PEMIKIRAN PENDIDIKAN IBNU SINA
oleh
Muhammad Syamsuddin
Mahasiswa Pascasarjana IAIN Pekalongan
2016
A. Pendahuluan
Konsep pendidikan menurut Ibnu Sina bertujuan
untuk mengembangkan seluruh potensi yang
dimiliki seseorang kearah yang sempurna, yaitu perkembangan fisik, intelektual dan
budi pekerti. Selain
itu, tujuan pendidikan harus diarahkan pada upaya mempersiapkan
seseorang agar dapat hidup di
masyarakat secara bersama-sama dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang
dipilihnya sesuai dengan bakat,
kesiapan, kecenderungan dan potensi yang dimilikinya.
Sedangkan
konsep pendidikan modern, yaitu pendidikan yang menyentuh setiap aspek kehidupan peserta
didik, pendidikan merupakan proses
belajar yang terus menerus, pendidikan
dipengaruhi oleh kondisi-kondisi
dan pengalaman, baik didalam
maupun diluar situasi sekolah. Pendidikan disyaratkan oleh kemampuan dan minat
peserta didik, juga tepat tidaknya situasi belajar dan efektif tidaknya
cara mengajar.
B. Biografi Ibnu Sina
Ibnu sina
adalah tokoh kenamaan dalam sejarah ilmu dan filsafat. Ia termasuk filsuf
muslim terbesar yang menonjol dalam filsafat, fisika dan kedokteran, Nama
lengkap Ibnu Sina adalah Abu ‘Ali Husin Ibnu ‘Abdullah Ibnu Hasan Ibnu
‘Ali Ibnu Sina.[1] Penyebutan
nama ini telah
menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan para ahli sejarah. Sebagian
dari mereka mengatakan bahwa nama tersebut diambil dari bahasa latin Aven Sina
dan sebagian yang lain mengatakan bahwa nama tersebut diambil dari kata al-shin
yang dalam bahasa Arab berarti Cina. Selain itu ada pula pendapat yang
mengatakan bahwa nama tersebut dihubungkan dengan nama tempat kelahirannya,
yaitu Afshana.
Ibnu Sina
dilahirkan di desa Akhshanah, dekat Bukhara pada tahun 370 H/ 980M.
para ulama berbeda
pendapat tentang tahun kelahirannya.
Al- Qibti dan Ibnu Khalkan mengatakan kelahiran Ibnu Sina pada tahun
370/980. Ibnu Abi ‘Ushaibiah mengatakan pada tahun 375 H /985 M. Keluarga Ibnu
Sina memang menaruh perhatian serius terhadap ilmu dan
pendidikan, yang berpengaruh besar bagi karir intelektualnya kelak. Selain itu
masa di mana Ibnu Sina hidup merupakan masa kejayaan Abasiyah dalam hal ilmu
dan pendidikan, meskipun sangat kontras dengan situasi politik yang tengah
mengalami banyak konflik dan perpecahan.
Karya tulis Ibnu Sina:
1. Kitab
Qanun fi al-Thibb (Canon of
Medicine)
2.
Kitab Ash-Syifa
3.
Kitab An-Najat
4.
Kitab fi Aqsami al-‘Ulumi al-‘Aqliyyah.
5. Kitab
Lisanu
al-‘Arab.
6.
Kitab
Al-Isharat wa al-Tanbihat.[2]
C. Konsep Pendidikan
Pemikiran Ibnu Sina tentang pendidikan terkait dengan pemikirannya
tentang falsafat ilmu. Menurut Hasan
Langgulung pemikiran pendidikan Ibnu Sina dalam falsafat praktisnya memuat tentang
ilmu akhlak, ilmu tentang urusan rumah tangga, politik dan
syariah. Karya tersebut pada prinsipnya berkaitan dengan cara mengatur dan
membimbing manusia dalam berbagai tahap dan sistem. Pembahasan diawali dari
pendidikan individu.Yaitu bagaimana seseorang
mengendalikan diri.
Dalam
memformulasikan konsep pendidikan, Ibnu Sina sangat menekankan pada pendidikan
akhlak. Bila akhlak suatu bangsa telah rusak, maka bangsa tersebut pasti akan hancur
pula. Selanjutnya Ibnu Sina
membagi tingkat pendidikan
menjadi dua bagian diantaranya
adalah:
1. Tingkat umum. Pada tingkat ini anak dilatih
untuk dapat belajar mempersiapkan badan jasmaninya, akal dan jiwanya pada
tingkat ini anak diberi pelajaran membaca, menulis, al-Qur’an, masalah-masalah
penting dalam agama dasar-dasar bahasa dan sastra.
