Senin, 18 April 2016

Strategi Pembelajaran Afektif


STRATEGI PEMBELAJARAN AFEKTIF 


oleh 
Muhammad Syamsuddin
Mahasiswa Pascasarjana STAIN Pekalongan


PENDAHULUAN
Strategi pembelajaran afektif merupakan suatu metode dalam proses pembelajaran yang menekankan pada nilai dan sikap yang diukur, oleh karena itu menyangkut kesadaran seorang yang tumbuh dari dalam.
Dalam pengaplikasian terhadap pembelajaran yang diberikan guru, dalam pemberian contoh terhadap yang diberikan guru hendaknya siswa difasilitasi dengan lingkungan yang baik, saya lihat sebagian sekolah, bahwasanya lingkungan sekitar sekolah tidak nyaman untuk melakukan pembelajaran yang afektif, dan juga lingkungan masyarakat, maka dari itu pembentukan sikap akan sulit dilaksanakan.
Misalnya ketika anak diajarkan tentang keharusan bersifat jujur dan disiplin, maka sifat tersebut akan sulit diinternalisasi manakala lingkungan diluar sekolah anak banyak melihat prilaku-prilaku ketidakjujuran dan ketidakdisiplinan. Walaupun guru sekolah begitu keras menekankan pentingnya sikap tertib berlalu lintas.
Maka sikap tersebut akan sulit diadopsi oleh anak manakala ia melihat begitu banyak orang-orang yang melanggar lalu lintas, demikian juga walaupun disekolah guru-guru menerangkan dan menegaskan perlunya bagi anak untuk bekata sopan dan halus disertai contoh prilaku guru, akan tetapi sifat itu sulit diterima oleh anak manakala diluar sekolah begitu banyak manusia yang berkata kasar dan tidak sopan.

A.   Pengertian dan konsep strategi pembelajaran afektif.
Strategi pembelajaran afektif adalah strategi yang bukan hanya bertujuan untuk mencapai pendidikan kognitif saja. Melainkan bertujuan untuk mencapai dimensi yang lainnya. diantaranya sikap dan keterampilan afektif berhubungan dengan volume yang sulit diukur karena menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam. Afeksi juga dapat muncul dalam kejadian behavioral yang diakibatkan dari proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru.
Kemampuan aspek afektif berhubungan dengan minat dan sikap yang dapat berupa tanggung jawab, kerja sama, disiplin, komitmen, percaya diri, jujur, menghargai pendapat orang lain dan kemampuan mengendalikan diri. Semua kemampuan ini harus menjadi bagian dari tujuan pembelajaran di sekolah, yang akan dicapai melalui kegiatan pembelajaran yang tepat. Dalam pengertian lain disebutkan bahwa ranah afektif sangat mempengaruhi perasaan dan emosi.
Masalah afektif yang bersifat kejiwaan dan berada di dalam diri manusia, sulit dibaca dan diukur. Namun mampu dikaji melalui sejumlah indikator. Karenanya pembelajaran afektif pun hendaknya memanfaatkan media indikator ini untuk dapat menembus hati nurani dan perasaan anak, dan guru harus telaten serta ulet, karena untuk mampu membuka tabir diri anak dan membina keseluruhan kejiwaannya kita harus menggunakan aneka teknik dan metode.
Demikian halnya dalam membinanya. Hal lain yang pemakalah ingin ingatkan bahwa dalam mengajar afektif/nilai  sebenarya juga dalam pembelajaran lainnya yang terutama harus mengetahui/menyatakan keadaan sesuatu bukanlah guru melainkan anak itu sendiri. Maka  kita tidak usah paksa/ambisius untuk tahu segalanya melainkan melontarkan upaya/stimulus agar anak dapa menampilkan jati dirinya yang sebenarnya. Boleh saja anak mengatakan “saya belum pernah mencuri”, tetapi melalui stimulus/media yang kita lontarkan dalam pembelajaran anak itu berdialog dan menjawabnya bohong karena sebenarnya pernah mencuri lalu menilainya baik atau tidak perbuatan tersebut serta muncul jawaban dan niat baru.

