Jumat, 01 Juli 2016

MADRASAH DAN TANTANGAN MODERNITAS (Perspektif Filsafat Pendidikan Islam)



MADRASAH DAN TANTANGAN MODERNITAS
(Perspektif Filsafat Pendidikan Islam)

 oleh
Muhammad Syamsuddin
 Pascasarjana IAIN Pekalongan
Jurnal Islamic Studies and Character Building
Penerbit NEM Pekalongan 
Tahun 2017

A.    PENDAHULUAN
Dewasa ini, dunia mengalami  proses modernisasi,  yakni  proses  mendunia akibat perkembangan ilmu pengetauan dan teknologi. Perkembangan global dapat maju kearah yang positif namun juga dapat maju kearah yang negatif tergantung pada mereka yang berorientasi pada masa depan, yang mampu mengubah pengetahuan menjadi kebijakan dan mereka yang memiliki ciri-ciri sebagaimana yang dimiliki masyarakat modern. Dari keadaan ini, keberadaan masyarakat satu bangsa dengan bangsa lain menjadi satu disegala bidang ekonomi, budaya, sosial dan lain sebagainya.
Itulah gambaran masa depan yang akan terjadi, dan umat manusia mau tidak mau harus menghadapinya. Masa depan yang demikian itu selanjutnya akan mempengaruhi dunia pendidikan baik dari segi kelembagaan, materi pendidikan, guru, metode, sarana dan prasarana dan lain sebagainya. Hal ini pada gilirannya menjadi tantangan yang harus dijawab oleh dunia pendidikan.
Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam telah muncul dan berkembang seiring dengan masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia. Madrasah telah mengalami perkembangan jenjang dan jenisnya seirama dengan perkembangan bangsa sejak masa kesultanan, masa penjajahan, dan masa kemerdekaan. Perkembangan tersebut telah merubah pendidikan dari bentuk awalnya, seperti pengajian di rumah-rumah, langgar, mushalla, dan masjid, menjadi lembaga formal sekolah seperti bentuk madrasah yang kita kenal saat ini.
Minat masyarakat Islam di Indonesia terhadap madrasah sebenarnya cukup tinggi. Di beberapa daerah, jumlah siswa madrasah ibtidaiyah dan tsanawiyah bahkan lebih banyak daripada jumlah siswa Sekolah Dasar atau SMP. Di mata mereka, madrasah memiliki beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan sekolah umum. Madrasah, terutama yang ada di dalam pondok pesantren,  memberikan bekal mental keagamaan (keimanan dan ketaqwaan) yang kuat kepada peserta didiknya. Dengan bekal mental yang kuat ini, diharapkan apabila menjadi pemimpin dikemudian hari, mereka akan menjadi pemimpin yang jujur, amanah, dan adil.
Sayang, kualitas lembaga yang mengemban misi kepentingan ini, menurut banyak pengamat,  amat  memprihatinkan.  Kualitas  pendidikan  yang  ada  di  madrasah  di  luar pondok pesantren terutama yang yayasannya kurang kuat sering berada di bawah standar, baik dilihat dari segi pendidikan agama maupun segi pendidikan umum. Di bidang pendidikan  agama  madrasah di  luar  pondok  pesantren kalah dengan  madrasah dalam pondok pesantren. Sedangkan di bidang pendidikan umum ia juga kalah dari sekolah umum yang ada disekitarnya.[1] Meskipun kini sudah terdapat madrasah unggulan dan modern namun jika dibandingkan dengan jumlah madrasah secara keseluruhan maka masih sangat sedikit sekali jumlahnya.
Persoalan ini menjadi semakin serius apabila dikaitkan dengan isu besar akhir-akhir ini, yakni modern. Jika banyak orang yang mengatakan bahwa Indonesia belum siap untuk memasuki era modern, maka lulusan madrasah dikhawatirkan lebih tidak siap lagi menghadapi era modern.
Namun apa yang terjadi dan dirasakan oleh madrasah  hingga kurun terakhir tak lain adalah peminat madrasah hanyalah siswa-siswa yang kemampuan inteligensi dan ekonominya pas-pasan. Akibatnya usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan selalu mengalami kesulitan.
Banyaknya persoalan madrasah sebagai salah satu jenis lembaga pendidikan bagi masyarakat  modern  tersebut  mengharuskan  adanya  keseriusan  berbagai  pihak  untuk terlibat langsung dalam upaya penanganan madrasah. Untuk itu diperlukan adanya revitalisasi madrasah guna  memaksimalkan pendidikan  yang  diberikan kepada peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.