2. Tingkat khusus, pada tingkat ini anak dipersiapkan untuk menuju suatu profesi yaitu mereka dilatih untuk melakukan praktek
yang berkaitan dengan masalah kehidupan. Karena jika hanya memiliki
rasa ingin tahu saja belum cukup tetapi harus berlatih terus menerus. Di sini Ibnu Sina hendak mengarahkan menuju profesi-profesi dan bakat-bakat yang
sesuai dengan kemampuan dan cocok dengan
kecenderungan- kecenderungan anak didik.
D.
Tujuan dan Sasaran Pendidikan
Ibnu Sina mengemukakan
bahwa tujuan pendidikan adalah
pendidikan harus diarahkan
pada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki oleh seseorang ke arah perkembangannya yang sempurna,
yaitu perkembangan
fisik, intelektual dan budi
pekerti.[3] Selain itu tujuan pendidikan menurut Ibnu
Sina harus diarahkan pada upaya mempersiapkan seseorang agar dapat hidup di
masyarakat secara bersama-sama dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang
dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan, kecenderungan dan potensi yang
dimilikinya.
Ibnu Sina sees the aims of education as the overall
growth of the individual: physical, mental and moral; followed by preparation
of this individual to live in society through a chosen trade according to his
aptitudes. So Avicennian education does not neglect physical development and
everything implied by it: physical exercise, food and drink, sleep and
cleanliness. It does not aim exclusively at intellectual development and the
amassing of knowledge; likewise Ibn Sina does not devote his attention to the
moral aspect alone, but aims at the formation of a personality complete in
body, mind and character.[4]
Tujuan pendidikan
juga harus berorientasi memberikan keterampilan-keterampilan kepada anak didiknya.
Menurut Ibnu Sina hal ini ditujukan
pada pendidikan bidang perkayuan,
penyablonan, dan sebagainya. Sehingga akan muncul tenaga-tenaga pekerja
profesional yang mampu mengerjakan pekerjaan
secara profesional. Pendidikan keterampilan ini bertujuan untuk
mempersiapkan anak dalam
mencari biaya hidup, dalam hal ini Ibnu Sina mengintegrasikan antara
nilai-nilai idealitas dengan pandangan pragmatis, sebagaimana ia katakan, “Jika
anak sudah selesai belajar al-Qur’an dan menghafal dasar-dasar gramatika, saat
itu amatilah apa yang ia inginkan mengenai pekerjaan, maka arahkanlah ke arah
itu.” Oleh karena itu hendaknya mereka mengarahkan pendidikan anak-anak kepada
apa yang menjadikan mereka baik, kemudian menuangkan pengetahuan
mereka pada prinsip
yang ditetapkan yang bersifat khusus.[5]
Pemikiran
ini juga yang masih sangat relevan pada pendidikan modern
ini. Dimana instansi pendidikan,
SMK pada khususnya menerapkan atau membekali anak didiknya keterampilan-
keterampilan yang akan bermanfaat di kemudian hari dan akan menjadi nilai
ekonomisnya. Selain itu, tujuan pendidikan yang paling esensial yaitu
harus membentuk manusia yang berkepribadian akhlak mulia. Ibnu Sina
mengemukakan bahwa ukuran
akhlak mulia tersebut
dijabarkan secara luas yang
meliputi segala aspek kehidupan manusia. Aspek-aspek kehidupan yang menjadi
syarat bagi terwujudnya suatu sosok pribadi berakhlak mulia meliputi aspek
pribadi, sosial, dan spiritual. Ketiganya harus berfungsi secara integral dan
komprehensif. Pembentukan akhlak mulia ini juga bertujuan untuk mencapai
kebahagiaan (sa’adah). Kebahagian menurut Ibnu Sina dapat diperoleh
manusia secara bertahap
Untuk terciptanya
sosok manusia yang
berakhlak, maka harus dimulai dari dirinya sendiri, serta
ditunjang kesehatan jasmani dan rohani. Bila kondisi ini dimiliki, maka manusia
akan mampu menjalankan proses mu’amalah dengan teman pergaulan dan
lingkungannya, serta mampu mendekatkan diri kepada Allah, bahkan pada akhirnya
mampu melakukan ma’rifat kepada Allah. Kondisi yang demikian merupakan puncak
dari tujuan pendidikan manusia.[6]
Mengenai
pendidikan yang bersifat jasmani, Ibnu Sina mengatakan hendaknya tujuan
pendidikan tidak melupakan pembinaan fisik dan segala suatu yang berkaitan
dengannya, seperti olahraga, makan, minum, tidur dan menjaga kebersihan.[7]
Melalui pendidikan jasmani atau olahraga, seorang anak diarahkan agar terbina
pertumbuhan fisiknya dan cerdas otaknya. Sedangkan pendidikan budi pekerti
diharapkan seorang anak memiliki kebiasaan bersopan santun dalam pergaulan
hidup sehari-hari. Dengan adanya pendidikan kesenian seorang anak diharapkan
dapat mempertajam perasaannya dan meningkat daya khayalnya.
