Jumat, 01 Juli 2016

PEMIKIRAN PENDIDIKAN IBNU SINA



PEMIKIRAN PENDIDIKAN IBNU SINA

oleh 
Muhammad Syamsuddin
Mahasiswa Pascasarjana IAIN Pekalongan
2016 

A.    Pendahuluan
Konsep pendidikan menurut Ibnu Sina bertujuan untuk  mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki seseorang kearah yang sempurna, yaitu perkembangan  fisik, intelektual  dan  budi  pekerti.  Selain  itu, tujuan pendidikan harus diarahkan pada upaya mempersiapkan seseorang agar dapat hidup  di masyarakat  secara bersama-sama  dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya sesuai dengan bakat,  kesiapan, kecenderungan dan potensi yang dimilikinya. 
Sedangkan  konsep pendidikan modern, yaitu pendidikan  yang menyentuh setiap aspek kehidupan peserta didik, pendidikan merupakan  proses belajar yang terus menerus, pendidikan  dipengaruhi oleh kondisi-kondisi  dan  pengalaman, baik didalam maupun diluar situasi sekolah. Pendidikan disyaratkan oleh kemampuan dan minat peserta didik, juga tepat tidaknya situasi belajar dan efektif  tidaknya  cara mengajar.

B.     Biografi Ibnu Sina
Ibnu sina adalah tokoh kenamaan dalam sejarah ilmu dan filsafat. Ia termasuk filsuf muslim terbesar yang menonjol dalam filsafat, fisika dan kedokteran, Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu ‘Ali Husin Ibnu ‘Abdullah Ibnu Hasan  Ibnu  ‘Ali  Ibnu  Sina.[1]  Penyebutan  nama  ini  telah  menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan para ahli sejarah. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa nama tersebut diambil dari bahasa latin Aven Sina dan sebagian yang lain mengatakan bahwa nama tersebut diambil dari kata al-shin yang dalam bahasa Arab berarti Cina. Selain itu ada pula pendapat yang mengatakan bahwa nama tersebut dihubungkan dengan nama tempat kelahirannya, yaitu Afshana.
Ibnu Sina dilahirkan di desa Akhshanah, dekat Bukhara pada tahun 370 H/  980M.  para  ulama  berbeda  pendapat tentang  tahun  kelahirannya.  Al- Qibti dan Ibnu Khalkan mengatakan kelahiran Ibnu Sina pada tahun 370/980. Ibnu Abi ‘Ushaibiah mengatakan pada tahun 375 H /985 M. Keluarga  Ibnu  Sina  memang  menaruh perhatian serius terhadap ilmu dan pendidikan, yang berpengaruh besar bagi karir intelektualnya kelak. Selain itu masa di mana Ibnu Sina hidup merupakan masa kejayaan Abasiyah dalam hal ilmu dan pendidikan, meskipun sangat kontras dengan situasi politik yang tengah mengalami banyak konflik dan perpecahan.
Karya tulis Ibnu Sina:
1.      Kitab Qanun fi al-Thibb (Canon of Medicine)
2.      Kitab Ash-Syifa
3.      Kitab An-Najat
4.      Kitab fi Aqsami al-‘Ulumi al-Aqliyyah.
5.      Kitab Lisanu al-‘Arab.
6.      Kitab Al-Isharat wa al-Tanbihat.[2]

C.    Konsep Pendidikan
Pemikiran Ibnu Sina tentang pendidikan terkait dengan pemikirannya tentang falsafat ilmu. Menurut Hasan Langgulung pemikiran pendidikan Ibnu Sina dalam falsafat praktisnya memuat  tentang  ilmu  akhlak,  ilmu tentang urusan rumah tangga, politik dan syariah. Karya tersebut pada prinsipnya berkaitan dengan cara mengatur dan membimbing manusia dalam berbagai tahap dan sistem. Pembahasan diawali dari pendidikan individu.Yaitu bagaimana seseorang   mengendalikan diri.
Dalam memformulasikan konsep pendidikan, Ibnu Sina sangat menekankan pada pendidikan akhlak. Bila akhlak suatu bangsa telah rusak, maka bangsa tersebut pasti akan hancur pula. Selanjutnya  Ibnu  Sina  membagi  tingkat  pendidikan  menjadi  dua bagian diantaranya adalah:
1.      Tingkat umum. Pada tingkat ini anak dilatih untuk dapat belajar mempersiapkan badan jasmaninya, akal dan jiwanya pada tingkat ini anak diberi pelajaran membaca, menulis, al-Qur’an, masalah-masalah penting dalam agama dasar-dasar bahasa dan sastra.
2.      Tingkat khusus, pada tingkat ini anak dipersiapkan untuk menuju suatu profesi yaitu mereka dilatih untuk melakukan praktek yang berkaitan dengan masalah kehidupan. Karena jika hanya memiliki rasa ingin tahu saja belum cukup tetapi harus berlatih terus menerus. Di sini Ibnu Sina hendak mengarahkan menuju profesi-profesi dan bakat-bakat yang sesuai dengan   kemampuan dan cocok  dengan  kecenderungan- kecenderungan anak didik.

