PSIKOLOGI ISLAMI
(Sebuah Pendekatan
Alternatif Terhadap Teori-teori Psikologi Barat)
Oleh
Muhammad Syamsuddin
Mahasiswa Pasca Sarjana STAIN Pekalongan
A.
Pendahuluan
Masyarakat dunia menyepakati bahwa awal abad XV hijriyah
merupakan tonggak kebangkitan Islam setelah tertidur sekian lama. Hal ini ditandai
dengan runtuhnya komunisme yang diiringi dengan hancurnya kekuasaan
Negara-negara blok Timur yang ternyata membawa implikasi terhadap otoritas
kekuasaan dunia yang berpindah pada hegemoni kekuatan Barat. Berbarengan dengan
itu, kekuatan Islam yang terpendam mulai bangkit kembali, dan inilah yang
melatar-belakangi Tesis Huntington tentang infiltrasi peradaban antara Islam
versus Barat.
Islam adalah agama universal (rahmatan lil ‘alamin) memberi ruang yang sangat terbuka terhadap
perkembangan sains. Oleh karenanya, dengung kebangkitan Islam ini pun
menyangkut pula bidang keilmuan. Nama-nama seperti Ismail Raji al-Faruqi, Syed
Muhammad Naquib al-Attas, Sayyed Hussein Nasr, Yusuf Qardhawi, dan Ziauddin
Sardar, Malik B. Badri dan lain-lain menjadi pelopor islamisasi ilmu
pengetahuan di berbagai bidang ilmu, seperti ilmu ekonomi, ilmu hukum,
sosiologi, antropologi, ilmu politik, psikologi dan seterusnya.
Sejalan dengan kebangkitan itu, ilmu pengetahuan modern pun
mengalami perubahan besar, yakni adanya kritisisme terhadap ilmu pengetahuan
modern. Dipercayai bahwa perkembangan ilmu pengetahuan itu tidak statis dan
terus akan mengalami perubahan dan perkembangan, maka muncullah teori-teori
baru yang mengkritik dan mengganti teori-teori lama. Psikologi sebagai bagian
dari sains, pasti akan terpengaruh perubahan besar tersebut.
Psikologi sekuler mengalami krisis dan kebuntuan ketika
memaknai manusia, karena hanya memfokuskan penelitiannya pada hal-hal yang
empiris saja. Itu ditandai misalnya dengan pergeseran pengertian psikologi
sebagai “ilmu jiwa” menjadi lebih kepada behavior
(perilaku) yaitu hanya membahas tentang “gejala-gejala jiwa”. Padahal
semestinya psikologi tidak hanya membahas tentang fakta-fakta realitas saja,
tetapi juga mengkaji dan mengobservasi dimensi lain yang menjadi sumber
terjadinya peristiwa-peristiwa mental tersebut.
M. Quraish dalam Wawasan
Islam mengutip pendapat DR. A. Carel dalam bukunya Man the Unknown menjelaskan bahwa pengetahuan manusia tentang
dirinya sangat terbatas, hal itu disebabkan oleh: pertama, pada mulanya perhatian manusia tertuju pada penyelidikan
tentang materi dan terlambat melakukan penelitian tentang diri manusia. Pada
zaman primitif, nenek moyang kita disibukkan untuk menjinakkan dan menundukkan
alam sekitarnya, seperti upaya membuat senjata untuk mempertahankan diri dan
melawan binatang-binatang buas, penemuan api, per-tanian, peternakan dan
sebagainya, sehingga mereka tidak menyempatkan waktu untuk memikirkan tentang
dirinya. Begitupun halnya pada masa renaisans
(zaman pembaharuan), para ahli di era itu hanya disibukkan untuk melakukan
penelitian dan penemuan-penemuan baru yang berorientasi profit material dan
menyenangkan publik, karena hal-hal yang baru tersebut mempermudah kehidupan
mereka. Kedua, sifat akal kita, seperti
yang dinyatakan oleh Bergson tidak mampu mengetahui hakikat hidup, karena ciri
khas akal manusia kecenderungannya memikir-kan hal-hal yang sederhana dan tidak
rumit. Ketiga, kehidupan perilaku
manusia sangat multikomplek, tidak hanya didekati lewat penelitian-penelitian
yang nampak saja, hanya dipengaruhi oleh faktor fisik-biologis, psiko-edukasi,
maupun sosio-kultur, tetapi ada
dimensi lain sebagai sumber kehidupan manusia, yaitu dimensi spiritual, yang
akhir-akhir diakui oleh dunia psikologi modern, seperti apa yang dikemukakan
oleh Viktor Frankl, bahwa kehidupan manusia tidak hanya didominasi oleh dimensi
ragawi (somatis), kejiwaan (psikis), dan lingkungan sosial budaya.
Frankl menye-butkan corak pandangan psikologinya ini dalam teori
logoterapinya dengan neotic.[1]
Sedangkan Islam semenjak awal telah
menjelaskan bahwa manusia adalah satu-satunya makhluk yang dalam unsur
penciptaannya terdapat ruh Ilahi.[2]
Jika apa yang dikemukakan Viktor Frankl dan A. Carrel itu
diterima, maka satu-satunya jalan untuk mengenal dan menemukan jawaban tentang
hakikat manusia adalah merujuk kepada wahyu Ilahi. Usaha tersebut tentu tidak
cukup hanya dengan mengambil satu atau dua ayat, tetapi seharusnya merujuk pada
semua ayat al-Qur’an atau paling tidak ayat-ayat pokok yang berbicara tentang
masalah yang dibahas, dengan mempelajari konteksnya masing-masing, dan
diperkuat dengan penje-lasan sunnah Rasul maupun penemuan-penemuan ilmiah yang
telah mapan. Cara ini dalam disiplin ilmu al-Qur’an dikenal dengan metode
tematis (maudhu’i).
Ayat-ayat rabbani menjadi wawasan dan landasan Psikologi
Islami. Dalam QS. al-Fushshilat [41]:53 Allah Swt berfirman: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka
tanda-atanda (kekuasaan) Kami disegenap upuk dan pada diri mereka sendiri,
sehingga jelalah bagi mereka bahwa al-Qur’an itu adalah benar. Dan apakah
Tuhanmu tidak cukup bagimu bahwa Dia menyakskan segala sesutu?”.
Dari ayat ini tersirat tiga ragam ayat Tuhan sebagai tanda
keagungan-Nya: pertama, Firman Kitabi, diwahyukan dalam bahasa manusia
melalui para Rasul (cq. Muhammad Saw). kemudian ditulis dan dikodifikasi
dalam sebuah mushaf berupa kitab suci (al-Quran al-Karim). Kedua, firman Afaqi,
yaitu ketentuan Tuhan yang eksis dan bekerja pada semesta alam, khususunya alam
materi. Ketiga, firman nafsani ketentuan Tuhan yang ada dan
bekerja pada diri manusia, temasuk kejiwaannya.
