Rabu, 18 Januari 2017

REKONSTRUKSI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH SEBAGAI UPAYA MEREDUKSI KOMUNISME



MUHAMMAD SYAMSUDDIN
Magister Pendidikan Agama Islam
IAIN Pekalongan 


REKONSTRUKSI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH SEBAGAI UPAYA MEREDUKSI KOMUNISME

A.    PENDAHULUAN
Mengacu pada tataran praktik, komunisme di Indonesia memiliki stigma buruk akibat bercampurnya dengan unsur politik. Komunisme dalam kajian ilmu hukum terutama ilmu negara adalah ideologi1 yang selalu berkolerasi dengan sistem politik dan mencerminkan suatu gaya hidup yang berdasarkan nilai-nilai tertentu yaitu:
1)      Gagasan monisme. Gagasan ini menolak adanya golongan-golongan di dalam masyarakat sebab dianggap bahwa setiap golongan yang berlainan aliran pikir.
2)      Kekerasan dipandang sebagai alat yang sah yang harus dipakai untuk mencapai komunisme. Paksaan ini dipakai dalam dua tahap: pertama terhadap musuh, kedua terhadap pengikutnya sendiri yang dianggap masih kurang insaf.
3)      Negara merupakan alat untuk mencapai komunisme karena itu semua alat kenegaraan seperti polisi, tentara, kejaksaan, dipakai untuk diabadikan kepada tercapainya komunisme. Ini mengakibatkan suatu campur tangan negara yang sangat luas dan mendalam di bidang politik, sosial dan budaya. Pentingnya pemahaman akan idiologi agar terciptanya suatu jalan keluar bersifat keilmuan. Dari keseluruhan konsep ilmu sosial, ideologi adalah konsep yang paling kabur, hal ini disebabkan karena ideologi mempersoalkan dasar dan validitas gagasan paling fundamental yang kita miliki.[1]

