TAZKIYATUN
NAFS DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN
Oleh
Muhammad Syamsuddin
Mahasiswa Pasca Sarjana STAIN Pekalongan
A.
Konsep Tazkiyatun Nafs
Pembicaran
konsep tazkiyatun nafs ini, berawal dari asumsi bahwa terdapat hubungan
yang erat antara ajaran Islam dengan jiwa manusia. Tazkiyatun nafs
merupakan salah satu unsur penting dalam Islam yang untuk itulah nabi
Muhammad dibangkitkan sebagaimana
dijelaskan Allah dalam firman-Nya:
“Dia-lah yang
mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang
membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar
dalam kesesatan yang nyata.[1]
Tazkiyatun
nafs
berhubungan erat dengan usaha manusia untuk mendekatkan diri
kepada Allah. Dasar
argumentasinya, bahwa Allah
tidak bisa didekati oleh orang yang jiwanya tidak suci, karena Allah
adalah Tuhan Yang Maha Suci, yang hanya bisa didekati oleh orang yang berjiwa
suci pula. Oleh karenanya, tingkat kedekatan (qurb), pengenalan (ma’rifat)
dan tingkat kecintaan (mahabbat) manusia terhadap-Nya sangat bergantung
pada kesucian jiwanya.[2]
Dalam
Al-Quran kata kerja tazkiyah digunakan sebanyak dua belas kali. Biasanya
Allah merupakan subjek dan ummat manusia
menjadi objek. Kebanyakan ayat ini
berpesan bahwa rahmat dan bimbingan Allahlah
yang menyucikan dan memberkati
umat meskipun manusia
mempunyai peranan penting tehadap
hal itu.[3]
Di antara
kata tazkiyah itu
tedapat dalam ayat
Al-Quran yang berbunyi:
“Sesungguhnya beruntunglah
orang yang mensucikan
jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang
mengotorinya”.[4]
M. Quraish
Shihab dalam Tafsir
Al-Mishbah menafsirkan, setelah Allah berrsumpah dengan sekian banyak
hal, Allah berfirman menjelaskan apa yang hendak ditekankan-Nya dengan
sumpah-sumpah di atas, yaitu: Sungguh telah
beruntunglah meraih segala apa
yang diharapkannya siapa yang menyucikan
dan mengembangkanya dengan mengikuti tuntunan Allah dan Rasul serta mengendalikan nafsunya, dan
sungguh merugilah siapa yang memendamnya yakni menyembunyikan kesucian jiwanya dengan mengikuti rayuan
nafsu dan godaan setan, atau menghalangi jiwa itu mencapai kesempurnaan dan
kesuciannya dengan melakukan kedurhakaan
serta mengotorinya.[5]
Sementara ulama
memahami ayat di
atas dalam arti,
“telah beruntunglah manusia yang disucikan jiwanya oleh Allah merugilah
dia yang dibiarkan berlarut dalam
pengotoran jiwanya.” Namun makna yang dikemukakan oleh
M. Quraish Shihab
sebelumnya lebih baik
karena mendorong seseorang untuk
berupaya melakukan penyucian
jiwa dan peningkatan diri.[6]
Al-Baqai
menulis sambil mengaitkan penyucian dan pengotoran serta keberuntungan dan kerugian
yang dibicarakan di atas
dengan hal-hal yang digunakan Allah bersumpah bahwa: Tazkiyah
adalah upaya sungguh-sungguh manusia agar matahari kalbunya tidak mengalami
gerhana, dan bulannya pun tidak mengalami hal serupa. Ia harus berusaha agar
siangnya tidak keruh dan tidak pula kegelapannya bersinambung. Cara meraih hal
tersebut adalah memperhatikan
hal-hal spritual yang
serupa dengan hal-hal
material yang digunakan Allah
bersumpah itu.[7]
Menurut
Sayyid Qutub dalam tafsir Fi Dzilalil Quran, tazkiyatun nafs adalah membersihkan
jiwa dan perasaan,
mensucikan amal dan pandangan hidup, membersihkan
kehidupan dan hubungan
seks, dan membersihkan kehidupan masyarakat.[8]
Muhammad
Itris dalam Mu’jam Ta’biraat Al-Quraniyah mengartikan tazkiyatun nafs dengan membersihkan jiwa dari kekufuran dan kemaksiatan
serta memperbaikinya dengan
perbuatan-perbuatan saleh. Hal itu dilakukan dengan meningkatkan persiapan
kebaikan bagi jiwa yang
mengalahkan atas persiapan buruk baginya.