Ayat-ayat afaqi
dan ayat-ayat nafsani lazim disebut
sunnatullah, yaitu tanda-tanda kekuasaan Tuhan yang terlukis dalam semesta
ciptaan-Nya dan sering berproses di dalamnya menjadi hukum alam (the law of nature).
Pendekatan psikologi dalam hal ini dapat digunakan untuk
membuka rahasia sunna-tullah yang bekerja pada diri manusia (ayat nafsani), dalam pengertian menemukan
berbagai asas, unsur, proses, fungsi dan hukum-hukum mengenai kejiwaan manusia.[3]
Psikologi sekuler berpandangan bahwa perilaku kehidupan
manusia sangat dipenga-ruhi oleh tri-dimensi: dimensi fisik-biologis, psiko-edukasi, dan sosio-kultural, sedang dimensi spiritual tidak mendapatkan tempat
dalam ruang kehidupan manusia. Dapat dikatakan bahwa hanya dengan menggunakan
kemam-puan intelektual semata dapat ditemukan dan diungkapkan asas-asas
kejiwaan.
Psikologi tradisional (sekuler) berasumsi bahwa alam semesta
secara keseluruhan bersifat materi, tanpa makna dan tujuan. Menurut psikologi
sekuler, manusia tidak lebih dari organisme tubuh, pikiran manusia berkembang
berasal dari sistem syaraf tubuh semata dan tidak mengakui adanya dimensi
spiritual.
Menurut psikologi Islami, alam semesta diciptakan berdasarkan
kehendak Tuhan, dan mencerminkan eksistensi-Nya. Al-Qur’an berkata: “bahwa milik Allah-lah Timur dan Barat,
kemanapun kamu menghadap, di situlah wajah Tuhan berada”.[4]
Psikologi Islami mendekatinya dengan memfungsikan akal dan
keimanan, yakni dengan cara mengoptimalkan daya nalar yang obyektif-ilmiah
dengan metodoginya yang tepat. Psikologi Islami mencoba memahami manusia dalam
kerangka Islam. Pada dasarnya upaya yang dilakukan untuk mengembangkan
psikologi yang bermuataan nilai-nilai ke-Islaman yang didasarkan pada tiga
asumsi: pertama, para ahli
mensinyalir bahwa abad ini adalah zamannya kecemasan (anxiety) dan kegelisahan (restlessness).
Dunia mengalami krisis moral dan kepercayaan, sehingga kondisi kejiwaan
seseorang mulai membutuhkan suasana yang menyejukkan. Salah satu solusi yang
dipandang cukup signifikan dalam menyelesaikan problem kejiwaan tersebut adalah
dengan menghadirkan diskursus psikologi. Kedua,
psikologi kontemporer sekuler yang hanya semata-mata menggunakan kemampuan
intelektual belum mampu memecahkan problem kejiwaan manusia, dan memang sesuai
dengan cirinya yang netral-etik-antrophosentris, psikologi ini
memaksakan diri hanya pada pendekatan empiris. Akibatnya, psikologi tercerabut
dari akar pengertiannya yang semula bermaksud membahas tentang jiwa manusia
dialihkan pada pembahasan “gejala jiwa”. Perubahan ini memunculkan kritik
terhadap keberadaan psikologi, yang didefinisikan sebagai “ilmu jiwa yang tidak
mempelajari jiwa, atau ilmu jiwa yang mempelajari manusia tidak berjiwa”.
Pengertian model psikologi seperti ini mengakibatkan
distorsi fungsi hakikat psikologi. Agar psikologi tetap pada fungsinya,
diperlukan pendekatan baru dalam pengem-bangannya. Salah satunya adalah dengan
menghadirkan nilai-nilai Islam. Hal ini ternyata banyak menginspirasi para
ilmuan Barat akan kebekuan dan kekeringan teori-teori Barat dalam menganalisa
kejiwaan manusia, sehingga memunculkan teori-teori baru dan menggulirkan mazhab
baru dalam perkembangan psikologi yang dimulai dengan penemuan Viktor Frankl
dengan “logoterapi”nya. Teori ini meretas jalan berdirinya satu aliran baru
yang menjadi trend wacana psikologi di dunia barat kini (khususnya Amerika),
yaitu “psikologi Transpersonal”.[5] Diakui atau tidak pendekatan ini
diilhami oleh dunia sufisme yang berakar kuat dari sumber Islam.
B. Sejarah
Psikologi Islami
Fase pertama. Sejarah psikologi Islam berawal dari sejarah
manusia itu sendiri. Hanya pada masa itu belum dinamai psikologi, walaupun pada
prakteknya telah nampak nilai-nilai psikologis. Psikologi saat itu hanya masuk
dalam piranti etika dan filsafat. Untuk fakta ini kita dapati beberapa
referensi Qur’ani yang relevan, misalnya kita dapati relevansi psikologis dalam
narasi al-Qur’an tentang kisah dua putera Adam. Salah seorang dari mereka (Qabil)
melakukan pembunuhan atas saudaranya (Habil).[6] Tuhan menceritakan:
”Maka hawa nafsu Qabil
menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah,
maka jadilah ia seorang diantara orang-orang yang merugi. Kemudian Allah
menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan
kepadanya (Qabil) bagaimana dia seharusnya menguburkan mayat saudaranya.
Berkata Qabil: “Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti
burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” Karena itu
jadilah dia seorang diantara orang-orang yang merugi”.
Pertumpahan darah yang pertama dalam sejarah kehidupan
manusia karena dorongan nafsu ghadhab
(instink tanathos=naluri kematian)
dan kecemburuan yang berlebihan dari gejolak jiwa tak terkendali adalah realita
tak terbantahkan dari perilaku psikologis umat manusia.
Kisah ini menjelaskan tentang motivasi psikologis yang
menyimpang (kecemburuan yang berlebihan) dan pengaruhnya terhadap perilaku
manusia. Satu pelajaran lainnya dalam episode ini ialah bahwa manusia pun bisa
belajar melalui proses imitasi (Qabil
meniru burung gagak yang menggali tanah untuk menguburkan jasad saudaranya).
Proses peniruan ini dalam psikologi dikenal sebagai asas perilaku
(behavioristik) dari teori modelling
(percontohan) Albert Bandura.