B.     HAKIKAT KOMUNIS DI INDONESIA
The communist party of indonesia is one of the oldest communist parties in asia. It was formally founded in 1920, but before this date many communists had already infiltrated indonesia’s earliest nasionalist movement, the sarekat Islam. The sarekat Islam as name suggest was a religious body by origin. It started as a moderate pressure group, paying more attentin to improving indonesians social, economic and if possible political condition with the co-operation of the colonial government than to organizing the overthrowing of the Dutch authority.[2]
Kaum komunis hanya berbeda dengan partai-partai lainnya bahwa di satu pihak mereka menegaskan dan mempertahankan kepentingan bersama seluruh pejuang di berbagai negeri, tidak bergantung pada kebangsaan. Di lain pihak dalam berbagai tingkatan perkembangan yang harus dilalui oleh perjuangan antara proletariat dengan borjuasi, mereka senantiasa mewakili kepentingan-kepentingan seluruh gerakan.
Partai Komunis Indonesia (PKI) mengatakan tidak akan mencampuri soal-soal internal daripada partai-partai lain walau untuk mempersatukannya sekalipun.[3] Itu adalah soal daripada partai -partai  yang  bersangku tan sendiri. Kewajiban PKI ialah mengajak partai-partai apa saja yang sedia dan jujur untuk bekerja sama dengan PKI guna menggalang front persatuan nasional dan front-front persatuan di berbagai kalangan, di kalangan kaum buruh, kaum tani, kaum terpelajar, kaum pecinta dan ahli kebudayaan, kaum wanita, pemuda, pengusaha dan lain-lain.
Oleh karena itu, kaum komunis secara praktik adalah bagian yang paling teguh, bagian yang terus mendorong maju bagian-bagian lainnya dari partai-partai buruh di semua negeri; secara teori mereka mempunyai kelebihan pengertian dari masa proletariat lainnya tentang syarat-syarat, proses dan hasil-hasil umum gerakan proletar. Dimana dijelaskan bahwa gerakan yang memperjuangkan emansipasi dan keadilan sosial yang biasa disebut “gerakan kiri” memiliki spektrum yang luas: merentang dari gerakan-gerakan yang memperjuangkan kesetaraan gender dan hak-hak kaum perempuan, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, dan yang memperjuangkan keadilan lingkungan (ecological justice).
Mereka muncul dalam beragam kelompok gerakan buruh dan kaum pekerja, kaum tani dan nelayan, kaum perempuan, pemuda, dan lain sebagainya, dengan ideologi perjuangan yang juga beragam: sosialisme, komunisme, anarkisme, hingga populisme. Dalam sejarahnya, gerakan-gerakan kiri banyak pula yang berbalut dengan perjuangan pembebasan nasional (nasionalisme), dan melakukan aksi- aksi revolusionernya dengan beragam cara dalam rentang revolusi sosial di satu titik hingga ke revolusi jalan parlementer di titik lainnya.
Di dalam manifesto partai komunis dikatakan bahwa tuduhan komunis hendak menghapuskan tanah air dan kebangsaan seperti yang dituduhkan kaum borjuis merupakan kesalahan besar. Kaum buruh tidak mempunyai tanah air. Dari mereka tidak dapat diambil apa yang mereka tidak punyai. Oleh karena proletariat pertama-tama harus merebut kekuasaan politik, harus mengangkat dirinya menjadi kelas yang bersifat nasional. Bahwa PKI adalah sintesa dari pada gerakan buruh Indonesia dengan Marxisme-Leninisme.[4]
PKI didirikan bukanlah sebagai sesuatu yang kebetulan, tetapi sesuatu yang obyektif. PKI lahir dalam jaman imperialisme, sesudah di Indonesia ada kelas buruh, sesudah di Indonesia dibentuk serikat buruh-buruh dan dibentuk ISDV (Indonesische Sociaal Democrastische Vereniging), sesudah revolusi sosialis oktober Rusia tahun 1917. Komunisme yang pada mulanya di Indonesia merupakan ajang untuk melawan kekuasaan Belanda maka dalam perjalanannya menjadi terpecah belah sehingga dengan demikian menjadi politisasi banyak pihak.[5]
Kesalahan pokok pemimpin-pemimpin PKI ketika itu ialah bahwa mereka telah menjadi mangsa dari pada semboyan-semboyan kekiri-kirian, tidak berusaha keras untuk menjelaskan keadaan, mau memecahkan semua soal dengan satu kali pukul seperti: melikuidasi feodalisme, melepaskan diri dari Belanda, menghancurkan semua kaum imperialis, menggulingkan pemerintah yang reaksioner, melikuidasi kaum tani kaya, melikuidasi kaum borjuis nasional. Dengan sendirinya, akibat dari pada ini semua ialah timbul persatuan di antara musuh yang sejati dengan yang bisa menjadi musuh untuk bangkit melawan partai. Ini berakibat partai mengisolasi diri sendiri dan ini sangat melemahkan partai. Partai tidak cukup mengarahkan perhatian anggota-anggotanya kepada pekerjaan-pekerjaan praktis yang kecil-kecil, yang remeh-remeh yang ada hubungannya dengan kebutuhan sehari-hari dari kaum buruh, kaum tani, dan kaum intelektual pekerja. Padahal hanya di sini, dalam pekerjaan ini, partai bisa mempersatukan massa pekerja yang luas di sekeliling partai. Sudah tentu, pekerjaan ini bukannya pekerjaan yang menyenangkan atau enak dan sonder kesukaran-kesukaran. Tetapi, jalan lain tidak ada untuk mengeratkan hubungan Partai dengan massa pekerja.
Hal semacam ini tentu saja tidak dapat dibiarkan. Indonesia harus berbenah diri menjadi bangsa yang lebih baik. Di antara dimensi kehidupan yang harus dibenahi adalah dunia pendidikan. Diakui atau tidak, pendidikan ikut berkontribusi dalam pembentukan pola pikir yang eksklusif. Dalam konteks inilah, menurut penulis, Pendidikan Agama Islam (PAI) perlu mendapat perhatian.

