
persoalan kemanusian yang sedang
dihadapi oleh masyarakat modern.
D.
TANTANGAN MADRASAH DI ERA MODERN
Modernitas
ini membawa dampak positif dan negatif bagi kepentingan bangsa dan Negara kita.
Dampak positif, misalnya kita semakin mudah memperoleh informasi dari luar yang
membantu kita menemukan alternatif-alternatif baru dalam usaha memecahkan
masalah yang kita hadapi. Misalnya melalui internet kini kita dapat mencari
informasi dari seluruh dunia tanpa harus mengeuarkan banyak biaya dan tanpa
harus kita ke lokasi sumber berita tersebut.
Di
bidang ekonomi, perdagangan bebas antarnegara berarti pasar dunia semakin
terbuka bagi produk-produk kita, baik yang berupa barang ataupun jasa (tenaga
kerja). Dampak negatifnya adalah masuknya informasi yang tidak kita perlukan
atau bahkan merusak tatanan nilai yang selama ini kita anut. Misalkan masuknya
gambar- gambar atau video porno yang masuk lewat jaringan internet, masuknya paham
politik yang berbeda dari paham politik yang kita anut, dan sebagainya.
Pendidikan
merupakan usaha sadar suatu bangsa untuk membentuk generasi mudanya agar
menjadi manusia yang menguasai iptek dan mempunyai imtaq. Maka tantangan yang
dihadapkan oleh modernitas kepada pendidikan nasional ialah mampukah pendidikan
nasional menghasilkan manusia-manusia Indonesia yang berkualitas sehingga mampu
memenangkan persaingan antar bangsa atau setidaknya survive dalam era modern
itu.
Dalam
kaitannya dengan era Modern, madrasah harus menyiapkan anak didiknya untuk siap
bersaing di bidang apa saja yang mereka masuki. Ini dimaksudkan agar lulusan
madrasah tidak akan terpinggirkan oeh lulusan sekolah umum dalam meperebutkan
tempat dan peran dalam gerakan pembangunan. Mengingat dalam Undang-undang
Sistem Pendidikan Nasional madrasah dikategorikan sebagai sekolah umum maka
lulusan madrasah berhak melanjutkan
ke perguruan tinggi
umum, baik fakultas
ilmu sosial maupun ilmu eksakta.
Agar
lulusan madrasah memiliki wawasan global, yang memandang bahwa seluruh muka
bumi milik Allah ini adalah tempat mengabdi, maka madrasahpun harus memiliki
wawasan global. Madrasah harus mempersiapkan anak didiknya agar dapat
melanjutkan studi atau bekerja di luar negeri. Untuk itu maka penguasaan bahasa
asing menjadi amat penting. Demikian pula pengenalan budaya bangsa asing.
Adapun
tantangan dan masalah internal pendidikan Islam pasca modernisasi dan tantangan
modernitas pada hari ini dan masa depan, secara umum adalah:
1)
Jenis pendidikan
yang dipilih dan
dilaksanakan di Indonesia.
Ada empat jenis pendidikan Islam yang disediakan yakni:
a) Pendidikan yang berpusat pada tafaqquh fi al-din.
b) Pendidikan madrasah yang mengikuti kurikulum Diknas
dan Depag.
c) Sekolah Islam “plus” atau unggulan yang mengikuti kurikulum Diknas, yang pada dasarnya adalah pendidikan umum plus agama.
d) Pendidikan ketrampilan seperti SMK.
2)
Berkaitan dengan
masalah pertama, yakni persoalan identitas diri lembaga pendidikan Islam
tertentu. Pada satu sisi, pengakuan atas penyetaraan pendidikan di atas telah
membuka peluang-peluang bagi penyelenggara pendidikan Islam, namun permasalahan
selanjutnya yang justru lahir adalah kemungkinan mengorbankan identitas
pendidikan Islam itu sendiri. Terjadi perbenturan antara social expectations dan academic
expectations.
3)
Penguatan kelembagaan
dan manajemen. Hal
ini dapat dilihat
dari, perubahan - perubahan
pengelolaan dan manajemen pendidikan Islam, seperti dengan menggunakan
prinsip-prinsip manajemen modern diantaranya total quality manaegement (TQM), atau corporate good governance, yang kini telah mulai diterapkan pada
sementara lembaga- lembaga pendidikan selain Islam.
