MUHAMMAD
SYAMSUDDIN
Magister
Pendidikan Agama Islam
IAIN
Pekalongan
REKONSTRUKSI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH SEBAGAI UPAYA MEREDUKSI KOMUNISME
A. PENDAHULUAN
Mengacu pada tataran
praktik, komunisme di Indonesia memiliki stigma buruk akibat bercampurnya
dengan unsur politik. Komunisme dalam kajian ilmu hukum terutama ilmu negara
adalah ideologi1 yang selalu berkolerasi dengan sistem politik dan mencerminkan
suatu gaya hidup yang berdasarkan nilai-nilai tertentu yaitu:
1) Gagasan
monisme. Gagasan ini menolak adanya golongan-golongan di dalam masyarakat sebab
dianggap bahwa setiap golongan yang berlainan aliran pikir.
2) Kekerasan
dipandang sebagai alat yang sah yang harus dipakai untuk mencapai komunisme.
Paksaan ini dipakai dalam dua tahap: pertama terhadap musuh, kedua terhadap
pengikutnya sendiri yang dianggap masih kurang insaf.
3) Negara
merupakan alat untuk mencapai komunisme karena itu semua alat kenegaraan
seperti polisi, tentara, kejaksaan, dipakai untuk diabadikan kepada tercapainya
komunisme. Ini mengakibatkan suatu campur tangan negara yang sangat luas dan
mendalam di bidang politik, sosial dan budaya. Pentingnya pemahaman akan idiologi
agar terciptanya suatu jalan keluar bersifat keilmuan. Dari keseluruhan konsep
ilmu sosial, ideologi adalah konsep yang paling kabur, hal ini disebabkan
karena ideologi mempersoalkan dasar dan validitas gagasan paling fundamental
yang kita miliki.[1]
B. HAKIKAT KOMUNIS DI INDONESIA
The communist party of
indonesia is one of the oldest communist parties in asia. It was formally
founded in 1920, but before this date many communists had already infiltrated
indonesia’s earliest nasionalist movement, the sarekat Islam. The sarekat Islam
as name suggest was a religious body by origin. It started as a moderate
pressure group, paying more attentin to improving indonesians social, economic
and if possible political condition with the co-operation of the colonial government
than to organizing the overthrowing of the Dutch authority.[2]
Kaum komunis hanya
berbeda dengan partai-partai lainnya bahwa di satu pihak mereka menegaskan dan
mempertahankan kepentingan bersama seluruh pejuang di berbagai negeri, tidak
bergantung pada kebangsaan. Di lain pihak dalam berbagai tingkatan perkembangan
yang harus dilalui oleh perjuangan antara proletariat dengan borjuasi, mereka
senantiasa mewakili kepentingan-kepentingan seluruh gerakan.
Partai Komunis Indonesia
(PKI) mengatakan tidak akan mencampuri soal-soal internal daripada
partai-partai lain walau untuk mempersatukannya sekalipun.[3]
Itu adalah soal daripada partai -partai
yang bersangku tan sendiri.
Kewajiban PKI ialah mengajak partai-partai apa saja yang sedia dan jujur untuk
bekerja sama dengan PKI guna menggalang front persatuan nasional dan
front-front persatuan di berbagai kalangan, di kalangan kaum buruh, kaum tani,
kaum terpelajar, kaum pecinta dan ahli kebudayaan, kaum wanita, pemuda,
pengusaha dan lain-lain.
Oleh karena itu, kaum
komunis secara praktik adalah bagian yang paling teguh, bagian yang terus
mendorong maju bagian-bagian lainnya dari partai-partai buruh di semua negeri;
secara teori mereka mempunyai kelebihan pengertian dari masa proletariat
lainnya tentang syarat-syarat, proses dan hasil-hasil umum gerakan proletar. Dimana
dijelaskan bahwa gerakan yang memperjuangkan emansipasi dan keadilan sosial
yang biasa disebut “gerakan kiri” memiliki spektrum yang luas: merentang dari
gerakan-gerakan yang memperjuangkan kesetaraan gender dan hak-hak kaum
perempuan, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, dan yang memperjuangkan keadilan
lingkungan (ecological justice).