B.     PENGERTIAN MADRASAH
Secara etimologi, kata “madrasah” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia  adalah sekolah atau perguruan yang biasanya berdasarkan Agama Islam.  Sedangkan di dalam Ensiklopedi Islam di Indonesia, kata madrasah  adalah  kata  yang  berasal  dari  bahasa Arab,  dari  kata  dasar darasa yang artinya belajar. Madrasah berarti tempat untuk belajar.[2] Kata darasa dengan pengertian “membaca dan belajar”, yang merupakan akar kata madrasah itu sendiri, berasal dari Bahasa Hebrew atau Aramy[3].
Secara epistemologi,  madrasah adalah salah satu jenis lembaga pendidikan Islam yang berkembang di Indonesia yang diusahakan di samping masjid dan pesantren. Lebih lanjut, dalam konteks Indonesia, lembaga pendidikan ini merupakan lembaga madrasah timur tengah masa modern karena pengaruh  pendidikan barat yang  diisi secara dominan dengan  kurikulum  keagamaan.   Meskipun demikian, karena  pengaruh pengaruh politik penjajah, sekolah dan madrasah dipandang sebagai dua bentuk  lembaga  pendidikan  yang  berbeda  secara  dikhotomis:  sekolah bersifat sekuler dan madrasah bersifat Islam.[4]
Secara teknis, yakni dalam proses belajar-mengajar secara formal, di Indonesia madrasah tidak hanya dipahami sepintas sebagai sekolah. Melainkan   diberi  konotasi   yang  lebih  spesifik   lagi,  yakni  ”Sekolah Agama”, tempat di mana anak-anak didik memperoleh pembelajaran hal- ihwal atau seluk-beluk agama dan keagamaan (Agama Islam).
Dari penjelasan  di atas, madrasah  dimaksudkan  sebagai lembaga pendidikan. Kaitannya dengan pembahasan  ini, adalah madrasah sebagai sebuah lembaga yang mengemban visi-misi keislaman (li tafaqquh fiddin). Untuk  memenuhi kebutuhan sumber daya manusia, muncul berbagai  macam  model atau format madrasah,  yaitu antara lain:
a)      Madrasah Model.
Madrasah model adalah madrasah negeri yang memiliki standard tertentu dari segi sarana dan prasarana, jumlah dan kualifikasi tenaga kependidikan (guru), dan siswa-siswi yang terseleksi sehingga pelaksanaan  pembelajaran  dapat  berjalan  dengan  intensitas  tinggi.[5] Intervensi utama  terhadap   madrasah   model   adalah meningkatkan kualitas  bidang  sains  dan  matematika   (MAFIKIB),  di  samping manajemen dan sarana dan prasarana belajar.
Madrasah model ini akan memiliki berbagai fungsi, yaitu fungsi model   (contoh, teladan), fungsi  pelatihan, fungsi kepemimpinan, fisika, kimia biologi dan bahasa Inggris. Mata pelajaran ini yang merupakan titik lemah dari madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam. fungsi  pengawasan  (supervisi)   pendidikan,   fungsi  pelayanan,   dan fungsi pengembangan profesi.
b)      Madrasah Terpadu.
Madrasah terpadu adalah madrasah 12 (dua belas) tahun, yang terdiri dari Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah yang berada dalam satu lokasi, memiliki satu kesatuan administrasi, manajemen, dan kurikulum.[6] Madrasah yang ditunjuk sebagai madrasah terpadu harus melakukan integrasi administrasi, integrasi kurikulum, integrasi personel, integrasi sarana dan prasarana,dan integrasi pembiayaan. Sampai saat ini Departemen Agama telah menunjuk 7 MI, 7 MTs dan 7 MA sebagai madrasah terpadu diantaranya:
1)  Madrasah Terpadu Malang;
2)  Madrasah Terpadu Jogyakarta;
3)  Madrasah Terpadu Palembang;
4)  Madrasah Terpadu Aceh;
5)  Madrasah Terpadu Jakarta;
6)  Madrasah Terpadu Padang;
7)  Madrasah Terpadu Jambi;
8)  Madrasah Terpadu YASUCI Jakarta.[7]

Konsep  madrasah  terpadu  ini  bukanlah  konsep  yang  berdiri sendiri,   tetapi  merupakan   konsep   pendukung   yang  diintegrasikan dengan   konsep   madrasah   model   dan   madrasah   unggul.   Dengan demikian akan terjadi sinergi yang kuat dalam mewujudkan madrasah berkualitas yang Islami.
c)      Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK).
Madrasah Aliyah Keagamaan adalah Madrasah Aliyah Program Khusus  sebagai  upaya  mempertahankan madrasah aliyah program ilmu-ilmu agama yang diharapkan dapat menghasilkan siswa yang memiliki kemampuan dasar ilmu agama dan bahasa arab yang diperlukan untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi Agama (IAIN/ PTAI) atau perguruan tinggi di Timur Tengah.
Madrasah  Aliyah Keagamaan  merupakan  upaya program tambahan bagi madrasah tingkat lanjutan atas yang memfokuskan keahlian sebagaimana  Madrasah  Aliyah atau setingkat  dengan SMA yang memiliki jurusan pilihan bagi anak didik berupa jurusan IPA dan IPS, serta Bahasa, namun  pada MAK   ditekankan   lebih   pada keagamaan.
d)     Madrasah Aliyah Program Ketrampilan (MAPK)
Madrasah Aliyah Program Ketrampilan (MAPK) adalah Madrasah  Aliyah  yang diberi tambahan program ekstrakulrikuler dalam berbagai bidang ketrampilan yang terstruktur. Tujuan penyelenggaraan  program  ini  adalah  untuk  membekali  siswa  yang tidak dapat melanjutkan  ke perguruan  tinggi dalam memasuki  dunia kerja dengan bekal ketrampilan tertentu.
e)      Madrasah Wajib Belajar (MWB).
Madrasah wajib belajar adalah lembaga pendidikan 8 tahun yang difungsikan untuk mendukung kenajuan ekonomi, industri, dan transmigrasi.    MWB   merupakan   rangkaian   pelaksanaan   undang- undang wajib belajar yang baru terealisasi tahun 1980-an. Namun, kementerian Agama yang pada saat itu dijabat KH Moh. Ilyas, mengeluarkan   kebijakan   yang  cukup  drastis   dengan   mengadakan pembaruan sistem pendidikan di madrasah dengan memperkenalkan madrasah wajib belajar (MWB) 8 tahun. Jadi, jauh sebelum presiden Soeharto  mencanangkan  wajib belajar 6 tahun, kemudian  menjadi  9 tahun  pada  tahun  1994,  di  madrasah  telah  ada  kewajiban  belajar  8 tahun.