E.
MADRASAH SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
Perubahan
yang terjadi dalam kehidupan masyarakat baik sosial maupun kultural, secara
makro persoalan yang dihadapi pendidikan Islam adalah bagaimana pendidikan
Islam mampu menghadirkan disain atau konstruksi wacana pendidikan Islam
yang relevan dengan
perubahan masyarakat. Kemudian
disain wacana pendidikan Islam tersebut dapat dan mampu
ditranspormasikan atau diproses secara sistematis dalam masyarakat. Persoalan pertama ini
lebih bersifat filosofis,
yang kedua lebih bersifat metodologis. Pendidikan Islam
perlu menghadirkan suatu konstruksi wacana pada dataran filosofis, wacana
metodologis, dan juga cara menyampaikan atau mengkomunikasikannya.
Dalam
menghadapi peradaban modern, yang perlu diselesaikan adalah persoalan-persoalan
umum internal pendidikan Islam yaitu:
1)
Persolan
dikotomik pendidikan Islam, yang merupakan persoalan lama yang belum
terselesaikan sampai sekarang. Pendidikan Islam harus menuju pada integritas
antara ilmu agama dan ilmu umum untuk tidak melahirkan jurang pemisah antara
ilmu agama dan ilmu bukan agama. Karena, dalam pandangan seorang Muslim, ilmu
pengetahuan adalah satu yaitu yang berasal dari Allah SWT.[16]
2)
Perlu pemikiran
kembali tujuan
dan fungsi lembaga-lembaga pendidikan Islam
yang ada. Memang
diakui bahwa penyesuaian
lembaga-lembaga pendidikan akhir-akhir ini cukup mengemberikan, artinya
lembaga-lembaga pendidikan memenuhi keinginan untuk menjadikan lembaga-lembaga
tersebut sebagai tempat untuk mempelajari ilmu umum dan ilmu agama serta
keterampilan. Tetapi pada
kenyataannya penyesuaian tersebut
lebih merupakanpeniruan dengan
pola tambal sulam atau dengan kata lain mengadopsi model yang dilakukan oleh
lembaga-lembaga pendidikan umum, artinya ada perasaan harga diri bahwa apa yang
bisa dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan umum dapat juga dilakukan oleh
lembaga-lembaga pendidikan agama, sehingga akibatnya beban kurikulum yang
terlalu banyak dan cukup berat dan terjadi tumpang tindih. Sebenarnya
lembaga-lembaga pendidikan Islam harus memilih satu di antara dua fungsi,
apakah mendisain model pendidikan umum Islami yang handal dan mampu bersaing
dengan lembaga-lembaga pendidikan yang lain, atau mengkhususkan pada disain
pendidikan keagamaan yang berkualitas, mampu bersaing, dan mampu mempersiapkan
mujtahid- mujtahid yang berkualitas.
3)
Persoalan kurikulum
atau materi Pendidikan Islam, meteri pendidikan Islam terlalu dominasi
masalah-masalah yang bersifat normatif, ritual dan eskatologis. Materi
disampaikan dengan semangat ortodoksi kegamaan, suatu cara dimana peserta didik
dipaksa tunduk pada suatu metanarasi yang ada, tanpa diberi peluang untuk
melakukan telaah secara kritis. Pendidikan Islam tidak fungsional dalam
kehidupan sehari-hari, kecuali hanya sedikit aktivitas verbal dan formal untuk
menghabiskan materi atau kurikulum yang telah diprogramkan dengan batas waktu
yang telah ditentukan.[17]
Mencermati
persoalan yang dikemukakan di atas, maka perlu menyelesaikan persoalan internal
yang dihadapi pendidikan Islam secara mendasar dan tuntas. Sebab pendidikan
sekarang ini juga dihadapkan pada persoalan-persoalan yang cukup kompleks,
yakni bagaimana pendidikan mampu mempersiapkan manusia yang berkualitas,
bermoral tinggi dalam
menghadapi perubahan masyarakat yang
begitu cepat, sehingga produk pendidikan Islam tidak hanya melayani
dunia modern, tetapi mempunyai pasar baru atau mampu bersaing secara kompettif
dan proaktif dalam dunia masyarakat modern.