B.   Nilai-Nilai Karakter Dalam Strategi Pembelajaran Afektif
Pemikiran atau perilaku harus memiliki dua kriteria untuk diklasifikasikan sebagai ranah afektif (Andersen, 1981:4). Pertama, perilaku melibatkan perasaan dan emosi seseorang. Kedua, perilaku harus tipikal perilaku seseorang. Kriteria lain yang termasuk ranah afektif adalah intensitas, arah, dan target. Intensitas menyatakan derajat atau kekuatan dari perasaan.
Arah perasaan berkaitan dengan orientasi positif atau negatif dari perasaan yang menunjukkan apakah perasaan itu baik atau buruk. Misalnya senang pada pelajaran dimaknai positif, sedang kecemasan dimaknai negatif.  Bila intensitas dan arah perasaan ditinjau bersama-sama, maka karakteristik afektif berada dalam suatu skala yang kontinum. Target mengacu pada objek, aktivitas, atau ide sebagai arah dari perasaan. Bila kecemasan merupakan karakteristik afektif yang ditinjau, ada beberapa kemungkinan target. Peserta didik mungkin bereaksi terhadap sekolah, matematika, situasi sosial, atau pembelajaran. Tiap unsur ini bisa merupakan target dari kecemasan. Kadang-kadang target ini diketahui oleh seseorang namun kadang-kadang tidak diketahui. Seringkali peserta didik merasa cemas bila menghadapi tes di kelas. Peserta didik tersebut cenderung sadar bahwa target kecemasannya adalah tes.
Ada 5 (lima) tipe nilai karakteristik afektif yang penting, yaitu sikap, minat, konsep diri, nilai, dan moral.
1.      Sikap
Sikap merupakan suatu kencendrungan untuk bertindak secara suka atau tidak suka terhadap suatu objek. Sikap dapat dibentuk melalui cara mengamati dan menirukan sesuatu yang positif, kemudian melalui penguatan serta menerima informasi verbal. Perubahan sikap dapat diamati dalam proses pembelajaran, tujuan yang ingin dicapai, keteguhan, dan konsistensi terhadap sesuatu. Penilaian sikap adalah penilaian yang dilakukan untuk mengetahui sikap peserta didik terhadap mata pelajaran, kondisi pembelajaran, pendidik, dan sebagainya.

2.      Minat
Menurut kamus besar bahasa Indonesia (1990: 583), minat atau keinginan adalah kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu. Hal penting pada minat adalah intensitasnya. Secara umum minat termasuk karakteristik afektif yang memiliki intensitas tinggi.

3.      Konsep Diri
Konsep diri ini penting untuk menentukan jenjang karir peserta didik, yaitu dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri, dapat dipilih alternatif karir yang tepat bagi peserta didik. Selain itu informasi  konsep diri penting bagi sekolah untuk memberikan motivasi belajar peserta didik dengan tepat.
Penilaian konsep diri dapat dilakukan dengan penilaian diri. Kelebihan dari penilaian diri adalah sebagai berikut.
  1. Pendidik mampu mengenal kelebihan dan kekurangan peserta didik.
  2. Peserta didik mampu merefleksikan kompetensi yang sudah dicapai.
  3. Pernyataan yang dibuat sesuai dengan keinginan penanya.
  4. Memberikan motivasi diri dalam hal penilaian kegiatan peserta didik.
  5. Peserta didik lebih aktif dan berpartisipasi dalam proses pembelajaran.
  6. Dapat digunakan untuk acuan menyusun bahan ajar dan mengetahui standar input peserta didik.
  7. Peserta didik dapat mengukur kemampuan untuk mengikuti pembelajaran.