C.    KARAKTERISTIK MASYARAKAT MODERN
Pendapat Alvin Tofler dalam bukunya The Third Wave yang bercerita tentang peradaban manusia, yaitu;
1)      Perdaban yang dibawa oleh penemuan pertanian,
2)      Peradaban yang diciptakan dan dikembangkan oleh revolusi industri, dan
3)      Peradaban baru yang tengah digerakan oleh revolusi komunikasi dan informasi. Perubahan tersebesar yang diakibatkan oleh gelombang ketiga adalah, terjadinya pergeseran yang mendasar dalam sikap dan tingkah laku masyarakat.[8]
Salah satu ciri utama kehidupan di masa sekarang dan masa yang akan datang  adalah  cepatnya  terjadi  perubahan yang  terjadi  dalam  kehidupan manusia. Banyak paradigma yang digunakan untuk menata kehidupan, baik kehidupan individual maupun kehidupan organisasi yang pada waktu yang lalu sudah mapan, kini menjadi ketinggalan zaman.[9]
Akbar S. Ahmed dan Hastings Donnan, seorang tokoh pemikir Muslim, juga memberikan kesimpulan tentang modern, dengan penjelasannya sebagaimana:
If modern meant the pursuit of Western education,  technology and industrialization in the first flush of the post-colonial period, postmodern  would  mean  a  reversion  to  traditional  Muslim values and a rejection  of modernism.  This would generate  an entire range of Muslim responses from politics to clothes to architecture.  For  us  definition  is literal.[10]
Secara umum masyakarat modern adalah masyarakat yang proaktif, individual, dan kompetitif. Masyarakat  modern  dewasa  ini  yang  ditandai  dengan  munculnya  pasca industri (postindustrial society) seperti dikatakan Daniel Bell, atau masyarakat informasi (information society) sebagai tahapan ketiga dari perkembangan perdaban seperti dikatakan oleh Alvin Tofler, tak pelak lagi telah menjadikan kehidupan manusia secara teknologis memperoleh banyak kemudahan. Tetapi juga masyarakat modern menjumpai banyak paradoks dalam kehidupannya.
Semakin banyak informasi telah menyebabkan semakin disadari bahwa segala sesuatunya tidak terkendali. Karena itu Ziauddin Sardar, menyatakan bahwa abad informasi ternyata sama sekali bukan rahmat. Di masyarakat Barat, ia telah menimbulkan sejumlah besar persoalan, yang tidak ada pemecahannya kecuali cara pemecahan yang tumpul. Di lingkungan masyarakat kita sendiri misalnya, telah terjadi swastanisasi televisi, masyarakat mulai merasakan ekses negatifnya.[11]
Toynbee   melihat   perkembangan   peradaban   modern   yang semakin kehilangan jangkar spritual dengan segala dampak destruktifnya pada berbagai dimensi kehidupan manusia. Manusia modern ibarat layang-layang putus tali,  tidak mengenal secara pasti di mana tempat hinggap yang seharusnya. Teknologi yang tanpa kendali moral lebih merupakan ancaman.[12]
Menurut A. Syafi'i Ma'arif, bahwa sistem pendidikan tinggi modern yang kini berkembang di seluruh dunia lebih merupakan pabrik doktor yang kemudian menjadi tukang-tukang tingkat tinggi, bukan melahirkan homo sapiens. Bangsa-bangsa Muslim pun terjebak dan terpasung dalam arus sekuler ini dalam penyelenggaraan pendidikan tingginya. Kita belum mampu menampilkan corak pendidikan alternatif terhadap arus besar high learning yang dominan dalam peradaban sekuler sekarang ini. Prinsip ekonomi yang menjadikan pasar sebagai agama baru masih sedang berada di atas angin. Manusia modern sangat tunduk kepada agama baru ini.[13]
Dampak dari semua kemajuan masyarakat modern, kini dirasakan demikian fundamental sifatnya. Ini dapat ditemui dari beberapa konsep yang diajukan oleh kalangan agamawan, ahli filsafat dan ilmuan sosial untuk menjelaskan persoalan yang dialami oleh masyarakat. Misalnya, konsep keterasingan (alienation) dari Marx dan Erich Fromm, yakni mengacu kepada suatu keadaan dimana manusia secara personal sudah kehilangan keseimbangan diri dan ketidakberdayaan eksistensial akibat dari benturan struktural yang  diciptakan  sendiri.  Dalam  keadaan  seperti  ini,  manusia  tidak  lagi  merasakan dirinya sebagai pembawa aktif dari kekuatan dan kekayaannya, tetapi sebagai benda yang dimiskinkan, tergantung kepada kekuatan di luar dirinya, kepada siapa ia telah memproyeksikan substansi hayati dirinya.[14]
Semua persoalan fundamental yang dihadapi oleh masyarakat modern yang digambarkan di atas, menjadi pemicu munculnya kesadaran epistemologis baru bahwa persoalan kemanusian tidak cukup diselesaikan dengan cara empirik rasional, tetapi perlu jawaban yang bersifat transendental. Melihat persoalam ini,  maka  ada  peluang  bagi  pendidikan  Islam  yang  memiliki  kandungan  spritual keagamaan untuk menjawab tantangan perubahan tersebut. Fritjop Capra dalam buku The Turning Point, A.Malik Padjar mengajak untuk meninggalkan  paradigma  keilmuan yang terlalu materialistik  dengan mengenyampingkan aspek spritual keagamaan.[15] Demikianlah, agama pada  akhirnya dipandang  sebagai  alternatif  paradigma  yang   dapat  memberikan  solusi  secara mendasar  terhadap  persoalan  kemanusian yang  sedang  dihadapi  oleh  masyarakat modern.