Fase kedua, perkembangan psikologi ilmiah di dunia Islam
terjadi pada paruh abad pertengahan. Para sarjana Islam melakukan kajian-kajian
tentang psikologi diilhami oleh ide-ide al-Qur’an. Al-Kindi (185-260H/801-873M)[7] misalnya, dipandang sebagai filosof
muslim pertama yang membahas tentang psikologi mengenai “Tidur dan mimpi”.
Dalam “Filsafat Pertama”, ia membahas berbagai fungsi jiwa, dan tentang cara
kerja pikiran manusia. Ibn Sina (370-428 H/980-1037 M), seorang filosof dan
ahli kedokteran yang banyak memberikan sumbangan terhadap Psikologi
Islami. Dalam bukunya yang termashur, al-Syifa, membahas tentang jiwa, eksistensinya,
hubungan jasmani-ruhani, sensasi, persepsi dan aspek-aspek terkait lainnya. Dia
membedakan antara persepsi internal dan persepsi eksternal. Dia juga
menjelaskan beberapa emosi manusia yang tidak dimiliki binatang, seperti heran,
senyum, tangis dan sebagainya. Disamping itu, dia juga mencoba menerangkan
beberapa penyakit somatik.[8] Al-Ghazali (450-505 H/1043-111M)
hujjatul Islam, memainkan peranan penting dalam sejarah perkembangan
semua cabang ilmu yang ada kaitannya dengan psikologi. Abdul Hamid
al-Hasyimi, seorang Profesor psikologi di Universitas Raja Abdul Aziz
menyatakan bahwa orang pertama yang menamai cabang ilmu psikologi sebagai ilmu
yang mengkaji jiwa dan behavior
(perilaku) manusia adalah al-Ghazali.[9]
Kitabnya yang sangat penomenal “Ihya ‘Ulumuddin” banyak membahas tentang jiwa dan perilaku manusia.
Al-Ghazali juga yang membagi struktur keruhanian manusia ke dalam empat
dimensi, yakni Kalbu (al-Qalb), Ruh (al-Ruh), Akal (al-Aql), dan Nafsu (al-Nafs).
Menurutnya ke empat unsur itu masing-masing memiliki dua arti, yaitu arti
jasmaniyah dan arti ruhaniyah (lathifah-ruhaniyyah-rabbaniyyah).[10]
Fase selanjutnya, sangat banyak para pemikir Islam
memberikan kontribusi penting bagi perkembangan psikologi Islam. Pada dekade
ini kegandrungan pada wacana islamisasi sains semakin meningkat, tak terkecuali
bidang ilmu psikologi.
Diawali symposium internasional Psikologi di Riyadh (1978).
Symposium ini dilatar-belakangi ditutupnya sebuah fakultas psikologi sebuah
perguruan tinggi di Saudi Arabia, kegiatan ini berusaha untuk mengkritisi
teori-teori psikologi yang dipandang cendekiawan muslim banyak menyesatkan umat
Islam dan aqidahnya. Salah seorang yang tampil pada acara tersebut adalah Malik
B. Badri. Ia menghadirkan pemikiran yang kritis atas aliran-aliran psikologi
Barat, terutama psikoanalisa dan psikologi behavioristik. Pemikiran yang sangat
kritis ini mendapat perhatian dari banyak kalangan, maka diterbitkanlah buku, The Dilemma of Muslim Psychologists (1979), sebuah buku yang banyak menggairahkan
diskusi di kalangan mahasiswa, aktivis dan intelektual muslim. Setelah
terbitnya tulisan Badri, di Timur Tengah terbit pula buku Nahw ‘Ilm al-Nafs al-Islamy karya Hasan Muhammad Syarqawi
(1979), ‘Ilm al-Nafs al-Ma’ashir fi
al-Islam (1983) karangan Muhammad Mahmud.[11]
Buku Malik B. Badri pada tahun 1986 melalui penerbit Pustaka
Firdaus diterjemah-kan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Dilema Psikologi Muslim, kemudian
bermun-culan buku-buku karangan para penulis di luar bidang psikologi, seperti
Sukanto M.M penulis buku Nafsiologi
(1986), Zuardin Azzaino, seorang ahli ekonomi menulis Asas-asas Psikologi Ilahiyah (1990), Lukman Saksono dan Anharuddin
menulis Pengantar Psikologi al-Qur’an
(1992).[12]
Momentum psikologi Islami di Indonesia diawali dengan
terbitnya sebuah buku hasil karya Djamaluddin Ancok & Fuad Nasahari Suroso
dengan judul Psikologi Islami, Solusi
Islam atas Problem-problem Psikologi (1994). Kemunculan buku
ini berbarengan dengan berlangsungnya kegiatan Simposium Nasional Psikologi Islam I (UMS). Kehadiran buku-buku ini
menjadi menjadi bahan diskusi untuk mengkritisi psikologi Barat juga menjadi
alasan untuk lebih jauh menggali psikologi perspektif Islam tentang jiwa dan
perilaku manusia.[13]
Wacana tentang islamisasi psikologi belum banyak dipublikasikan, maka
pada tahun 1995, seorang ilmuan psikologi yang sampai saat ini menggeluti
wacana Psikologi Islami menerbitkan sebuah buku Integrasi Psikologi dengan Islam Menuju
Psikologi Islami adalah Hanna Djumhana Bastaman. Berbagai makalah yang
ditulisnya pada berbagai pertemuan ilmiah dan artikel yang pernah
dipublikasikannya dengan tema Psikologi Islami telah diperkenalkan menjadi
sebuah karya yang utuh. Fuad Nashari Suroso, seorang psikolog muda, editor buku
itu dengan kepiawaiannya berhasil menjadikan tulisan-tulisan terpisah-pisah itu
terpadu dalam sebuah buku dengan alur pikir yang runtut.
Karya-karya tersebut bisa menjadi kerangka rujukan untuk
menambah khazanah dalam pengembangan teori-teori psikologi yang
diharapkan secara langsung menggambarkan karakteristik dan identitas yang
semuanya bernuara pada nilai-nilai Islami.