Sedangkan
mengenai sasaran pendidikan, menurut Ibnu Sina pendidikan dimulai sejak dini
yaitu melalui pendidikan individu. Dalam pendidikan individu ini lebih
ditekankan pada pendidikan akhlak yaitu bagaimana seseorang dapat mengendalikan
akhlaknya.[8]
Pada pendidikan individu ini pada hakekatnya masih menjadi tanggung jawab orang
tua. Karena di dalam keluarga anak meniru segala macam akhlak yang dilakukan
oleh orang tuanya.
Setelah
pendidikan individu dilaksanakan, kemudian dilanjutkan pada pendidikan dan
bimbingan kepada keluarga. Pendidikan ini masih juga menjadi tanggung jawab
kedua orang tuanya. Setelah melalui pendidikan keluarga barulah dilanjutkan
pada pendidikan masyarakat dan terakhir pada pendidikan seluruh umat manusia. Di
dalam memberikan pendidikan kepada masyarakat dan kepada umat manusia secara
umum merupakan tanggung jawab bersama.
E. Kurikulum Pendidikan Islam
Perspektif Ibnu Sina
Ibnu Sina
merumuskan kurikulum didasarkan kepada tingkat perkembangan usia anak didik. Berikut
ini klasifikasi kurikulumnya berdasarkan perkembangan usia anak didik:
1. Usia 3 sampai 5 tahun.
Menurut
Ibnu Sina, diusia ini perlu diberikan mata pelajaran olah raga, budi pekerti,
kebersihan, seni suara, dan kesenian. Olahraga sebagai pendidikan jasmani, Ibnu
Sina memiliki pandangan yang banyak
dipengaruhi oleh pandangan psikologinya. Menurutnya ketentuan dalam berolahraga
harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan usia anak didik serta
bakat yang dimilikinya.[9]
Dengan cara demikian
dapat diketahui dengan pasti mana saja di antara anak didik yang perlu
diberikan pendidikan olahraga sekedarnya saja, dan mana saja di antara anak
didik yang perlu dilatih berolahraga lebih banyak lagi. Ia juga merinci olahraga
mana saja yang memerlukan dukungan fisik yang kuat serta keahlian; dan mana
pula olahraga yang tergolong ringan, cepat, lambat, memerlukan peralatan dan
sebagainya. Menurutnya semua jenis olahraga ini disesuaikan dengan kebutuhan
bagi kehidupan anak didik Pelajaran olahraga atau gerak badan tersebut
diarahkan untuk membina kesempurnaan pertumbuhan fisik anak dan fungsi organ
tubuh secara optimal. Hal ini penting mengingat fisik adalah tempat bagi jiwa
atau akal yang harus dirawat agar tetap sehat dan kuat.
Regarding the need for play and exercise in that stage, Ibnu
Sina says: ‘When the child wakes from sleep, it is best for him to be bathed,
then let him play for an hour; then he is given a little food to eat, then he
is allowed to play for a long time, then he is bathed, then fed. Children
should not be allowed to drink water straight after food, for then it would go
into their system raw without being digested'. Games form a necessary element
in the child's life at this stage, whereby he acquires various physical and
motor skills. He also learns how to live in a group and benefit from that life.[10]
Pelajaran
budi pekerti diarahkan untuk membekali anak didik agar memiliki kebiasaan sopan
santun dalam bergaul setiap harinya. Pelajaran budi pekerti ini sangat
dibutuhkan dalam rangka membina kepribadian anak didik sehingga jiwanya menjadi
suci, terhindar dari perbuatan- perbuatan buruk yang dapat mengakibatkan
jiwanya rusak dan sukar diperbaiki kelak di usia dewasa. Dengan demikian, Ibnu
Sina memandang pelajaran akhlak sangat penting ditanamkan kepada anak sejak
usia dini.[11]
Menurut
Ibnu Sina, pendidikan akhlak harus dimulai dari keluarga dengan keteladanan dan
pembiasan secara berkelanjutan sehingga terbentuk karakter atau kepribadian
yang baik bagi anak didik. Pendidikan kebersihan juga mendapat perhatian dari Ibnu
Sina. Pendidikan ini diarahkan agar anak didik memiliki kebiasaan mencintai
kebersihan yang juga menjadi salah satu ajaran mulia dalam Islam. Ibnu Sina
mengatakan, bahwa pelajaran hidup bersih dimulai dari sejak anak bangun tidur,
ketika hendak makan, sampai ketika hendak tidur kembali. Dengan cara demikian,
dapat diketahui mana saja anak yang telah dapat menerapkan hidup sehat, dan
mana saja anak yang berpenampilan kotor dan kurang sehat.