Mereka muncul dalam
beragam kelompok gerakan buruh dan kaum pekerja, kaum tani dan nelayan, kaum
perempuan, pemuda, dan lain sebagainya, dengan ideologi perjuangan yang juga
beragam: sosialisme, komunisme, anarkisme, hingga populisme. Dalam sejarahnya,
gerakan-gerakan kiri banyak pula yang berbalut dengan perjuangan pembebasan
nasional (nasionalisme), dan melakukan aksi- aksi revolusionernya dengan
beragam cara dalam rentang revolusi sosial di satu titik hingga ke revolusi
jalan parlementer di titik lainnya.
Di dalam manifesto
partai komunis dikatakan bahwa tuduhan komunis hendak menghapuskan tanah air
dan kebangsaan seperti yang dituduhkan kaum borjuis merupakan kesalahan besar.
Kaum buruh tidak mempunyai tanah air. Dari mereka tidak dapat diambil apa yang
mereka tidak punyai. Oleh karena proletariat pertama-tama harus merebut
kekuasaan politik, harus mengangkat dirinya menjadi kelas yang bersifat
nasional. Bahwa PKI adalah sintesa dari pada gerakan buruh Indonesia dengan
Marxisme-Leninisme.[4]
PKI didirikan bukanlah
sebagai sesuatu yang kebetulan, tetapi sesuatu yang obyektif. PKI lahir dalam
jaman imperialisme, sesudah di Indonesia ada kelas buruh, sesudah di Indonesia
dibentuk serikat buruh-buruh dan dibentuk ISDV (Indonesische Sociaal
Democrastische Vereniging), sesudah revolusi sosialis oktober Rusia tahun
1917. Komunisme yang pada mulanya di Indonesia merupakan ajang untuk melawan
kekuasaan Belanda maka dalam perjalanannya menjadi terpecah belah sehingga
dengan demikian menjadi politisasi banyak pihak.[5]
Kesalahan pokok
pemimpin-pemimpin PKI ketika itu ialah bahwa mereka telah menjadi mangsa dari
pada semboyan-semboyan kekiri-kirian, tidak berusaha keras untuk menjelaskan
keadaan, mau memecahkan semua soal dengan satu kali pukul seperti: melikuidasi
feodalisme, melepaskan diri dari Belanda, menghancurkan semua kaum imperialis,
menggulingkan pemerintah yang reaksioner, melikuidasi kaum tani kaya,
melikuidasi kaum borjuis nasional. Dengan sendirinya, akibat dari pada ini
semua ialah timbul persatuan di antara musuh yang sejati dengan yang bisa
menjadi musuh untuk bangkit melawan partai. Ini berakibat partai mengisolasi diri
sendiri dan ini sangat melemahkan partai. Partai tidak cukup mengarahkan
perhatian anggota-anggotanya kepada pekerjaan-pekerjaan praktis yang kecil-kecil,
yang remeh-remeh yang ada hubungannya dengan kebutuhan sehari-hari dari kaum
buruh, kaum tani, dan kaum intelektual pekerja. Padahal hanya di sini, dalam
pekerjaan ini, partai bisa mempersatukan massa pekerja yang luas di sekeliling
partai. Sudah tentu, pekerjaan ini bukannya pekerjaan yang menyenangkan atau
enak dan sonder kesukaran-kesukaran. Tetapi, jalan lain tidak ada untuk
mengeratkan hubungan Partai dengan massa pekerja.
Hal semacam ini tentu
saja tidak dapat dibiarkan. Indonesia harus berbenah diri menjadi bangsa yang
lebih baik. Di antara dimensi kehidupan yang harus dibenahi adalah dunia pendidikan.
Diakui atau tidak, pendidikan ikut berkontribusi dalam pembentukan pola pikir
yang eksklusif. Dalam konteks inilah, menurut penulis, Pendidikan Agama Islam
(PAI) perlu mendapat perhatian.
C. MENDESAIN STANDAR
ISI KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) BERPARADIGMA MULTIKULTURAL
Kurikulum mempunyai
kedudukan sentral dalam seluruh
proses pendidikan. Kurikulum
mengarahkan segala bentuk aktivitas pendidikan demi tercapainya tujuan- tujuan
pendidikan. Kurikulum juga merupakan suatu rencana pendidikan yang memberikan
pedoman dan pegangan tentang jenis, lingkup, urutan isi, dan proses
pendidikan. Kurikulum bukan sekedar merupakan
rencana tertulis bagi
pengajaran, tetapi juga sesuatu yang fungsional yang beroperasi dalam
kelas, yang memberi pedoman dan mengatur lingkungan dan
kegiatan yang berlangsung di dalam kelas.[6]
Perumusan kurikulum PAI yang bermuatan toleransi merupakan
langkah mendesak yang harus
dilakukan. Keberadaan kurikulum PAI bermuatan nilai-nilai toleransi menjadi
komponen yang penting lantaran menjadi pedoman bagi para pendidik dalam
menyampaikan materi-materi tentang ajaran Islam yang menghargai keragaman, perbedaan dan semangat
nasionalisme.