C. Pengertian
Psikologi Islami
Nama Psikologi Islami sebenarnya masih diperdebatkan, belum
ada kesepakatan apakah Psikologi Islami atau Psikologi Islam. Penamaaan
Psikologi Islami (Islamic Psychologi)
dan bukan Psikologi Islam (Psychology of
Islam) didasarkan pada pandangan dunia Islam, tanpa melakukan
penolakan terhadap pan-dangan yang positif dan konstruktif dari Barat. Hanna
Djumhana Bastaman, Djamaluddin Ancok, Fuad Nashari Suroso, Subandi, adalah
nama-nama yang setuju menggunakan istilah Psiklogi Islami.[14] Subandi (1994) menyampai-kan
argumentasinya bahwa psikologi Islami lebih luas cakupannya, karena dapat
menam-pung berbagai pemikiran, baik dari agama Islam sendiri maupun dari luar,
sebab pada hakikatnya esensi nilai-nilai Islami tidak hanya monopoli pada agama
Islam saja, tapi juga tersimpan dalam agama-agama dan tradisi pemikiran
psikologi, baik dari Timur maupun Barat, sepanjang tidak bertentangan dengan
ajaran Islam.[15]
Penggunaan nama Psikologi Islam dipelopori oleh Abdul Mujib
& Jusuf Mudzakir, dengan alasan bahwa psikologi Islam merupakan salah satu
dari kajian keislaman. Penempatan kata Islam di sini memiliki arti, corak, cara
pandang, pola pikir, paradigma atau aliran psikologi yang dibangun bercorak
ajaran Islam, sebagaimana yang berlaku dalam tradisi keilmuan Islam.[16]
Penggunaan nama Psikologi Islami lebih banyak digunakan di
setiap seminar dan simposium Nasional Psikologi Islami di Indonesia. Ditandai
dengan terbitnya buku-buku berlabel Psikologi Islami, kecuali buku Nuansa-nuansa Psikologi Islam (Abdul
Mujub & Yusuf Mudzakir, 2001) dan Psikoterapi
dan Konseling Islam (M. Hamdani Bakran Adz-Dzaky, 2001.
Nama lain yang juga digunakan adalah psikologi Profetik. Istilah ini dikemukakan oleh
Yayah Khisbiyah (1998), sebuah pskologi yang didasarkan pada kenabian Muhammad
Saw. Nama ini ia gunakan atas gagasan Kuntowijoyo dalam Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (1991) tentang ilmu sosial
profetik.[17]
Saat ini, penggunaan nama Psikologi Islami disepakati oleh
para cendekiawan dan psikolog muslim. Menurut Hanna Djumhana Bastaman dengan
menggunakan istilah Psikologi Islami secara langsung tergambarkan karakteristik
dan identitasnya bersumber pada nilai-nilai Islami. Nama ini lebih luwes dan
luas dari pada nama-nama lain untuk sebuah gerakan islamisasi psikologi yang
sampai saat ini maih diperdebatkan dan memerlukan kesepakatan lebih lanjut dari
para psikolog Muslim mengenai wawasan, landasan, ruang lingkup, fungsi, tujuan
dan metodologinya.[18]
Dari ulasan pemikiran mengenai wawasan, landasan, ruang
lingkup, fungsi, tujuan dan metodologi Psikologi Islami.[19] Hanna J. Bastaman
memberikan rumusan Psikologi Islami sebagai berikut:
“Psikologi Islami adalah corak psikologi
berlandaskan citra manusia menurut ajaran Islam, yang mempelajari keunikan
manusia dan pola perilaku manusia sebagai ungkapan pengalaman interaksi dengan
diri sendiri, lingkungan sekitar, dan alam keruhanian, dengan tujuan meningkatkan kesehatan mental dan kualitas
keberagamaan.[20]
Rumusan di atas mengandung beberapa unsur: pertama, corak psikologinya, artinya sebuah gerakan Islamisasi
Psikologi, bahkan bisa menjadi mazhab psikologi mutakhir yang berlandaskan
nilai-nilai ajaran Islam dengan tidak mengesampingkan metodologi dan metode
ilmiah. Kedua, berdasarkan citra
manusia menurut ajaran Islam, artinya berbeda dengan psikologi sekuler yang
landasan filosofisnya bermacam-macam dan orientasi filosofisnya memberikan
otoritas tertinggi kepada kehendak manusia. Sedangkan manusia menurut ajaran
Islam, memiliki martabat tinggi sebagai khalifah
fi al-ardi, diciptakan sebagai makhluk yang sempurna dan sesuai dengan
fitrahnya hanif (kecenderungannya
mono-theisme–mentauhidkan Allah), serta memiliki ruh di samping diri (nafs) dan akal (aql). Ketiga, keunikan
dan pola perilaku manusia. Perilaku manusia merupakan obyek telaah Psikologi
Islami dan psikologi. Perilaku manusia adalah ungkapan manifestasi dan ekspresi
jiwa yang melibatkan fungsi-fungsi jiwa, yakni: perasaan, pikiran, sikap,
pandangan dan keyakinan hidup. Keempat,
interaksi dengan diri sendiri, lingkungan sekitar, dan alam keruhanian. Salah
satu karakteristik manusia adalah adanya kesadaran untuk selalu introspeksi,
berdialog dengan dirinya sendiri, dan selalu berhu-bungan dengan lingkungan
alam fisik. Manusia dalam perspektif psikologi Islami memiliki ruh yang
seharusnya memperluas lahan kajiannya dengan pengalaman keruhanian manusia. Kelima, meningkatkan kesehatan mental
dan kualitas keberagamaan. Tujuan utama psikologi dan psikologi Islami adalah mental health. Kriteria sehat mental
antara lain: terbebasnya individu dari gejala-gejala kejiwaan (neuroses) dan gejala-gejala penyakit
psikhis (psychoses), mampu
beradaptasi dalam pergaulan sosial, terjadinya harmonisasi diantara
fungsi-fungsi jiwa, yakni: pikiran, perasaan, sikap, pandangan dan keyakinan
hidup, serta mampu mengoptimalkan dan merealisasikan potensi diri. Individu
yang memenuhi kriteria sehat dalam perspektif Psikologi Islami menjadi salah
satu tujuan, karena kondisi sehat mental merupakan hal yang kondusif bagi pening-katan
kualitas religiusitas sebagai ungkapan iman dan taqwa kepada Tuhan. Inilah misi
utama psikologi Islami, yaitu membantu mengembangkan individu dan masyarakat
yang sehat mental sekaligus meningkatkan kualitas keimanan dan ketaqwaan.
D. Perkembangan Psikologi Islami
Kini dunia Islam berada di bawah pengaruh budaya sekuler
Barat, banyak mahasiswa muslim sangat tergila-gila terhadap semua aspek
peradaban yang datang dari Barat, termasuk teori-teori Psikologi Barat. Malik
B. Badri dalam bukunya Dilema Psikologi
Muslim mengungkapkan:[21]
ada tiga fase perkembangan sikap psikolog muslim terhadap psikologi modern yang
berasal dari Barat, yaitu: fase infantuasi, fase rekonsiliasi dan fase
emansipasi.