2. Usia 6 sampai 14 tahun.
Pelajaran
untuk anak usia 6 sampai 14 tahun menurut Ibnu Sina adalah mencakup pelajaran
membaca dan menghafal al-Qur'an, pelajaran agama, pelajaran sya'ir, dan
pelajaran olahraga. Pelajaran al-Qur'an
dan pelajaran agama adalah pelajaran
pertama dan yang paling utama diberikan kepada anak yang sudah mulai berfungsi
rasionalitasnya.
At this stage, children learn ‘the principles of Islamic
culture', from the Qur'an and Arabic poetry, calligraphy, and Islamic rules of
good conduct. This is a common stage for all children, since preferences have
not yet appeared. Later, aptitudes make their appearance, and in accordance
with these every individual can be given particular instruction.[12]
Pelajaran
membaca dan menghafal al-Qur'an menurut Ibnu Sina berguna disamping untuk
mendukung pelaksanaan ibadah yang memerlukan bacaan ayat-ayat al-Qur'an, juga
untuk mendukung keberhasilan dalam mempelajari agama Islam seperti pelajaran
tafsir al-Qur'an, fiqih, tauhid, akhlak dan pelajaran agama lainnya yang sumber
utamanya adalah al- Qur'an. Selain itu pelajaran membaca dan menghafal
al-Qur'an juga mendukung keberhasilan dalam mempelajari bahasa Arab, karena
dengan menguasai al-Qur'an berarti ia telah menguasai ribuan kosa kata bahasa Arab
atau bahasa al-Qur'an.
Pelajaran keterampilan diperlukan untuk mempersiapkan anak mampu mencari penghidupannya kelak. Dalam
pendidikan modern pelajaran ini dikenal
dengan vokasional.[13]
Setelah anak diajarkan membaca al-Qur'an, menghafal
dasar-dasar bahasa, barulah dilihat kepada pekerjaan yang akan dikerjakannya
dan ia dibimbing menuju ke arah pekerjaan tersebut. Jika anak ingin menjadi
juru tulis maka haruslah ia diajar surat menyurat, pidato, diskusi, dan
perdebatan dan lain-lain lagi.
Pelajaran
sya'ir tetap dibutuhkan di usia ini sebagai lanjutan dari pelajaran seni pada
tingkat sebelumnya. Anak perlu menghafal sya'ir-sya'ir yang mengandung
nilai-nilai pendidikan akan sangat berguna dalam menuntun perilakunya, di
samping petunjuk al-Qur'an dan Sunnah. Pelajaran ini dimulai dengan
menceritakan syair-syair yang menceritakan anak-anak yang glamour, sebab lebih
mudah dihafal dan mudah menceritakannya serta bait-baitnya lebih pendek. Kemudian
Ibnu Sina menolak ungkapan "seni adalah untuk seni", ia berpendapat
bahwa seni dalam syair merupakan sarana pendidikan akhlak.
Pelajaran
olah raga harus disesuaikan dengan tingkat usia ini. Dari sekian banyak olahraga,
menurut Ibnu Sina,
yang perlu dimasukkan
ke dalam kurikulum atau
rancangan mata pelajaran
pada usia ini
adalah olahraga adu kekuatan, gulat, meloncat, jalan cepat, memanah,
berjalan dengan satu kaki dan mengendarai unta.
Tentu semua ini berdasarkan kebutuhan anak didik dan disesuaikan dengan
tingkat perkembangannya.
Berdasarkan
pemikiran di atas, jika pada usia 3 sampai 5 tahun lebih ditekankan pada aspek
afektif atau pendidikan akhlak, maka pada usia 6 sampai 14 tahun telah
diberikan pelajaran yang menyentuh aspek kognitif. Bahkan pada usia ini telah
diajarkan al-Qur’an dengan membaca, menghafal, dan memahami tata bahasanya.
Dengan demikian aspek afektif dan psikomotor sudah banyak mendapat sentuhan.
Hal ini beralasan mengingat pada usia ini, otak anak didik telah berkembang dan
mulai mampu memahami persoalan yang abstrak.
