STRATEGI PEMBELAJARAN AFEKTIF
oleh
Muhammad Syamsuddin
Mahasiswa Pascasarjana STAIN Pekalongan
PENDAHULUAN
Strategi pembelajaran
afektif merupakan suatu metode dalam proses pembelajaran yang menekankan pada
nilai dan sikap yang diukur, oleh karena itu menyangkut kesadaran seorang yang
tumbuh dari dalam.
Dalam pengaplikasian
terhadap pembelajaran yang diberikan guru, dalam pemberian contoh terhadap yang
diberikan guru hendaknya siswa difasilitasi dengan lingkungan yang baik, saya
lihat sebagian sekolah, bahwasanya lingkungan sekitar sekolah tidak nyaman
untuk melakukan pembelajaran yang afektif, dan juga lingkungan masyarakat, maka
dari itu pembentukan sikap akan sulit dilaksanakan.
Misalnya ketika anak
diajarkan tentang keharusan bersifat jujur dan disiplin, maka sifat tersebut
akan sulit diinternalisasi manakala lingkungan diluar sekolah anak banyak
melihat prilaku-prilaku ketidakjujuran dan ketidakdisiplinan. Walaupun guru
sekolah begitu keras menekankan pentingnya sikap tertib berlalu lintas.
Maka sikap tersebut
akan sulit diadopsi oleh anak manakala ia melihat begitu banyak orang-orang
yang melanggar lalu lintas, demikian juga walaupun disekolah guru-guru
menerangkan dan menegaskan perlunya bagi anak untuk bekata sopan dan halus
disertai contoh prilaku guru, akan tetapi sifat itu sulit diterima oleh anak
manakala diluar sekolah begitu banyak manusia yang berkata kasar dan tidak
sopan.
A.
Pengertian
dan konsep strategi pembelajaran afektif.
Strategi pembelajaran afektif adalah strategi yang bukan hanya bertujuan
untuk mencapai pendidikan kognitif saja. Melainkan bertujuan untuk mencapai dimensi yang lainnya. diantaranya sikap dan keterampilan afektif berhubungan dengan volume
yang sulit diukur karena menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam.
Afeksi juga dapat muncul dalam kejadian behavioral yang
diakibatkan dari proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru.
Kemampuan aspek afektif berhubungan dengan minat dan sikap yang dapat
berupa tanggung jawab, kerja sama, disiplin, komitmen, percaya diri, jujur,
menghargai pendapat orang lain dan kemampuan mengendalikan diri. Semua
kemampuan ini harus menjadi bagian dari tujuan pembelajaran di sekolah, yang
akan dicapai melalui kegiatan pembelajaran yang tepat. Dalam pengertian lain
disebutkan bahwa ranah afektif sangat mempengaruhi perasaan dan emosi.
Masalah afektif yang bersifat kejiwaan dan berada di dalam diri manusia,
sulit dibaca dan diukur. Namun mampu dikaji melalui sejumlah indikator.
Karenanya pembelajaran afektif pun hendaknya memanfaatkan media indikator ini
untuk dapat menembus hati nurani dan perasaan anak, dan guru harus telaten
serta ulet, karena untuk mampu membuka tabir diri anak dan membina keseluruhan
kejiwaannya kita harus menggunakan aneka teknik dan metode.
Demikian halnya dalam membinanya. Hal lain yang pemakalah ingin ingatkan
bahwa dalam mengajar afektif/nilai sebenarya juga dalam pembelajaran
lainnya yang terutama harus mengetahui/menyatakan keadaan sesuatu bukanlah guru
melainkan anak itu sendiri. Maka kita tidak usah paksa/ambisius untuk
tahu segalanya melainkan melontarkan upaya/stimulus agar anak dapa menampilkan
jati dirinya yang sebenarnya. Boleh saja anak mengatakan “saya belum pernah
mencuri”, tetapi melalui stimulus/media yang kita lontarkan dalam pembelajaran
anak itu berdialog dan menjawabnya bohong karena sebenarnya pernah mencuri lalu
menilainya baik atau tidak perbuatan tersebut serta muncul jawaban dan niat
baru.