4.      Nilai
Manusia belajar menilai suatu objek, aktivitas, dan ide sehingga objek ini menjadi pengatur penting minat, sikap, dan kepuasan. Oleh karenanya satuan pendidikan harus membantu peserta didik menemukan dan menguatkan nilai yang bermakna dan signifikan bagi peserta didik untuk memperoleh kebahagiaan personal dan memberi konstribusi positif terhadap masyarakat.

5.      Moral
Piaget dan Kohlberg banyak membahas tentang perkembangan moral anak. Namun Kohlberg mengabaikan masalah hubungan antara judgement  moral dan tindakan moral. Ia hanya mempelajari prinsip moral seseorang melalui penafsiran respon verbal terhadap dilema hipotetikal atau dugaan, bukan pada  bagaimana sesungguhnya seseorang bertindak.
Moral berkaitan dengan perasaan salah atau benar terhadap kebahagiaan orang lain atau perasaan terhadap tindakan yang dilakukan diri sendiri. Misalnya menipu orang lain, membohongi orang lain, atau melukai orang lain baik fisik maupun psikis. Moral juga sering dikaitkan dengan keyakinan agama seseorang, yaitu keyakinan akan perbuatan yang berdosa dan berpahala. Jadi moral berkaitan dengan prinsip, nilai, dan keyakinan seseorang.

C.    Proses Pembentukan Sikap Dalam Strategi Pembelajaran Afektif
            Terbentuknya sebuah sikap pada diri seseorang tidaklah secara tiba-tiba, tetapi melewati proses yang terkadang cukup lama. Proses ini biasanya dilakukan lewat pembiasaan dan modeling (percontohan).
1.      Pola pembiasaan
Dalam proses pembelajaran di sekolah, baik secara di sadari maupun tidak, guru dapat menanamkan sikap tertentu kepada siswa melalui proses pembiasaan, misalnya sikap siswa yang setiap kali menerima perilaku yang tidak menyenangkan dari guru, satu contoh mengejek atau menyinggung perasaan anak. Maka lama kelamaan akan timbul perasaan benci dari anak yang pada akhirnya dia juga akan membenci pada guru dan mata pelajarannya, untuk mengembalikannya pada sikap positif bukanlah pekerjaan mudah.
 Belajar membentuk sikap melalui pembiasaan itu juga dilakukan oleh Skinner melalui teorinya operant conditioning. Proses pembentukan sikap melalui pembiasaan yang dilakukan oleh Watson berbeda dengan proses pembiasaan sikap yang dilakukan oleh Skinner. Pembentukan sikap yang dilakukan oleh Skinner menekankan pada proses peneguhan respon anak. Setiap kali anak berprestasi yang baik diberikan penguatan (reinforcement) dengan cara memberikan hadiah atau perilaku yang menyenangkan, lama-kelamaan anak berusaha meningkatkan sikap positifnya.

2.      Modeling.
Pembelajaran sikap dapat juga dilakukan melalui proses modeling yaitu pembentukan sikap melalui proses asimilasi atau proses pencontoaan. Salah satu karakteristik anak didik yang sedang berkembang adalah keinginan untuk melakukan peniruan (imitasi). Hal yang di tiru itu adalah perilaku-perilaku yang di peragakan atau di demontrasikan oleh orang yang menjadi idolanya. Prinsip peniruan in ilah yang disebut dengan modeling, jadi modeling adalah proses peniruan anak terhadap orang lain yang menjadi idolanya atau orang yang dihormatinya.
Proses penanaman sikap anak terhadap suatu objek melalui proses modeling  pada mulanya dilakukan secara mencontoh, namun anak perlu diberi pemahaman mengapa hal itu dilakukan. Misalnya: guru perlu menjelaskan mengapa kita harus telaten terhadap tanaman, atau mengapa kita harus berpakaian bersih dan rapi. Hal ini diperlukan agar sikap tertentu yang muncul benar-benar didasari oleh suatu keyakinan kebenaran sebagai suatu sistem nilai.