Dalam perspektif Nana
Syaodih Sukmadinata, suatu kurikulum harus memenuhi empat komponen, yakni
tujuan, isi atau materi, proses atau penyampaian dan media, serta evaluasi.[7]
Keempat komponen tersebut saling terkait berkelindan satu sama lain.
Menurutnya pula, suatu
kurikulum harus senantiasa
kesesuaian atau relevansi. Relevansi ini meliputi dua hal.
Pertama, kesesuaian antara kurikulum dengan tuntutan, kebutuhan, kondisi,
dan perkembangan masyarakat.
Kedua, kesesuaian antar komponen-komponen kurikulum, yakni isi
sesuai dengan tujuan, proses sesuai dengan isi dan tujuan. Demikian pula dengan
evaluasi harus sesuai dengan proses, isi, dan tujuan kurikulum.
Dalam kerangka
teoretik itulah, perumusan
kurikulum PAI harus senantiasa mempertimbangkan berbagai
komponen kurikulum itu
sendiri dan aspek
relevansi. Oleh karena itu, rekonstruksi PAI merupakan suatu
keniscayaan. Upaya rekonstruksi PAI dalam rangka membangun kesadaran
multikultural untuk mereduksi komunisme yang meliputi berbagai aspek. Beberapa
aspek PAI yang perlu direkonstruksi antara lain adalah kurikulum, pendidik,
materi, metode, media, dan evaluasi pembelajaran. Sebab, PAI nyatanya tidak
cukup mampu melahirkan peserta didik yang toleran, moderat, dan inklusif mengindoktrinasi, namun
ia harus dapat
memberi pelajaran tentang
iman dalam semangat religiusitas
yang dialami dalam kehidupan sehari-hari.[8]
Pendidik agama Islam
harus dapat menjadi teladan bagi anak didiknya. Hal ini penting karena segenap
sikap, tingkah laku, dan ucapan pendidik biasanya akan diperhatikan dan ditiru
anak didiknya. Keteladanan dari pendidik merupakan suatu hal yang sangat
penting demi terciptanya
peserta didik yang
inklusif-multikulturalistik. Perlu diingat bahwa salah satu misi utama
pendidik mempersiapkan anak didik sebagai individu yang mandiri dan bertanggungjawab.
Mustahil pendidik agama Islam dapat menciptakan
peserta didik yang
sadar dan bertanggungjawab untuk
menghormati pemeluk agama lain bila mereka sendiri tidak memiliki rasa
empati kepada pemeluk agama lain.
Lebih dari itu,
pendidik agama Islam harus dapat menciptakan lingkungan pembelajaran yang
kondusif bagi anak didiknya, sehingga nilai-nilai toleransi dapat bersemai
dengan baik. Pendidikan ibarat tempat persemaian yang berfungsi menciptakan lingkungan
yang menunjang dan
terhindar dari hama-hama.
Tugas pendidik tak ubahnya seperti petani yaitu mengusahakan tanah yang
gembur, pupuk, air, udara, dan sinar matahari yang sesuai dengan kebutuhan dan
perkembangan tanaman (peserta didik).
Selain menghadirkan
pendidik yang berkarakter dan berbudaya bangsa, materi pembelajaran merupakan
hal penting dalam proses pendidikan. Materi pembelajaran yang dimaksud tentu
saja materi yang dapat memberikan pencerahan akan keragaman dan keberbedaan.
Oleh karena itu, menyajikan materi pembelajaran yang mencerahkan adalah hal
yang tidak dapat disepelekan dalam upaya pembangunan kesadaran multikultural.
D. MENYAJIKAN MATERI
PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) YANG MENCERAHKAN
Untuk menunjang
keberhasilan pembelajaran PAI yang multikulturalis, materi pembelajaran PAI
perlu pula dibenahi.