B.
Nilai-Nilai Karakter Dalam Strategi Pembelajaran Afektif
Pemikiran atau perilaku harus memiliki dua kriteria untuk diklasifikasikan
sebagai ranah afektif (Andersen, 1981:4). Pertama, perilaku melibatkan perasaan
dan emosi seseorang. Kedua, perilaku harus tipikal perilaku seseorang. Kriteria
lain yang termasuk ranah afektif adalah intensitas, arah, dan target.
Intensitas menyatakan derajat atau kekuatan dari perasaan.
Arah perasaan berkaitan dengan orientasi positif atau negatif dari perasaan
yang menunjukkan apakah perasaan itu baik atau buruk. Misalnya senang pada
pelajaran dimaknai positif, sedang kecemasan dimaknai negatif. Bila
intensitas dan arah perasaan ditinjau bersama-sama, maka karakteristik afektif
berada dalam suatu skala yang kontinum. Target mengacu pada objek, aktivitas,
atau ide sebagai arah dari perasaan. Bila kecemasan merupakan karakteristik
afektif yang ditinjau, ada beberapa kemungkinan target. Peserta didik mungkin
bereaksi terhadap sekolah, matematika, situasi sosial, atau pembelajaran. Tiap
unsur ini bisa merupakan target dari kecemasan. Kadang-kadang target ini
diketahui oleh seseorang namun kadang-kadang tidak diketahui. Seringkali peserta
didik merasa cemas bila menghadapi tes di kelas. Peserta didik tersebut
cenderung sadar bahwa target kecemasannya adalah tes.
Ada 5 (lima) tipe nilai karakteristik afektif yang penting, yaitu sikap,
minat, konsep diri, nilai, dan moral.
1.
Sikap
Sikap merupakan suatu kencendrungan untuk bertindak secara suka atau tidak
suka terhadap suatu objek. Sikap dapat dibentuk melalui cara mengamati dan
menirukan sesuatu yang positif, kemudian melalui penguatan serta menerima
informasi verbal. Perubahan sikap dapat diamati dalam proses pembelajaran,
tujuan yang ingin dicapai, keteguhan, dan konsistensi terhadap sesuatu.
Penilaian sikap adalah penilaian yang dilakukan untuk mengetahui sikap peserta
didik terhadap mata pelajaran, kondisi pembelajaran, pendidik, dan sebagainya.
2.
Minat
Menurut kamus besar bahasa Indonesia (1990: 583), minat atau
keinginan adalah kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu. Hal penting
pada minat adalah intensitasnya. Secara umum minat termasuk karakteristik
afektif yang memiliki intensitas tinggi.
3.
Konsep Diri
Konsep diri ini penting untuk menentukan jenjang karir peserta didik, yaitu
dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri, dapat dipilih alternatif
karir yang tepat bagi peserta didik. Selain itu informasi konsep diri
penting bagi sekolah untuk memberikan motivasi belajar peserta didik dengan
tepat.
Penilaian konsep diri dapat dilakukan dengan penilaian diri. Kelebihan dari
penilaian diri adalah sebagai berikut.
- Pendidik mampu mengenal kelebihan dan kekurangan peserta didik.
- Peserta didik mampu merefleksikan kompetensi yang sudah dicapai.
- Pernyataan yang dibuat sesuai dengan keinginan penanya.
- Memberikan motivasi diri dalam hal penilaian kegiatan peserta didik.
- Peserta didik lebih aktif dan berpartisipasi dalam proses pembelajaran.
- Dapat digunakan untuk acuan menyusun bahan ajar dan mengetahui standar input peserta didik.
- Peserta didik dapat mengukur kemampuan untuk mengikuti pembelajaran.
4.
Nilai
Manusia belajar menilai suatu objek, aktivitas, dan ide sehingga objek ini
menjadi pengatur penting minat, sikap, dan kepuasan. Oleh karenanya satuan
pendidikan harus membantu peserta didik menemukan dan menguatkan nilai yang
bermakna dan signifikan bagi peserta didik untuk memperoleh kebahagiaan
personal dan memberi konstribusi positif terhadap masyarakat.