Desain
madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam yang yang mampu menjawab tantangan perubahan ini, antara
lain:
Pertama,
lembaga-lembaga pendidikan Islam perlu mendisain ulang fungsi pendidikannya,
dengan memilih apakah;
1)
Model pendidikan
yang mengkhususkan diri pada pendidikan keagamaan saja untuk mempersiapkan dan
melahirkan ulama-ulama dan mujtahid-mujtahid tangguh dalam bidangnya dan mampu
menjawab persoalan-persoalan aktual atau kontemporer sesuai dengan perubahan
zaman,
2)
Model pendidikan
umum Islami, kurikulumnya integratif antara materi-materi pendidikan umum dan
agama, untuk mempersiapkan intelektual Islam yang berfikir secara komprehensif,
3)
Model pendidikan
sekuler modern dan mengisinya dengan konsep-konsep Islam,
4)
atau menolak
produk pendidikan barat, berarti harus mendisain model pendidikan yang
betul-betul sesuai dengan konsep dasar Islam dan sesuai dengan lingkungan
sosial-budaya Indonesia,
5)
Pendidikan agama
tidak dilaksanakan di sekolah-sekolah tetapi dilaksanakan di luar sekolah,
artinya pendidikan agama dilaksanakan di rumah atau lingkungan keluarga dan
lingkungan masyarakat berupa kursur-kursus, dan sebagainya.
Kedua
desain pendidikan harus diarahkan pada dua dimensi, yakni :
1)
Dimensi dialektika
(horisontal), pendidikan hendaknya dapat
mengembangkan pemahaman tentang
kehidupan manusia dalam
hubungannya dengan alam
atau lingkungan sosialnya.
Manusia harus mampu mengatasi tantangan dan kendala dunia
sekitarnya melalui pengembangan Iptek, dan
2)
Dimensi ketunduhan
vertikal, pendidikan selain menjadi alat untuk memantapkan, memelihara sumber
daya alami, juga menjembatani dalam memahamai fenomena dan misteri kehidupan
yang abadi dengan maha pencipta. Berati pendidikan harus disertai dengan
pendekatan hati.
Dua
hal yang dikemukakan di atas merupakan tawaran desain pendidikan Islam yang
perlu diupayakan untuk membangun paradigma pendidikan Islam dalam menghadapi
perkembangan perubahan zaman modern dan memasuki era milenium ketiga. Karena, kecenderungan
perkembangan semacam dalam mengantisipasi perubahan zaman merupakan hal yang
wajar-wajar saja. Sebab kondisi masyarakat sekarang ini lebih bersifat
praktis-pragmatis dalam hal aspirasi dan harapan terhadap pendidikan.[18]
Sehingga tidak statis atau hanya berjalan di tempat dalam menatap persoalan-persoalan
yang dihadapi pada era masyarakat modern dan post masyarakat modern.
Untuk
itu, Pendidikan dalam masyarakat modern, pada dasarnya berfungsi untuk memberikan kaitan antara anak didik
dengan lingkungan sosiokulturalnya yang terus berubah dengan cepat, dan
pada saat yang sama, pendidikan secara sadar juga digunakan sebagai instrumen
untuk perubahan dalam sistem politik, ekonomi secara keseluruhan. Pendidikan sekarang ini seperti dikatakan
oleh Ace
Suryadi dan H.A.R. Tilar,
tidak lagi dipandang
sebagai bentuk perubahan
kebutuhan yang bersifat konsumtif dalam pengertian pemuasan secara langsung
atas kebutuhan dan keinginan yang bersifat sementara. Tapi, merupakan suatu
bentuk investasi sumber daya manusia (human
investment) yang merupakan tujuan utama.[19]
F.
REKONTRUKSI MADRASAH GUNA MENJAWAB TANTANGAN
MODERNITAS
Sebagai
sekolah umum yang berciri khas agama Islam, madrasah harus selalu meningkatkan
kualitas SDM-nya, baik imtaq (iman dan taqwa maupun iptek (ilmu pengetahuan dan
teknologi). Pengembangan madrasah menuju sekolah umum berciri khas agama Islam
tersebut sejatinya telah dirancang sejak Mukti Ali menawarkan konsep
pengembangan madrasah melalui kebijakan
SKB 3 Menteri (menteri Agama, menteri
pendidikan, dan menteri dalam negeri), yang berusaha mensejajarkan kualitas
madrasah sebandig dengan sekolah umum melalui pola kurikulum, yakni 70% terdiri
dari bidang studi umum dan 30% bidang studi agama.