C.    MENDESAIN  STANDAR ISI KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) BERPARADIGMA MULTIKULTURAL
Kurikulum  mempunyai  kedudukan  sentral dalam  seluruh  proses  pendidikan. Kurikulum mengarahkan segala bentuk aktivitas pendidikan demi tercapainya tujuan- tujuan pendidikan. Kurikulum juga merupakan suatu rencana pendidikan yang memberikan pedoman dan pegangan tentang jenis, lingkup, urutan isi, dan proses pendidikan.  Kurikulum bukan sekedar  merupakan  rencana  tertulis  bagi  pengajaran, tetapi juga sesuatu yang fungsional yang beroperasi  dalam  kelas,  yang  memberi pedoman dan mengatur lingkungan dan kegiatan yang berlangsung di dalam kelas.[6]
Perumusan  kurikulum PAI yang  bermuatan toleransi  merupakan  langkah  mendesak yang harus dilakukan. Keberadaan kurikulum PAI bermuatan nilai-nilai toleransi menjadi komponen yang penting lantaran menjadi pedoman bagi para pendidik dalam menyampaikan materi-materi tentang ajaran Islam yang  menghargai keragaman, perbedaan dan semangat nasionalisme.
Dalam perspektif Nana Syaodih Sukmadinata, suatu kurikulum harus memenuhi empat komponen, yakni tujuan, isi atau materi, proses atau penyampaian dan media, serta evaluasi.[7] Keempat komponen tersebut saling terkait berkelindan satu sama lain. Menurutnya   pula,   suatu   kurikulum   harus   senantiasa   kesesuaian   atau   relevansi. Relevansi ini meliputi dua hal. Pertama, kesesuaian antara kurikulum dengan tuntutan, kebutuhan,   kondisi,   dan   perkembangan  masyarakat.  Kedua,  kesesuaian  antar komponen-komponen kurikulum, yakni isi sesuai dengan tujuan, proses sesuai dengan isi dan tujuan. Demikian pula dengan evaluasi harus sesuai dengan proses, isi, dan tujuan kurikulum.
Dalam  kerangka  teoretik  itulah,  perumusan  kurikulum PAI  harus  senantiasa mempertimbangkan  berbagai  komponen  kurikulum  itu  sendiri  dan  aspek  relevansi. Oleh karena itu, rekonstruksi PAI merupakan suatu keniscayaan. Upaya rekonstruksi PAI dalam rangka membangun kesadaran multikultural untuk mereduksi komunisme yang meliputi berbagai aspek. Beberapa aspek PAI yang perlu direkonstruksi antara lain adalah kurikulum, pendidik, materi, metode, media, dan evaluasi pembelajaran. Sebab, PAI nyatanya tidak cukup mampu melahirkan peserta didik yang toleran, moderat, dan inklusif mengindoktrinasi,  namun  ia  harus  dapat  memberi  pelajaran  tentang  iman  dalam semangat religiusitas yang dialami dalam kehidupan sehari-hari.[8]
Pendidik agama Islam harus dapat menjadi teladan bagi anak didiknya. Hal ini penting karena segenap sikap, tingkah laku, dan ucapan pendidik biasanya akan diperhatikan dan ditiru anak didiknya. Keteladanan dari pendidik merupakan suatu hal yang  sangat  penting  demi  terciptanya  peserta  didik  yang  inklusif-multikulturalistik. Perlu diingat bahwa salah satu misi utama pendidik mempersiapkan anak didik sebagai individu yang mandiri dan bertanggungjawab. Mustahil pendidik agama Islam dapat menciptakan  peserta  didik  yang  sadar  dan  bertanggungjawab  untuk  menghormati pemeluk agama lain bila mereka sendiri tidak memiliki rasa empati kepada pemeluk agama lain.
Lebih dari itu, pendidik agama Islam harus dapat menciptakan lingkungan pembelajaran yang kondusif bagi anak didiknya, sehingga nilai-nilai toleransi dapat bersemai dengan baik. Pendidikan ibarat tempat persemaian yang   berfungsi menciptakan  lingkungan  yang  menunjang  dan  terhindar  dari  hama-hama.  Tugas pendidik tak ubahnya seperti petani yaitu mengusahakan tanah yang gembur, pupuk, air, udara, dan sinar matahari yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan tanaman (peserta didik).
Selain menghadirkan pendidik yang berkarakter dan berbudaya bangsa, materi pembelajaran merupakan hal penting dalam proses pendidikan. Materi pembelajaran yang dimaksud tentu saja materi yang dapat memberikan pencerahan akan keragaman dan keberbedaan. Oleh karena itu, menyajikan materi pembelajaran yang mencerahkan adalah hal yang tidak dapat disepelekan dalam upaya pembangunan kesadaran multikultural.

