Senin, 24 Oktober 2016

MODEL KURIKULUM AKTIVITAS, TEKNOLOGIS DAN REKONSTRUKSI SOSIAL (Kelebihan dan Kelemahan)



MODEL KURIKULUM AKTIVITAS, TEKNOLOGIS DAN REKONSTRUKSI SOSIAL

Muhammad Syamsuddin
Mahasiswa Pascasarjana IAIN Pekalongan
2016

A.   PENDAHULUAN
Kurikulum dapat dikategorikan kedalam empat kategori umu yaitu: subjek akademis, humanistik, rekontruksi social dan teknologi . Masing-masing kategori memiliki perbedaan dalam hal apa yang harus diajarkan, oleh siapa diajarkan, kapan, dan bagaimana mengerjakannya.
Konsep kurikulum subjek akademik, disisi lain dipandang sebagai wahana untuk mengendalikan mata pelajaran yang akan dipelajari oleh peserta didik Konsep kurikulum humanistik lebih mengarah pada kurikulum yang dapat memuaskan setiap individu, agar mereka dapat mengaktualisasikan dirinya sesuai dengan potensi dan keunikan masing-masing. Adapun konsep kurikulum rekonstruksi sosial tidak sekedar nenekankan pada pada minat individu, tetapi juga pada kebutuhan sosialnya. Konsep kurikulum teknologi member pandangan bahwa kurikulum harus dibuat sebagai suatu proses teknologi untuk dapat memenuhi keinginan pembuat kebijakan. Namun ada pendapat bahwa ada tambahan dalam desain kurikulum yakni kurikulum aktivitas.

B.   KURIKULUM AKTIVITAS
1.    Pengertian
Organisasi kurikulum ini sering disebut juga kurikulum proyek, ada yang menyebutnya kurikulum pengalaman. Konsep kurikulum ini baru dimulai pada abad ke 20 yang diperkenalkan oleh John Dewey di Chicago. Kurikulum ini diarahkan pada: membuat dan menciptakan dalam bentuk kegiatan bukan dalam bentuk mata pelajaran.[1] Oleh karena itu kegiatan belajar disekolah menuntut aktivitas intelektual disamping ketrampilan motorik. Dorongan untuk mempelajari, membaca, menulis, berhitung muncul dari aktivitas yang terjalin dalam kegiatannya. Kegiatan belajar dilakukan melalui observasi, bermain, dan bercerita.

2.    Ciri – ciri Kurikulum Aktivitas
Kurikulum aktivitas sifatnya child centered bukan subject centered. Menurut kurikulum ini anak selalu sibuk berbuat dan tidak selalu perlu dibangkitkan kesibukannya.[2] Tugas pendidik adalah menemukan minat – minat tertentu pada siswa untuk menentukan jenis aktivitasnya. Oleh sebab itu program studi pendidikan disekolah disusun atas dasar minat dan tujuan anak yang akan dididik. Prinsip ini berarti bahwa mata pelajaran dianggap alat untuk memenuhi tujuan dan aspirasi individu atau kelompok sosial. Peranan guru dalam kurikulum aktivitas melokalisasi perhatian dan minat anak yang dominan. Bimbingan guru akan banyak membantu anak mencurahkan perhatiannya kepada hal – hal penting yang akan mengarahkan perkembangan anak selanjutnya.
Kurikulum ini beranggapan bahwa guru menjadi anggota kelompok yang turut bekerjasama memilih lapangan kerjanya sendiri. Merumuskan persoalan yang dihadapi, merencanakan aktivitas yang diperlukan dan menilai pengalaman yang diperoleh. Metode yang paling dominan dalam pengajaran adalah problem solving. Proses belajar ini menuntut usaha dalam kegiatan siswa.[3]

3.    Kelebihan Kurikulum Aktivitas
a)    Jenis pendidikan disesuaikan dengan minat murid.[4]
b)    Dalam proses pembelajaran menggunakan problem solving
c)    Adanya pengelompokan murid ditentukan oleh perhatian mereka.
d)    Kurikulum ini tidak direncanakan terlebih dahulu. Rencana itu berkembang sambil menjalankan kegiatan. Perencanaan dilakukan bersama oleh murid dan guru.[5]

4.    Kelemahan Kurikulum Aktivitas
a)    Guru yang diperlukan harus mempunyai pendidikan umum yang luas, pendidikan khusus tentang perkembangan anak dan pengetahuan bimbingan.
b)    Guru harus menguasai metode proyek.
c)    Guru tidak hanya menguasai mata pelajaran atau bidang studi tetapi juga harus memiliki kemampuan sosial.
d)    Kebutuhan dan minat peserta didik belum tentu relevan dengan realitas kehidupan yang begitu kompleks.[6]
e)    Perlengkapan kelas harus lengkap dan diatur menurut selera dan keperluan anak.