D.    TANTANGAN MADRASAH DI ERA MODERN
Modernitas ini membawa dampak positif dan negatif bagi kepentingan bangsa dan Negara kita. Dampak positif, misalnya kita semakin mudah memperoleh informasi dari luar yang membantu kita menemukan alternatif-alternatif baru dalam usaha memecahkan masalah yang kita hadapi. Misalnya melalui internet kini kita dapat mencari informasi dari seluruh dunia tanpa harus mengeuarkan banyak biaya dan tanpa harus kita ke lokasi sumber berita tersebut.
Di bidang ekonomi, perdagangan bebas antarnegara berarti pasar dunia semakin terbuka bagi produk-produk kita, baik yang berupa barang ataupun jasa (tenaga kerja). Dampak negatifnya adalah masuknya informasi yang tidak kita perlukan atau bahkan merusak tatanan nilai yang selama ini kita anut. Misalkan masuknya gambar- gambar atau video porno yang masuk lewat jaringan internet, masuknya paham politik yang berbeda dari paham politik yang kita anut, dan sebagainya.
Pendidikan merupakan usaha sadar suatu bangsa untuk membentuk generasi mudanya agar menjadi manusia yang menguasai iptek dan mempunyai imtaq. Maka tantangan yang dihadapkan oleh modernitas kepada pendidikan nasional ialah mampukah pendidikan nasional menghasilkan manusia-manusia Indonesia yang berkualitas sehingga mampu memenangkan persaingan antar bangsa atau setidaknya survive dalam era modern itu.
Dalam kaitannya dengan era Modern, madrasah harus menyiapkan anak didiknya untuk siap bersaing di bidang apa saja yang mereka masuki. Ini dimaksudkan agar lulusan madrasah tidak akan terpinggirkan oeh lulusan sekolah umum dalam meperebutkan tempat dan peran dalam gerakan pembangunan. Mengingat dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional madrasah dikategorikan sebagai sekolah umum maka lulusan madrasah  berhak  melanjutkan  ke  perguruan  tinggi  umum,  baik  fakultas  ilmu  sosial maupun ilmu eksakta.
Agar lulusan madrasah memiliki wawasan global, yang memandang bahwa seluruh muka bumi milik Allah ini adalah tempat mengabdi, maka madrasahpun harus memiliki wawasan global. Madrasah harus mempersiapkan anak didiknya agar dapat melanjutkan studi atau bekerja di luar negeri. Untuk itu maka penguasaan bahasa asing menjadi amat penting. Demikian pula pengenalan budaya bangsa asing.
Adapun tantangan dan masalah internal pendidikan Islam pasca modernisasi dan tantangan modernitas pada hari ini dan masa depan, secara umum adalah:
1)      Jenis  pendidikan  yang  dipilih  dan  dilaksanakan  di  Indonesia.  Ada  empat  jenis pendidikan Islam yang disediakan yakni:
a)      Pendidikan yang berpusat pada tafaqquh fi al-din.
b)      Pendidikan madrasah yang mengikuti kurikulum Diknas dan Depag.
c)      Sekolah Islam “plus” atau unggulan yang  mengikuti kurikulum Diknas,  yang pada dasarnya  adalah pendidikan umum plus  agama. 
d)     Pendidikan  ketrampilan  seperti SMK.
2)      Berkaitan dengan masalah pertama, yakni persoalan identitas diri lembaga pendidikan Islam tertentu. Pada satu sisi, pengakuan atas penyetaraan pendidikan di atas telah membuka peluang-peluang bagi penyelenggara pendidikan Islam, namun permasalahan selanjutnya yang justru lahir adalah kemungkinan mengorbankan identitas pendidikan Islam itu sendiri. Terjadi perbenturan antara social expectations dan academic expectations.
3)      Penguatan  kelembagaan  dan  manajemen.  Hal  ini  dapat  dilihat  dari,  perubahan - perubahan pengelolaan dan manajemen pendidikan Islam, seperti dengan menggunakan prinsip-prinsip manajemen modern diantaranya total quality manaegement (TQM), atau corporate good governance, yang kini telah mulai diterapkan pada sementara lembaga- lembaga pendidikan selain Islam.