D.    Tujuan dan Sasaran Pendidikan
Ibnu Sina mengemukakan bahwa tujuan  pendidikan  adalah  pendidikan  harus  diarahkan  pada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki oleh seseorang ke arah perkembangannya yang sempurna, yaitu perkembangan fisik, intelektual dan budi pekerti.[3]  Selain itu tujuan pendidikan menurut Ibnu Sina harus diarahkan pada upaya mempersiapkan seseorang agar dapat hidup di masyarakat secara bersama-sama dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan, kecenderungan dan potensi yang dimilikinya.
Ibnu Sina sees the aims of education as the overall growth of the individual: physical, mental and moral; followed by preparation of this individual to live in society through a chosen trade according to his aptitudes. So Avicennian education does not neglect physical development and everything implied by it: physical exercise, food and drink, sleep and cleanliness. It does not aim exclusively at intellectual development and the amassing of knowledge; likewise Ibn Sina does not devote his attention to the moral aspect alone, but aims at the formation of a personality complete in body, mind and character.[4]
Tujuan pendidikan juga harus berorientasi memberikan keterampilan-keterampilan kepada anak didiknya. Menurut Ibnu Sina hal ini ditujukan  pada  pendidikan bidang perkayuan, penyablonan, dan sebagainya. Sehingga akan muncul tenaga-tenaga pekerja profesional yang mampu mengerjakan pekerjaan  secara profesional. Pendidikan keterampilan ini bertujuan untuk mempersiapkan  anak  dalam  mencari biaya hidup, dalam hal ini Ibnu Sina mengintegrasikan antara nilai-nilai idealitas dengan pandangan pragmatis, sebagaimana ia katakan, “Jika anak sudah selesai belajar al-Qur’an dan menghafal dasar-dasar gramatika, saat itu amatilah apa yang ia inginkan mengenai pekerjaan, maka arahkanlah ke arah itu.” Oleh karena itu hendaknya mereka mengarahkan pendidikan anak-anak kepada apa yang menjadikan mereka baik, kemudian menuangkan  pengetahuan  mereka  pada  prinsip  yang  ditetapkan  yang bersifat khusus.[5]
Pemikiran ini juga yang masih sangat relevan pada pendidikan   modern   ini.   Dimana instansi pendidikan, SMK pada khususnya menerapkan atau membekali anak didiknya keterampilan- keterampilan yang akan bermanfaat di kemudian hari dan akan menjadi nilai ekonomisnya. Selain itu, tujuan pendidikan yang paling esensial yaitu harus membentuk manusia yang berkepribadian akhlak mulia. Ibnu Sina mengemukakan  bahwa  ukuran  akhlak  mulia  tersebut  dijabarkan  secara luas yang meliputi segala aspek kehidupan manusia. Aspek-aspek kehidupan yang menjadi syarat bagi terwujudnya suatu sosok pribadi berakhlak mulia meliputi aspek pribadi, sosial, dan spiritual. Ketiganya harus berfungsi secara integral dan komprehensif. Pembentukan akhlak mulia ini juga bertujuan untuk mencapai kebahagiaan (sa’adah). Kebahagian menurut Ibnu Sina dapat diperoleh manusia secara bertahap
Untuk  terciptanya  sosok  manusia  yang  berakhlak,  maka  harus dimulai dari dirinya sendiri, serta ditunjang kesehatan jasmani dan rohani. Bila kondisi ini dimiliki, maka manusia akan mampu menjalankan proses mu’amalah dengan teman pergaulan dan lingkungannya, serta mampu mendekatkan diri kepada Allah, bahkan pada akhirnya mampu melakukan ma’rifat kepada Allah. Kondisi yang demikian merupakan puncak dari tujuan pendidikan manusia.[6]
Mengenai pendidikan yang bersifat jasmani, Ibnu Sina mengatakan hendaknya tujuan pendidikan tidak melupakan pembinaan fisik dan segala suatu yang berkaitan dengannya, seperti olahraga, makan, minum, tidur dan menjaga kebersihan.[7] Melalui pendidikan jasmani atau olahraga, seorang anak diarahkan agar terbina pertumbuhan fisiknya dan cerdas otaknya. Sedangkan pendidikan budi pekerti diharapkan seorang anak memiliki kebiasaan bersopan santun dalam pergaulan hidup sehari-hari. Dengan adanya pendidikan kesenian seorang anak diharapkan dapat mempertajam perasaannya dan meningkat daya khayalnya.
Sedangkan mengenai sasaran pendidikan, menurut Ibnu Sina pendidikan dimulai sejak dini yaitu melalui pendidikan individu. Dalam pendidikan individu ini lebih ditekankan pada pendidikan akhlak yaitu bagaimana seseorang dapat mengendalikan akhlaknya.[8] Pada pendidikan individu ini pada hakekatnya masih menjadi tanggung jawab orang tua. Karena di dalam keluarga anak meniru segala macam akhlak yang dilakukan oleh orang tuanya.
Setelah pendidikan individu dilaksanakan, kemudian dilanjutkan pada pendidikan dan bimbingan kepada keluarga. Pendidikan ini masih juga menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya. Setelah melalui pendidikan keluarga barulah dilanjutkan pada pendidikan masyarakat dan terakhir pada pendidikan seluruh umat manusia. Di dalam memberikan pendidikan kepada masyarakat dan kepada umat manusia secara umum merupakan tanggung jawab bersama.