Sebab, materi merupakan
sumber/referensi belajar bagi peserta didik. Dalam konteks inilah
dibutuhkan materi PAI yang mencerahkan. Pada masa sekarang sudah cukup banyak
buku PAI yang memuat materi toleransi meskipun dalam jumlah yang masih
terbatas. Hal ini berbeda dengan masa lalu di mana materi buku-buku agama jarang
menyentuh isu rasa nasionalisme. Materi nasionalisme agama hanya dapat
diperoleh anak didik lewat pendidikan kewarganegaraan dan pancasila, namun amat
jarang yang masuk dalam satu komponen yang utuh dalam materi pendidikan agama
kepada mereka
Mengajarkan respek dan
tangggungjawab, respek berarti menghargai dan menghormati. Respek kepada orang
lain mengharuskan kita memperlakukan orang lain sebagai manusia yang mempunyai
harga diri (dignity) dan hak asasi (rights) yang sama dengan
kita. Tanggungjawab merupakan tindak lanjut dari respek. Jika kita respek
terhadap orang lain kita berarti memberi nilai atau harga. Kedua hal ini erat
kaitannya dengan pendidikan nasionalisme jika memahami komunisme dengan
dilandasi oleh kedua nilai etika ini maka hujat menghujat dan bentrokan dan
semacamnya akan terhindar.[9]
Oleh karena itu, materi
PAI yang diajarkan di institusi pendidikan harus memuat nilai-nilai dan spirit
inklusivitas, sehingga Islam akan mampu tampil dalam wajah yang
sesungguhnya,yakni nasionalis, toleran, humanis, transformatif, aktual, dan
egalitarian.
E. MENGAJARKAN PANDIDIKAN AGAMA ISLAM PLUS ESENSI JATI
DIRI DAN KARAKTER BANGSA
Jati diri merupakan
fitrah manusia yang merupakan potensi dalam bertumbuh kembang selama mata hati
manusia bersih, sehat dan tidak tertutup. Jati diri yang dipengaruhi lingkungan
akan tumbuh menjadi karakter dan selanjutnya karakter akan melandasi pemikiran,
sikap dan perilaku manusia. Karakter-karakter pribadi akan berakumulasi menjadi
karakter masyarakat dan pada akhirnya menjadi karakter bangsa. Untuk kemajuan
negera republik Indonesia diperlukan karakter yang tangguh, kompetetitif dan
berorientasi iptek yang semuanya dijiwai oleh iman dan taqwa kepada Tuhan yang
maha esa berdasarkan pancasila.
Karakter yang
berlandaskan falsafah pancasila artinya setiap aspek karakter harus dijiwai
lima pancasila secara utuh dan komprehensif. Selain itu karakter individu yang
dijiwai oleh sila-sila pancasila dapat dikemukakan melalui:
1) Karakter
yang bersumber dari olah hati
2) Karakter
yang bersumber dari olah pikiran
3) Karakter
yan bersumber dari kinestetik
4) Karakter
yang bersumber dari olah rasa dan karsa.[10]
F. PENANAMAN NILAI-NILAI KEAGAMAAN DAN JIWA KEBANGSAAN
Umumnya penghayatan
agama seseorang ditentukan oleh pendidikan, pengalaman serta latihan-latihan
yang dilaluinya pada masa kecilnya. Seseorang yang pada masa kecilnya tidak
pernah mendapatkan pendidikan agama maka pada dewasanya nanti, ia tidak akan
merasakan betapa pentingnya agama dalam hidupnya. Apabila masa kecilnya
mempunyai pengalaman-pengalaman bertindak menurut aturan agama, maka mereka itu
dengan sendirinya mempunyai kecenderungan kepada hidup dalam aturan agama.[11]
Dalam membina nilai
nilai keagamaan dan jiwa kebangsaan pendidik perlu menanamkan kebenaran agama,
kebenaran sejarah bangsa Indonesia, kebaikan ajaran agama serta keindahan
ajaran agama dan budaya bangsa Indonesia kepada peserta didik. Peranan
nilai-nilai keagamaan dan jiwa kebangsaan ini dapat dilakukan dengan metode
internalisasi dan kosaintisasi atau penyadaran yang berorientasi pada
pembentukan peserta didik yang militan dan tangguh (berkarakter).[12]
Agama akan dapat lebih
berperan dalam pembangunan apabila agamawan dapat menemukan dari kitab suci,
ajaran-ajaran sosial dan menyesuaikan interpretasinya dengan kebutuhan
pembangunan, tanpa menyimpang dari teks dan jiwa agama. Karena itu agamawan
harus dapat menggali nilai-nilai agama untuk menjadi landasan, pendorong dan pengarah
pembangunan nasional. Agama dengan nilai-nilai universal yang dikandungnya
harus dapat memajukan dan memperkukuh integritas persatuan dan kesatuan
masyarakat Indonesia yang berbhinneka ini.[13]
G. PENUTUP
1. Kesimpulan
Rekonstruksi PAI merupakan kebutuhan yang mendesak.