E.     MADRASAH SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
Perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat baik sosial maupun kultural, secara makro persoalan yang dihadapi pendidikan Islam adalah bagaimana pendidikan Islam mampu menghadirkan disain atau konstruksi wacana pendidikan Islam yang  relevan  dengan  perubahan  masyarakat.  Kemudian  disain  wacana  pendidikan Islam tersebut dapat dan mampu ditranspormasikan atau diproses secara sistematis dalam  masyarakat. Persoalan pertama  ini  lebih  bersifat  filosofis,  yang  kedua  lebih bersifat metodologis. Pendidikan Islam perlu menghadirkan suatu konstruksi wacana pada dataran filosofis, wacana metodologis, dan juga cara menyampaikan atau mengkomunikasikannya.
Dalam menghadapi peradaban modern, yang perlu diselesaikan adalah persoalan-persoalan umum internal pendidikan Islam yaitu:
1)        Persolan dikotomik pendidikan Islam, yang merupakan persoalan lama yang belum terselesaikan sampai sekarang. Pendidikan Islam harus menuju pada integritas antara ilmu agama dan ilmu umum untuk tidak melahirkan jurang pemisah antara ilmu agama dan ilmu bukan agama. Karena, dalam pandangan seorang Muslim, ilmu pengetahuan adalah satu yaitu yang berasal dari Allah SWT.[16]
2)        Perlu   pemikiran   kembali   tujuan   dan   fungsi   lembaga-lembaga pendidikan  Islam  yang  ada.  Memang  diakui  bahwa penyesuaian lembaga-lembaga pendidikan akhir-akhir ini cukup mengemberikan, artinya lembaga-lembaga pendidikan memenuhi keinginan untuk menjadikan lembaga-lembaga tersebut sebagai tempat untuk mempelajari ilmu umum dan ilmu agama serta keterampilan.  Tetapi  pada  kenyataannya  penyesuaian  tersebut  lebih  merupakanpeniruan dengan pola tambal sulam atau dengan kata lain mengadopsi model yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan umum, artinya ada perasaan harga diri bahwa apa yang bisa dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan umum dapat juga dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan agama, sehingga akibatnya beban kurikulum yang terlalu banyak dan cukup berat dan terjadi tumpang tindih. Sebenarnya lembaga-lembaga pendidikan Islam harus memilih satu di antara dua fungsi, apakah mendisain model pendidikan umum Islami yang handal dan mampu bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan yang lain, atau mengkhususkan pada disain pendidikan keagamaan yang berkualitas, mampu bersaing, dan mampu mempersiapkan mujtahid- mujtahid yang berkualitas.
3)        Persoalan kurikulum atau materi Pendidikan Islam, meteri pendidikan Islam terlalu dominasi masalah-masalah yang bersifat normatif, ritual dan eskatologis. Materi disampaikan dengan semangat ortodoksi kegamaan, suatu cara dimana peserta didik dipaksa tunduk pada suatu metanarasi yang ada, tanpa diberi peluang untuk melakukan telaah secara kritis. Pendidikan Islam tidak fungsional dalam kehidupan sehari-hari, kecuali hanya sedikit aktivitas verbal dan formal untuk menghabiskan materi atau kurikulum yang telah diprogramkan dengan batas waktu yang telah ditentukan.[17]

Mencermati persoalan yang dikemukakan di atas, maka perlu menyelesaikan persoalan internal yang dihadapi pendidikan Islam secara mendasar dan tuntas. Sebab pendidikan sekarang ini juga dihadapkan pada persoalan-persoalan yang cukup kompleks, yakni bagaimana pendidikan mampu mempersiapkan manusia yang berkualitas, bermoral  tinggi  dalam  menghadapi perubahan masyarakat yang  begitu cepat, sehingga produk pendidikan Islam tidak hanya melayani dunia modern, tetapi mempunyai pasar baru atau mampu bersaing secara kompettif dan proaktif dalam dunia masyarakat modern. 
Desain madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam yang yang mampu  menjawab tantangan perubahan ini, antara lain:  
Pertama, lembaga-lembaga pendidikan Islam perlu mendisain ulang fungsi pendidikannya, dengan memilih apakah;
1)      Model pendidikan yang mengkhususkan diri pada pendidikan keagamaan saja untuk mempersiapkan dan melahirkan ulama-ulama dan mujtahid-mujtahid tangguh dalam bidangnya dan mampu menjawab persoalan-persoalan aktual atau kontemporer sesuai dengan perubahan zaman,
2)      Model pendidikan umum Islami, kurikulumnya integratif antara materi-materi pendidikan umum dan agama, untuk mempersiapkan intelektual Islam yang berfikir secara komprehensif,
3)      Model pendidikan sekuler modern dan mengisinya dengan konsep-konsep Islam, 
4)      atau menolak produk pendidikan barat, berarti harus mendisain model pendidikan yang betul-betul sesuai dengan konsep dasar Islam dan sesuai dengan lingkungan sosial-budaya Indonesia,
5)      Pendidikan agama tidak dilaksanakan di sekolah-sekolah tetapi dilaksanakan di luar sekolah, artinya pendidikan agama dilaksanakan di rumah atau lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat berupa kursur-kursus, dan sebagainya.  
Kedua desain pendidikan harus diarahkan pada dua dimensi, yakni : 
1)      Dimensi dialektika (horisontal), pendidikan hendaknya dapat  mengembangkan pemahaman tentang  kehidupan manusia  dalam hubungannya  dengan  alam   atau   lingkungan  sosialnya.  Manusia  harus   mampu mengatasi tantangan dan kendala dunia sekitarnya melalui pengembangan Iptek, dan
2)      Dimensi ketunduhan vertikal, pendidikan selain menjadi alat untuk memantapkan, memelihara sumber daya alami, juga menjembatani dalam memahamai fenomena dan misteri kehidupan yang abadi dengan maha pencipta. Berati pendidikan harus disertai dengan pendekatan hati.