Pada fase pertama,
mahasiswa muslim sangat terpesona dengan teknik dan teori-teori psikologi
modern. Mereka mengikuti sepenuh-nya teori dan metode psikologi sekuler tanpa
kritik. Fase kedua, adalah fase
penerimaan, mereka mencoba mengadakan studi komperatif, dan mencoba mencocokkan
apa yang ada dalam teori psikologi Barat dengan apa yang ada dalam al-Qur’an.
Mereka beranggapan di antara keduanya memiliki kesejalanan (paralelisasi) dan tidak ada
pertentangan. Fase terakhir, mereka makin bersikap kritis terhadap
pandangan-pandangan psikologi sekuler dan mengalihkan perhatian-nya pada
al-Qur’an, al-Hadits dan khazanah klasik Islam yang di dalamnya ternyata
membahas tentang struktur insan (nafs,
qlb, aql, ruh). Menyadari akan
kekeliruannya, mereka mulai kritis menentang beberapa teori dari psikologi
sekuler, terutama pandangan teori psikoanalisa dan behaviorisme, karena kedua
teori itu merendahlan martabat manusia sebagai hamba dan khalifah Allah,
sedangkan pandangan humanistik yang mengakui potensi diri manusia dianggap
sejalan dengan ajaran Islam.
Berangkat dari asumsi itu maka dapat dirumuskan bahwa
problem yang dihadapi umat Islam adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana psikologi mencoba
menerang-kan berbagai problem yang dihadapi oleh kaum muslimin dalam
kehidupannya.
2.
Bagaimana melakukan telaah kritis
terhadap konsep-konsep dan teroi-teori psikologi yang dipandang menyimpang dari
ajaran Islam.
3.
Bagaimana menawarkan konsep
alter-natif tentang psikologi, yakni dengan membangun konsep islamisasi
psikologi.
Untuk memecahkan berbagai persoalan di atas, meminjam tipologi
Jamaluddin Ancok, setidaknya pengembangan Psikologi Islami dapat dibagi menjadi
tiga cara. Pertama, psikologi dipakai
sebagai pisau analisis masalah-masalah psikologis umat Islam. Kedua, Islam dijadikan “pisau analisis
bagi pengkajian psikologi. Ketiga,
membangun konsep psikologi baru yang didasarkan pada nilai-nlai Islam.[22]
Dua cara tersebut di atas memiliki keunggulan sekaligus
kelemahan. Usaha pertama mempunyai kelebihan, yaitu kita memanfaatkan psikologi
untuk memberikan penjelasan problem umat Islam serta mening-katkan sumber daya
umat Islam. Sedangkan kekurangannya bahwa konsep-konsep psikologi mempunyai
keterbatasan dan bahkan kemung-kinan bias yang sangat besar, karena seringkali
mereduksi Islam ke dalam pengertian yang parsial dan tidak utuh.[23]
Cara kedua, keunggulannya adalah mencoba melakukan studi
kritis terhadap psikologi sehingga mengetahui kelebihan dan kelemahan konsep
psikologi. Kelemahan cara ini adalah awal berpijak pembahasannya adalah
menggunakan konsep psikologi, sehingga sering kali terjebak dalam memandang
persoalan lebih berangkat dari pemahaman terhadap konsep psikologinya daripada
Islamnya.[24]
Sudut pandang yang ketiga, mencoba membangun konsep
psikologi baru yang didasarkan pada wawasan Islam. Bisakah langkah-langkah ini
direalisasikan?
Menelisik kandungan al-Qur’an, maka tampaknya berpeluang
kepada kita untuk membangun konsep Psikologi yang berwawasan Islam, melalui
al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan khazaanah pemikiran Islam klasik yang banyak
menyediakan reperensi untuk merintis penyusunan Konsep Psikologi Islami. Contoh
dalam al-Qur’an banyak memberikan informasi ilmiah tentang fitrah, qalb, aql, nafs. Tugas kita adalah memformulasikan dalam
sebuah konsep yang sistematis. Ke depan kita perlu mengembangkan suatu kajian
atas dasar konsep Islam yang mampu menerangkan apa dan siapa sesungguhnya
manusia yang didukung melalui riset-riset yang maju dan pubikasi yang luas.[25]
Apabila memperhatikan literatur Psikologi Islam yang
berkembang di Indonesia, Zakiyah Daradjat, misalnya dengan sejumlah
karya-karyanya telah menempati semua kategori cara tersebut. Dalam beberapa
karyanya antara lain: Ilmu Jiwa Agama;
Kesehatan Menal; Perawatan Jiwa untuk Anak-anak, dan Pendidikan Agama dan
Kesehatan Mental. Dalam buku-bunya tersebut, ia mencoba mengelaborasikan
pemikiran psikologinya ke dalam kategori cara kedua. Buku yang lain: Pokok-pokok Kesehatan Mental dan Ilmu Jiwa,
tergolong pada kategori cara pertama. Dalam karya buku Shalat Menjadikan hidup Bermakna (1988); Kebahagiaan; Haji yang Unik; Puasa meningkatkan Kesehatan Mental
(1989); Doa Menunjang Semangat Hidup (1990);
Zakat Pembersih Harta dan Jiwa
(1991). Daradjat dalam tulisannya ini lebih banyak mengembangkan cara yang
ketiga.
Perkembangan wacana psikilogi Daradjat ini menunjukkan bahwa
ia dipandang sebagai psikolog muslim kontemporer Indonesia. Wacana psikologi
yang dikembangkan Daradjat mendapat pertanyaan dari Kuntowijoyo dalam bukunya “Paradigma Islam”, tentang paradigma
pemikiran apa yang digunakan oleh Daradjat. Oleh karenanya diperlukan kajian
penelitian untuk merumuskan paradigma yang digunakan.
Cara kedua dikembangkan oleh Djamaluddin Ancok dan Fuat
Nashari Suroso dalam karyanya Psikologi
Islami, Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi, dan Hanna Djumhana
Bastaman dalam karyanya Integrasi
Psikologi dengan Islam, Menuju
Psikologi Islami. Ketiga karya tersebut tidak hanya mengemukakan konten
psikologi, melainkan juga menyusun paradigmanya. Dengan beranjak dari pola
Islamisasi yang ditawarkan Ismail Raji al-Faruqi, Ancok, Bastaman, dan Nashori
memberi wawasan baru dalam diskursus Psikologi Islam kontemporer di Indonesia.
Meskipun ketiga psikolog itu telah memberikan paradigma Psikologi Islami di
Indonesia, namun bisa jadi mereka terjebak dalam frame sekuler yang menyalahi
kode etik ilmiah qur’ani, bahkan dapat terperosok dalam “liang biawak” meminjam
istilah Malik B. Badri, seperti menyamakan konsep al-ruh dengan spiritual.