Tanpa rekonstruksi, PAI hanya akan menjadi ladang yang subur bagi penyemai
bibit komunisme. Dalam konteks
inilah dibutuhkan political will dari setiap pemangku
kepentingan (stakeholders), terutama Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan
Nasional dan Kebudayaan untuk secara bersama-sama merumuskan blue print
tentang PAI berwawasan multikultural.
Dengan demikian, PAI berwawasan multikultural dapat
segera diimplementasikan di setiap institusi dan jenjang pendidikan, sehingga
dapat menjadi instrumen yang efektif untuk mendiseminasikan nilai-nilai
toleransi dan perdamaian kepada peserta didik. Materi pelajaran PAI harus
senantiasa dikaitkan dengan isu-isu keagamaan kontemporer yang sedang aktual.
Pendidik agama Islam dapat menggunakan beragam referensi (semisal buku, jurnal,
koran, majalah, karya sastra, internet, dan lain-lain) dan tidak terpaku
bersumber dari buku paket saja. Selain itu, pendidik agama Islam dapat
mengambil materi dari sejumlah artikel/paper yang berkonten nilai-nilai multikultural
dan mendiskusikannya dengan anak didiknya. Pendidik agama Islam dapat
memberikan kebebasan kepada anak didiknya untuk memilih dan menentukan sendiri
tema/materi yang hendak didiskusikan.
H. DAFTAR PUSTAKA
Azizy, A. Qodri. 2003. Pendidikan untuk Membangun
Etika Sosial. Semarang: Aneka Ilmu
Lo, Cheng-on. 1979. The Post War Communist Movement
in Indonesia: from Madiun to Gestapu, M.A Dissertation Faculty of Art Universty
of Hongkong
Ma’rifah, I. tanpa tahun. Rekonstruksi Pendidikan
Agama Islam. Conference Proceeding AICIS 12: 241-257
Marijan. 2012. Metode Pendidikan Anak.
Yoyakarta: Sabda Media
Michael, T. tanpa tahun. Korelasi Komunisme dalam
Demokrasi di Indonesia. Jurnal Refleksi Hukum Vol 1 (1): 15-27
Mulyasa, E. 2013. Manajemen Pendidikan Karakter.
Jakata: Bumi Aksara
Salahudin, Anas. 2013. Pendidikan Karakter. Bandung:
Pustaka Setia
Shihab, M. Quraish. 2013. Secercah Cahaya Ilahi.
Bandung: PT. Mizan Pustaka
Sukmadinata, Nana Syaodih. 1999. Pengembangan
Kurikulum Teori dan Praktik. Bandung: Remaja Rosdakarya
[1] Tomy Michael, “Korelasi
Komunisme dalam Demokrasi di Indonesia”, Jurnal Refleksi Hukum Vol 1 No 1, h.
16
[2]
Cheng-on Lo, “The Post War
Communist Movement in Indonesia: from Madiun to Gestapu”, M.A Dissertation
Faculty of Art Universty of Hongkong 1979, h. 1
[3] Tomy Michael, Opcit, h.19
[4]
Tomy Michael, Opcit,
h.19-20
[5] Ibid, h.21
[6] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan
Kurikulum Teori dan Praktik, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), h. 4-5
[7] Ibid, h. 102
[8] Indriyani Ma’rifah, “Rekonstruksi
Pendidikan Agama Islam”, Conference Proceeding AICIS 12, h. 249
[9] A. Qodri Azizy, Pendidikan
untuk Membangun Etika Sosial, (Semarang: Aneka Ilmu, 2003), h.124
[10] E. Mulyasa, Manajemen Pendidikan
Karakter, ( Jakata: Bumi Aksara, 2013), h. 255
[11] Marijan, Metode Pendidikan
Anak, (Yoyakarta: Sabda Media, 2012), h. 28
[12] Anas Salahudin, Pendidikan
Karakter, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), h. 233
[13] M. Quraish Shihab, Secercah
Cahaya Ilahi, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2013), h.83