Melihat
kondisi dan realitas yang ada beberapa komponen yang harus segera dibenahi oleh
Madrasah, menurut Jazuli Juwaini, yaitu :
1)
Meningkatkan
Kualitas Prasarana dan Sarana Madrasah. Maka Direktorat Madrasah Kemenag RI
atau bidang Mapenda/Pendis melakukan berbagai solusi diantaranya: Melakukan
rehabilitasi ruang kelas yang rusak dengan target hingga 50% dari jumlah
tersebut; Melakukan pembangunan madrasah baru maupun dengan ruang kelas baru serta
pengembangan madrasah terpadu; Penyelenggaraan kelas layanan khusus bagi
siswa/anak didik yang belum mendapatkan akses pendidikan dan meningkatkan kualitas
Tenaga Pendidik dan Kependidikan (TPK)
yang belum memenuhi standar.
2)
Mengoptimalkan
potensi dan prestasi siswa, diantaranya :
Melalui kompetisi dan expo madrasah serta memberikan bantuan kepada
lembaga pendidikan untuk mengadakan kegiatan dalam upaya peningkatan prestasi
siswa.
3)
Perluasan
terhadap akses pendidikan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara Pembangunan
Madrasah terpadu, madrasah baru dan RKB (Ruang Kelas Baru); memperluas kesempatan siswa untuk mendapatkan
pendidikan dasar dengan paket A dan B; pemberian beasiswa dari ekonomi kurang
mampu dan penggunaan TIK dengan mengakses internet.
4)
Pelaksanaan
monitoring dan evaluasi. Harus dilakukan secara konsisten untuk memantau proses
kemajuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik dan perkembangan madrasah
secara berkesinambungan.
5)
Kebijakan
Pemerintah yang mendukung madrasah, diantaranya
sebagian besar atau sekitar 90%
anggaran dialokasikan untuk madrasah swasta, terutama peningkatan mutu guru,
khususnya non PNS lebih besar.
6)
Pengembangan kurikulum
dan standarisasi yang
sesuai, diantaranya dengan memperhatikan Standarisasi pendidikan
madrash-pesantren harusnya berpangkal pada visi madrasah-pesantren sebagai
lembaga pedidikan yang alim wa
mufaqqihfiddin dan masyarakat santri yang religi berwawasan santri dan
senantiasa menjadi rahamatan Illahi bagi lingkungannya.[20]
Kesuksesan
sebuah lembaga pendidikan terutama dalam hal ini madrasah maka tolak ukur yang
dapat dilihat ialah hasil keluaran atau output yakni mencetak generasi atau SDM
yang berkualitas. Untuk mencetak generasi yang berkualitas sesuai dengan
tuntutan zaman dan berjiwa Islami maka madrasah perlu mengambil langkah langkah
kebijakan. Kebijaksanaan pendidikan Islam yang harus diutamakan adalah membantu
setiap peserta didik dapat berkembang secara optimal, yaitu dengan:
1)
Menyediakan guru
yang professional, yang seluruh waktunya dicurahkan untuk menjadi pendidik;
2)
Menyediakan fasilitas
sekolah yang memungkinkan peserta didik dapat belajar dengan penuh kegembiraan
dengan fasilitas olahraga dan ruang bermain yang memadai dan ruang kerja guru;
3)
Menyediakan media
pembelajaran yang kaya, yang memungkinkan peserta didik dapat secara terus
menerus belajar melalui membaca buku wajib, buku rujukan, dan buku bacaan
(termasukk novel), serta kelengkapan laboratorium dan perpustakaan yang
memungkinkan peserta didik belajar sampai tingkatan menikmati belajar,
4)
Evaluasi terus menerus,
komprehensif dan obyektif.