[9]
Muhammad Abduh
mengartikan tazkiyatun nafs
(penyucian jiwa) dengan tarbiyatun nafs
(pendidikan jiwa) yang
kesempurnaannya dapat dicapai
dengan tazkiyatul aqli (penyucian dan pegembangan akal) dari aqidah yang
sesat dan akhlak yang jahat. Sedangkan tazkiyatul aqli kesempurnaannya
dapat pula dicapai dengan tauhid murni.[10]
Menurut Said
Hawwa tazkiyah secara
etimologis mempunyai dua makna, yaitu penyucian dan pertumbuhan.[11]
Tazkiyah
dalam arti pertama adalah membersihkan dan mensucikan jiwa dari sifat-sifat
tercela, sedangkan arti yang kedua, adalah menumbuhkan dan memperbaiki jiwa dengan sifat- sifat terpuji.
Dengan demikian tazkiyatun
nafs (penyucian jiwa)
tidak saja terbatas pada
pembersihan dan penyucian diri, tetapi juga meliputi pembinaan dan pengembangan
diri.
Al-Ghazali mengartikan
tazkiyatun nafs (penyucian
jiwa) dengan istilah thaharatun nafs
dan imaratun nafs.
Thaharatun nafs berarti pembersihan diri dari sifat-sifat
tercela dan imaratun nafs dalam arti memakmurkan jiwa (pengembangan
jiwa) dengan sifat-sifat terpuji.
Tentang makna tazkiyatun
nafs, para mufassir mempunyai pandangan yang berbeda-beda:
1. Tazkiyah dalam arti para rasul
mengajarkan manusia, sesuatu yang jika dipatuhi, akan menyebabkan jiwa mereka
tersucikan dengannya.[12]
2. Tazkiyah dalam arti mensucikan
manusia dari syirik, karena syirik itu oleh Al-Quran dipandang sesuatu yang
bersifat najis.[13]
Tazkiyah
dimaksudkan sebagai cara untuk memperbaiki seseorang dari tingkat yang rendah
ke tingkat yang lebih tinggi didalam hal sikap, sifat, kepribadian dan
karakter. Semakin sering manusia melakukan tazkiyah pada karakter kepribadiannya, semakin Allah membawanya ke tingkat yang lebih tinggi. Perkataan tazkiyatun
nafs tersimpul pengertian dan gagasan tentang:
1. Usaha-usaha
yang bersifat pengembangan diri, yaitu usaha mewujudkan potensi-potensi manusia
menjadi kualitas-kualitas moral
yang luhur (akhlakul hasanah); dan
2. Usaha-usaha
yang bersifat pembersihan diri, yaitu usaha menjaga dan memelihara diri dari
kecenderungan immoral (akhlakus sayyiah).[16]
Dengan demikian,
tazkiyatun nafs adalah
proses penyucian, pengembangan
jiwa manusia, proses pertumbuhan, pembinaan dan pengembangan akhlakul
karimah (moralitas yang mulia) dalam diri dan kehidupan manusia. Dan dalam
proses perkembangan jiwa itu terletak falah
(kebahagiaan), yaitu keberhasilan manusia dalam memberi bentuk dan isi pada
keluhuran martabatnya sebagai makhluk yang berakal budi.
B.
Metode Tazkiyatun Nafs
Dalam
Al-Quran Allah menegaskan, bahwa kalau
kita ingin menjadi manusia yang beruntung,
harus gemar membersihkan
jiwa dan berusaha sekuat tenaga
menjauhkan diri dari
hal-hal yang akan
mengotorinya.[17]
Adapun metode
yang ditempuh untuk
mendapatkan jiwa yang suci sebagai
berikut:
1. Muhasabatunnafs
Muhasabatunnafs artinya
mengoreksi diri. Apabila
kita merasa jiwa ini kotor, segera
bersihkan dengan taubat dan peningkatan amaliah-amaliah yang saleh.
š
“Hai orang-orang
yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa
yang Telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada
Allah, Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan”.[18]
2. Taubat
Taubat artinya perbaikan
diri. Taubat merupakan tindak lanjut dari introspeksi diri. Saat kita melaksanakan introspeksi
diri, tentu kita akan menemukan
kekurangan-kekurangan diri. Apabila
kita mampu memperbaiki diri dan
tidak mengulangi lagi, berarti kita telah melakukan taubat.