E.     Kurikulum Pendidikan Islam Perspektif Ibnu Sina
Ibnu Sina merumuskan kurikulum didasarkan kepada tingkat perkembangan usia anak didik. Berikut ini klasifikasi kurikulumnya berdasarkan perkembangan usia anak didik:
1.      Usia 3 sampai 5 tahun.
Menurut Ibnu Sina, diusia ini perlu diberikan mata pelajaran olah raga, budi pekerti, kebersihan, seni suara, dan kesenian. Olahraga sebagai pendidikan jasmani, Ibnu Sina memiliki pandangan yang  banyak dipengaruhi oleh pandangan psikologinya. Menurutnya ketentuan dalam berolahraga harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan usia anak didik  serta  bakat  yang  dimilikinya.[9] Dengan  cara  demikian  dapat diketahui dengan pasti mana saja di antara anak didik yang perlu diberikan pendidikan olahraga sekedarnya saja, dan mana saja di antara anak didik yang perlu dilatih berolahraga lebih banyak lagi. Ia juga merinci olahraga mana saja yang memerlukan dukungan fisik yang kuat serta keahlian; dan mana pula olahraga yang tergolong ringan, cepat, lambat, memerlukan peralatan   dan   sebagainya. Menurutnya semua jenis olahraga ini disesuaikan dengan kebutuhan bagi kehidupan anak didik Pelajaran olahraga atau gerak badan tersebut diarahkan untuk membina kesempurnaan pertumbuhan fisik anak dan fungsi organ tubuh secara optimal. Hal ini penting mengingat fisik adalah tempat bagi jiwa atau akal yang harus dirawat agar tetap sehat dan kuat.
Regarding the need for play and exercise in that stage, Ibnu Sina says: ‘When the child wakes from sleep, it is best for him to be bathed, then let him play for an hour; then he is given a little food to eat, then he is allowed to play for a long time, then he is bathed, then fed. Children should not be allowed to drink water straight after food, for then it would go into their system raw without being digested'. Games form a necessary element in the child's life at this stage, whereby he acquires various physical and motor skills. He also learns how to live in a group and benefit from that life.[10]
Pelajaran budi pekerti diarahkan untuk membekali anak didik agar memiliki kebiasaan sopan santun dalam bergaul setiap harinya. Pelajaran budi pekerti ini sangat dibutuhkan dalam rangka membina kepribadian anak didik sehingga jiwanya menjadi suci, terhindar dari perbuatan- perbuatan buruk yang dapat mengakibatkan jiwanya rusak dan sukar diperbaiki kelak di usia dewasa. Dengan demikian, Ibnu Sina memandang pelajaran akhlak sangat penting ditanamkan kepada anak sejak usia dini.[11]
Menurut Ibnu Sina, pendidikan akhlak harus dimulai dari keluarga dengan keteladanan dan pembiasan secara berkelanjutan sehingga terbentuk karakter atau kepribadian yang baik bagi anak didik. Pendidikan kebersihan juga mendapat perhatian dari Ibnu Sina. Pendidikan ini diarahkan agar anak didik memiliki kebiasaan mencintai kebersihan yang juga menjadi salah satu ajaran mulia dalam Islam. Ibnu Sina mengatakan, bahwa pelajaran hidup bersih dimulai dari sejak anak bangun tidur, ketika hendak makan, sampai ketika hendak tidur kembali. Dengan cara demikian, dapat diketahui mana saja anak yang telah dapat menerapkan hidup sehat, dan mana saja anak yang berpenampilan kotor dan kurang sehat.
2.      Usia 6 sampai 14 tahun.
Pelajaran untuk anak usia 6 sampai 14 tahun menurut Ibnu Sina adalah mencakup pelajaran membaca dan menghafal al-Qur'an, pelajaran agama, pelajaran sya'ir, dan pelajaran olahraga.  Pelajaran al-Qur'an dan pelajaran   agama adalah pelajaran pertama dan yang paling utama diberikan kepada anak yang sudah mulai berfungsi rasionalitasnya.
At this stage, children learn ‘the principles of Islamic culture', from the Qur'an and Arabic poetry, calligraphy, and Islamic rules of good conduct. This is a common stage for all children, since preferences have not yet appeared. Later, aptitudes make their appearance, and in accordance with these every individual can be given particular instruction.[12]