3. Usia 14 tahun keatas.
Pada usia
14 tahun ke atas, Ibnu Sina memandang mata pelajaran yang harus diberikan
kepada anak didik berbeda dengan usia sebelumnya. Mata pelajaran yang diberikan
pada usia ini sangat banyak jumlahnya. Namun pelajaran tersebut perlu dipilih sesuai dengan bakat
dan minat anak. Hal ini menunjukkan perlu adanya pertimbangan dengan kesiapan
anak didik. Dengan cara demikian, anak akan memiliki kesiapan untuk menerima
pelajaran tersebut dengan baik.
Ibnu Sina
menganjurkan kepada para pendidik agar memilih jenis pelajaran yang berkaitan
dengan keahlian tertentu yang dapat dikembangkan lebih lanjut oleh anak didiknya. Jadi, pada usia ini anak
didik diarahkan untuk menguasai suatu
bidang tertentu (spesialisasi bidang keilmuwan).
This comes after the child has
completed general primary teaching, and his aptitudes have become apparent
either to continue in the field of education or to learn a craft and earn a
living. In the light of these aptitudes, the young person defines for himself
the type of study or the type of vocational work that appeals to him during the
higher or specialized stage.[14]
F. Metode Pembelajaran Menurut Ibnu
Sina
Ibnu Sina
merumuskan konsep metode pembelajaran dalam pemikirannya di bidang pendidikan.
Bahkan Ibnu Sina merumuskan metode yang berbeda antara materi pelajaran yang
satu dengan yang lainnya. Perbedaan ini mempertimbangkan karakteristik dari
masing- masing materi pelajaran dan juga mempertimbangkan tingkat perkembangan
psikologis tiap anak didik
1. Metode talqin digunakan dalam
mengajarkan membaca al-Qur’an, mulai dengan cara memperdengarkan bacaan al-Qur’an
kepada anak didik sebagian demi sebagian. Setelah itu anak tersebut disuruh
menerdengarkan dan mengulangi bacaan
tersebut perlahan-lahan dan dilakukan berulang-ulang hingga akhirnya anak didik
tersebut hafal secara keseluruhan.[15]
2. Metode demonstrasi digunakan dalam
proses pembelajaran yang bersifat praktik, seperti cara mengajar dan menulis.
Menurut Ibnu Sina jika seorang guru akan menggunakan metode demonstrasi ini
dalam mengajar menulis huruf hijaiyah, maka terlebih dahulu guru mencontohkan
tulisan huruf hijaiyah sesuai dengan makhraj-nya dan
dilanjutkan dengan mendemonstrasikan cara menulisnya.[16]
3. Metode pembiasaan
dan keteladanan; metode
yang paling efektif, khususnya dalam mengajarkan akhlak
kepada anak didik. Cara tersebut secara umum dilakukan dengan pembiasaan dan
teladan yang disesuaikan denga perkembangan jiwa anak. Ibnu Sina berpendapat
adanya pengaruh “mengikuti dan meniru”
atau contoh tauladan
baik dalam proses pendidikan di kalangan anak pada usia
dini terhadap kehidupan mereka, karena secara tabi’iyah anak mempunyai
kecenderungan untuk mengikuti dan meniru (mencontoh) segala yang dilihat,
dirasakan dan didengar. suatu kewajiban bagi seorang guru adalah mendidik anak
didik. dengan sopan santun, membiasakannya dengan perbuatan yang terpuji,
sebelum kebiasaan jelek mempengaruhinya.
4. Metode diskusi; dilakukan dengan
cara menyajikan pelajaran di mana anak didik dihadapkan kepada suatu maslah
yang berupa pertanyaan yang bersifat problematis untuk dibahas dan dipecahkan
bersama. Ibnu Sina menggunakan metode ini untuk mengajarkan pengetahuan yang
bersifat rasional dan teoritis.[17]
Pengetahuan model ini pada masa Ibnu Sina berkembang pesat.
Jika pengetahuan tersebut diajarkan
dengan metode ceramah, maka para
siswa akan tertinggal jauh dari perkembangan ilmu pengetahuan tersebut.
5. Metode magang; Ibnu Sina menggunakan
metode ini dalam mengajarkan ilmu kedokterannya. Ketika para muridnya belajar
ilmu kedokteran ini, mereka
dianjurkan agar menggabungkan
teori dan praktik.
Metode ini akan menimbulkan
manfaat ganda, yaitu disamping mempermahir anak didik dalam suatu bidang ilmu,
juga akan mendatangkan keahlian dalam bekerja yang menghasilkan kesejahteraan
secara ekonomis. Metode ini disebut juga dengan metode learning by doing
(belajar sambil bekerja).