“Dan bersegeralah kamu
kepada ampunan dari
Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan
bumi yang disediakan untuk orang- orang yang bertakwa”.[19]
3. Mengisi
detik-detik yang dilewati dengan berbagai amal saleh
Jiwa akan
bersih apabila kita
mengisi detik-detik yag
dilewati dengan amaliah saleh. Tetap konsisten dalam melakukan
kebajikan. Rasulullah SAW. bersabda,
“….Beramallah
semaksimal yang kamu mampu, karena Allah tidak akan bosan sebelum kamu bosan
dan sesungguhnya amal yang paling dicintai Allah adalah amal yang kontinu
(terus menerus) walaupun sedikit”. (H.R. Bukhari)
.
4. Bergaul
dengan orang-orang saleh
Manusia adalah makhluk
sosial. Dengan demikian, lingkungan memiliki peran penting dalam pembentukan
karakter dan kepribadiannya. Kalau
kita ingin memiliki
jiwa yang bersih,
bergaulah dengan orang-orang yang jiwanya bersih.
“Dan Bersabarlah
kamu bersama-sama dengan
orang-orang yang menyeru
Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan- Nya; dan janganlah
kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini;
dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya Telah kami lalaikan dari
mengingati kami, serta menuruti hawa
nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.”[20]
5. Menghadiri
majlis ta’lim
Orang yang berada di
majlis ilmu untuk belajar bersama dengan orang-orang saleh,
untuk mengingat Allah,
ikhlas untuk mencari keridloan-Nya, akan mendapatkan
rahmat dari-Nya dan jiwanya akan suci. Rasulullah saw. bersabda,
“Tidak
ada kaum yang
duduk untuk mengingat
Allah kecuali malaikat akan menghampirinya, meliputinya
dengan rahmat, dan diturunkan ketenangan kepada mereka…” (H.R. Muslim).
6. Doa
Berdoa dengan penuh
kerendahan hati adalah cermin dari hamba
yang tunduk, patuh
hanya kepada Allah,
menyerahkan seluruh
kehidupannya secara total kepada Allah. Allah SWT. berfirman,
“Dan
Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.
Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku
akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina".[21]
Syahr bin
Hausyah r.a. mengatakan
bahwa ia pernah
bertanya kepada Ummu Salamah, “Wahai ibu orang-orang yang beriman, doa
apa yang selalu diucapkan
Rasulullah saw. saat berada di
sampingmu?” Ia menjawab, “Doa yang
banyak diucapkan ialah,
“ Ya Muqllibal quluub, tsabbit qalbi
‘alaa diinika (wahai yang membolak balik jiwa, tetapkanlah jiwaku pada
agama-Mu).” (H.R. Ahmad dan Tirmidzi).
Itulah
enam cara agar kita termasuk orang-orang yang mensucikan jiwa. Jiwa kita akan
terkotori dengan perbuatan-perbuatan maksiat dan amalan-amalan yang
mendatangkan murka Allah SWT. Artinya, setiap kali kita melakukan kemaksiatan
berarti kita sedang mengotori jiwa. “Dan sesungguhnya merugilah orang yang
mengotori jiwanya”.