D.    MENYAJIKAN MATERI  PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) YANG MENCERAHKAN
Untuk menunjang keberhasilan pembelajaran PAI yang multikulturalis, materi pembelajaran  PAI  perlu  pula  dibenahi.  Sebab,  materi  merupakan  sumber/referensi belajar bagi peserta didik. Dalam konteks inilah dibutuhkan materi PAI yang mencerahkan. Pada masa sekarang sudah cukup banyak buku PAI yang memuat materi toleransi meskipun dalam jumlah yang masih terbatas. Hal ini berbeda dengan masa lalu di mana materi buku-buku agama jarang menyentuh isu rasa nasionalisme. Materi nasionalisme agama hanya dapat diperoleh anak didik lewat pendidikan kewarganegaraan dan pancasila, namun amat jarang yang masuk dalam satu komponen yang utuh dalam materi pendidikan agama kepada mereka
Mengajarkan respek dan tangggungjawab, respek berarti menghargai dan menghormati. Respek kepada orang lain mengharuskan kita memperlakukan orang lain sebagai manusia yang mempunyai harga diri (dignity) dan hak asasi (rights) yang sama dengan kita. Tanggungjawab merupakan tindak lanjut dari respek. Jika kita respek terhadap orang lain kita berarti memberi nilai atau harga. Kedua hal ini erat kaitannya dengan pendidikan nasionalisme jika memahami komunisme dengan dilandasi oleh kedua nilai etika ini maka hujat menghujat dan bentrokan dan semacamnya akan terhindar.[9]
Oleh karena itu, materi PAI yang diajarkan di institusi pendidikan harus memuat nilai-nilai dan spirit inklusivitas, sehingga Islam akan mampu tampil dalam wajah yang sesungguhnya,yakni nasionalis, toleran, humanis, transformatif, aktual, dan egalitarian.

E.     MENGAJARKAN PANDIDIKAN AGAMA ISLAM PLUS ESENSI JATI DIRI DAN KARAKTER BANGSA
Jati diri merupakan fitrah manusia yang merupakan potensi dalam bertumbuh kembang selama mata hati manusia bersih, sehat dan tidak tertutup. Jati diri yang dipengaruhi lingkungan akan tumbuh menjadi karakter dan selanjutnya karakter akan melandasi pemikiran, sikap dan perilaku manusia. Karakter-karakter pribadi akan berakumulasi menjadi karakter masyarakat dan pada akhirnya menjadi karakter bangsa. Untuk kemajuan negera republik Indonesia diperlukan karakter yang tangguh, kompetetitif dan berorientasi iptek yang semuanya dijiwai oleh iman dan taqwa kepada Tuhan yang maha esa berdasarkan pancasila.
Karakter yang berlandaskan falsafah pancasila artinya setiap aspek karakter harus dijiwai lima pancasila secara utuh dan komprehensif. Selain itu karakter individu yang dijiwai oleh sila-sila pancasila dapat dikemukakan melalui:
1)      Karakter yang bersumber dari olah hati
2)      Karakter yang bersumber dari olah pikiran
3)      Karakter yan bersumber dari kinestetik
4)      Karakter yang bersumber dari olah rasa dan karsa.[10]