Dan yang terakhir
adalah menjadikan madrasah
sebagai pusat pembudayaan berbagai kemampuan dan nilai, etos kerja, disiplin,
jujur dan cerdas, serta bermoral.[21]
Selain
langkah-langkah di atas yang dapat ditempuh guna memajukan pendidikan di madrasah yang tidak
kalah pentingnya diperlukan juga upaya pemberdayaan madrasah. Pemberdayaan
madrasah dapat dilakukan melalui:
1)
Pemberdayaan managemen,
meliputi pemberdayaan SDM,
manusia pengelola pendidikan,
kepala sekolah, guru, tenaga administrasi, pengawas, dan lain sebagainya dan
siap memasuki era manajemen berbasis sekolah.
2)
Pemberdayaan sistemnya,
dan system top
down ke bottom
up, sentralisasi ke desentralisasi.
3)
Pemberdayaan kebijakan,
dan kebijakan yang
memarjinalkan madrasah kepada kebijakan yang membawa madrasah ke
center.
4)
Pemberdayaan masyarakat,
melibatkan unsur-unsur masyarakat
untuk ikut serta
di dalam pemberdayaan madrasah, dengan cara meningkatkan peran serta
stakeholder dan akuntabilitas.[22]
G.
Penutup
Menghadapi
era modernisasi saat ini harus ada upaya revitalisasi pendidikan madrasah
baik dari Pemerintah,
masyarakat dan madrasah
itu sendiri. Revitalisasi
madrasah terutama dalam hal
kebijakan dan regulasi.
Dengan berbagai perubahan dan
pengembangan tersebut diharapkan terjadi perubahan yang signifikan terhadap
kondisi pendidikan madrasah.
Sehingga dengan demikian
peningkatan mutu madrasah dan madrasah bermutu menjadi sebuah keniscayaan di
tengah-tengah pergulatan dan aksi
pendidikan Indonesia.
Setelah
ditetapkan UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional sebagai
pengganti dan penyempurnaan dari Undang-Undang sebelumnya yaitu bab VI pasal 17
dan 18 , maka kedudukan madrasah semakin kuat karena secara tegas posisinya
disebut sejajar dengan sekolah umum yang sederajat. Kedudukan secara formal
yang ditetapkan sederajat sebagai produk kebijakan politik pendidikan
pemerintah, tentu belum sepenuhnya dapat mendongkrak wibawa akademik madrasah sampai
saat ini seperti munculnya opini bahwa madrasah adalah second
class. Oleh karena itu madrasah harus membenahi diri mengejar ketertinggalannya
dalam penguasaan pengetahuan umum di sekolah umum dengan tetap memberikan
perhatian yang memadai dalam penguasaan pengetahuan agama.
H.
Daftar Pustaka
Ahmed, Akbar S. Postmodernism and Islam: Predicament and
Promise, (London: Routledge, 1992), Terdapat dalam A. Qodri Azizy, Melawan
Globalisasi, Reinterpretasi Ajaran
Islam, Persiapan SDM
dan Terciptanya Masyarakat
Madani. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 2004
Azra, Azyumardi. Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam. Jakarta:
Amissco. 1996
Departemen Agama RI. Ensiklopedi Islam di Indonesia. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Proyek Peningkatan
Sarana dan Prasarana Perguruan Tinggi/ IAIN. 1993
Fadjar, A. Malik. Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta:
Fajar Dunia. 1999
Fromm, Erich. The Revolution of Hope : Toward a Humanized
Technology, New York : Harper & Raw, 1968, p. 5., dalam Syafi'i
Ma'arif, Pengembangan Pendidikan Tinggi Post Graduate Studi Islam Melalui Paradigma
Baru Yang Lebih Efektif. Magelang: Tera Indonesia. 1997
Furchan. Transformasi Pendidikan Islam di
Indonesia: Anatomi Keberadaan Madrasah dan PTAI. Yogyakarta:
Gama Media. 2004
Ma'arif, Ahmad Syafi'i.
Pemikiran tentang Pembaharuan Pendidikan
Islam di Indonesia, Dalam Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta.
Yogyakarta: Tiara Wacana. 1991
Maksum. Madrasah Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta:
PT. Logog Wacana Ilmu.1999
S.R. Parker, et.al. Sosiologi Industri, Jakarta: Rineka
Cipta. 1990
Soroyo. Antisipasi Pendidikan Islam dan Perubahan
Sosial Menjangkau Tahun 2000. Yogyakarta: Tiara Wacana. 1991
Tim Penyusun Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Edisi III. Jakarta: Depdiknas-Balai Pustaka. 2005
A.Malik Fadjar. “Menyiasati
Kebutuhan Masyarakat Modern Terhadap Pendidikan Agama Luar Sekolah, Seminar dan
Lokakarya Pengembangan Pendidikan Islam Menyongsong Abad
21”. IAIN Cirebon, tanggal
31 Agustus s/d 1 September 1995
Djamaluddin Ancok.