Dua hal yang dikemukakan di atas merupakan tawaran desain pendidikan Islam yang perlu diupayakan untuk membangun paradigma pendidikan Islam dalam menghadapi perkembangan perubahan zaman modern dan memasuki era milenium ketiga. Karena, kecenderungan perkembangan semacam dalam mengantisipasi perubahan zaman merupakan hal yang wajar-wajar saja. Sebab kondisi masyarakat sekarang ini lebih bersifat praktis-pragmatis dalam hal aspirasi dan harapan terhadap pendidikan.[18] Sehingga tidak statis atau hanya berjalan di tempat dalam menatap persoalan-persoalan yang dihadapi pada era masyarakat modern dan post masyarakat modern.
Untuk itu, Pendidikan dalam masyarakat modern, pada dasarnya berfungsi untuk  memberikan kaitan antara anak  didik  dengan lingkungan sosiokulturalnya yang terus berubah dengan cepat, dan pada saat yang sama, pendidikan secara sadar juga digunakan sebagai instrumen untuk perubahan dalam sistem politik, ekonomi secara keseluruhan.  Pendidikan sekarang ini seperti dikatakan oleh  Ace  Suryadi dan H.A.R. Tilar,  tidak  lagi  dipandang  sebagai  bentuk perubahan kebutuhan yang bersifat konsumtif dalam pengertian pemuasan secara langsung atas kebutuhan dan keinginan yang bersifat sementara. Tapi, merupakan suatu bentuk investasi sumber daya manusia (human investment) yang merupakan tujuan utama.[19]

F.     REKONTRUKSI MADRASAH GUNA MENJAWAB TANTANGAN MODERNITAS
Sebagai sekolah umum yang berciri khas agama Islam, madrasah harus selalu meningkatkan kualitas SDM-nya, baik imtaq (iman dan taqwa maupun iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi). Pengembangan madrasah menuju sekolah umum berciri khas agama Islam tersebut sejatinya telah dirancang sejak Mukti Ali menawarkan konsep pengembangan madrasah  melalui kebijakan SKB 3 Menteri (menteri Agama,  menteri pendidikan, dan menteri dalam negeri), yang berusaha mensejajarkan kualitas madrasah sebandig dengan sekolah umum melalui pola kurikulum, yakni 70% terdiri dari bidang studi umum dan 30% bidang studi agama.
Melihat kondisi dan realitas yang ada beberapa komponen yang harus segera dibenahi oleh Madrasah, menurut Jazuli Juwaini, yaitu :
1)      Meningkatkan Kualitas Prasarana dan Sarana Madrasah. Maka Direktorat Madrasah Kemenag RI atau bidang Mapenda/Pendis melakukan berbagai solusi diantaranya: Melakukan rehabilitasi ruang kelas yang rusak dengan target hingga 50% dari jumlah tersebut; Melakukan pembangunan madrasah baru maupun dengan ruang kelas baru serta pengembangan madrasah terpadu; Penyelenggaraan kelas layanan khusus bagi siswa/anak didik yang belum mendapatkan akses pendidikan dan meningkatkan kualitas Tenaga Pendidik dan Kependidikan (TPK)  yang belum memenuhi standar.
2)      Mengoptimalkan potensi dan prestasi siswa, diantaranya :  Melalui kompetisi dan expo madrasah serta memberikan bantuan kepada lembaga pendidikan untuk mengadakan kegiatan dalam upaya peningkatan  prestasi  siswa. 
3)      Perluasan terhadap akses pendidikan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara Pembangunan Madrasah terpadu, madrasah baru dan RKB (Ruang Kelas Baru);  memperluas kesempatan siswa untuk mendapatkan pendidikan dasar dengan paket A dan B; pemberian beasiswa dari ekonomi kurang mampu dan penggunaan TIK dengan mengakses internet.
4)      Pelaksanaan monitoring dan evaluasi. Harus dilakukan secara konsisten untuk memantau proses kemajuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik dan perkembangan madrasah secara berkesinambungan.
5)      Kebijakan Pemerintah yang mendukung madrasah, diantaranya   sebagian besar atau sekitar 90% anggaran dialokasikan untuk madrasah swasta, terutama peningkatan mutu guru, khususnya non PNS lebih besar.
6)      Pengembangan  kurikulum  dan  standarisasi  yang  sesuai,  diantaranya  dengan memperhatikan Standarisasi pendidikan madrash-pesantren harusnya berpangkal pada visi madrasah-pesantren sebagai lembaga pedidikan yang alim wa mufaqqihfiddin dan masyarakat santri yang religi berwawasan santri dan senantiasa menjadi rahamatan Illahi bagi lingkungannya.[20]