Selain
yang dikemukakan diatas, proses tazkiyatun nafs itu bisa melalui usaha
sebagai berikut:
1. Mengeluarkan Zakat
atau Infaq, sebagaimana
dijelaskan dalam Al-Quran ayat berikut:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka,
dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk
mereka. Sesungguhnya doa kamu
itu (menjadi) ketenteraman jiwa
bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”.[22]
“Yang
menafkahkan hartanya (di jalan Allah)
untuk membersihkannya”.[23]
- Takut terhadap siksaan Allah dan menjalankan ibadah shalat, sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikut:
“Dan
orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. dan jika seseorang yang
berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya itu tiadalah akan
dipikulkan untuknya sedikitpun meskipun
(yang dipanggilnya itu)
kaum kerabatnya. Sesungguhnya yang dapat
kamu beri peringatan
Hanya orang-orang yang
takut kepada azab Tuhannya
(sekalipun) mereka tidak
melihatNya dan mereka mendirikan
sembahyang. dan barangsiapa yang mensucikan dirinya, Sesungguhnya
ia mensucikan diri
untuk kebaikan dirinya sendiri. dan kepada Allahlah kembali(mu)”.[24]
- Menjalankan pergaulan hidup secara terhormat (dengan menjaga kesucian kehidupan seksual), sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikut:
“Jika
kamu tidak menemui seorangpun didalamnya, Maka janganlah kamu masuk
sebelum kamu mendapat
izin. dan jika
dikatakan kepadamu: "Kembali (saja)lah,
Maka hendaklah kamu
kembali. itu bersih bagimu
dan Allah Maha
mengetahui apa yang
kamu kerjakan”.[25]
“Katakanlah kepada
orang laki-laki yang
beriman: "Hendaklah mereka
menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya;
yang demikian itu adalah
lebih Suci bagi
mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka
perbuat".[26]
4. Proses pendidikan
sebagaimana dilakukan Nabi
kepada umatnya, sebagaimana
dijelaskan dalam ayat berikut:‘
“Ya
Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang
akan membacakan kepada
mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al
Kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka.
Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana”.[27]
“Sungguh
Allah Telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara
mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada
mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada
mereka Al Kitab dan
Al hikmah. dan
Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu,
mereka adalah benar-benar
dalam kesesatan yang nyata”.[28]
“Dia-lah
yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang
membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar
dalam kesesatan yang nyata,”[29]
5. Melalui karunia
Allah yang diberikan kepada
orang-orang yang dikehendaki-Nya,
sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikut:
“Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah- langkah syaitan.
barangsiapa yang mengikuti
langkah-langkah syaitan, Maka Sesungguhnya syaitan itu menyuruh
mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. sekiranya tidaklah Karena
kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari
kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya,
tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. dan
Allah Maha mendengar lagi Maha
Mengetahui”.[30]
“Apakah kamu
tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih?. Sebenarnya Allah
membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya dan mereka tidak aniaya sedikitpun”.[31]
Selain yang
disebutkan di atas,
terdapat pula metode
yang digunakan untuk tazkiyatun nafs, yakni sebagai berikut:
1. Meningkatkan
kualitas spritual.
Yaitu dengan memprbanyak beribadah,
namun yang menjadi fokus utama adalah ketaatan menjalankan ibadah puasa, baik
puasa wajib (ramadhan) ataupun sunah (tiga hari setiap bulan, senin kamis atau
puasa nabi Daud as.)
2. Meningkatkan
kualitas mental.
Yaitu senantiasa belajar dan berlatih
membiasakan diri berpikir positif, bersikap
positif, berprilaku positif,
bertindak positif, dan berpenampilan positif.
3. Meningkatkan
kualitas sosial.
Yaitu senantiasa belajar dan berlatih
melihat, menyaksikan, dan turut merasakan
penderitaan orang lain.
Sesering mungkin melihat ke bawah, yakni kepada
orang-orang yang lebih susah dan
mengalami kekurangan ekonomi, namun
sebagian mereka tetap tabah dan penuh rasa percaya diri di hadapan
Allah SWT. Sesering
mungkin memberikan bantuan
kepada orang yang benar-benar membutuhkannya, baik berupa material,
finansial, moral maupun spiritual.
4. Meningkatkan
wawasan tentang orang-orang yang berjiwa besar dan sehat secara holistik.
Yaitu dengan cara mempelajari riwayat
hidup mereka. Seperti sejarah para Nabi, sahabat-sahabat beliau, serta
auliya-Nya.
5. Meminta
bimbingan ahlinya.
Sebab
dengan melalui ahlinya
maksud dan tujuan tazkiyatun
nafs akan dapat tercapai dengan cepat, tepat mantap, dan menyelamatkan.
Apabila semua
metode di atas
telah senantiasa dapat
dilaksanakan secara konsisten, niscaya kondisi jiwa tetap senantiasa
berada dalam limpahan nur-Nya, baik dalam kondisi lapang maupun dalam kondisi
sempit. Sehingga ia akan selalu
dapat menghalau dorongan hawa
syahwat, kesenangan, kecintaan,
dan kemabukan terhadap hal-hal yang
menimbulkan syirik, dosa, dan sifat
rendah lainnya. Bahkan
hakikat dan energi
dari dorongan itu menjauh dari jiwa itu. Hal itu
disebabkan karena rasa takut dan
hormatnya terhadap jiwa yang
telah menerima ketajallian cahaya
Tuhannya menuju kesucian dan
keagungan jiwa itu.[32]
Oleh
karena itu, bagi siapa saja yang tertarik untuk mengkaji serta memahami
eksistensi dan gejala jiwa, maka ia terlebih dahulu mengkaji dan memahami
jiwanya sendiri dengan baik dan benar. Pengetahuan tentang jiwa (nafs)
ini tidak akan mungkin diraih dengan sempurna, lengkap dan utuh tanpa melalui
penghayatan dzauq (rasa yang
dalam), kasyaf (ketersingkapan mata batin) dan musyahadah (penyaksian
batin secara langsung
sebagai pelaku). Potensi ini akan
hadir dalam jiwa yang suci. Sebagaimana diisyaratkan dalam firman Allah SWT.
“Dan jiwa
serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada
jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah
orang yang mensucikan jiwa itu, Dan Sesungguhnya merugilah orang yang
mengotorinya”.[33]
Kemenangan
dan keberuntungan akan selalu dapat diraih oleh orang- orang yang mensucikan
jiwanya, sehingga ia dapat menangkap isyarat ketakwaan, itulah
jiwa muthmainnah, radhiyah dan mardhiyah. Sedangkan kekalahan dan kerugian akan selalu
diterima oleh orang-orang yang mengotori dan
memberi penyakit pada
jiwanya, sehingga ia
lebih memilih isyarat kefasikan dan kejahatan.
C. Tingkatan Tazkiyatun Nafs
Secara harfiyah
maqamat (tingkatan) berasal
dari bahasa arab
yang berarti tempat orang
berdiri atau pangkat
mulia.[34] Istilah
ini selanjutnya untuk arti
sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat
dengan Allah.
Maqamat
merupakan sisi-sisi daripada iman di mana hati menduduki pada tiap-tiap sisi
tersebut. Akan tetapi menurut At-Tirmidzi maqamat merupakan derajat atau
tingkatan yang dinaiki untuk mencapai tujuan tertinggi di dalam menuju Allah
SWT.[35]
Al-Qusyairi
di dalam kitabnya berkata: maqamat adalah kondisi yang dicapai oleh
seorang hamba, di
mana hati seorang
hamba itu berada
di dalamnya dan merasakan apa yang dialaminya dalam bentuk adab. Untuk mencapai hal
tersebut diperlukan sebuah
usaha dan melalui
permohonan disertai usaha yang sulit. Maka dari itu, maqam bagi
tiap-tiap orang adalah tempat di mana hati seseorang berada dan itu dicapai
dengan riyadlah.[36]
Menurut
As-Sarraj, yang dimaksud maqamat ialah tingkatan seorang hamba dihadapan
Allah dalam hal ibadah, mujahadah, dan riyadlah serta pemusatan
diri kepada Allah swt. yang ia tempatkan kepada-Nya.[37]
Jadi
dapat disimpulkan, maqam dikalangan kaum sufi merupakan jalan yang dapat
mengantarkan seseorang untuk
memperoleh ma’rifat (mengenal)
Allah. Namun demikian para sufi berbeda pendapat mengenai maqamat, baik
mengenai pengertiannya maupun mengenai jumlah dan perinciannya.
Muhammad
al-Kalabazy dalam kitabnya At-Ta’aruf li Mazhab Ahl At- Tasawuf, sebagaimana
dikutip oleh Harun Nasution, mengatakan bahwa maqamat itu jumlahnya ada
sepuluh, yaitu taubat, zuhud, sabar, faqr, tawadlu’ taqwa, tawakkal, ridla’,
mahabbah, dan ma’rifat.[38]
Menurut Abu
Nashr As-Siraj At-Thusi
ada tujuh maqamat, yaitu taubat, wara’, zuhud, fakir, sabar, tawakkal,
dan ridla’.[39]
Sedangkan
menurut Abu Thalib Al-Maliki
membagi sembilan maqamat, yaitu
taubat, sabar, syukur, harap,
takut, zuhud, tawakkal, ridla’, dan
mahabbah.[40]
Dalam
kitab Ihya’ Ulumuddin Al-Ghazali menjelaskan lebih dari sepuluh maqamat,
yaitu taubat, sabar, syukur, harap, takut, zuhud, tawakkal, cinta, rindu,
intim, dan ridla’.[41]
Dari
pendapat di atas memperlihatkan keadaan variasi penyebutan maqamat yang
berbeda-beda, namun ada maqamat yang
oleh mereka disepakati, yaitu taubat,
zuhud, wara’, faqr,
sabar tawakkal, dan
ridla’. Sedangkan tawadlu’, mahabbah, dan ma’rifat oleh mereka tidak
disepakati sebagai maqamat.