F.     PENANAMAN NILAI-NILAI KEAGAMAAN DAN JIWA KEBANGSAAN
Umumnya penghayatan agama seseorang ditentukan oleh pendidikan, pengalaman serta latihan-latihan yang dilaluinya pada masa kecilnya. Seseorang yang pada masa kecilnya tidak pernah mendapatkan pendidikan agama maka pada dewasanya nanti, ia tidak akan merasakan betapa pentingnya agama dalam hidupnya. Apabila masa kecilnya mempunyai pengalaman-pengalaman bertindak menurut aturan agama, maka mereka itu dengan sendirinya mempunyai kecenderungan kepada hidup dalam aturan agama.[11]
Dalam membina nilai nilai keagamaan dan jiwa kebangsaan pendidik perlu menanamkan kebenaran agama, kebenaran sejarah bangsa Indonesia, kebaikan ajaran agama serta keindahan ajaran agama dan budaya bangsa Indonesia kepada peserta didik. Peranan nilai-nilai keagamaan dan jiwa kebangsaan ini dapat dilakukan dengan metode internalisasi dan kosaintisasi atau penyadaran yang berorientasi pada pembentukan peserta didik yang militan dan tangguh (berkarakter).[12]
Agama akan dapat lebih berperan dalam pembangunan apabila agamawan dapat menemukan dari kitab suci, ajaran-ajaran sosial dan menyesuaikan interpretasinya dengan kebutuhan pembangunan, tanpa menyimpang dari teks dan jiwa agama. Karena itu agamawan harus dapat menggali nilai-nilai agama untuk menjadi landasan, pendorong dan pengarah pembangunan nasional. Agama dengan nilai-nilai universal yang dikandungnya harus dapat memajukan dan memperkukuh integritas persatuan dan kesatuan masyarakat Indonesia yang berbhinneka ini.[13]

G.    PENUTUP
1.      Kesimpulan
Rekonstruksi PAI merupakan kebutuhan yang mendesak. Tanpa rekonstruksi, PAI hanya akan menjadi ladang yang subur bagi penyemai bibit komunisme.  Dalam  konteks  inilah  dibutuhkan  political will dari setiap pemangku kepentingan (stakeholders), terutama Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan Nasional dan Kebudayaan untuk secara bersama-sama merumuskan blue print tentang PAI berwawasan multikultural.
Dengan demikian, PAI berwawasan multikultural dapat segera diimplementasikan di setiap institusi dan jenjang pendidikan, sehingga dapat menjadi instrumen yang efektif untuk mendiseminasikan nilai-nilai toleransi dan perdamaian kepada peserta didik. Materi pelajaran PAI harus senantiasa dikaitkan dengan isu-isu keagamaan kontemporer yang sedang aktual. Pendidik agama Islam dapat menggunakan beragam referensi (semisal buku, jurnal, koran, majalah, karya sastra, internet, dan lain-lain) dan tidak terpaku bersumber dari buku paket saja. Selain itu, pendidik agama Islam dapat mengambil materi dari sejumlah artikel/paper yang berkonten nilai-nilai multikultural dan mendiskusikannya dengan anak didiknya. Pendidik agama Islam dapat memberikan kebebasan kepada anak didiknya untuk memilih dan menentukan sendiri tema/materi yang hendak didiskusikan.

H.    DAFTAR PUSTAKA
Azizy, A. Qodri. 2003. Pendidikan untuk Membangun Etika Sosial. Semarang: Aneka Ilmu
Lo, Cheng-on. 1979. The Post War Communist Movement in Indonesia: from Madiun to Gestapu, M.A Dissertation Faculty of Art Universty of Hongkong
Ma’rifah, I. tanpa tahun. Rekonstruksi Pendidikan Agama Islam. Conference Proceeding AICIS 12: 241-257
Marijan. 2012. Metode Pendidikan Anak. Yoyakarta: Sabda Media
Michael, T. tanpa tahun. Korelasi Komunisme dalam Demokrasi di Indonesia. Jurnal Refleksi Hukum Vol 1 (1): 15-27
Mulyasa, E. 2013. Manajemen Pendidikan Karakter. Jakata: Bumi Aksara
Salahudin, Anas. 2013. Pendidikan Karakter. Bandung: Pustaka Setia
Shihab, M. Quraish. 2013. Secercah Cahaya Ilahi. Bandung: PT. Mizan Pustaka
Sukmadinata, Nana Syaodih. 1999. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik. Bandung: Remaja Rosdakarya