Kesuksesan sebuah lembaga pendidikan terutama dalam hal ini madrasah maka tolak ukur yang dapat dilihat ialah hasil keluaran atau output yakni mencetak generasi atau SDM yang berkualitas. Untuk mencetak generasi yang berkualitas sesuai dengan tuntutan zaman dan berjiwa Islami maka madrasah perlu mengambil langkah langkah kebijakan. Kebijaksanaan pendidikan Islam yang harus diutamakan adalah membantu setiap peserta didik dapat berkembang secara optimal, yaitu dengan:
1)      Menyediakan guru yang professional, yang seluruh waktunya dicurahkan untuk menjadi pendidik;
2)      Menyediakan fasilitas sekolah yang memungkinkan peserta didik dapat belajar dengan penuh kegembiraan dengan fasilitas olahraga dan ruang bermain yang memadai dan ruang kerja guru;
3)      Menyediakan media pembelajaran yang kaya, yang memungkinkan peserta didik dapat secara terus menerus belajar melalui membaca buku wajib, buku rujukan, dan buku bacaan (termasukk novel), serta kelengkapan laboratorium dan perpustakaan yang memungkinkan peserta didik  belajar  sampai tingkatan menikmati belajar,
4)      Evaluasi terus  menerus,  komprehensif  dan  obyektif.  Dan  yang  terakhir  adalah  menjadikan madrasah sebagai pusat pembudayaan berbagai kemampuan dan nilai, etos kerja, disiplin, jujur dan cerdas, serta bermoral.[21]

Selain langkah-langkah di atas yang dapat ditempuh guna  memajukan pendidikan di madrasah yang tidak kalah pentingnya diperlukan juga upaya pemberdayaan madrasah. Pemberdayaan madrasah dapat dilakukan melalui:
1)      Pemberdayaan   managemen,   meliputi   pemberdayaan   SDM,   manusia   pengelola pendidikan, kepala sekolah, guru, tenaga administrasi, pengawas, dan lain sebagainya dan siap memasuki era manajemen berbasis sekolah.
2)      Pemberdayaan  sistemnya,  dan  system  top  down  ke  bottom  up,  sentralisasi  ke desentralisasi.
3)      Pemberdayaan  kebijakan,   dan  kebijakan   yang   memarjinalkan   madrasah  kepada kebijakan yang membawa madrasah ke center.
4)      Pemberdayaan  masyarakat,  melibatkan  unsur-unsur  masyarakat  untuk  ikut  serta  di dalam pemberdayaan madrasah, dengan cara meningkatkan peran serta stakeholder dan akuntabilitas.[22]

G.    Penutup
Menghadapi era modernisasi saat ini harus ada upaya revitalisasi pendidikan madrasah baik  dari  Pemerintah,  masyarakat  dan  madrasah  itu  sendiri.  Revitalisasi  madrasah terutama   dalam   hal   kebijakan   dan   regulasi.   Dengan   berbagai perubahan dan pengembangan tersebut diharapkan terjadi perubahan yang signifikan terhadap kondisi pendidikan madrasah.  Sehingga  dengan demikian peningkatan mutu madrasah dan madrasah bermutu menjadi sebuah keniscayaan di tengah-tengah  pergulatan dan aksi pendidikan Indonesia.
Setelah ditetapkan UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional sebagai pengganti dan penyempurnaan dari Undang-Undang sebelumnya yaitu bab VI pasal 17 dan 18 , maka kedudukan madrasah semakin kuat karena secara tegas posisinya disebut sejajar dengan sekolah umum yang sederajat. Kedudukan secara formal yang ditetapkan sederajat sebagai produk kebijakan politik pendidikan pemerintah, tentu belum sepenuhnya dapat mendongkrak wibawa akademik madrasah sampai saat ini seperti munculnya opini bahwa madrasah adalah  second class. Oleh karena itu madrasah harus membenahi diri mengejar ketertinggalannya dalam penguasaan pengetahuan umum di sekolah umum dengan tetap memberikan perhatian yang memadai dalam penguasaan pengetahuan agama.