6. Metode penugasan;
metode ini dapat
dilakukan dengan menyusun sejumlah modul atau naskah kemudian
menyampaikan kepada anak didik untuk dipelajarinya. Cara ini pernah dilakukan
kepada salah satu muridnya yang
bernama Abu ar-Raihan
al-Biruni dan Abi
Husain Ahmad as- Suhaili.[18]
7. Metode targhib
dan tarhib, dalam pendidikan
modern dikenal dengan istilah reward
yang berarti ganjaran, hadiah, penghargaan atau imbalan dan merupakan salah
satu alat pendidikan dan membentuk reinforcement yang positif, sekaligus
sebagai motivasi yang baik. Tetapi dalam
keadaan terpaksa, metode
hukuman (tarhib) atau punishment
dapat dilakukan dengan
cara diberi peringatan
dan ancaman terlebih dahulu. Jangan menindak anak dengan
kekerasan, tetapi dengan kehalusan hati, lalu diberi motivasi dan persuasi dan kadang-kadang
dengan muka masam atau dengan cara agar anak didik kembali pada perbuatan baik.
Tetapi jika sudah terpaksa memukul,
cukuplah satu kali yang menimbulkan rasa sakit, dan dilakukan setelah memberi
peringatan keras dan menjadikan sebagai alat penolong untuk menimbulkan
pengaruh yang positif dalam jiwa anak.
G. Konsep Guru/Pendidik Perspektif Ibnu
Sina
Guru
memiliki peran yang sangat penting
dalam pendidikan. Keberadaan guru
secara langsung akan mempengaruhi anak didiknya. Oleh karena itu konsep seorang
guru haruslah baik dan ideal. Menurut Ibnu Sina guru yang baik dan ideal adalah
guru yang berakal cerdas, beragama, mengetahui
cara mendidik akhlak,
cakap dalam mendidik
anak, berpenampilan tenang, jauh dari berolok-olok dan main-main di
hadapan muridnya, tidak bermuka masam, sopan santun, bersih dan suci. Selain
itu guru harus mengutamakan kepentingan umat daripada kepentingan diri sendiri,
menjauhkan diri dari meniru sifat raja dan orang-orang yang berakhlak rendah, mengetahui
etika dalam majelis ilmu, sopan dan
santu dalam berdebat, berdiskusi dan bergaul.
Ibnu Sina
says: ‘The educator must be intelligent, a man of religion, skilful at
instructing children, dignified, calm, far removed from foolishness or
pleasantries, not given to levity or slackness in the youth's presence; neither
rigid nor dull; on the contrary, he should be kind and understanding, virtuous,
clean and correct. He is one who has served the leaders of the nation, knows
the kingly virtues in which they take pride and the correct manners used in
society.[19]
Ibnu Sina
juga menekankan agar seorang guru tidak hanya mengajarkan ilmu dari segi
teoritis saja kepada anak didiknya, melainkan juga melatih segi
keterampilan, mengubah budi
pekerti dan kebebasan
anak didik dalam berfikir. Ibnu Sina menekankan adanya
perhatian yang seimbang antara aspek penalaran (kognitif) yang diwujudkan dalam
pelajaran bersifat pemahaman; aspek penghayatan (afektif) yang diwujudkan dalam
pelajaran bersifat perasaan; dan aspek pengamalan (psikomotor) yang diwujudkan
daalam pelajaran praktik.
Sedangkan hal
yang berkaitan dengan
pemberian pelajaran, seorang guru hendaknya memberikan cara
pengajaran yang pertengahan, seorang guru juga
jangan menampilkan sikap
yang menyebabkan anak
didik tidak terdorong untuk
mengajukan pertanyaan atau meminta menjelaskan sesuatu,
dan tidak
juga memberikan kesempatan kepada anak didik untuk menjadi anak yang kurang
ajar dan tidak memberikan perhatian terhadap guru dan pelajaran.
Seorang
guru harus mempelajari anak didik dengan hati-hati, melatih bakat, dan
temperamennya dan mengetes kecerdasan yang memungkinkan ia dapat pekerjaan yang
memungkinkan ia dapat menggunakan bakat, pembawaan dan kecerdasan. Seorang anak
juga jangan dibiarkan membaca semua masalah sendirian yang menyebabkan ia
merasa tertekan dan tidak bahagia. Seorang guru harus banyak menyertai para
anak didik sepanjang dengan berhubungan penghormatan kepada keluarganya.[20]
Ibnu Sina
sangat menganjurkan sekali agar para pendidik dapat memahami minat dan
menjadikannya dasar untuk membimbing dan mendidik mereka. Adapun kriteria guru
yang baik menurut Ibnu Sina adalah guru yang memiliki wawasan keagamaan dan
etika (Dha’din wa khuluq), kepribadian yang kokoh, kecerdasan dan
retorika yang baik (Labib wa Huluw Al-Hadith) dan kegiatan dalam memilih
metode yang pas bagi pendidikan anak serta mempunyai kompetensi profesional di
dalam pembentukan kepribadian anak didik.
Seorang guru
harus mampu memverifikasi
soft skill yang
layak dikonsumsi oleh anak
didik. Kompetensi dasar
anak didik kiranya
harus menjadi orientasi pertama pelaksanaan proses pembelajaran atau
pendidikan, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Sina, ”Sebaiknya guru ketika
memilih materi pelajaran (ketrampilan dan keahlian) harus terlebih dahulu mementingkan
tabi’at, mengukur atau menguji potensi, dan menguji kecerdasan si anak. Juga
perlu dipertimbangkan apakah metode, alat dan strategi pembelajaran yang
digunakan sudah sesuai ataukah belum, apakah semua itu mampu memobilisasi
potensi anak didik ataukah tidak, apakah semua itu mendekatkan diri anak pada
kesuksesan ataukah justru menjauhkannya.”
H. Relevansi dengan
Pendidikan Modern
Dalam
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3,
tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.[21]
Maka,
berdasarkan pengertian UU di atas, konsepsi pendidikan Ibnu Sina ini masih
sangat relevan bila diaplikasikan di zaman sekarang. Mengingat, pendidikan yang
diaplikasikan oleh Ibnu Sina ini sesuai dengan kebutuhan era sekarang, bahkan
di sekolah-sekolah unggulan saat ini masih banyak yang mengusung model
pendidikan seperti yang diaplikasikan oleh Ibnu Sina, mulai dari tujuan
pendidikannya sampai kriteria seorang guru yang diharapkan dalam pendidikan
Islam. Dengan demikian, konsep yang diimplementasikan oleh Ibnu Sina benar-benar
mengupayakan peningkatan mutu pendidikan Islam.
Sedangkan
dari uraian pemikiran Ibnu Sina tentang konsep kurikulum yang ditawarkannya
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Dalam penyusunan kurikulum hendaklah
mempertimbangkan aspek psikologis anak.
2. Kurikulum yang diterapkan harus
mampu mengembangkan potensi anak secara optimal dan harus seimbang antara
jasmani, intelektual, dan akhlaknya. Usia dini, pendidikan akhlak harus lebih
ditekankan. Pada usia remaja diseimbangkan antara afektif, psikomotor dan kognitif.
Sedangkan diusia 14 tahun ke atas ditekankan pada pendalaman materi sesuai
dengan keahlian yang ia mampu dan sukai. Artinya, diperlukan spesifikasi
keilmuwan sehingga ia ahli di bidang tertentu.
3. Kurikulum yang ditawarkan Ibnu Sina
bersifat pragmatis-fungsional, yakni dengan melihat segi kegunaan dari ilmu dan
keterampilan yang dipelajari sesuai dengan tuntutan masyarakat, atau
berorientasi pasar (marketing
oriented).
4. Kurikulum yang disusun harus
berlandaskan kepada ajaran dasar dalam Islam, yaitu al-Qur’an dan Sunnah
sehingga anak didik akan memiliki iman, ilmu, dan amal secara integral.
5. Kurikulum yang ditawarkan adalah
kurikulum berbasis akhlak dan bercorak integralistik. Pentingnya pendidikan
seni dan syair merupakan bukti bahwa Ibnu Sina memberikan perhatian yang serius
terhadap pendidikan akhlak.
Lebih jauh, mengenai metode, Ibnu
Sina menawarkan empat karateristik:
1. Pemilihan dan penerapan metode harus
disesuaikan dengan karakteristik
materi pelajaran.
2. Metode juga diterapkan dengan
mempertimbangkan psikologis anak didik,
termasuk bakat dan minat anak.
3. Metode yang ditawarkan tidaklah
kaku, akan tetapi dapat berubah sesuai dengan kondisi dan kebutuhan anak didik.
4. Ketepatan dalam memilih dan
menerapkan metode sangat menentukan keberhasilan pembelajaran.
Tampaknya,
karakter metode yang ditawarkan ini
masih tetap relevan dengan tuntutan zaman hingga saat ini. Itu artinya Ibnu
Sina memang memahami konsep pendidikan baik secara teoritis maupun secara
praktis sehingga pemikiran yang ia kemukakan tidak hanya berlaku pada masanya,
melainkan jauh melampaui masa tersebut.