5.
Moral
Piaget dan Kohlberg banyak membahas tentang perkembangan moral anak. Namun
Kohlberg mengabaikan masalah hubungan antara judgement
moral dan tindakan moral. Ia hanya mempelajari prinsip
moral seseorang melalui penafsiran respon verbal terhadap dilema hipotetikal
atau dugaan, bukan pada bagaimana sesungguhnya seseorang bertindak.
Moral berkaitan dengan perasaan salah atau benar terhadap kebahagiaan orang
lain atau perasaan terhadap tindakan yang dilakukan diri sendiri. Misalnya
menipu orang lain, membohongi orang lain, atau melukai orang lain baik fisik
maupun psikis. Moral juga sering dikaitkan dengan keyakinan agama seseorang,
yaitu keyakinan akan perbuatan yang berdosa dan berpahala. Jadi moral berkaitan
dengan prinsip, nilai, dan keyakinan seseorang.
C.
Proses Pembentukan Sikap
Dalam Strategi Pembelajaran Afektif
Terbentuknya
sebuah sikap pada diri seseorang tidaklah secara tiba-tiba, tetapi melewati
proses yang terkadang cukup lama. Proses ini biasanya dilakukan lewat
pembiasaan dan modeling (percontohan).
1.
Pola pembiasaan
Dalam proses pembelajaran di sekolah, baik secara di sadari maupun tidak,
guru dapat menanamkan sikap tertentu kepada siswa melalui proses pembiasaan, misalnya
sikap siswa yang setiap kali menerima perilaku yang tidak menyenangkan dari
guru, satu contoh mengejek atau menyinggung perasaan anak. Maka lama kelamaan
akan timbul perasaan benci dari anak yang pada akhirnya dia juga akan membenci
pada guru dan mata pelajarannya, untuk mengembalikannya pada sikap positif
bukanlah pekerjaan mudah.
Belajar membentuk sikap melalui pembiasaan itu juga dilakukan oleh
Skinner melalui teorinya operant conditioning. Proses pembentukan sikap melalui
pembiasaan yang dilakukan oleh Watson berbeda dengan proses pembiasaan sikap
yang dilakukan oleh Skinner. Pembentukan sikap yang dilakukan oleh Skinner
menekankan pada proses peneguhan respon anak. Setiap kali anak berprestasi yang
baik diberikan penguatan (reinforcement) dengan cara memberikan hadiah atau
perilaku yang menyenangkan, lama-kelamaan anak berusaha meningkatkan sikap
positifnya.
2.
Modeling.
Pembelajaran sikap dapat juga dilakukan melalui proses modeling yaitu
pembentukan sikap melalui proses asimilasi atau proses pencontoaan. Salah satu
karakteristik anak didik yang sedang berkembang adalah keinginan untuk
melakukan peniruan (imitasi). Hal yang di tiru itu adalah perilaku-perilaku
yang di peragakan atau di demontrasikan oleh orang yang menjadi idolanya.
Prinsip peniruan in ilah yang disebut dengan modeling, jadi modeling adalah
proses peniruan anak terhadap orang lain yang menjadi idolanya atau orang yang
dihormatinya.
Proses penanaman sikap anak terhadap suatu objek melalui proses
modeling pada mulanya dilakukan secara mencontoh, namun anak perlu
diberi pemahaman mengapa hal itu dilakukan. Misalnya: guru perlu menjelaskan
mengapa kita harus telaten terhadap tanaman, atau mengapa kita harus berpakaian
bersih dan rapi. Hal ini diperlukan agar sikap tertentu yang muncul benar-benar
didasari oleh suatu keyakinan kebenaran sebagai suatu sistem nilai.
D.
Model-Model Strategi Pembelajaran Afektif
Setiap strategi pembelajaran sikap pada umumnya menghadapkan siswa pada
situasi yang mengandung konflik atau situasi problematis, melalui situasi ini
di harapkan siswa dapat mengambil keputusan berdasarkan nilai yang dianggapnya
baik. Di bawah ini disajikan beberapa model strategi pembelajaran pembentukan
sikap :
1.