D.   Model-Model Strategi Pembelajaran Afektif
Setiap strategi pembelajaran sikap pada umumnya menghadapkan siswa pada situasi yang mengandung konflik atau situasi problematis, melalui situasi ini di harapkan siswa dapat mengambil keputusan berdasarkan nilai yang dianggapnya baik. Di bawah ini disajikan beberapa model strategi pembelajaran pembentukan sikap :
1.      Model Konsiderasi
Model konsiderasi dikembangkan oleh MC.Paul, seorang humanis. Paul menganggap bahwa pembentukan moral tidak sama dengan pengembangan kognisi yang rasional. Pembelajaran moral siswa menurutnya adalah pembentukan pembentukan kepribadian bukan pengembangan intelektual. Oleh sebab itu, model ini menekankan kepada strategi pembelajaran yang dapat membentuk kepribadian. Tujuannya adalah agar siswa menjadi manusia yang memiliki kepedulian terhadap orang lain.
Implementasi model konsiderasi guru dapat mengikuti tahapan-tahapan pembelajaran seperti berikut:
a.       Menghadapkan siswa pada suatu masalah yang mengandung konflik,yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari.Ciptakan situasi”Seandainya siswa ada dalam masalah tersebut’’.
b.      Menyuruh siswa untuk menganalisis sesuatu masalah dengan melihat bukan hanya yang tampak,tapi juga yang tersirat dalam permasalahan tersebut,misalnya perasaan,kebutuhan,dan kepentingan orang lain.
c.       Menyuruh siswa untuk menuliskan tanggapannya terhadap permasalahan yang dihadapi.Hal ini dimaksudkan agar siswa dapat menelaah perasaannya sendiri sebelum mendengar respons orang lain untuk dibandingkan.
d.      Mengajak siswa untuk menganalisis respons orang lain serta membuat kategori dari setiap respons yang diberikan siswa.
e.       Mendorong siswa untuk merumuskan akibat atau konsekuensi dari setiap tindakan yang diusulkan siswa.Dalam tahapan ini siswa diajak berpikir tentang segala kemungkinan yang akan timbul sehubungan dengan tindakannya.
f.        Mengajak siswa untuk memandang permasalahan dari berbagai sudut pandang untuk menambah wawasan agar mereka dapat menimbang sikap tertentu sesuai dengan nilai yang dimilikinya.
g.       Mendorong siswa agar merumuskan sendiri tindakan yang harus dilakukan sesuai dengan pilihannya berdasarkan pertimbangannya sendiri.

2.      Model Pengembangan Kognitif
Model pengembangan kognisi dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg. Model ini banyak diilhami oleh pemikiran John Dewey yang berpendapat bahwa perkembangan manusia terjadi sebagai proses dari restrukturisasi kognitif yang berlangsung secara berangsur-angsur menurut urutan tertentu.

3.      Tehnik Mengklarifikasikan Nilai.
Tehnik volume clarification technic Que atau VCT dapat diartikan sebagai tehnik pengajaran untuk memebantu siswa dalam menerima dan menentukan suatu nilai yang di aggapnya baik dalam menghadapi suatu persoalan melalui proses menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam dalam diri siswa. VCT menekankan bagaimana sebenarnya seseorang membangun nilai yang menurut anggapannya baik, yang pada akhirnya nilai – nilai tersebut akan mewarnai perilaku dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.
Salah satu karakteristik VTC sebagai suatu model dalam strategi pembelajaran sikap adalah proses penanaman nilai dilakukan melalui proses analisis nilai yang sudah ada sebelumnya dalam diri siswa, kemudian menyelaraskannya dengan nilai-nilai baru yang hendak ditanamkan. John Jarolimek (1974) menjelaskan langkah pembelajaran dengan VCT dalam 3 tingkatan :
a.       Kebebasan memilih
b.      Menghargai
c.       Berbuat mengulangi perilaku sesuai dengan pilihannya .