Sedangkan materinya tetap fleksibel sesuai dengan kebutuhan zaman.
I. Penutup
Konsep pendidikan
Ibn Sina yaitu
pendidikan yang menekankan
pendidikan akhlak. Akhlak ini berperan
sebagai filter dalam proses tercapainya tujuan pendidikan
Islam. Pendidikan Ibn Sina didesain
untuk membina bakat dan minat anak didik yang nantinya berguna pada
dirinya kelak ketika dia dewasa.
J. Daftar Pustaka
Ahmad D. Marimba, Filsafat
Pendidikan Islam. Bandung: PT. Al-Ma’arif. 1990
Alavi, Ziauddin. Pemikiran Pendidikan
Islam pada Abad
Klasik dan Pertengahan. Bandung: Angkasa. 2003
Ali al-Jumbulati dan Abdul Futuh
At-Tuwanisi, Perbandingan Pendidikan Islam, Terj. H.M. Arifin Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 1994
Ismail, Fuad Farid. Cara Mudah
Belajar Filsafat Barat dan Islam. Jogjakarta: IrCiSod. 2012
Nata, Abuddin. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Suatu Kajian Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2003
Ramayulis dan Samsul Nizar.
Ensiklopedi Tokoh Pendidikan
Islam. Ciputat: Quantum
Teaching. 2005
Undang-undang SISDIKNAS 2003
Abd al Rahman al Naqib. “AVICENNA”.
Jurnal International Bureau of Education, Vol. XXIII. Paris: UNESCO. 1993
Susilawati, “Konsep Pendidikan
Islam menurut Al-Ghozali dan Ibnu Sina”. Jurnal Fokus. Volume 4, Nomor 2.
Desember. 2004
Ustman, Fathor Rachman. “Pemikiran
Pendidikan Ibnu Sina”. Jurnal Tadris. Volume 5. Nomor 1 April. 2010
[1] Fuad Farid Ismail, Cara
Mudah Belajar Filsafat Barat dan Islam, (Jogjakarta: IrCiSod, 2012), h. 219
[2] Fathor Rachman
Ustman, “Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina”, Jurnal Tadris, Volume 5, Nomor 1
(April, 2010), h. 41
[3] Ahmad D. Marimba, Filsafat
Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1990), h.2
[4] Abd al Rahman al
Naqib, “AVICENNA”, Jurnal International Bureau of Education, Vol. XXIII,
(Paris: UNESCO, 1993), h. 6
[5] Ali al-Jumbulati dan
Abdul Futuh At-Tuwanisi, Perbandingan Pendidikan Islam, Terj. H.M.
Arifin (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994), h. 118
[6] Ramayulis dan
Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh
Pendidikan Islam (Ciputat:
Quantum Teaching, 2005), h. 32
[7] Ibid
[8] Susilawati, “Konsep
Pendidikan Islam menurut Al-Ghozali dan Ibnu Sina” Jurnal Fokus, Volume 4,
Nomor 2 (Desember, 2004), h. 255
[9] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan
Islam, Suatu Kajian Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h. 70
[10] Abd al Rahman al
Naqib, “AVICENNA”, Jurnal International Bureau of Education, Vol. XXIII,
(Paris: UNESCO, 1993), h. 8
[11] Fathor Rachman
Ustman, “Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina” Jurnal Tadris, Volume 5, Nomor 1
(April, 2010), h. 47
[12] Abd al Rahman al
Naqib, “AVICENNA”, Jurnal International Bureau of Education, Vol. XXIII,
(Paris: UNESCO, 1993), h. 8
[13] Fathor Rachman
Ustman, “Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina” Jurnal Tadris, Volume 5, Nomor 1
(April, 2010), h. 47
[14] Abd al Rahman al
Naqib, “AVICENNA”, Jurnal International Bureau of Education, Vol. XXIII,
(Paris: UNESCO, 1993), h. 8
[15] Fathor Rachman
Ustman, “Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina” Jurnal Tadris, Volume 5, Nomor 1
(April, 2010), h. 47
[16] Ibid
[17] Ibid
[18] ibid
[19] Abd al Rahman al
Naqib, “AVICENNA”, Jurnal International Bureau of Education, Vol. XXIII,
(Paris: UNESCO, 1993), h. 13
[20] Ziauddin Alavi,
Pemikiran Pendidikan Islam
pada Abad Klasik
dan Pertengahan (Bandung:
Angkasa, 2003), h. 85
[21] Undang-undang
SISDIKNAS, 2003