Model Konsiderasi
Model konsiderasi dikembangkan oleh MC.Paul, seorang humanis. Paul
menganggap bahwa pembentukan moral tidak sama dengan pengembangan kognisi yang
rasional. Pembelajaran moral siswa menurutnya adalah pembentukan pembentukan
kepribadian bukan pengembangan intelektual. Oleh sebab itu, model ini menekankan
kepada strategi pembelajaran yang dapat membentuk kepribadian. Tujuannya adalah
agar siswa menjadi manusia yang memiliki kepedulian terhadap orang lain.
Implementasi model konsiderasi guru dapat mengikuti tahapan-tahapan
pembelajaran seperti berikut:
a.
Menghadapkan siswa pada suatu masalah yang mengandung
konflik,yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari.Ciptakan
situasi”Seandainya siswa ada dalam masalah tersebut’’.
b.
Menyuruh siswa untuk menganalisis sesuatu masalah dengan
melihat bukan hanya yang tampak,tapi juga yang tersirat dalam permasalahan
tersebut,misalnya perasaan,kebutuhan,dan kepentingan orang lain.
c.
Menyuruh siswa untuk menuliskan tanggapannya terhadap
permasalahan yang dihadapi.Hal ini dimaksudkan agar siswa dapat menelaah perasaannya
sendiri sebelum mendengar respons orang lain untuk dibandingkan.
d.
Mengajak siswa untuk menganalisis respons orang lain
serta membuat kategori dari setiap respons yang diberikan siswa.
e.
Mendorong siswa untuk merumuskan akibat atau konsekuensi
dari setiap tindakan yang diusulkan siswa.Dalam tahapan ini siswa diajak
berpikir tentang segala kemungkinan yang akan timbul sehubungan dengan
tindakannya.
f.
Mengajak siswa untuk memandang permasalahan dari berbagai
sudut pandang untuk menambah wawasan agar mereka dapat menimbang sikap tertentu
sesuai dengan nilai yang dimilikinya.
g.
Mendorong siswa agar merumuskan sendiri tindakan yang
harus dilakukan sesuai dengan pilihannya berdasarkan pertimbangannya sendiri.
2.
Model Pengembangan Kognitif
Model pengembangan kognisi dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg. Model ini
banyak diilhami oleh pemikiran John Dewey yang berpendapat bahwa perkembangan
manusia terjadi sebagai proses dari restrukturisasi kognitif yang berlangsung
secara berangsur-angsur menurut urutan tertentu.
3.
Tehnik Mengklarifikasikan Nilai.
Tehnik volume clarification technic Que
atau VCT dapat diartikan sebagai tehnik pengajaran untuk memebantu siswa dalam
menerima dan menentukan suatu nilai yang di aggapnya baik dalam menghadapi
suatu persoalan melalui proses menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam
dalam diri siswa. VCT menekankan bagaimana sebenarnya seseorang membangun nilai
yang menurut anggapannya baik, yang pada akhirnya nilai – nilai tersebut akan
mewarnai perilaku dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.
Salah satu karakteristik VTC sebagai suatu model dalam strategi
pembelajaran sikap adalah proses penanaman nilai dilakukan melalui proses
analisis nilai yang sudah ada sebelumnya dalam diri siswa, kemudian
menyelaraskannya dengan nilai-nilai baru yang hendak ditanamkan. John Jarolimek
(1974) menjelaskan langkah pembelajaran dengan VCT dalam 3 tingkatan :
a.
Kebebasan memilih
b.
Menghargai
c.
Berbuat mengulangi perilaku sesuai dengan pilihannya
.
4.
Pengembangan moral kognitif
Model ini bertujuan untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan
mempertimbangkan nilai moral secara kognitif. Langkah-langkah pembelajaran
moral kognitif :
a.
Menghadapkan siswa pada suatu situasi yang mengandung
dilema moral atau pertentangan nilai.
b.
Siswa diminta salah satu tindakan yang mengandung nilai
moral tertentu.
c.