Pelajaran membaca dan menghafal al-Qur'an menurut Ibnu Sina berguna disamping untuk mendukung pelaksanaan ibadah yang memerlukan bacaan ayat-ayat al-Qur'an,  juga  untuk mendukung keberhasilan dalam mempelajari agama Islam seperti pelajaran tafsir al-Qur'an, fiqih, tauhid, akhlak dan pelajaran agama lainnya yang sumber utamanya adalah al- Qur'an. Selain itu pelajaran membaca dan menghafal al-Qur'an juga mendukung keberhasilan dalam mempelajari bahasa Arab, karena dengan menguasai al-Qur'an berarti ia telah menguasai ribuan kosa kata bahasa Arab atau bahasa al-Qur'an.
Pelajaran  keterampilan diperlukan untuk mempersiapkan  anak mampu mencari penghidupannya kelak. Dalam pendidikan modern pelajaran   ini   dikenal   dengan   vokasional.[13]  Setelah anak   diajarkan membaca al-Qur'an, menghafal dasar-dasar bahasa, barulah dilihat kepada pekerjaan yang akan dikerjakannya dan ia dibimbing menuju ke arah pekerjaan tersebut. Jika anak ingin menjadi juru tulis maka haruslah ia diajar surat menyurat, pidato, diskusi, dan perdebatan dan lain-lain lagi.
Pelajaran sya'ir tetap dibutuhkan di usia ini sebagai lanjutan dari pelajaran seni pada tingkat sebelumnya. Anak perlu menghafal sya'ir-sya'ir yang mengandung nilai-nilai pendidikan akan sangat berguna dalam menuntun perilakunya, di samping petunjuk al-Qur'an dan Sunnah. Pelajaran ini dimulai dengan menceritakan syair-syair yang menceritakan anak-anak yang glamour, sebab lebih mudah dihafal dan mudah menceritakannya serta bait-baitnya lebih pendek. Kemudian Ibnu Sina menolak ungkapan "seni adalah untuk seni", ia berpendapat bahwa seni dalam syair merupakan sarana pendidikan akhlak.
Pelajaran olah raga harus disesuaikan dengan tingkat usia ini. Dari sekian banyak  olahraga,  menurut  Ibnu  Sina,  yang  perlu  dimasukkan  ke dalam  kurikulum  atau  rancangan  mata  pelajaran  pada  usia  ini  adalah olahraga adu kekuatan, gulat, meloncat, jalan cepat, memanah, berjalan dengan satu kaki dan mengendarai unta.  Tentu semua ini berdasarkan kebutuhan anak didik dan disesuaikan dengan tingkat perkembangannya.
Berdasarkan pemikiran di atas, jika pada usia 3 sampai 5 tahun lebih ditekankan pada aspek afektif atau pendidikan akhlak, maka pada usia 6 sampai 14 tahun telah diberikan pelajaran yang menyentuh aspek kognitif. Bahkan pada usia ini telah diajarkan al-Qur’an dengan membaca, menghafal, dan memahami tata bahasanya. Dengan demikian aspek afektif dan psikomotor sudah banyak mendapat sentuhan. Hal ini beralasan mengingat pada usia ini, otak anak didik telah berkembang dan mulai mampu memahami persoalan yang abstrak.
3. Usia 14 tahun keatas.
Pada usia 14 tahun ke atas, Ibnu Sina memandang mata pelajaran yang harus diberikan kepada anak didik berbeda dengan usia sebelumnya. Mata pelajaran yang diberikan pada usia ini sangat banyak jumlahnya. Namun pelajaran   tersebut perlu dipilih sesuai dengan bakat dan minat anak. Hal ini menunjukkan perlu adanya pertimbangan dengan kesiapan anak didik. Dengan cara demikian, anak akan memiliki kesiapan untuk menerima pelajaran tersebut dengan baik.
Ibnu Sina menganjurkan kepada para pendidik agar memilih jenis pelajaran yang berkaitan dengan keahlian tertentu yang dapat dikembangkan lebih lanjut oleh anak didiknya. Jadi, pada usia ini anak didik diarahkan untuk menguasai suatu bidang tertentu (spesialisasi bidang keilmuwan).
This comes after the child has completed general primary teaching, and his aptitudes have become apparent either to continue in the field of education or to learn a craft and earn a living. In the light of these aptitudes, the young person defines for himself the type of study or the type of vocational work that appeals to him during the higher or specialized stage.[14]