Sukanto Mulyomartono dalam karyanya Nafsiologi; Suatu Pendekatan Alternatif atas Psikologi (1986)
bersama A. Dardari Hasyim dalam judul buku yang telah disempurnakan Nafsiologi: Refleksi Analisis tentang Diri
dan Tingkah Laku Manusia (1995).[26] Dengan optimis, ia mencoba
mengelaborasi substansi ajaran Islam ke dalam wacana psikologi, sehingga
tercipta psikologi baru yang berlabel Islam. Nafsiologi yang ditawarkan dapat
dijadikan acuan bagi para psikolog muda Indonesia untuk menyusun psikologi
Islami. Hampir sama dengan Mulyomartono, Azzaino telah memberikan garis pemisah
yang jelas antara psikologi Islam dengan psikologi kontemporer Barat. Melalui
Struktur ruh, Azzaino menawartkan
psikologi Ilahiyah. Struktur ruh (yang ditiupkan Allah kepada Manusia) inilah
yang membedakan antara psikologi Islam dengan psikologi Barat, sehingga dalam
psikologi Islam ini mampu mengenal Tuhan, Agama, dan alam transenden. Sementara
psikologi Barat belum menjangkau wilayah ruh tersebut. Walaupun mereka
menggunakan istilah ruh (neotic),
tentu berbeda maksudnya dengan ruh dalam Islam.[27]
E. Psikologi
Islami Sebagai Pendekatan
Empat aliran psikologi yang sudah berdiri saat ini
adalah psikoanalisis, behavioristik, humanistic dan psikologi transpersonal. Keempat
pendekatan ini belum mampu menjawab secara integral tentang karakteristik dan
essensi perilaku manusia. Maka disepakati bahwa salah satu visi psikologi
Islami adalah sebagai mazhab kelima, menjadi aliran yang independen, yang
diharapkan mampu menjawab tantangan tersebut dan memililki pandangan-pandangan
yang khas.[28]
Interpretasi dari dialog tersebut, maka ada
beberapa paradigma khas psikologi Islami, yaitu:
Pertama, memercayai bahwa hakikat manusia
adalah fitrah, baik secara jasadi, nafsani (kognitif dan afektif), maupun
ruhani (spiritual). Tentang fitrah secara spiritual, Ibn Taimiyah mengungkapkan
bahwa fitrah manusia adalah memiliki pengetahuan tentang Allah, mencintai Allah
dan memiliki komitmen untuk melaksanakan agama Allah. Rujukan yang sering
digunakan adalah QS. al-Rum [30]:30, “Maka
hadapkanlah wajahnya dengan lurus kepada agama Allah); (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan
pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui”. Rujukan lain adalah sebuah hadits shahih yang terkenal: “Seseorang tidak dilahirkan kecuali dalam
keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani,
dan Majusi”.[29]
Secara nafsani, pertama manusia memiliki cinta, ingin
menyenangkan diri sendiri dan orang lain, memiliki kemampuan mengetahui,
memahami, menciptakan. Psikologi Huma-nistik mengakui secara alamiah manusia
memiliki potensi baik, namun tidak pernah mengakui adanya
pengetahuan-cinta-komitmen kepada Allah.
Kedua, mempercayai bahwa salah satu
komponen terpenting manusia adalah qalb
(hati nurani). Perilaku manusia tergantung kepada qalbunya yang secara fisik
disebut mudghah.[30] Rujukan yang sering digunakan
adalah sebuah hadits sahih: ”…ingatlah
bahwa sesungguhnya dalam jasad manusia terdapat mudghah. Jika mudghah itu baik,
maka baiklah seluruh tubuh. Jika mudghah itu rusak, maka rusaklah seluruh
tubuh. Mudghah itu adalah qalbu”.[31]
Di samping jasad, akal, manusia memiliki qalbu. Dengannya
manusia dapat mengetahui sesuatu (di luar nalar), kecenderungannya kepada yang
benar dan bukan yang salah (termasuk memiliki kebijaksanaan, kesabaran) dan
memiliki kekuatan yang mempengaruhi benda dan peristiwa. Nabi-nabi dan
Rasul-rasul adalah contoh pribadi-pribadi yang qalbunya berkembang optimal,
sehingga mereka dapat mengetahui sesuatu yang tidak tampak dengan cara yang tidak
biasa (melalui wahyu/ilham), tidak pernah goyah berpegang pada nilai kebenaran,
dan memiliki berbagai kemampuan mempengaruhi sesuatu (seperti psychokinetik,[32]
out of body experience).
Pandangan psikologi Islami tentang kalbu berbeda dengan
psikologi Barat yang dalam menjelaskan sesuatu selalu menggunakan pendekatan
rasional (otak). Otak manusia menurut psikologi Barat adalah pusat kecerdasan
intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Padahal sebenarnya
manusia memiliki unsur-unsur psiko-spiritual meliputi al-‘aql, al-qalb, dan al-nafs. Unsur pembentukannya (elemen
asalnya) adalah al-jism dan al-ruh.
Ketiga, memercayai bahwa arah pergerakan
hidup manusia secara garis besar dibagi menjadi dua. Allah Swt telah
mengisyaratkan adanya dua jalan bagi manusia, yaitu jalan taqwa dan jalan fujur.
Rujukannya adalah bahwa manusia diciptakan dalam keadaan fitrah dan ia bergerak
ke arah taqwa. Bila manusia berjalan lurus antara fitrah dan Allah, maka ia
akan menjadi taqwa (sehat, selamat). Sebaliknya, jika tidak lurus antara fitrah
dan Allah maka ia akan berjalan ke pilihan yang sesat (fujur). Secara fitrah, manusia diciptakan dengan penuh cinta,
memiliki cinta, namun ia dapat berkembang ke arah agresi (al-ghadhab). Tugas psikologi Islami adalah agar manusia selalu
lurus dengan fitrahnya.
Keempat, memercayai bahwa manusia adalah
unik. Quraish Shihab menyebutkan khalqan
akhir.[33] Keunikan manusia bukan
hanya secara jasadi, nafsani, tapi juga ruhani. Misalkan seseorang yang karena
dido’akan oleh ayah atau kakeknya yang ‘alim secara ruhaniah lebih kuat, lebih
mudah mencapai keberhasilan dibandingkan dengan yang tidak dido’akan.
Kelima, psikologi Islami dibangun
berdasarkan nilai tertentu, bukan netral etik. Kita percaya bahwa setiap aliran
pasti dipengaruhi nilai tertentu. Psikoanalisis Freud banyak menggunakan
pemikiran Darwin (misalnya manusia tidak lebih dari binatang). Behaviorisme
Watson menggunakan rujukan filsafat empirisme (misalnya manusia semata-mata
dipengaruhi oleh lingkungannya). Psikologi islami berangkat dari
nilai-nilai Islam. Gagasan tentang ilmu yang netral etik, sebagaimana
diungkapkan Gunnar Myrdal adalah khayalan belaka. Setiap ilmu berangkat dari
nilai-nilai-nilai dan mengembangkan nilai-nilai.