“Membangun Kompotensi Manusia dalam Milenium Ke Tiga”. Psikologika. Jurnal Pemikiran
dan Penelitian Psikologi. Nomor: 6 Tahun III. UII. 1998
M.Irsyad Sudiro.
“Pendidikan Agama dalam Masyarakat Modern, Seminar dan Lokakarya Nasional
Revitalisasi Pendidikan Agama Luar Sekolah dalam Masyarakat Modern”. Cirebon.
tanggal 30-31 Agusrus 1995
[1] Furchan, Transformasi PendidikanIslam di
Indonesia: Anatomi Keberadaan Madrasah dan PTAI,
(Yogyakarta: Gama Media, 2004). h.38
[2] Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam di Indonesia,
(Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Proyek
Peningkatan Sarana dan Prasarana Perguruan Tinggi/ IAIN Jakarta, 1993), h. 661
[3] Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Edisi III, (Jakarta: Depdiknas-Balai Pustaka, 2005), h. 220
[4] Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: PT. Logog Wacana
Ilmu,1999), h. 7
[5] A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta:
Fajar Dunia, 1999), h. 82
[6] Ibid
[7] Ibid, h.84 - 85
[8] M.Irsyad Sudiro, “Pendidikan
Agama dalam Masyarakat Modern, Seminar dan Lokakarya Nasional Revitalisasi
Pendidikan Agama Luar Sekolah dalam Masyarakat Modern”, Cirebon, tanggal, 30-31
Agusrus 1995), h. 2
[9] Djamaluddin Ancok, “Membangun
Kompotensi Manusia dalam Milenium Ke Tiga”, Psikologika, Jurnal Pemikiran dan
Penelitian Psikologi, Nomor : 6 Tahun III, UII, 1998), h. 5
[10] Akbar S. Ahmed, Postmodernism and Islam: Predicament and
Promise, (London: Routledge, 1992), hlm. 6. Terdapat dalam A. Qodri Azizy, Melawan Globalisasi, Reinterpretasi Ajaran Islam,
Persiapan SDM dan
Terciptanya Masyarakat Madani,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004), h. 16
[11] A.Malik Fadjar, “Menyiasati Kebutuhan Masyarakat Modern
Terhadap Pendidikan Agama Luar
Sekolah, Seminar dan Lokakarya Pengembangan Pendidikan Islam Menyongsong Abad
21”, IAIN Cirebon, tanggal,
31 Agustus s/d 1 September 1995), h.5
[12] Ahmad Syafi'i Ma'arif, Pemikiran tentang Pembaharuan Pendidikan
Islam di Indonesia, Dalam Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), h. 7-8
[13] Ibid
[14]
Erich Fromm, The Revolution of Hope : Toward a Humanized
Technology, New York : Harper & Raw, 1968, p. 5.,dalam Syafi'i Ma'arif,
Pengembangan Pendidikan Tinggi Post
Graduate Studi Islam Melalui Paradigma Baru Yang Lebih Efektif, (Magelang:
Tera Indonesia, 1997), h.68
[15] Ibid
[16] Soroyo, Antisipasi Pendidikan Islam dan Perubahan Sosial Menjangkau Tahun 2000,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), h. 45
[17] A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta:
Fajar Dunia, 1999), h. 82
[18] S.R. Parker, et.al, Sosiologi Industri, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1990), h. 24
[19] Ibid, h. 25
[20] M.Irsyad Sudiro, “Pendidikan
Agama dalam Masyarakat Modern, Seminar dan Lokakarya Nasional Revitalisasi
Pendidikan Agama Luar Sekolah dalam Masyarakat Modern”, Cirebon, tanggal, 30-31
Agusrus 1995), h. 3 - 4
[21] Azyumardi Azra, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam,
(jakarta: Amissco, 1996), h.12
[22] Maksum, Madrasah
Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu,1999), h. 97
Tidak ada komentar:
Posting Komentar