F.     Metode Pembelajaran Menurut Ibnu Sina
Ibnu Sina merumuskan konsep metode pembelajaran dalam pemikirannya di bidang pendidikan. Bahkan Ibnu Sina merumuskan metode yang berbeda antara materi pelajaran yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan ini mempertimbangkan karakteristik dari masing- masing materi pelajaran dan juga mempertimbangkan tingkat perkembangan psikologis tiap anak didik
1.      Metode talqin digunakan dalam mengajarkan membaca al-Qur’an, mulai dengan cara memperdengarkan bacaan al-Qur’an kepada anak didik sebagian demi sebagian. Setelah itu anak tersebut disuruh menerdengarkan dan  mengulangi bacaan tersebut perlahan-lahan dan dilakukan berulang-ulang hingga akhirnya anak didik tersebut hafal secara keseluruhan.[15]
2.      Metode demonstrasi digunakan dalam proses pembelajaran yang bersifat praktik, seperti cara mengajar dan menulis. Menurut Ibnu Sina jika seorang guru akan menggunakan metode demonstrasi ini dalam mengajar menulis huruf hijaiyah, maka terlebih dahulu guru mencontohkan tulisan huruf hijaiyah sesuai dengan makhraj-nya dan dilanjutkan dengan mendemonstrasikan cara menulisnya.[16]
3.      Metode   pembiasaan   dan   keteladanan;   metode   yang   paling   efektif, khususnya dalam mengajarkan akhlak kepada anak didik. Cara tersebut secara umum dilakukan dengan pembiasaan dan teladan yang disesuaikan denga perkembangan jiwa anak. Ibnu Sina berpendapat adanya pengaruh “mengikuti   dan   meniru”   atau   contoh   tauladan   baik   dalam   proses pendidikan di kalangan anak pada usia dini terhadap kehidupan mereka, karena secara tabi’iyah anak mempunyai kecenderungan untuk mengikuti dan meniru (mencontoh) segala yang dilihat, dirasakan dan didengar. suatu kewajiban bagi seorang guru adalah mendidik anak didik. dengan sopan santun, membiasakannya dengan perbuatan yang terpuji, sebelum kebiasaan jelek mempengaruhinya.
4.      Metode diskusi; dilakukan dengan cara menyajikan pelajaran di mana anak didik dihadapkan kepada suatu maslah yang berupa pertanyaan yang bersifat problematis untuk dibahas dan dipecahkan bersama. Ibnu Sina menggunakan metode ini untuk mengajarkan pengetahuan yang bersifat rasional dan teoritis.[17] Pengetahuan model ini pada masa Ibnu Sina berkembang  pesat.  Jika  pengetahuan tersebut  diajarkan  dengan  metode ceramah, maka para siswa akan tertinggal jauh dari perkembangan ilmu pengetahuan tersebut.
5.      Metode magang; Ibnu Sina menggunakan metode ini dalam mengajarkan ilmu kedokterannya. Ketika para muridnya belajar ilmu kedokteran ini, mereka  dianjurkan  agar  menggabungkan  teori  dan  praktik.  Metode  ini akan menimbulkan manfaat ganda, yaitu disamping mempermahir anak didik dalam suatu bidang ilmu, juga akan mendatangkan keahlian dalam bekerja yang menghasilkan kesejahteraan secara ekonomis. Metode ini disebut juga dengan metode learning by doing (belajar sambil bekerja).
6.      Metode   penugasan;   metode   ini   dapat   dilakukan   dengan   menyusun sejumlah modul atau naskah kemudian menyampaikan kepada anak didik untuk dipelajarinya. Cara ini pernah dilakukan kepada salah satu muridnya yang  bernama  Abu  ar-Raihan  al-Biruni  dan  Abi  Husain  Ahmad  as- Suhaili.[18]
7.      Metode  targhib  dan  tarhib, dalam  pendidikan     modern  dikenal dengan istilah reward yang berarti ganjaran, hadiah, penghargaan atau imbalan dan merupakan salah satu alat pendidikan dan membentuk reinforcement yang positif, sekaligus sebagai motivasi yang baik. Tetapi dalam  keadaan  terpaksa,  metode  hukuman  (tarhib)  atau  punishment dapat  dilakukan  dengan  cara  diberi  peringatan  dan  ancaman  terlebih dahulu. Jangan menindak anak dengan kekerasan, tetapi dengan kehalusan hati, lalu diberi motivasi dan persuasi dan kadang-kadang dengan muka masam atau dengan cara agar anak didik kembali pada perbuatan baik. Tetapi jika sudah   terpaksa memukul, cukuplah satu kali yang menimbulkan rasa sakit, dan dilakukan setelah memberi peringatan keras dan menjadikan sebagai alat penolong untuk menimbulkan pengaruh yang positif dalam jiwa anak.