F. Posisi
Psikologi Islami terhadap Psikologi Barat
Psikologi Islami pada umumnya memandang bahwa teori yang
berasal dari Barat boleh jadi bersesuaian dan bisa jadi bertentangan dengan
pandangan dunia Islam. Jika bersesuaian, maka ia dapat direkonstruksi ke dalam
paradigma psikologi Islami. Pandangan Dollard dan Miller tentang frustration-agression hypothesis yang
mengung-kapkan bahwa prustrasi akan menimbulkan rasa marah dan rasa marah akan
memunculkan agresivitas adalah pandangan yang dapat diterima oleh psikologi
Islami. Cerita al-Qur’an tentang frustrasi Qabil yang gagal menyunting
Iqlima yang cantik dan berakhir pembunuhan atas diri Habil adalah contoh dari
kesesuaian teori Dollard dan Miller tersebut.[34]
Namun, yang tidak benar adalah pernyataan setiap
frustrasi/kemarahan akan menghasilkan agresi. Psikologi Islami memiliki teori
yang disebut al-Basith
(kelapangdadaan), yaitu sebuah ruang yang luas dalam qalbu manusia yang
memungkinkannya menerima realitas apapun, termasuk yang pahit sekalipun. Nurani
tetap menyerahkan diri kepada Allah. Salah satu firman Allah berkaitan dengan
kelapangdadaan: “Bukanlah Kami telah
meluaskan dadamu untukmu.[35]
Ali bin Abi Thalib tidak mau menggoreskan pedang di leher
seorang kafir, karena ia tidak mau pembunuhan terjadi karena hawa nafsunya.
Sedemian lapangnya hati nurani seseorang hingga ia tidak pernah sakit
hati saat didzalimi oleh orang banyak sekalipun. Dengan
kelapangdadaannya, Nabi Muhammad Saw. berdo’a terhadap penduduk Thaif yang
melempari dengan batu dan mengusirnya. Dengan basith di hatinya, nabi Muhammad Saw menerima realitas seperti itu,
saat diludahi orang Yahudi, bahkan ketika orang itu tidak pernah meludahinya
kembali, nabi menanyakan dan mengunjunginya. Sikap seperti ini (al-akhlaq al-mahmudah) yang
diperlihatkan oleh Nabi memperoleh simpati yang luar biasa.
Beberapa pandangan psikologi Barat kontradiktif dengan
pandangan Islam dan tentu saja tidak bisa diterima. Freud misalnya beranggapan
bahwa shalat adalah perilaku obsessif
kompulsif, bahwa beragama sebagai ilusi, keyakinan akan Tuhan sebagai
pengalihan Oedipus Complex,[36] bahwa kebaikan dan kebenaran (biasa
disebut dalam konsep Freud sebagai superego) hanya berasal dari diri manusia
dan tidak inheren dalam diri manusia, jelas ditolak mentah-mentah oleh
psikologi Islami.
Secara tegas, yang membedakan antara psikologi sekuler
dengan psikologi Islami adalah dari orientasi filosofisnya. Psikologi
Barat memandang manusia sebagai pusat segala kehendak, pusat segala relasi (antrophosentris), sedangkan psikologi
Islami memandang manusia di samping diberikan kebebasan untuk berusaha dan
berikhtiar, dan berrelasi, tetapi Tuhanlah sebagai pusat relasi dan semua
keputusan vonis berada di atas iradah-Nya (antropho-theosentris).
Dalam rumusan konsep manusia dan cara mendekati-nyapun berbeda, psikologi Barat
semata-mata hanya menggunakan kemampuan intelektual untuk menemukan dan
mengungkap asas-asas kejiwaan, sementara psikologi Islami mendekatinya dengan
memfungsikan akal dan keimanan.
G. Menuju Riset Psikologi Islami
Dalam buku Psikologi
Islami: Agenda menuju Aksi (1997), Fuad Anshari mengemukakan bahwa
perkembangan psikologi dibagi ke dalam lima tahap, yaitu: fase terpesona,
fase kritik, fase perumusan, fase penelitian dan fase penerapan.[37]
Fase terpesona ditandai oleh kekaguman terhadap
teori-teori psikologi Barat, yang karena demikian takjubnya, hingga memunculkan
psikologisme (apa-apa yang dianalisis secara psikologis). Fase kritik, ditandai oleh semangat meneliti, menelaah secara
objektif, tajam dan kritis atas teori-teori psikologi Barat dan tentunya
penolakan atas teori-teori psikologi Barat. Kedua fase ini dianggap sebagai
persiapan pembentukan psikologi Islami atau fase-fase pra-psikologi Islami.
Fase berikutnya adalah perumusan
teori. Berangkat dari pemahaman al-Qur’an dan al-Hadits serta penafsiran
atas keduanya, dilengkapi dengan ayat-ayat nafsani
(apa yang kita lihat dalam diri manusia), maka dapat dirumuskan teori psikologi
Islami. Agar kokoh, kuat, maka teori harus ditopang oleh riset, sehingga teori
itu konsisten dengan data, maka fase selanjutnya adalah melakukan
penerapan. Bagian ini akan menjelaskan apa yang dapat kita lakukan untuk
meriset psikologi Islami.[38]
Dalam perumusan psikologi Islami (berdasarkan pandangan
dunia Islam), yang terpenting adalah objektifikasi (Kuntowijoyo, 1991).
Objektifikasi adalah proses mengubah pandangan-pandangan yang normatif menjadi
pandangan yang objektif atau menjadi teori yang dapat diukur. Teori yang baik,
sebagaimana selama ini kita pahami, memiliki ciri-ciri: (a) konsisten secara
logis, (b) bisa diuji, (c) konsisten dengan data. Teori sekurang-kurangnya
memiliki keterkaitan dua hal. Bila hubungan antara hal yang satu dan yang lain
itu logis, maka ia memenuhi ciri konsisten
secara logis. Bisa duji berarti bahwa teori tersebut dapat diukur secara empiris.