Siwa diminta untuk mendiskusikan atau menganalisis
kebaikan dan kejelekannya.
d.
Siswa didorong untuk mencari tindakan-tindakan yang lbih baik.
e.
Siswa menerapkan tindakan dalam segi lain.
5.
Model non direktif
Para siswa memiliki potensi dan kemampuan untuk berkembang sendiri.
Perkembangan pribadi yang utuh berlangsung dalam suasana permisif dan kondusif.
Guru hendaknya menghargai potensi dan kemampuan siswa, dan berperan sebagai
fasilitator atau konselor dalam pengembangan kepribadian siswa. Penggunaan
model ini bertujuan untuk membantu siswa mengaktualisasikan dirinya. Langkah
pembelajaran nondirek :
a.
Menciptakan sesuatu yang peermisif melalui ekspresi
bebas.
b.
Pengungkapan : siswa mengemukakan perasaan, pemikiran,
masalah-masalah yang dihadapinya, kemudian guru menerima dan memberikan
klasifikasi.
c.
Pengembangan pemahaman : siswa mendiskusikan masalah dan guru
memberikan dorongan.
d.
Perencanaan dan penentuan keputusan: siswa merencanakan
dan menentukan keputusan, kemudian guru memberikan klarifikasi.
E. Prosedur Penerapan Atrategi Pembelajaran Afektif di Kelas
Pemakalah menerapkan pembelajaran afektif saat dikelas dengan pembagian
lima kelompok. Setiap kelompok diberikan suatu permasalahan yang ada pada diri
seorang peserta didik dengan permasalahan yang ada dilingkungan keluarga yaitu
korupsi yang terjadi pada orang tua nya. Disini dalam setiap kelompok
dihadapkan suatu permasalahan tersebut yang kemudian setiap kelompok harus
memberikan solusi tentang bagaimana masa depan seorang peserta didik jika orang
tuanya korupsi. Apakah dia tetap melanjutkan sekolah dengan biaya hasil korupsi
padahal uang korupsi adalah uang haram! Atau dia tetap melanjutkan sekolah
dengan biaya bekerja sendiri!
F.
Variasi Pengembangan Perangkat Penilaian Strategi
Pembelajaran Afektif
a.
Pengukuran Ranah Afektif
Dalam memilih karakterisitik afektif untuk pengukuran, para pengelola
pendidikan harus mempertimbangkan rasional teoritis dan program sekolah.
Masalah yang timbul adalah bagaimana ranah afektif akan diukur. Isi dan
validitas konstruk ranah afektif tergantung pada definisi operasional yang
secara langsung mengikuti definisi konseptual.
Menurut Andersen ada dua metode yang dapat digunakan untuk mengukur ranah
afektif, yaitu metode observasi dan metode laporan diri. Penggunaan metode
observasi berdasarkan pada asumsi bahwa karateristik afektif dapat dilihat dari
perilaku atau perbuatan yang ditampilkan dan/atau reaksi psikologi. Metode
laporan diri berasumsi bahwa yang mengetahui keadaan afektif seseorang adalah
dirinya sendiri. Namun hal ini menuntut kejujuran dalam mengungkap
karakteristik afektif diri sendiri.
b.
Pengembangan Instrumen Penilaian Afektif
Ditinjau dari tujuannya ada lima macam instrumen pengukuran ranah afektif,
yaitu instrumen (1) sikap, (2) minat, (3) konsep diri, (4) nilai, dan (5)
moral.
a)
Instrumen sikap
Instrumen sikap bertujuan untuk mengetahui sikap peserta didik terhadap
suatu objek, misalnya terhadap kegiatan sekolah, mata pelajaran, pendidik, dan
sebagainya. Sikap terhadap mata pelajaran bisa positif bisa negatif. Hasil
pengukuran sikap berguna untuk menentukan strategi pembelajaran yang tepat.
b)
Instrumen minat
Instrumen minat bertujuan untuk memperoleh informasi tentang minat peserta
didik terhadap mata pelajaran, yang selanjutnya digunakan untuk meningkatkan
minat peserta didik terhadap mata pelajaran.