H.    Daftar Pustaka
Ahmed, Akbar S. Postmodernism and Islam: Predicament and Promise, (London: Routledge, 1992), Terdapat dalam A. Qodri Azizy, Melawan Globalisasi, Reinterpretasi Ajaran  Islam,  Persiapan  SDM  dan  Terciptanya  Masyarakat  Madani. Yogyakarta:  Pustaka Pelajar. 2004
Azra, Azyumardi. Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Amissco. 1996
Departemen Agama RI. Ensiklopedi Islam di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Proyek Peningkatan Sarana dan Prasarana Perguruan Tinggi/ IAIN. 1993
Fadjar, A. Malik. Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Fajar Dunia. 1999
Fromm, Erich. The Revolution of Hope : Toward a Humanized Technology, New York : Harper & Raw, 1968, p. 5., dalam Syafi'i Ma'arif, Pengembangan Pendidikan Tinggi Post Graduate Studi Islam Melalui Paradigma Baru Yang Lebih Efektif. Magelang: Tera Indonesia. 1997
Furchan.  Transformasi  Pendidikan Islam  di  Indonesia:  Anatomi  Keberadaan Madrasah dan PTAI. Yogyakarta: Gama Media. 2004
Ma'arif, Ahmad Syafi'i. Pemikiran tentang Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Dalam Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta. Yogyakarta: Tiara Wacana. 1991
Maksum. Madrasah Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: PT. Logog Wacana Ilmu.1999
S.R. Parker, et.al. Sosiologi Industri, Jakarta: Rineka Cipta. 1990
Soroyo. Antisipasi Pendidikan Islam dan Perubahan Sosial Menjangkau Tahun 2000. Yogyakarta: Tiara Wacana. 1991
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III. Jakarta: Depdiknas-Balai Pustaka. 2005


A.Malik Fadjar. “Menyiasati Kebutuhan Masyarakat Modern Terhadap Pendidikan Agama  Luar Sekolah, Seminar dan  Lokakarya  Pengembangan Pendidikan  Islam Menyongsong  Abad  21”.  IAIN Cirebon,  tanggal  31 Agustus s/d 1 September 1995
Djamaluddin Ancok. “Membangun Kompotensi Manusia dalam Milenium Ke Tiga”. Psikologika. Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi. Nomor: 6 Tahun III. UII. 1998
M.Irsyad Sudiro. “Pendidikan Agama dalam Masyarakat Modern, Seminar dan Lokakarya Nasional Revitalisasi Pendidikan Agama Luar Sekolah dalam Masyarakat Modern”. Cirebon. tanggal 30-31 Agusrus 1995



[1] Furchan,  Transformasi  PendidikanIslam  di  Indonesia:  Anatomi  Keberadaan Madrasah dan PTAI, (Yogyakarta: Gama Media, 2004).  h.38
[2] Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Proyek Peningkatan Sarana dan Prasarana Perguruan Tinggi/ IAIN Jakarta, 1993),  h. 661
[3] Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III, (Jakarta: Depdiknas-Balai Pustaka, 2005), h. 220
[4] Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: PT. Logog Wacana Ilmu,1999), h. 7
[5] A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Fajar Dunia, 1999), h. 82
[6] Ibid
[7] Ibid, h.84 - 85
[8] M.Irsyad Sudiro, “Pendidikan Agama dalam Masyarakat Modern, Seminar dan Lokakarya Nasional Revitalisasi Pendidikan Agama Luar Sekolah dalam Masyarakat Modern”, Cirebon, tanggal, 30-31 Agusrus 1995), h. 2
[9] Djamaluddin Ancok, “Membangun Kompotensi Manusia dalam Milenium Ke Tiga”, Psikologika, Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi, Nomor : 6 Tahun III, UII, 1998), h. 5
[10] Akbar S. Ahmed, Postmodernism and Islam: Predicament and Promise, (London: Routledge, 1992), hlm. 6. Terdapat dalam A. Qodri Azizy, Melawan Globalisasi, Reinterpretasi Ajaran  Islam,  Persiapan  SDM  dan  Terciptanya  Masyarakat  Madani,  (Yogyakarta:  Pustaka Pelajar, 2004), h. 16
[11] A.Malik Fadjar,  “Menyiasati Kebutuhan Masyarakat Modern Terhadap Pendidikan Agama          Luar Sekolah, Seminar dan  Lokakarya  Pengembangan Pendidikan  Islam Menyongsong  Abad  21”,  IAIN Cirebon,  tanggal,  31 Agustus s/d 1 September 1995), h.5
[12] Ahmad Syafi'i Ma'arif, Pemikiran tentang Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Dalam Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), h. 7-8
[13] Ibid
[14] Erich Fromm, The Revolution of Hope : Toward a Humanized Technology, New York : Harper & Raw, 1968, p. 5.,dalam Syafi'i Ma'arif, Pengembangan Pendidikan Tinggi Post Graduate Studi Islam Melalui Paradigma Baru Yang Lebih Efektif, (Magelang: Tera Indonesia, 1997), h.68
[15] Ibid
[16] Soroyo, Antisipasi Pendidikan Islam dan Perubahan Sosial Menjangkau Tahun 2000, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), h. 45
[17] A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Fajar Dunia, 1999), h. 82
[18] S.R. Parker, et.al, Sosiologi Industri, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), h. 24
[19] Ibid, h. 25
[20] M.Irsyad Sudiro, “Pendidikan Agama dalam Masyarakat Modern, Seminar dan Lokakarya Nasional Revitalisasi Pendidikan Agama Luar Sekolah dalam Masyarakat Modern”, Cirebon, tanggal, 30-31 Agusrus 1995), h. 3 - 4
[21] Azyumardi  Azra,  Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam, (jakarta: Amissco, 1996), h.12
[22] Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu,1999), h. 97

Tidak ada komentar:

Posting Komentar