G.    Konsep Guru/Pendidik Perspektif Ibnu Sina
Guru memiliki peran yang sangat penting  dalam  pendidikan. Keberadaan guru secara langsung akan mempengaruhi anak didiknya. Oleh karena itu konsep seorang guru haruslah baik dan ideal. Menurut Ibnu Sina guru yang baik dan ideal adalah guru yang berakal cerdas, beragama, mengetahui  cara  mendidik  akhlak,  cakap  dalam  mendidik  anak, berpenampilan tenang, jauh dari berolok-olok dan main-main di hadapan muridnya, tidak bermuka masam, sopan santun, bersih dan suci. Selain itu guru harus mengutamakan kepentingan umat daripada kepentingan diri sendiri, menjauhkan diri dari meniru sifat raja dan  orang-orang yang berakhlak rendah, mengetahui etika dalam  majelis ilmu, sopan dan santu dalam berdebat, berdiskusi dan bergaul.
Ibnu Sina says: ‘The educator must be intelligent, a man of religion, skilful at instructing children, dignified, calm, far removed from foolishness or pleasantries, not given to levity or slackness in the youth's presence; neither rigid nor dull; on the contrary, he should be kind and understanding, virtuous, clean and correct. He is one who has served the leaders of the nation, knows the kingly virtues in which they take pride and the correct manners used in society.[19]
Ibnu Sina juga menekankan agar seorang guru tidak hanya mengajarkan ilmu dari segi teoritis saja kepada anak didiknya, melainkan juga melatih segi keterampilan,  mengubah  budi  pekerti  dan  kebebasan  anak  didik  dalam berfikir. Ibnu Sina menekankan adanya perhatian yang seimbang antara aspek penalaran (kognitif) yang diwujudkan dalam pelajaran bersifat pemahaman; aspek penghayatan (afektif) yang diwujudkan dalam pelajaran bersifat perasaan; dan aspek pengamalan (psikomotor) yang diwujudkan daalam pelajaran praktik.
Sedangkan  hal  yang  berkaitan  dengan  pemberian  pelajaran,  seorang guru hendaknya memberikan cara pengajaran yang pertengahan, seorang guru juga  jangan  menampilkan  sikap  yang  menyebabkan  anak  didik  tidak terdorong untuk mengajukan pertanyaan atau meminta menjelaskan sesuatu, dan tidak juga memberikan kesempatan kepada anak didik untuk menjadi anak yang kurang ajar dan tidak memberikan perhatian terhadap guru dan pelajaran.
Seorang guru harus mempelajari anak didik dengan hati-hati, melatih bakat, dan temperamennya dan mengetes kecerdasan yang memungkinkan ia dapat pekerjaan yang memungkinkan ia dapat menggunakan bakat, pembawaan dan kecerdasan. Seorang anak juga jangan dibiarkan membaca semua masalah sendirian yang menyebabkan ia merasa tertekan dan tidak bahagia. Seorang guru harus banyak menyertai para anak didik sepanjang dengan berhubungan penghormatan kepada keluarganya.[20]
Ibnu Sina sangat menganjurkan sekali agar para pendidik dapat memahami minat dan menjadikannya dasar untuk membimbing dan mendidik mereka. Adapun kriteria guru yang baik menurut Ibnu Sina adalah guru yang memiliki wawasan keagamaan dan etika (Dha’din wa khuluq), kepribadian yang kokoh, kecerdasan dan retorika yang baik (Labib wa Huluw Al-Hadith) dan kegiatan dalam memilih metode yang pas bagi pendidikan anak serta mempunyai kompetensi profesional di dalam pembentukan kepribadian anak didik.
Seorang  guru  harus  mampu  memverifikasi  soft  skill  yang  layak dikonsumsi  oleh  anak  didik.  Kompetensi  dasar  anak  didik  kiranya  harus menjadi orientasi pertama pelaksanaan proses pembelajaran atau pendidikan, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Sina, ”Sebaiknya guru ketika memilih materi pelajaran (ketrampilan dan keahlian) harus terlebih dahulu mementingkan tabi’at, mengukur atau menguji potensi, dan menguji kecerdasan si anak. Juga perlu dipertimbangkan apakah metode, alat dan strategi pembelajaran yang digunakan sudah sesuai ataukah belum, apakah semua itu mampu memobilisasi potensi anak didik ataukah tidak, apakah semua itu mendekatkan diri anak pada kesuksesan ataukah justru menjauhkannya.” 