C.   KURIKULUM TEKNOLOGIS
1.    Pengertian
Perkembangan teknologi mempengaruhi setiap bidang dan aspek kehidupan, termasuk bidang pendidikan. Sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi dibidang pendidikan berkembang pula teknologi pendidikan. Penerapan teknologi dalam bidang pendidikan khususnya kurikulum perangkat keras (hardware), penerapan teknologi perangkat keras dalam pendidikan dikenal sebagai teknologi alat (tools technology), sedangkan penerapan teknologi perangkat lunak disebut juga teknologi sistem (system technology).[7]
Teknologi pendidikan dalam arti teknologi alat lebih menekankan kepada penggunaan alat-alat teknologis untuk menunjang efisiensi dan efektivitas pendidikan.[8] Kurikulumnya berisi rencana-rencana penggunaan berbagai alat dan media, juga model – model pengajaran yang banyak melibatkan penggunaan alat, misalnya pengajaran dengan bantuan komputer. Model desain kurikulum teknologi difokuskan kepada efektifitas program, metode dan bahan – bahan yang dianggap dapat mencapai tujuan. Perspektif teknologi telah banyak dimanfaatkan pada berbagai konteks, misalnya pada program pelatihan dilapangan industri dan militer.
Teknologi mempengaruhi kurikulum dapat dilihat dari dua sisi yaitu sisi penerapan hasil – hasil teknologi dan penerapan teknologi sebagai suatu sistem. Sisi pertama yang berhubungan dengan penerapan teknologi adalah perencanaan yang sistematis dengan menggunakan media atau alat dalam kegiatan pembelajaran. Penggunaan dan memanfaatkan alat tersebut semata – mata untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi pembelajaran. Contoh penerapan hasil teknologi itu diantaranya adalah pembelajaran dengan bantuan komputer. Teknologi sebagai suatu sistem menekankan kepada penyusun program pembelajaran dengan menggunakan pendekatan sistem yang ditandai dengan perumusan tujuan khusus sebagai tujuan tingkah laku yang harus dicapai.[9]
Jadi penerapan teknologi sebagai suatu sistem itu tidak ditentukan oleh penerapan hasil – hasil teknologi akan tetapi bagaimana merancang implementasi kurikulum dengan pendekatan sistem. Seperti yang kita pelajari sistem adalah satu kesatuan komponen yang satu sama lain saling berkaitan secara fungsional untuk mencapai suatu tujuan. Dengan demikian akhir dari suatu proses pembelajaran adalah ketercapaian tujuan yang dirumuskan sebelumnya. Segala daya upaya yang dilakukan guru diarahkan untuk mencapai tujuan. Untuk melihat efektifitas proses dalam suatu sistem, maka tujuan yang tujuan yang dirumuskan harus dapat diukur bukan tujuan yang bersifat abstrak dan umum. Semakin tujuan itu jelas dan spesifik maka semakin jelas pula merancang proses pembelajaran serta semakin jelas pula menetapkan kriteria keberhasilan.[10]

2.    Ciri Kurikulum Teknologis
  1. Tujuan
Tujuan diarahkan pada penguasaan kompetensi yang dirumuskan dalam bentuk perilaku. Tujuan-tujuan yang bersifat umum yaitu kompetensi dirinci menjadi tujuan-tujuan khusus yang disebut objektif atau tujuan intruksional. Objektif ini mengambarkan perilaku, perbuatan atau kecakapan ketrampilan yang dapat diamati dan diukur.
  1. Metode
Pengajaran bersifat individual tiap siswa menghadapi serentetan tugas yang harus dikerjakannya. Pada saat tertentu ada tugas-tugas yang harus dikerjakan secara kelompok.
  1. Organisasi bahan ajar
Bahan ajar atau isi kurikulum banyak diambil dari disiplin ilmu tetapi telah diramu sedemikian rupa sehingga mendukung penguasaan suatu kompetensi. Bahan ajar atau kompetensi yang luas/besar dirinci menjadi bagian-bagian atau sub kompetensi yang lebih kecil.
  1. Evaluasi
Kegiatan evaluasi dilakukan pada setiap saat pada akhir suatu pelajaran. Fungsi evaluasi ini bermacam macam, sebagai umpan balik bagi siswa dalam penyempurnaan penguasaan suatu satuan pelajaran (evaluasi formatif), umpan balik bagi siswa pada akhir suatu program atau semester (evaluasi sumatif).[11]

3.    Kelebihan Kurikulum Teknologis
a)    Program  pengajaran teknologis sangat menekankan efisiensi dan efektifitas.
b)    Dengan pengajaran model ini tingkat penguasaan siswa dalam standar konvesional jauh lebih tinggi dibandingkan dengan model-model lain. Apalagi kalau digunakan program yang lebih terstruktur sepertii pengajaran dengan bantuan video yang dilengkapi dengan sistem umpan balik dan bimbingan yang teratur dari dapat mempercepat dan meningkatkan penguasaan siswa.

4.    Kelemahan Kurikulum Teknologis
a)    Model ini terbatas kemampuannya untuk mengajarkan bahan ajar yang kompleks atau membutuhkan penguasaan tingkat tinggi (analisis dan evaluasi).
b)    Pengajaran teknologis sukar untuk dapat melayani bakat – bakat siswa belajar dengan metode - metode khusus.
c)    Sulit mengembangkan domain afektif siswa.

D.   KURIKULUM REKONSTRUKSI SOSIAL
1.    Pengertian
Pengajaran rekonstruksi sosial banyak dilaksanakan didaerah yang tergolong belum maju tingkat ekonominya. Pelaksanaan pengajaran ini diarahkan untuk meningkatkan kondisi kehidupan mereka. Sesuai dengan potensi yang ada dalam masyarakat, sekolah mempelajari potensi – potensi tersebut, dengan bantuan biaya dari pemerintah.[12] John dewey memandang pendidikan sebagai alat yang ampuh untuk memperbaiki kehidupan masyarakat dan membina masa depan yang lebih baik.[13] Sekolah berusaha mengembangkan potensi tersebut, didaerah pertanian umpamanya sekolah mengembangkan bidang pertanian dan peternakan. Didaerah industri mengembangkan bidang - bidang industri.
Tokoh pengajaran rekonstruksi sosial adalah Paulo Freize. Mereka banyak membantu pengembangan daerah – daerah amerika latin untuk memrangi kebodohan dengan menggalakan gerakan budaya akal budi (conscientization). Conscientization merupakan proses pendidikan dimana siswa tidak diperlakukan sebagai penerima tetapi sebagai pelajar yang aktif.[14] Mereka memperluas kesadaran tentang realitas sosial budaya dengan segala kemampuannya berupaya mengubah dan meningkatkannya. Dengan gerakan conscientization mereka membantu masyarakat memahami masalah – masalah yang dihadapi dalam konteks masyarakat.
Kurikulum rekonstruksi sosial ini bersumber dari aliran pendidikan interaksional yang menekankan interaksi dan kerjasama antara siswa, guru, kepala sekolah, orang tua dan masyarakat. Menurut pemahaman rekonstrusi sosial bahwa kepentingan sosial harus diletakan diatas kepentingan pribadi atau golongan. Asumsinya adalah perubahan sosial merupakan tanggungjawab masyarakat.[15] Sekolah merupakan institusi pendidikan yang memiliki peran strategis yakni sebagai agen perubahan sosial.
Tujuan utama kurikulum ini adalah mengembangkan kemampuan siswa untuk menghadapi masalah – masalah yang ada dalam masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut maka dikembangkanlah proses pembelajaran yang berorientasi pada masalah – masalah sosial yang memang dianggap penting.[16] Pendekatan pembelajaran lebih banyak menggunakan pendekatan tematik yaitu menentukan tema pokok yang dikembangkan menjadi beberapa topik. Setiap topik dibahas dari berbagai disiplin ilmu melalui diskusi, tanya jawab, tugas, latihan, studi lapang dan lain-lain.

2.    Ciri-ciri Kurikulum Rekonstruksi Sosial
Ada beberapa ciri yang khusus dimiliki dalam desain kurikulum rekonstruksi sosial, yaitu sebagai berikut :
a)    Asumsi : Tujuan utama kurikulum rekonstruksi sosial adalah menghadapkan para siswa pada tantangan, ancama, hambatan-hambatan atau gangguan-gangguan yang dihadapi manusia. Tantangan-tantangan tersebut merupakan bidang garapan studi sosial,   yang perlu didekati dari bidang-bidang lain seperti ekonomi, sosiologi, psikologi, estetika, bahkan pengetahuan alam, dan matematika. Masalah-masalah masyarakat bersifat universal dan hal ini dapat dikaji dalam kurikulum.
b)    Masalah-masalah  sosial  yang  mendesak  :  Kegiatan  belajar  dipusatkan  pada masalah-masalah sosial  yang  mendesak. Masalah-masalah tersebut  dirumuskan dalam pertanyaan, seperti: Dapatkah kehidupan seperti ekarang ini memberikan kekuatan untuk menghadapi ancaman-ancaman yang akan mengganggu integritas kemanusiaan ? Dapatkah tata ekonomi dan politik yang ada dibangun kembali agar setiap orang dapat memanfaatkan sumber-sumber daya alam dan sumber daya manusia seadil mungkin. Pertanyaan-pertanyaan tersebut mengundang pengungkapan lebih mendalam, bukan saja dari buku-buku dan kegiatan laboratorium tetapi juga dari kehidupan nyata dalam masyarakat.
c)    Pola-pola organisasi : Pada tingkat sekolah menengah, pola organisasi kurikulum disusun  seperti  sebuah  roda.  Di  tengah-tengahnya sebagai  poros  dipilih  suatu masalah yang menjadi tema utama dan dibahas secara pleno. Dari tema utama dijabarkan sejumlah topik yang dibahas dalam diskusi-diskusi kelompok, latihan- latihan, kunjungan dan lain-lain. Topik-topik dengan berbagai kegiatan kelompok ini merupakan jari-jari. Semua kegiatan jari-jari tersebut dirangkum menjadi satu kesatuan sebagai bingkai.

3.    Kelebihan Kurikulum Rekonstruksi Sosial
a)    Kurikulum ini berorientasi ke masa depan yang memfokuskan pada penggalian pada sumber sumber alam, kesejahteraan masyarakat, masalah air, dan lain – lain.
b)    Kurikulum ini menghendaki adanya kerjasama dalam kegiatan belajar, saling menghargai, suasana belajar yang kondusif, dan tidak ada kompetitif karena satu dengan yang lain saling ketergantungan.[17]
c)    Dalam kegiatan evaluasi siswa turut serta memilih, menyusun dan menilai bahan yang akan diujikan.
d)    Sasaran evaluasi tidak hanya terfokus pada tingkat penguasaan siswa tetapi lebih penting bagaimana dampak kegiatan sekolah terhadap perubahan masyarakat.

4.    Kelemahan Kurikulum Rekonstruksi Sosial
a)    Diperlukan bantuan para ahli disiplin ilmu dalam menganalisis memecahkan masalah sosial dan membuat kebijakan sosial.
b)    Kurikulum ini sukar diterapkan, penyebabnya adalah interpretasi para ahli tentang perkembangan dan masalah - masalah sosial berbeda. Kemampuan warga untuk ikut serta dalam pemecahan juga bervariasi.
c)    Kurangnya perhatian pada penerapan dan dinamika inovasi. Model teknologi ini hanya menekankan pengembangan efektifitas produk saja, sedangkan perhatian untuk mengubah lingkungan yang lebih luas, seperti organisasi sekolah, sikap guru, dan cara pandang masyarakat sangat kurang.[18]

E.   PENUTUP
Kurikulum yang digunakan dalam lingkungan pendidikan dapat berupa realisasi dari masing-masing model kurikulum hal dapat disesuaikan berdasarkan kebijakan yang diputuskan pemerintah dalam usaha meningkatkan kualitas pendidikan. Kebijakan kurikulum yang ada dapat berdasarkan kepada satu model kurikulum atau berdasarkan gabungan dari setiap model kurikulum yang tercermin dari landasan filosofis, tujuan, materi, kegiatan belajar, mengajar dan sampai kepada evaluasi.
Porsi dari setiap kurikulum yang digunakan pada setiap jenjang pendidikan tidak sama, porsi penggunaan kurikulum harus disesuaikan dengan karakterisitik dari setiap jenjang pendidikan, baik itu pendidikan dasar, pendidikan menengah, maupun pendidikan tinggi dan penyesuaian juga harus dilakukan terhadap karakter perkembangan peserta didik. Pendidikan tinggi juga memiliki porsi yang berbeda terhadap penggunaan setiap kurikulum yang didasarkan pada output pendidikan yang diharapkan dan ini terjadi pada pendidikan vokasional, pendidikan profesi, dan pendidikan akademik.


[1] M. Ahmad, Pengembangan Kurikulum, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), h. 133
[2] Ibid, h.134
[3] Ibid, h. 135
[4] S. Nasution, Asas-asas Kurikulum, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h.221
[5] Ibid, h. 222
[6] Zaenal Arifin, Konsep Model Pengembangan Kurikulum, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), h. 103
[7] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), h. 96
[8] Ibid
[9] Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta: kencana, 2008), h. 75
[10] Ibid
[11] Nana Syaodih Sukmadinata, Opcit, h.98
[12] Nana Syaodih Sukmadinata, Opcit, h.94
[13] Zaenal Arifin, Opcit, h. 129
[14] Nana Syaodih Sukmadinata, Opcit, h. 94
[15] Zaenal Arifin, Opcit, h. 130
[16] Ibid
[17] Zaenal Arifin, Opcit, h. 131
[18] Oemar Hamalik, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), h.