c)
Instrumen konsep diri
Instrumen konsep diri bertujuan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan
diri sendiri. Peserta didik melakukan evaluasi secara objektif terhadap potensi
yang ada dalam dirinya. Karakteristik potensi peserta didik sangat penting
untuk menentukan jenjang karirnya. Informasi kekuatan dan kelemahan peserta
didik digunakan untuk menentukan program yang sebaiknya ditempuh.
d)
Instrumen nilai
Instrumen nilai bertujuan untuk mengungkap nilai dan keyakinan peserta
didik. Informasi yang diperoleh berupa nilai dan keyakinan yang
positif dan yang negatif. Hal-hal yang bersifat positif diperkuat sedangkan
yang bersifat negatif dikurangi dan akhirnya dihilangkan.
e)
Instrumen moral
Instrumen moral bertujuan untuk mengungkap moral. Informasi moral seseorang
diperoleh melalui pengamatan terhadap perbuatan yang ditampilkan dan laporan
diri melalui pengisian kuesioner. Hasil pengamatan dan hasil kuesioner menjadi
informasi tentang moral seseorang.
G.
Kelemahan Strategi Pembelajaran Afektif
Kelemahan strategi pembelajaran afektif
Pertama, selama ini proses pendidikan sesuai dengan
kurikulum yang berlaku cenderung diarahkan untuk pembentukan intelektual.dengan
demikian keberhasilan proses pendidikan dan proses pembelajaran di sekolah
ditentukan oleh criteria kemampuan intelektual.
Kedua, sulitnya melakukan control karena banyaknya factor
yang dapat mempengaruhi perkembangan sikap seseorang.
Ketiga, keberhasilan pembentukan sikap tidak bisa dievaluasi
dengan segera. Berbeda dengan keberhasilan pembentukan kognisi dan aspek
ketrampilan yang hasilnya dapat diketahui setelah proses pembelajaran berakhir.
Keempat, pengaruh kemajuan teknologi,khususnya teknologi informasi
yang menyuguhkan aneka pilihan program acara,berdampak pada pembentukan
karakter anak.
PENUTUP
Banyak yang beranggapan bahwa pembelajaran afektif bukan untuk diajarkan,
seperti pelajaran Biologi, Fisika ataupun Matematika. Pembelajaran afektif
merupakan pembelajaran bagaimana sikap itu terbentuk setelah siswa memperoleh
pembelajaran, oleh karena itu yang pas untuk afektif bukanlah pengajaran
melainkan pendidikan. Afektif berhubungan sekali dengan nilai (value) yang sulit diukur karena
menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam. Dalam batas tertentu
afektif dapat muncul dalam kejadian Behavioral, akan tetapi penilaian untuk
sampai pada kesimpulan yang dapat di pertanggungjawabkan membutuhkan ktelitian
dan observasi yang terus menerus dan hal ini tidak mudah dilakukan, dalam
proses pembelajaran di sekolah, baik secara disadari maupun tidak guru dapat
menanamkan sikap tertentu kepada siswa melalui proses pembiasaan.
Yang termasuk kemampuan afektif adalah sebagai berikut :
- Menerima (Receiving) yaitu : kesediaan untuk memperhatikan.
- Menanggapi (Responding), yaitu afektif berpartisipasi.
- Menghargai (Valuing), yaitu penghargaan kepada benda, gejala, perbuatan tertentu.
- Membentuk (Organization), yaitu : memadukan nilai yang berbeda.
- Berpribadi (Characterization by Value of value complex), yaitu : Mempunyai sistem nilai yang mengendalikan perbuatan untuk menumbuhkan gaya hidup yang mantap.
DAFTAR PUSTAKA
Hamruni.
strategi Dan Model-model Pembelajaran
Aktif dan Menyenangkan. Fakultas Tarbiyah
UIN Sunan Kalijaga. 2009
Wina Sanjaya.
Strategi Pembelajaran Berorientasi
Standar Proses Pendidikan. Jakarta : Kencana. 2008
Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian
Pendidikan. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan
Menengah.