H.      Relevansi dengan Pendidikan Modern
Dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[21]
Maka, berdasarkan pengertian UU di atas, konsepsi pendidikan Ibnu Sina ini masih sangat relevan bila diaplikasikan di zaman sekarang. Mengingat, pendidikan yang diaplikasikan oleh Ibnu Sina ini sesuai dengan kebutuhan era sekarang, bahkan di sekolah-sekolah unggulan saat ini masih banyak yang mengusung model pendidikan seperti yang diaplikasikan oleh Ibnu Sina, mulai dari tujuan pendidikannya sampai kriteria seorang guru yang diharapkan dalam pendidikan Islam. Dengan demikian, konsep yang diimplementasikan oleh Ibnu Sina benar-benar mengupayakan peningkatan mutu pendidikan Islam.
Sedangkan dari uraian pemikiran Ibnu Sina tentang konsep kurikulum yang ditawarkannya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.      Dalam penyusunan kurikulum hendaklah mempertimbangkan aspek psikologis anak.
2.      Kurikulum yang diterapkan harus mampu mengembangkan potensi anak secara optimal dan harus seimbang antara jasmani, intelektual, dan akhlaknya. Usia dini, pendidikan akhlak harus lebih ditekankan. Pada usia remaja diseimbangkan antara afektif, psikomotor dan kognitif. Sedangkan diusia 14 tahun ke atas ditekankan pada pendalaman materi sesuai dengan keahlian yang ia mampu dan sukai. Artinya, diperlukan spesifikasi keilmuwan sehingga ia ahli di bidang tertentu.
3.      Kurikulum yang ditawarkan Ibnu Sina bersifat pragmatis-fungsional, yakni dengan melihat segi kegunaan dari ilmu dan keterampilan yang dipelajari sesuai dengan tuntutan masyarakat, atau berorientasi pasar (marketing  oriented).
4.      Kurikulum yang disusun harus berlandaskan kepada ajaran dasar dalam Islam, yaitu al-Qur’an dan Sunnah sehingga anak didik akan memiliki iman, ilmu, dan amal secara integral. 
5.      Kurikulum yang ditawarkan adalah kurikulum berbasis akhlak dan bercorak integralistik. Pentingnya pendidikan seni dan syair merupakan bukti bahwa Ibnu Sina memberikan perhatian yang serius terhadap pendidikan akhlak.
Lebih jauh, mengenai metode, Ibnu Sina menawarkan empat karateristik:
1.      Pemilihan dan penerapan metode harus disesuaikan dengan karakteristik  materi  pelajaran. 
2.      Metode juga diterapkan dengan mempertimbangkan  psikologis anak didik, termasuk bakat dan minat anak.
3.      Metode yang ditawarkan tidaklah kaku, akan tetapi dapat berubah sesuai dengan kondisi dan kebutuhan anak didik.
4.      Ketepatan dalam memilih dan menerapkan metode sangat menentukan keberhasilan pembelajaran.
Tampaknya, karakter metode yang ditawarkan  ini masih tetap relevan dengan tuntutan zaman hingga saat ini. Itu artinya Ibnu Sina memang memahami konsep pendidikan baik secara teoritis maupun secara praktis sehingga pemikiran yang ia kemukakan tidak hanya berlaku pada masanya, melainkan jauh melampaui  masa tersebut. Sedangkan materinya tetap fleksibel sesuai dengan kebutuhan zaman.

I.    Penutup
Konsep   pendidikan   Ibn   Sina   yaitu   pendidikan   yang   menekankan pendidikan akhlak. Akhlak ini berperan sebagai filter dalam proses tercapainya tujuan pendidikan Islam. Pendidikan Ibn Sina didesain untuk membina bakat dan minat anak didik yang nantinya berguna pada dirinya kelak ketika dia dewasa.

J.       Daftar Pustaka
Ahmad D. Marimba, Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: PT. Al-Ma’arif. 1990
Alavi, Ziauddin. Pemikiran  Pendidikan  Islam  pada  Abad  Klasik  dan  Pertengahan. Bandung: Angkasa. 2003
Ali al-Jumbulati dan Abdul Futuh At-Tuwanisi, Perbandingan Pendidikan Islam, Terj. H.M. Arifin Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994
Ismail, Fuad Farid. Cara Mudah Belajar Filsafat Barat dan Islam. Jogjakarta: IrCiSod. 2012
Nata, Abuddin. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Suatu Kajian Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2003
Ramayulis  dan  Samsul  Nizar.  Ensiklopedi  Tokoh  Pendidikan  Islam. Ciputat:  Quantum Teaching. 2005
Undang-undang SISDIKNAS 2003

Abd al Rahman al Naqib. “AVICENNA”. Jurnal International Bureau of Education, Vol. XXIII. Paris: UNESCO. 1993
Susilawati, “Konsep Pendidikan Islam menurut Al-Ghozali dan Ibnu Sina”. Jurnal Fokus. Volume 4, Nomor 2. Desember. 2004
Ustman, Fathor Rachman. “Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina”. Jurnal Tadris. Volume 5. Nomor 1 April. 2010




[1] Fuad Farid Ismail, Cara Mudah Belajar Filsafat Barat dan Islam, (Jogjakarta: IrCiSod, 2012), h. 219
[2] Fathor Rachman Ustman, “Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina”, Jurnal Tadris, Volume 5, Nomor 1 (April, 2010), h. 41
[3] Ahmad D. Marimba, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1990), h.2
[4] Abd al Rahman al Naqib, “AVICENNA”, Jurnal International Bureau of Education, Vol. XXIII, (Paris: UNESCO, 1993),  h. 6
[5] Ali al-Jumbulati dan Abdul Futuh At-Tuwanisi, Perbandingan Pendidikan Islam, Terj. H.M. Arifin (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994), h. 118
[6] Ramayulis  dan  Samsul  Nizar,  Ensiklopedi  Tokoh  Pendidikan  Islam  (Ciputat:  Quantum Teaching, 2005), h. 32
[7] Ibid
[8] Susilawati, “Konsep Pendidikan Islam menurut Al-Ghozali dan Ibnu Sina” Jurnal Fokus, Volume 4, Nomor 2 (Desember, 2004), h. 255
[9] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Suatu Kajian Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h. 70
[10] Abd al Rahman al Naqib, “AVICENNA”, Jurnal International Bureau of Education, Vol. XXIII, (Paris: UNESCO, 1993),  h. 8
[11] Fathor Rachman Ustman, “Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina” Jurnal Tadris, Volume 5, Nomor 1 (April, 2010), h. 47
[12] Abd al Rahman al Naqib, “AVICENNA”, Jurnal International Bureau of Education, Vol. XXIII, (Paris: UNESCO, 1993),  h. 8
[13] Fathor Rachman Ustman, “Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina” Jurnal Tadris, Volume 5, Nomor 1 (April, 2010), h. 47
[14] Abd al Rahman al Naqib, “AVICENNA”, Jurnal International Bureau of Education, Vol. XXIII, (Paris: UNESCO, 1993),  h. 8
[15] Fathor Rachman Ustman, “Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina” Jurnal Tadris, Volume 5, Nomor 1 (April, 2010), h. 47
[16] Ibid
[17] Ibid
[18] ibid
[19] Abd al Rahman al Naqib, “AVICENNA”, Jurnal International Bureau of Education, Vol. XXIII, (Paris: UNESCO, 1993),  h. 13
[20] Ziauddin  Alavi,  Pemikiran  Pendidikan  Islam  pada  Abad  Klasik  dan  Pertengahan (Bandung: Angkasa, 2003), h. 85
[21] Undang-undang SISDIKNAS, 2003