Terhadap tiga istilah yang
disebut terakhir itu (tawadlu’,
mahabbah, dan ma’rifat) terkadang
para ahli tasawuf
menyebutnya sebagai maqamat, dan
terkadang menyebutnya sebagai
hal dan ittihad (tercapainya kesatuan wujud rohainiah dengan
Allah).
Menurut
Ziauddin Sardar, proses tazkiyah itu dapat dilakukan malalui 6 instrumen,
yaitu dzikir (ingat
kepada Allah), ibadah
(pemujaan kepada Allah), taubat (mencari
pengampunan Allah), sabar (semangat ketekunan), hasabah (kritik diri), dan do’a
(permohonan).[42]
Menurut
Abu’Abd Al-Barra’ Sa’ad Ibn Muhammad At-Takhisi, proses tazkiyah nafs dilakukan
melalui proses yang disebutnya dengan wasilah, yaitu hubungan personal dengan
Allah. Proses itu mencakup 5 hal. Pertama, melalui pintu ‘ubudiyah
mahdah secara ikhlas. Hal ini tercermin melalui ketundukan, kepatuhan, dan
merasa butuh kepada Allah. Kedua, memperbagus ibadah, ini merupakan
wasilah terpenting dalam tazkiyah nafs dalam meningkatkan nafs di
sisi Allah. Ketiga, menerima kitab Allah dengan menghafal, membaca, tadabbur, memahami,
memegang teguh apa
yang dihalalkan dan diharamkannya. Mengambil
pelajaran dari kisah-kisahnya untuk
bekal kehidupan sehari-hari. Keempat, memahami sejarah Nabi dan
mengikuti petunjuknya. Kelima, muhasabah (introspeksi) dengan segala
kekurangan dan kelebihannya.[43]
Dalam
hal ini Al-Ghazali lebih memusatkan pada dzikir sebagai sarana proses tazkiyah
nafs. Menurutnya dzikir
dapat dikelompokkan kepada
4 macam. Pertama, menyatakan keesaan Allah (tahlil). Kedua,
mengagungkan nama-Nya (tasbih). Ketiga,
memohon ampunannya (istighfar). Keempat, memuja dzat Allah (tahmid).
Dari
semuanya ini, yang pertama adalah yang paling terbaik. Lebih lanjut ia
menguraikan ada 4 tingkatan dzikir.
Pertama, memuja Allah dengan
lidah sementara pikiran
melayang-layang. Ini adalah dzikr
yang paling rendah, sebab dzikr seperti ini tidak memberikan pengaruh
apa-apa pada jiwa. Kedua, dzikr yang dibarengi dengan
upaya, tetapi tetap
menemukan kesukaran, jika upaya tidak dilakukan, maka perhatian (konsentrasi) akan hilang.
Ketiga, pikiran tetap terpaku pada dzikir,
sehingga tidak mudah teralihkan.
Keempat, adalah dzikir
yang ditandai dengan
yang dipuja yaitu Allah telah
menguasai nafs
seluruhnya, sehingga pikiran
tidak menyadari lagi perbuatan
dzikir tersebut.[44]
Dengan proses tazkiyah
nafs, diharapakan nafs
menjadi bersih dan suci. Selanjutnya ia
akan memperoleh keberuntungan dan ia
akan disapa oleh
Allah dengan sapaan
yang lembut untuk datang
keharibaan-Nya. Dan inilah nafs yang dipanggil dengan sebutan nafs
muthmainnah.
Berdasarkan uraian
di atas dapatlah
dipahami bahwa nafs muthmainnah merupakan tingkatan
tertinggi dari rentetan strata jiwa. Pada tingkatan terakhir ini ia sudah bebas
dari sifat-sifat kebinatangan dan bebas
dari sifat insaniyah plus hayawaniyah. Ia benar-benar memiliki
kualitas insaniyah yang sempurna, sehingga berkembang ke arah sifat insaniyah
plus Ilahiyah.
D. KESIMPULAN
Tazkiyatun
nafs
adalah proses penyucian jiwa dari perbuatan syirik dan dosa, pengembangan jiwa
manusia mewujudkan potensi-potensi menjadi kualitas-kualitas moral
yang luhur (akhlakul
hasanah), proses pertumbuhan,
pembinaan akhlakul karimah (moralitas yang mulia) dalam diri dan
kehidupan manusia. Dan dalam proses perkembangan
jiwa itu terletak falah (kebahagiaan), yaitu keberhasilan manusia
dalam memberi bentuk dan isi pada keluhuran martabatnya sebagai makhluk yang
berakal budi.
E. DAFTAR PUSTAKA
Adz-Dzakiy, Hamdani
Bakran. Psikologi Kenabian;
Prophetic Psychology:
Menghidupkan Potensi dan Kepribadian Kenabian dalam Diri. Yogyakarta:
Beranda Publishing. 2007
Al-Maraghi, Ahmad
Mushtafa. Tafsir Al-Maraghi jilid II. Beirut: Dar Ihya Al-Turats
Al-Arabi. Tanpa tahun
Amiruddin, Aam. Tafsir Al-Quran
Kontemporer Juz Amma. Bandung: Khazanah Intelektual. 2005
An-Najjar, Amir. Al-Ilmu an-Nafsi as-Sufiyah, diterjemahkan oleh Hasan Abrori dengan judul: Ilmu Jiwa dalam Tasawuf: Studi Komparatif dengan Ilmu Jiwa Kontemporer.
Jakarta: Pustaka Azzam. 2000
Chittick, William C. Sufism:
A short Introduction, diterjemahkan Zaimul, Tasawuf di Mata Kaum Sufi.
Bandung: Mizan. 2002
Effendi, Djohan dalam
Jurnal Ilmu dan Kebudayaan: Ulumul Quran No. 8, Volume II,1991
Hawwa, Said. Almustakhlash
Fii Tazkiyatil Anfus. alih bahasa oleh: Ainur Rafiq Tahmid, Shaleh. Mensucikan
Jiwa: Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu. Jakarta: Robbani Press. 1999
Itris, Muhammad. Mu’jam
At-Ta’biraat Al-Quraniyah, Kairo: Dar As-Tsaqafah Lin- Nasyr. 1998
M. Solihin. Kamus
Tasawuf. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. 2002
Quswan, M. Chatib. Mengenal
Allah: Mengenal Study Ajaran Tasawuf Syaikh Abdus Samad Al-Palimbani.
Jakarta: Bulan Bintang. 1985
Qutub, Sayyid .Tafsir Fi
Dzilalil Quran. Beirut Libanon: Ihya Al-Turats Al-Arabi. 1967
Razi,
Imam Fakhr. Tafsir Al-Kabir jilid IV. Beirut: Dar Ihya At-Turats
Al-Arabi. Tanpa tahun
Ridha,
Muhammad Rasyid: Tafsir Al-Manar. Mesir: Maktabat Al-Qahirat. Tanpa
tahun
Shihab, M. Quraish. Tafsir
Al-Mishbah Vol. 15. Jakarta, Lentera Hati. 2002
Simuh, Tasawwuf dan
Perkembangan Dalam Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Pustaka 1996
Yunus, Mahmud. Kamus
Bahasa Arab Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung. 1990
[1] Al-Quran surat Al-Jum’ah/62: 2
[2] M. Solihin, Kamus
Tasawuf, (Bandung, PT. Remaja Rosda Karya, 2002), hlm. 234
[3] William C.
Chittick, Sufism: A short Introduction, diterjemahkan Zaimul, Tasawuf
di Mata Kaum Sufi, (Bandung, Mizan, 2002), hlm. 84-85
[4] Al-Quran surat
Asy-Syams/91: 9-10
[5] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta, Lentera Hati, 2002), Vol. 15, hlm.