4.      Pengembangan moral kognitif
Model ini bertujuan untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan mempertimbangkan nilai moral secara kognitif. Langkah-langkah pembelajaran moral kognitif :
a.       Menghadapkan siswa pada suatu situasi yang mengandung dilema moral atau pertentangan nilai.
b.      Siswa diminta salah satu tindakan yang mengandung nilai moral tertentu.
c.       Siwa diminta untuk mendiskusikan atau menganalisis kebaikan dan kejelekannya.
d.      Siswa didorong untuk mencari tindakan-tindakan yang lbih baik.
e.       Siswa menerapkan tindakan dalam segi lain.

5.      Model non direktif
Para siswa memiliki potensi dan kemampuan untuk berkembang sendiri. Perkembangan pribadi yang utuh berlangsung dalam suasana permisif dan kondusif. Guru hendaknya menghargai potensi dan kemampuan siswa, dan berperan sebagai fasilitator atau konselor dalam pengembangan kepribadian siswa. Penggunaan model ini bertujuan untuk membantu siswa mengaktualisasikan dirinya. Langkah pembelajaran nondirek :
a.       Menciptakan sesuatu yang peermisif melalui ekspresi bebas.
b.      Pengungkapan : siswa mengemukakan perasaan, pemikiran, masalah-masalah yang dihadapinya, kemudian guru menerima dan memberikan klasifikasi.
c.       Pengembangan pemahaman : siswa mendiskusikan masalah dan guru memberikan dorongan.
d.      Perencanaan dan penentuan keputusan: siswa merencanakan dan menentukan keputusan, kemudian guru memberikan klarifikasi.

E.    Prosedur Penerapan Atrategi Pembelajaran Afektif di Kelas
Pemakalah menerapkan pembelajaran afektif saat dikelas dengan pembagian lima kelompok. Setiap kelompok diberikan suatu permasalahan yang ada pada diri seorang peserta didik dengan permasalahan yang ada dilingkungan keluarga yaitu korupsi yang terjadi pada orang tua nya. Disini dalam setiap kelompok dihadapkan suatu permasalahan tersebut yang kemudian setiap kelompok harus memberikan solusi tentang bagaimana masa depan seorang peserta didik jika orang tuanya korupsi. Apakah dia tetap melanjutkan sekolah dengan biaya hasil korupsi padahal uang korupsi adalah uang haram! Atau dia tetap melanjutkan sekolah dengan biaya bekerja sendiri!

F.    Variasi Pengembangan Perangkat Penilaian Strategi Pembelajaran Afektif
a.       Pengukuran Ranah Afektif
Dalam memilih karakterisitik afektif untuk pengukuran, para pengelola pendidikan harus mempertimbangkan rasional teoritis dan program sekolah. Masalah yang timbul adalah bagaimana ranah afektif akan diukur. Isi dan validitas konstruk ranah afektif tergantung pada definisi operasional yang secara langsung mengikuti definisi konseptual.
Menurut Andersen ada dua metode yang dapat digunakan untuk mengukur ranah afektif, yaitu metode observasi dan metode laporan diri. Penggunaan metode observasi berdasarkan pada asumsi bahwa karateristik afektif dapat dilihat dari perilaku atau perbuatan yang ditampilkan dan/atau reaksi psikologi. Metode laporan diri berasumsi bahwa yang mengetahui keadaan afektif seseorang adalah dirinya sendiri. Namun hal ini menuntut kejujuran dalam mengungkap karakteristik afektif diri sendiri.

b.      Pengembangan Instrumen Penilaian Afektif
Ditinjau dari tujuannya ada lima macam instrumen pengukuran ranah afektif, yaitu instrumen (1) sikap, (2) minat,  (3) konsep diri, (4) nilai, dan (5) moral.
a)     Instrumen sikap
Instrumen sikap bertujuan untuk mengetahui sikap peserta didik terhadap suatu objek, misalnya terhadap kegiatan sekolah, mata pelajaran, pendidik, dan sebagainya. Sikap terhadap mata pelajaran bisa positif bisa negatif. Hasil pengukuran sikap berguna untuk menentukan strategi pembelajaran yang tepat.