Agar dapat diukur secara empiris, biasanya disebut ciri-ciri,
aspek-aspek, komponen-komponen. Konsisten dengan data artinya setelah dicek di
dalam realita kehidupan, ternyata teori itu didukung oleh kenyataan yang ada
dalam kehidupan.[39]
Sebagai contoh, ayat “Shalat
mencegah dari kekejian dan kemungkaran”[40] dapat dirumuskan teori “dzikir dapat memiliki hubungan negative
dengan vandalism dan agresifitas”. Shalat adalah bentuk dzikir yang dapat
menghasilkan ketenangan. Ketenangan melahirkan kemam-puan konsentrasi secara
terarah, menghasilkan kesadaran akan kehadiran Tuhan dalam dirinya dan
tanggung-jawab yang diembannya sebagai manusia menghasilkan kebijaksanaan.
Kompon-komponen shalat yang merupakan aspek terapeutik yang terdapat dalam
shalat misalnya, adalah aspek olah raga,
meditasi, kebersamaan dan aspek auto-sugesti.[41] Berdasarkan indikator-indikator itu dapat dibuat alat ukur
dan dilakukan pengukuran. Dari data yang ada di lapangan, akan diketahui apakah
rumusan teori konsisten dengan data.
Sejauh ini telah dimulai usaha-usaha untuk merumuskan
pandangan-pandangan khas psikologi Islami. Misalnya tentang kisah mimpi yang
diceritakan al-Qur’an maupun Hadits dalam berbagai pengalaman dapat
dirumuskan bahwa mimpi (al-ra’yu)
yang dialami manusia memiliki beberapa jenis, yaitu mimpi jasadi (fisik), mimpi
nafsani (psikologis), dan mimpi ruhani (mimpi spiritual, mimpi yang benar, al-ra’yu al-haqq atau disebut juga mimpi
nubuwat). Mimpi nubuwat terdiri atas
mimpi prediktif, mimpi retrospektif,[42] mimpi petunjuk, mimpi peringatan,
hukuman (punishment), dan mimpi
memiliki kekuatan. Mimpi-mimpi tersebut, setelah diteliti di lapangan ternyata
ditemukan fakta adanya mimpi-mimpi psiko-spiritual.
H. Penutup: Kurikulum Psikologi Islami
Di perguruan-perguruan tinggi Islam, kini sudah ditawarkan
mata kuliah psikologi dalam kurikulum menandakan dianutnya system subject curikulum. Selanjutnya bagaimana
kita mampu mengusahakan dan menggolkan masuknya psikologi Islami ke dalam
kurikulum, apalagi IAIN sudah menjadi Universitas, dan di dalamnya sudah
didirikan fakultas psikologi, maka kurikulum yang berbasis psikologi
Islami menjadi keharusan untuk dilakukan dan harus menjadi pioner, bahkan
fakultas-fakultas non-UIN juga bisa memasukkan psikologi Islami ke dalam kurikulum.
Apabila cara ini ditempuh maka penyebaran ide psikologi Islami akan lebih mudah
tercapai.
Sesungguhnya ada pilihan lain, yaitu integrated curriculum. Seluruh mata kuliah psikologi
dibingkai oleh perspektif Islam. Semua mata kuliah psikologi dibangun oleh
pandangan dunia Islam. Dan ini sesuai dengan paradigma UIN Sunan Gunung Djati
Bandung yaitu “wahyu memandu Ilmu”.
Artinya kebenaran materialnya didasarkan pada pandangan-pandangan dunia Islam.
Seluruh mata kuliah telah mengalami islamisasi. Kalau langkah ini yang dipilih,
maka perlu dilakukan upaya serius untuk menanganinya.
Adapun langkah-langkah yang perlu ditempuh menurut
Djamaluddin Ancok dan Fuad Nashari adalah sebagai berikut:[43]
1.
Penguasaan Khazanah Islam tentang
jiwa dan perilaku manusia,
2.
Penilaian kritis atas khazanah
Islam,
3.
Penguasaan khazanah psikologi
modern,
4.
Penilaian kritis terhadap disiplin
psikologi modern,
5.
Survey problem-problem manausia masa
kini (fisik, psikologis, spiritual),
6.
Analisis kreatif dan sintesis,
7.
Merumuskan kembali teori-teori
psikologi berdasarkan framework
Islam,
8.
Pengembangan riset untuk
menopang teori psikologi Islami,
9.
Penerbitan/publikasi.[]
DAFTAR PUSTAKA
Ancok, Jamaluddin Ancok & Fuad Nashori, Psikologi Islami, Pustaka Pelajar,
Jogyakarta, 2005.
Asyarie, Sukmadjaya & Rosy Yusuf, Indeks Al-Wur’an, Pustaka, Bandung, 1984.
Baharuddin, Paradigma
Psikologi Islami, Pustaka Pelajar, Yogjakarta, 2007.
Bastaman, Hanna D. Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam,Pustaka Pelajar Jogyakarta,1997.
Chaplin, P. J., Kamus, Dictionary
of Psychology, Penterj. Kartini Kartono, Rajawali Pers, 2000, Jakarta, cet.
Ke-6,
Daradjat, Zakiah, Islam dan Kesehatan Mental, Gunung
Agung, Jakarta,1995.
__________, Kesehatan Mental, Gunung Agung, Jakarta, 1995.
__________, Ilmu Jiwa Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1970.
Departemen Agama. al-Qur’an
dan Terjemahnya,
Frager, Robert. (1999) Heart, Self & Soul. The Sufi Psychology of Growth Balance & Harmony.
Wheaton: The Theosophical Publishing House, 1999.
__________, Psikologi
Sufi untuk Transformasi Hati, Diri, & Jiwa. Alih Bahasa Hasmiyah
Rauf, Jakarta, Serambi, 2002.
Husain, M.G., Psychology
and Society in Islamic Perspective, Penterj.
Karsidi Diningrat, Psikologi
dan Masyarakat dalam perspektif Islam, Pustaka, Bandung, 1996.
Jamaluddin, Dadan dkk. Psikologi
Islami, alternative pendekatan lewat kacamata Islam, diskusi reguler
jurusan Tasawuf Psikoterapi, Fakutas Ushuluddin, 2006.
Muhammad, Hamid Ibn Al-Ghazali, Ihyâ ‘Ulûmu Al-Dîn. Bairut-libnan, Dâr al-Fikr, 1415 H/1995M.
Mujib, Abdul & Yusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa Psikologi Islam,2001.
__________, Fitrah
& Kepribadian: Sebuah Pendekatan Psikologis, Darul Falah, Jakarta,
1999.
Malik B. Badri, The
Dilemma of Muslim Psychologists, terj. Siti Zainab Luxfiati, Pustaka
Firdaus, 1996, cetakan ke-6
Najati, Muhammad Utsman, 2004. Psikologi Dalam Perspektif Hadits. (Alih Bahasa Zaenuddin Abu bakar
dkk), Jakarta, Pustaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar