MODEL KURIKULUM AKTIVITAS, TEKNOLOGIS DAN REKONSTRUKSI
SOSIAL
Muhammad Syamsuddin
Mahasiswa Pascasarjana IAIN Pekalongan
2016
A.
PENDAHULUAN
Kurikulum
dapat dikategorikan kedalam empat kategori umu yaitu: subjek akademis,
humanistik, rekontruksi social dan teknologi . Masing-masing kategori memiliki
perbedaan dalam hal apa yang harus diajarkan, oleh siapa diajarkan, kapan, dan
bagaimana mengerjakannya.
Konsep
kurikulum subjek akademik, disisi lain dipandang sebagai wahana untuk
mengendalikan mata pelajaran yang akan dipelajari oleh peserta didik Konsep
kurikulum humanistik lebih mengarah pada kurikulum yang dapat memuaskan setiap
individu, agar mereka dapat mengaktualisasikan dirinya sesuai dengan potensi
dan keunikan masing-masing. Adapun konsep kurikulum rekonstruksi sosial tidak
sekedar nenekankan pada pada minat individu, tetapi juga pada kebutuhan
sosialnya. Konsep kurikulum teknologi member pandangan bahwa kurikulum harus
dibuat sebagai suatu proses teknologi untuk dapat memenuhi keinginan pembuat
kebijakan. Namun ada pendapat bahwa ada tambahan dalam desain kurikulum yakni
kurikulum aktivitas.
B.
KURIKULUM AKTIVITAS
1.
Pengertian
Organisasi
kurikulum ini sering disebut juga kurikulum proyek, ada yang menyebutnya
kurikulum pengalaman. Konsep kurikulum ini baru dimulai pada abad ke 20 yang
diperkenalkan oleh John Dewey di Chicago. Kurikulum ini diarahkan pada: membuat
dan menciptakan dalam bentuk kegiatan bukan dalam bentuk mata pelajaran.[1]
Oleh karena itu kegiatan belajar disekolah menuntut aktivitas intelektual
disamping ketrampilan motorik. Dorongan untuk mempelajari, membaca, menulis,
berhitung muncul dari aktivitas yang terjalin dalam kegiatannya. Kegiatan
belajar dilakukan melalui observasi, bermain, dan bercerita.
2.
Ciri – ciri Kurikulum Aktivitas
Kurikulum
aktivitas sifatnya child centered bukan subject centered. Menurut
kurikulum ini anak selalu sibuk berbuat dan tidak selalu perlu dibangkitkan
kesibukannya.[2]
Tugas pendidik adalah menemukan minat – minat tertentu pada siswa untuk
menentukan jenis aktivitasnya. Oleh sebab itu program studi pendidikan
disekolah disusun atas dasar minat dan tujuan anak yang akan dididik. Prinsip
ini berarti bahwa mata pelajaran dianggap alat untuk memenuhi tujuan dan
aspirasi individu atau kelompok sosial. Peranan guru dalam kurikulum aktivitas
melokalisasi perhatian dan minat anak yang dominan. Bimbingan guru akan banyak
membantu anak mencurahkan perhatiannya kepada hal – hal penting yang akan
mengarahkan perkembangan anak selanjutnya.
Kurikulum
ini beranggapan bahwa guru menjadi anggota kelompok yang turut bekerjasama
memilih lapangan kerjanya sendiri. Merumuskan persoalan yang dihadapi,
merencanakan aktivitas yang diperlukan dan menilai pengalaman yang diperoleh.
Metode yang paling dominan dalam pengajaran adalah problem solving. Proses
belajar ini menuntut usaha dalam kegiatan siswa.[3]
3.
Kelebihan Kurikulum Aktivitas
a)
Jenis pendidikan disesuaikan dengan minat murid.[4]
b)
Dalam proses pembelajaran menggunakan problem solving
c)
Adanya pengelompokan murid ditentukan oleh perhatian mereka.
d)
Kurikulum ini tidak direncanakan terlebih dahulu. Rencana
itu berkembang sambil menjalankan kegiatan. Perencanaan dilakukan bersama oleh
murid dan guru.[5]
4.
Kelemahan Kurikulum Aktivitas
a)
Guru yang diperlukan harus mempunyai pendidikan umum yang
luas, pendidikan khusus tentang perkembangan anak dan pengetahuan bimbingan.
b)
Guru harus menguasai metode proyek.
c)
Guru tidak hanya menguasai mata pelajaran atau bidang studi
tetapi juga harus memiliki kemampuan sosial.
d)
Kebutuhan dan minat peserta didik belum tentu relevan dengan
realitas kehidupan yang begitu kompleks.[6]
e)
Perlengkapan kelas harus lengkap dan diatur menurut selera
dan keperluan anak.
C.
KURIKULUM TEKNOLOGIS
1.
Pengertian
Perkembangan
teknologi mempengaruhi setiap bidang dan aspek kehidupan, termasuk bidang
pendidikan. Sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi dibidang pendidikan
berkembang pula teknologi pendidikan. Penerapan teknologi dalam bidang
pendidikan khususnya kurikulum perangkat keras (hardware), penerapan
teknologi perangkat keras dalam pendidikan dikenal sebagai teknologi alat (tools
technology), sedangkan penerapan teknologi perangkat lunak disebut juga
teknologi sistem (system technology).[7]
Teknologi
pendidikan dalam arti teknologi alat lebih menekankan kepada penggunaan alat-alat
teknologis untuk menunjang efisiensi dan efektivitas pendidikan.[8]
Kurikulumnya berisi rencana-rencana penggunaan berbagai alat dan media, juga
model – model pengajaran yang banyak melibatkan penggunaan alat, misalnya
pengajaran dengan bantuan komputer. Model desain kurikulum teknologi difokuskan
kepada efektifitas program, metode dan bahan – bahan yang dianggap dapat
mencapai tujuan. Perspektif teknologi telah banyak dimanfaatkan pada berbagai
konteks, misalnya pada program pelatihan dilapangan industri dan militer.
Teknologi
mempengaruhi kurikulum dapat dilihat dari dua sisi yaitu sisi penerapan hasil –
hasil teknologi dan penerapan teknologi sebagai suatu sistem. Sisi pertama yang
berhubungan dengan penerapan teknologi adalah perencanaan yang sistematis
dengan menggunakan media atau alat dalam kegiatan pembelajaran. Penggunaan dan
memanfaatkan alat tersebut semata – mata untuk meningkatkan efektifitas dan
efisiensi pembelajaran. Contoh penerapan hasil teknologi itu diantaranya adalah
pembelajaran dengan bantuan komputer. Teknologi sebagai suatu sistem menekankan
kepada penyusun program pembelajaran dengan menggunakan pendekatan sistem yang
ditandai dengan perumusan tujuan khusus sebagai tujuan tingkah laku yang harus
dicapai.[9]
Jadi
penerapan teknologi sebagai suatu sistem itu tidak ditentukan oleh penerapan
hasil – hasil teknologi akan tetapi bagaimana merancang implementasi kurikulum
dengan pendekatan sistem. Seperti yang kita pelajari sistem adalah satu
kesatuan komponen yang satu sama lain saling berkaitan secara fungsional untuk
mencapai suatu tujuan. Dengan demikian akhir dari suatu proses pembelajaran
adalah ketercapaian tujuan yang dirumuskan sebelumnya. Segala daya upaya yang
dilakukan guru diarahkan untuk mencapai tujuan. Untuk melihat efektifitas proses
dalam suatu sistem, maka tujuan yang tujuan yang dirumuskan harus dapat diukur
bukan tujuan yang bersifat abstrak dan umum. Semakin tujuan itu jelas dan
spesifik maka semakin jelas pula merancang proses pembelajaran serta semakin
jelas pula menetapkan kriteria keberhasilan.[10]
2.
Ciri Kurikulum Teknologis
- Tujuan
Tujuan diarahkan pada penguasaan
kompetensi yang dirumuskan dalam bentuk perilaku. Tujuan-tujuan yang bersifat
umum yaitu kompetensi dirinci menjadi tujuan-tujuan khusus yang disebut
objektif atau tujuan intruksional. Objektif ini mengambarkan perilaku,
perbuatan atau kecakapan ketrampilan yang dapat diamati dan diukur.
- Metode
Pengajaran bersifat individual tiap
siswa menghadapi serentetan tugas yang harus dikerjakannya. Pada saat tertentu
ada tugas-tugas yang harus dikerjakan secara kelompok.
- Organisasi bahan ajar
Bahan ajar atau isi kurikulum banyak
diambil dari disiplin ilmu tetapi telah diramu sedemikian rupa sehingga
mendukung penguasaan suatu kompetensi. Bahan ajar atau kompetensi yang
luas/besar dirinci menjadi bagian-bagian atau sub kompetensi yang lebih kecil.
- Evaluasi
Kegiatan evaluasi dilakukan pada setiap
saat pada akhir suatu pelajaran. Fungsi evaluasi ini bermacam macam, sebagai
umpan balik bagi siswa dalam penyempurnaan penguasaan suatu satuan pelajaran
(evaluasi formatif), umpan balik bagi siswa pada akhir suatu program atau
semester (evaluasi sumatif).[11]
3.
Kelebihan Kurikulum Teknologis
a)
Program pengajaran
teknologis sangat menekankan efisiensi dan efektifitas.
b)
Dengan pengajaran model ini tingkat penguasaan siswa dalam
standar konvesional jauh lebih tinggi dibandingkan dengan model-model lain.
Apalagi kalau digunakan program yang lebih terstruktur sepertii pengajaran
dengan bantuan video yang dilengkapi dengan sistem umpan balik dan bimbingan
yang teratur dari dapat mempercepat dan meningkatkan penguasaan siswa.
4.
Kelemahan Kurikulum Teknologis
a)
Model ini terbatas kemampuannya untuk mengajarkan bahan ajar
yang kompleks atau membutuhkan penguasaan tingkat tinggi (analisis dan
evaluasi).
b)
Pengajaran teknologis sukar untuk dapat melayani bakat –
bakat siswa belajar dengan metode - metode khusus.
c)
Sulit mengembangkan domain afektif siswa.
D.
KURIKULUM REKONSTRUKSI SOSIAL
1.
Pengertian
Pengajaran
rekonstruksi sosial banyak dilaksanakan didaerah yang tergolong belum maju
tingkat ekonominya. Pelaksanaan pengajaran ini diarahkan untuk meningkatkan
kondisi kehidupan mereka. Sesuai dengan potensi yang ada dalam masyarakat,
sekolah mempelajari potensi – potensi tersebut, dengan bantuan biaya dari
pemerintah.[12]
John dewey memandang pendidikan sebagai alat yang ampuh untuk memperbaiki
kehidupan masyarakat dan membina masa depan yang lebih baik.[13] Sekolah
berusaha mengembangkan potensi tersebut, didaerah pertanian umpamanya sekolah
mengembangkan bidang pertanian dan peternakan. Didaerah industri mengembangkan
bidang - bidang industri.
Tokoh
pengajaran rekonstruksi sosial adalah Paulo Freize. Mereka banyak membantu
pengembangan daerah – daerah amerika latin untuk memrangi kebodohan dengan
menggalakan gerakan budaya akal budi (conscientization). Conscientization
merupakan proses pendidikan dimana siswa tidak diperlakukan sebagai penerima
tetapi sebagai pelajar yang aktif.[14]
Mereka memperluas kesadaran tentang realitas sosial budaya dengan segala
kemampuannya berupaya mengubah dan meningkatkannya. Dengan gerakan conscientization
mereka membantu masyarakat memahami masalah – masalah yang dihadapi dalam
konteks masyarakat.
Kurikulum
rekonstruksi sosial ini bersumber dari aliran pendidikan interaksional yang
menekankan interaksi dan kerjasama antara siswa, guru, kepala sekolah, orang
tua dan masyarakat. Menurut pemahaman rekonstrusi sosial bahwa kepentingan
sosial harus diletakan diatas kepentingan pribadi atau golongan. Asumsinya
adalah perubahan sosial merupakan tanggungjawab masyarakat.[15]
Sekolah merupakan institusi pendidikan yang memiliki peran strategis yakni
sebagai agen perubahan sosial.
Tujuan
utama kurikulum ini adalah mengembangkan kemampuan siswa untuk menghadapi
masalah – masalah yang ada dalam masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut
maka dikembangkanlah proses pembelajaran yang berorientasi pada masalah –
masalah sosial yang memang dianggap penting.[16]
Pendekatan pembelajaran lebih banyak menggunakan pendekatan tematik yaitu
menentukan tema pokok yang dikembangkan menjadi beberapa topik. Setiap topik
dibahas dari berbagai disiplin ilmu melalui diskusi, tanya jawab, tugas,
latihan, studi lapang dan lain-lain.
2.
Ciri-ciri Kurikulum Rekonstruksi Sosial
Ada
beberapa ciri yang khusus dimiliki dalam desain kurikulum rekonstruksi sosial,
yaitu sebagai berikut :
a)
Asumsi : Tujuan utama kurikulum rekonstruksi sosial adalah
menghadapkan para siswa pada tantangan, ancama, hambatan-hambatan atau
gangguan-gangguan yang dihadapi manusia. Tantangan-tantangan tersebut merupakan
bidang garapan studi sosial, yang perlu
didekati dari bidang-bidang lain seperti ekonomi, sosiologi, psikologi,
estetika, bahkan pengetahuan alam, dan matematika. Masalah-masalah masyarakat
bersifat universal dan hal ini dapat dikaji dalam kurikulum.
b)
Masalah-masalah
sosial yang mendesak
: Kegiatan belajar
dipusatkan pada masalah-masalah
sosial yang mendesak. Masalah-masalah tersebut dirumuskan dalam pertanyaan, seperti:
Dapatkah kehidupan seperti ekarang ini memberikan kekuatan untuk menghadapi
ancaman-ancaman yang akan mengganggu integritas kemanusiaan ? Dapatkah tata
ekonomi dan politik yang ada dibangun kembali agar setiap orang dapat
memanfaatkan sumber-sumber daya alam dan sumber daya manusia seadil mungkin.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut mengundang pengungkapan lebih mendalam, bukan
saja dari buku-buku dan kegiatan laboratorium tetapi juga dari kehidupan nyata
dalam masyarakat.
c)
Pola-pola organisasi : Pada tingkat sekolah menengah, pola
organisasi kurikulum disusun
seperti sebuah roda.
Di tengah-tengahnya sebagai poros
dipilih suatu masalah yang
menjadi tema utama dan dibahas secara pleno. Dari tema utama dijabarkan
sejumlah topik yang dibahas dalam diskusi-diskusi kelompok, latihan- latihan,
kunjungan dan lain-lain. Topik-topik dengan berbagai kegiatan kelompok ini
merupakan jari-jari. Semua kegiatan jari-jari tersebut dirangkum menjadi satu
kesatuan sebagai bingkai.
3.
Kelebihan Kurikulum Rekonstruksi Sosial
a)
Kurikulum ini berorientasi ke masa depan yang memfokuskan
pada penggalian pada sumber sumber alam, kesejahteraan masyarakat, masalah air,
dan lain – lain.
b)
Kurikulum ini menghendaki adanya kerjasama dalam kegiatan
belajar, saling menghargai, suasana belajar yang kondusif, dan tidak ada
kompetitif karena satu dengan yang lain saling ketergantungan.[17]
c)
Dalam kegiatan evaluasi siswa turut serta memilih, menyusun
dan menilai bahan yang akan diujikan.
d)
Sasaran evaluasi tidak hanya terfokus pada tingkat
penguasaan siswa tetapi lebih penting bagaimana dampak kegiatan sekolah
terhadap perubahan masyarakat.
4.
Kelemahan Kurikulum Rekonstruksi Sosial
a)
Diperlukan bantuan para ahli disiplin ilmu dalam
menganalisis memecahkan masalah sosial dan membuat kebijakan sosial.
b)
Kurikulum ini sukar diterapkan, penyebabnya adalah
interpretasi para ahli tentang perkembangan dan masalah - masalah sosial
berbeda. Kemampuan warga untuk ikut serta dalam pemecahan juga bervariasi.
c)
Kurangnya perhatian pada penerapan dan dinamika inovasi.
Model teknologi ini hanya menekankan pengembangan efektifitas produk saja,
sedangkan perhatian untuk mengubah lingkungan yang lebih luas, seperti
organisasi sekolah, sikap guru, dan cara pandang masyarakat sangat kurang.[18]
E.
PENUTUP
Kurikulum
yang digunakan dalam lingkungan pendidikan dapat berupa realisasi dari
masing-masing model kurikulum hal dapat disesuaikan berdasarkan kebijakan yang
diputuskan pemerintah dalam usaha meningkatkan kualitas pendidikan. Kebijakan
kurikulum yang ada dapat berdasarkan kepada satu model kurikulum atau
berdasarkan gabungan dari setiap model kurikulum yang tercermin dari landasan
filosofis, tujuan, materi, kegiatan belajar, mengajar dan sampai kepada
evaluasi.
Porsi dari
setiap kurikulum yang digunakan pada setiap jenjang pendidikan tidak sama,
porsi penggunaan kurikulum harus disesuaikan dengan karakterisitik dari setiap
jenjang pendidikan, baik itu pendidikan dasar, pendidikan menengah, maupun
pendidikan tinggi dan penyesuaian juga harus dilakukan terhadap karakter
perkembangan peserta didik. Pendidikan tinggi juga memiliki porsi yang berbeda
terhadap penggunaan setiap kurikulum yang didasarkan pada output pendidikan
yang diharapkan dan ini terjadi pada pendidikan vokasional, pendidikan profesi,
dan pendidikan akademik.
[1]
M. Ahmad, Pengembangan Kurikulum, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), h. 133
[2]
Ibid, h.134
[3]
Ibid, h. 135
[4]
S. Nasution, Asas-asas Kurikulum, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h.221
[5]
Ibid, h. 222
[6]
Zaenal Arifin, Konsep Model Pengembangan Kurikulum, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2014), h. 103
[7]
Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), h. 96
[8]
Ibid
[9]
Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta: kencana, 2008), h.
75
[10]
Ibid
[11]
Nana Syaodih Sukmadinata, Opcit, h.98
[12]
Nana Syaodih Sukmadinata, Opcit, h.94
[13]
Zaenal Arifin, Opcit, h. 129
[14]
Nana Syaodih Sukmadinata, Opcit, h. 94
[15]
Zaenal Arifin, Opcit, h. 130
[16]
Ibid
[17]
Zaenal Arifin, Opcit, h. 131
[18]
Oemar Hamalik, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2007), h.