b)    Instrumen minat
Instrumen minat bertujuan untuk memperoleh informasi tentang minat peserta didik terhadap mata pelajaran, yang selanjutnya digunakan untuk meningkatkan minat peserta didik terhadap mata pelajaran.

c)     Instrumen konsep diri
Instrumen konsep diri bertujuan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri. Peserta didik melakukan evaluasi secara objektif terhadap potensi yang ada dalam dirinya. Karakteristik potensi peserta didik sangat penting untuk menentukan jenjang karirnya. Informasi kekuatan dan kelemahan peserta didik digunakan untuk menentukan program yang sebaiknya ditempuh.

d)    Instrumen nilai
Instrumen nilai bertujuan untuk mengungkap nilai dan keyakinan peserta didik. Informasi yang diperoleh berupa nilai dan keyakinan yang   positif dan yang negatif. Hal-hal yang bersifat positif diperkuat sedangkan yang bersifat negatif dikurangi dan akhirnya dihilangkan.

e)     Instrumen moral
Instrumen moral bertujuan untuk mengungkap moral. Informasi moral seseorang diperoleh melalui pengamatan terhadap perbuatan yang ditampilkan dan laporan diri melalui pengisian kuesioner. Hasil pengamatan dan hasil kuesioner menjadi informasi tentang moral seseorang.

G.   Kelemahan Strategi Pembelajaran Afektif
Kelemahan strategi pembelajaran afektif
Pertama, selama ini proses pendidikan sesuai dengan kurikulum yang berlaku cenderung diarahkan untuk pembentukan intelektual.dengan demikian keberhasilan proses pendidikan dan proses pembelajaran di sekolah ditentukan oleh criteria kemampuan intelektual.
Kedua, sulitnya melakukan control karena banyaknya factor yang dapat mempengaruhi perkembangan sikap seseorang.
Ketiga,  keberhasilan pembentukan sikap tidak bisa dievaluasi dengan segera. Berbeda dengan keberhasilan pembentukan kognisi dan aspek ketrampilan yang hasilnya dapat diketahui setelah proses pembelajaran berakhir.
Keempat, pengaruh kemajuan teknologi,khususnya teknologi informasi yang menyuguhkan aneka pilihan program acara,berdampak pada pembentukan karakter anak.

PENUTUP
Banyak yang beranggapan bahwa pembelajaran afektif bukan untuk diajarkan, seperti pelajaran Biologi, Fisika ataupun Matematika. Pembelajaran afektif merupakan pembelajaran bagaimana sikap itu terbentuk setelah siswa memperoleh pembelajaran, oleh karena itu yang pas untuk afektif bukanlah pengajaran melainkan pendidikan. Afektif berhubungan sekali dengan nilai (value) yang sulit diukur karena menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam. Dalam batas tertentu afektif dapat muncul dalam kejadian Behavioral, akan tetapi penilaian untuk sampai pada kesimpulan yang dapat di pertanggungjawabkan membutuhkan ktelitian dan observasi yang terus menerus dan hal ini tidak mudah dilakukan, dalam proses pembelajaran di sekolah, baik secara disadari maupun tidak guru dapat menanamkan sikap tertentu kepada siswa melalui proses pembiasaan.
Yang termasuk kemampuan afektif adalah sebagai berikut :
  1. Menerima (Receiving) yaitu : kesediaan untuk memperhatikan.
  2. Menanggapi (Responding), yaitu afektif berpartisipasi.
  3. Menghargai (Valuing), yaitu penghargaan kepada benda, gejala, perbuatan tertentu.
  4. Membentuk (Organization), yaitu : memadukan nilai yang berbeda.
  5. Berpribadi (Characterization by Value of value complex), yaitu : Mempunyai sistem nilai yang mengendalikan perbuatan untuk menumbuhkan gaya hidup yang mantap.

DAFTAR PUSTAKA
Hamruni. strategi Dan Model-model Pembelajaran Aktif dan Menyenangkan.  Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga. 2009
Wina Sanjaya. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta : Kencana. 2008
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.