300
[6] Ibid. hlm. 301
[7] Ibid. hlm. 301
[8] Sayyid Qutub, Tafsir Fi
Dzilalil Quran, (Bairut Lubnan, Ihya Al-Turats Al-Arabi, 1967) atau dalam,
Al-Hayatu Fi Dzilalil Quran, Digital, hlm. 3915
[9] Muhammad Itris,
Mu’jam At-Ta’biraat Al-Quraniyah, (Kairo, Dar As-Tsaqafah Lin- Nasyr,
1998), Cet. I, hlm. 560
[10] Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir
Al-Manar, (Mesir, Maktabat Al-Qahirat), juz 4, hlm.222-223
[11] Said Hawwa, Almustakhlash
Fii Tazkiyatil Anfus, alih bahasa oleh: Ainur Rafiq Shaleh Tahmid, Lc, Mensucikan
Jiwa: Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu, (Jakarta, Robbani Press, 1999), hlm.
2.
[12] Imam Fakhr Razi, Tafsir
Al-Kabir, (Beirut, Dar Ihya At-Turats Al-Arabi, tth), cet. III, jilid IV,
hlm. 67
[13] Ahmad Mushtafa Al-Maraghi, Tafsir
Al-Maraghi, (Beirut, Dar Ihya Al-Turats Al-Arabi), jilid II, hlm. 123
[14] Imam Fakhr
Razi, Op.Cit., hlm. 80
[15] Ibid, jilid IV, hlm. 143
[16] Djohan Effendi, dalam Jurnal
Ilmu dan Kebudayaan: Ulumul Quran No. 8, Volume II,1991, hlm. 5
[17] Aam Amiruddin,
Tafsir Al-Quran Kontemporer Juz Amma, (Bandung, Khazanah Intelektual, 2005), Jilid II, hlm.
35
[18] Al-Quran surat
Al-Hasyr/59:18
[19] Al-Quran surat
Ali Imron/3: 133
[20] Al-Quran surat
Al-Kahfi/18: 28
[21] Al-Quran surat
Al-Mu’min/40: 60
[22] Al-Quran surat At-Taubah/9: 103
[23] Al-Quran surat
Al-Lail/92: 18
[24] Al-Quran surat
Fatir/35: 18
[25] Al-Quran surat
An-Nur/24: 28
[26] Al-Quran surat
An-Nur/24: 30
[27] Al-Quran surat Al-Baqarah/2: 129
[28] Al-Quran surat
Ali Imran/3: 164
[29] Al-Quran surat Al-Jumuah/62: 2
[30] Al-Quran surat
An-Nur/24: 21
[31] Al-Quran surat An-Nisa’/4: 49
[32] Hamdani Bakran
Adz-Dzakiy, Psikologi Kenabian;
Prophetic Psychology:
Menghidupkan Potensi dan Kepribadian Kenabian dalam Diri, (Yogyakarta,
Beranda Publishing, 2007), hlm. 115
[33] Al-Quran surat Asy-Syams/91:
7-10
[34] Mahmud Yunus, Kamus Bahasa
Arab Indonesia, (Jakarta, Hidakarya Agung, 1990), hlm.362
[35] Amir An-Najjar, Al-Ilmu an-Nafsi as-Sufiyah, diterjemahkan
oleh Hasan Abrori dengan
judul: Ilmu Jiwa dalam Tasawuf: Studi Komparatif dengan Ilmu Jiwa Kontemporer, (Jakarta,
Pustaka Azzam, 2000), hlm. 224
[36] Ibid
[37] M. Chatib Quswan, Mengenal
Allah: Mengenal Study Ajaran Tasawuf Syaikh Abdus Samad Al-Palimbani,
(Bulan Bintang, Jakarta, 1985), hlm. 52
[38] Harun Nasution, Op. Cit,
hlm. 62
[39] Simuh, Tasawwuf dan
Perkembangan Dalam Islam, (PT. Raja Grafindo Pustaka, Jakarta,
1996), hlm. 49
[40] M. Chatib Quswan, Op.Cit,
hlm. 52
[41] Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin Juz IV, hlm. 3-345
[42] Ziauddin Sardar, Rekayasa
Masa Depan Peradaban Islam, Diterjemahkan oleh Rahman
Astuti, (Bandung, Pustaka, 1987),
hlm. 279
[43] Abd Al-Barra’ Sa’ad Ibn Muhammad
At-Takhisi, Tazkiyah Nafs, diterjemahkan oleh Muqimuddin Saleh (Solo:
Pustaka Mantiq, 1996), hlm. 106-115
[44] M. Abu
Al-Qasim, Etika Al-Ghazali, diterjemahkan oleh J.
Muhyiddin, (Bandung, Pustaka,
1988), hlm. 236-237