[1] Tomy Michael, “Korelasi Komunisme dalam Demokrasi di Indonesia”, Jurnal Refleksi Hukum Vol 1 No 1, h. 16
[2] Cheng-on Lo, “The Post War Communist Movement in Indonesia: from Madiun to Gestapu”, M.A Dissertation Faculty of Art Universty of Hongkong 1979, h. 1
[3] Tomy Michael, Opcit, h.19
[4] Tomy Michael, Opcit, h.19-20
[5] Ibid, h.21
[6] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), h. 4-5
[7] Ibid, h. 102
[8] Indriyani Ma’rifah, “Rekonstruksi Pendidikan Agama Islam”, Conference Proceeding AICIS 12, h. 249
[9] A. Qodri Azizy, Pendidikan untuk Membangun Etika Sosial, (Semarang: Aneka Ilmu, 2003), h.124
[10] E. Mulyasa, Manajemen Pendidikan Karakter, ( Jakata: Bumi Aksara, 2013), h. 255
[11] Marijan, Metode Pendidikan Anak, (Yoyakarta: Sabda Media, 2012), h. 28
[12] Anas Salahudin, Pendidikan Karakter, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), h. 233
[13] M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2013), h.83

UN RIWAYATMU KINI



UN RIWAYATMU KINI


Muhammad Syamsuddin
Pascasarjana IAIN Pekalongan 

A.    Pendahuluan
Memang benar bahwa ujian nasional (UN) telah memunculkan kontroversi yang berkepanjangan yang masih meninggalkan sejumlah persoalan dan petanyaan yang   menarik untuk dikaji. Mengapa muncul pro dan kontra?
  1. Mengapa muncul kelompok yang menolak keberadaan UN?
Telah muncul berbagai tanggapan dan pendapat yang beragam dari berbagai kalangantentang UN yang dilansir oleh sejumlah media masa. Di antara mereka ada yang secara tegas menolak keberadaan UN dalam bentuk apapun dan mengantinya dengan ujian sekolah. Argumentasi yang dapat dikemukakan sebagai penolakan UN antara lain:
a.       Dilihat dari UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu Pasal 8 ayat 1: “Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemampuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan”.
b.      Karena sifat ujiannya nasional, maka bidang kajian yang di UN-kan dianggap lebih penting daripada pelajaran lain, sehingga sebagian besar upaya sekolah hanya ditujukan untuk mengantarkan peserta didik mencapai keberhasilan dalam UN. Padahal materi UN hanya mencakup aspek intelektual, belum mampu mengukur seluruh aspek pendidikan secara utuh. Dalam hal ini telah terjadi malpraktik  dengan kesan penyempitan  terhadap  makna  dan hakekat pendidikan yang utuh menjadi hanya menyangkut aspek kognitif untuk beberapa pelajaran yang diujikan. Kecakapan motorik, sosial, emosional, moral atau budi pekerti, dan aspek spiritual dianggap diabaikan.
c.       Menurut sebagian ahli tes, UN dalam keadaan  sekarang  bertentangan  dengan  kaidah pendidikan itu sendiri. Dalam kaidah pendidikan tes digunakan untuk menjamin kualitas anak didik, bukan untuk menghukumnya. Sekarang ini UN digunakan untuk menghukum anak didik yang telah belajar selama tiga tahun tetapi tidak lulus dalam UN yang hanya dilaksanakan  dalam  beberapa  menit  dan  beberapa mata  pelajaran. Padahal seharusnya pemerintah introspeksi diri bahwa ketidaklulusan anak didik adalah cerminan dari ketidakmampuan pemerintah dalam memberikan pelayanan pendidikan kepada siswa. Jangan kesalahan itu dibebankan kepada para siswa.
d.      Kenyataannya sekarang ini di lapangan, di sekolah-sekolah ada yang mulai berkiblat pada bimbingan les. Para siswa lebih percaya pada bimbingan les daripada kepada guru mereka sendiri, yang mengajar selama tiga tahun. Guru mata pelajaran yang di UN-kan saja merasa terabaikan, bagaimana dengan guru mata pelajaran yang non-UN? Tidak sedikit ada yang mendatangkan guru bimbingan belajar atau bentuk-bentuk kersajama antara lembaga bimbingan belajar dengan sekolah. Ada yang berangapan bahwa dunia pendidikan berkiblat pada UN, sehingga telah mengerdilkan makna pendidikan. Menurut Ketua Komisi X DPR RI Heri Ahmadi (Pikiran Rakyat, 19
e.       Belum lagi tentang rendahnya mutu sekolah, efisiensi anggaran, belum memberikan jaminan kualitas lulusan meningkat.

  1. Mengapa muncul kelompok yang mendukung keberadaan UN?
Namun tentu saja wajar kalau ada pula kelompok yang mendukung untuk tetap dilaksanakannya UN. Ada beberapa hal yang dapat dijadikan alasan mengapa UN perlu tetap dipertahankan, antara lain:
a.       Beberapa pasal pada Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 yang terkait langsung dengan kegiatan ujian atau evaluasi pendidikan adalah pasal 35, pasal 57, pasal 58, dan pasal 59. Berdasarkan pasal-pasal dan ayat-ayatnya serta kaitannya satu sama lain, maka dapat ditarik suatu pemahaman seperti berikut ini:
1)      Terhadap hasil belajar peserta didik perlu dilakukan evaluasi oleh pendidik dengan tujuan utama untuk  memantau proses,  kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan (pasal 58, ayat 1).
2)      Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, satuan/lembaga pendidikan, dan program pendidikan  untuk  memantau  (pasal  35, ayat  3)  dan/atau  menilai  (pasal  58,  ayat  2) pencapaian standar nasional pendidikan (isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan evaluasi pendidikan) (pasal 35, ayat 1).
3)      Evaluasi  terhadap  peserta  didik,  satuan/lembaga  pendidkan,  dan  program  pendidikan untuk memantau atau menilai pencapaian standar nasional dilakukan oleh suatu lembaga mandiri (pasal 58, ayat 2), dapat berupa badan standarisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan  (pasal  35,  ayat  3)  dan/atau lembaga  yang diselenggarakan oleh masyarakat dan/atau yang diselenggarakan oleh organisasi profesi.
4)      Pasal 35, 57, dan 58 mengamanatkan bahwa evaluasi perlu dilakukan untuk (a) pengendalian mutu pendidikan secara nasional (pasal 57, ayat 1), dan (b) memantau (pasal 35, ayat 3) dan/atau menilai (pasal 58, ayat 2) pencapaian standar nasional pendidikan.
5)      Pasal 59 berisi tentang lembaga yang harus melakukan evaluasi dan membentuk lembaga evaluasi yang mandiri disertai beberapa spesifikai tentang apa dan siapa yang dievaluasi, yaitu pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan (pasal 59, ayat 1). Masyarakat dan/atau organisasi profesi dapat membentuk lembaga yang mandiri untuk melakukan evaluasi sebagaimana ynag dimaksud dalam pasal 58 (pasal 59, ayat 2).
  1. Tidak sedikit pula pendapat yang mendukung dilaksanakan UN terutama didasarkan pada argumentasi tentang pentingnya UN sebagai pengendali mutu pendidikan secara nasional dan pendorong atau motivator bagi peserta didik dan penyelenggara pendidikan untuk meningkatkan mutu pendidikan.
  2. UN perlu dilaksanakan dalam rangka menegakkan akuntabilitas pengelola dan penylenggara pendidikan terhadap pihak-pihak yang berkepentingan dan masyarakat pada umumnya. Secara konseptual UN mampu  menyediakan  informasi  yang  akurat  kepada  masyarakat tentang prestasi yang dicapai oleh setiap peserta didik, sekolah, lembaga pendidikan kabupaten/kota, provinsi, dan prestasi nasional secara keseluruhan. Informasi ini dapat digunakan untuk membandingkan prestasi belajar antar sekolah, kabupaten/kota, dan antar provinsi. Dalam konteks ini UN merupakan instrumen yang potensial untuk menyediakan informasi penting dalam menegakkan akuntabilitas.

B.     Kesimpulan dan Rekomendasi
Ada beberapa hal yang dapat disimpulkan dari uraian diskusi munculnya argumentasi pro dan kontra tentang UN, diantaranya:
  1. Ujian merupakan strategi yang umum digunakan untuk meningkatkan mutu pendidikan manakala sumber daya yang dimiliki oleh suatu negara relatif terbatas. Oleh karena itu, ujian  memegang  peranan  strategis  di  dalam  sistem  pendidikan  di  negara  berkembang seperti Indonesia.
  2. Secara  konseptual, ujian  merupakan  strategi  evaluasi  yang potensial  untuk mendorong peningkatan mutu pendidikan melalui (1) pengendalian mutu lulusan, dan (2) motivator atau pendorong bagi guru, siswa, dan penyelenggara pendidikan dalam meningkatkan upayanya secara optimal. Potensi tersebut belum sepenuhnya terwujud di dalam system persekolahan di Indonesia, kemungkinan berkaitan dengan (1) kurangnya balikan yang diterima siswa, guru, dan kepala sekolah, dan (2) sebagian kepala sekoah, guru, siswa, dan orang tua  belum  memiliki  pemahaman dan  keyakinan  tentang  pentingnya  ujian  untuk meningkatkan mutu pendidkan.
  3. Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 mengamanatkan sejumlah kegiatan evaluasi dan ujian yang polanya masih terbuka untuk didiskusikan. Pemerintah pusat melalui suatu badan standarisasi,  penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan memegang peranan strategis untuk mengantarkan terealisasinya amanat tersebut.

Sejalan dengan kesimpulan diatas ada beberapa rekomendasi yang berkaitan dengan munculnya pro dan kontra tentang UN, diantaranya:
  1. Selain penerapan ujian sebagai strategi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, pemerintah  juga  secara  bertahap  perlu  meningkatkan  mutu  sekolah  melalui  perbaikan sarana dan prasarana sekolah, peningkatan mutu dan distribusi guru, serta peningkatan kinerja  guru  dalam  proses  pembelajaran.  (Bukan  melalui  sertifikasi  dalam  bentuk portofolio).
  2. Beberapa alternatif model evaluasi hasil belajar pada  akhir satuan pendidikan atau UN adalah sebagai berikut:
a.       Penyempurnaan UN yang telah dilaksanakan sejak tahun 2001 sampai dengan 2015 dengan menerapkannya oleh lembaga mandiri dengan beberapa perbaikan, antara lain lingkup ujian dan batas kelulusannya disosialisasikan secara lebih dini. Selain itu, balikan kepada siswa, guru, dan sekolah perlu dirancang secara lebih rinci. Ujian kelulusan dan pemantauan standar nasional kompetensi lulusan perlu diintegrasikan.
b.      Pelaksanaan UN seperti 2001-2006 dipandang masih perlu diterapkan, namun untuk satuan pendidikan yang terakreditasi perlu diberi kewenangan untuk menentukan kelulusan peserta didiknya dengan mempertimbangkan prestasi dan kepribadian peserta didik yang telah  dicatat oleh sekolah dalam proses yang cukup panjang.
c.       Sekolah yang terakreditasi diberi kewenangan untuk menyelenggarakan ujian sendiri dengan menggunakan standar kompetensi, kisi-kisi soal, dan prosedur baku dari pusat. Dalam hal ini, pusat melalui badan standarisasi, penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan melakukan pemantauan ketercapaian standar nasional kompetensi lulusan secara terpisah.
d.      Walaupun  manajemen  berbasis  sekolah  (MBS)  dalam  konteks  otonomi  daerah  dan desentralisasi pendidikan telah memberikan kewenangan penyelenggaraan pendidikan kepada sekolah, tetapi bukan berarti seluruh peran pusat dihapuskan. Kepentingan pendidikan nasional dalam bingkai negara kesatuan Republik Indonesia bisa dilakukan bukan dalam bentuk UN tetapi dalam bentuk penilaian yang bersifat nasional.
e.       Yang  paling  penting  sekarang  adalah  bagaimana  meningkatkan  pemahaman  guru  dan penyelenggara pendidikan lainnya terhadap kurikulum, sehingga mereka bisa menjadikan kurikulum tersebut sebagai acuan dalam pembelajaran. Jika kurikulum sudah dijadikan sebagai acuan dalam pembelajaran, kemudian materi ujian dikembangkan dari kurikulum yang diberlakukan dengan benar, maka tidak ada alasan untuk tidak menerima diberlakukannya UN. Semua permasalahan sebagaimana diilustrasikan di atas akan bermuara pada perlunya dibangun hubungan yang harmonis antara kurikulum dan guru sebagai pengembang sekaligus pelaksananya.