KONSEP PENDIDIKAN
(Hadits
Tentang Terpecahnya Umat Islam Menjadi 73 Golongan)
Oleh
Muhammad Syamsuddin
Pascasarjana IAIN PEKALONGAN
2015
Pascasarjana IAIN PEKALONGAN
2015
PENDAHULUAN
Hadîts mengenai
perpecahan umat merupakan ẖadîts yang populer dan masyhur karena banyak yang
meriwayatkan, namun yang menarik dari ẖadîts
terpecahnya umat adalah karena ẖadîts tersebut tidak diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim
dalam kitab Shaẖiẖain-nya. Di dalam ẖadîts
tersebut juga terdapat
masalah, yaitu masalah
penilaian perpecahan umat menjadi
lebih banyak dari
perpecahan Yahudi dan Nasrani dari satu segi, dan bahwa firqah-firqah
ini seluruhnya binasa dan masuk neraka kecuali hanya satu saja. Ini akan
membuka pintu bagi klaim- klaim setiap firqah bahwa dialah firqah yang
benar, sementara yang lain binasa.
Hal ini tentunya akan
memecah belah umat, mendorong mereka untuk saling cela satu sama lain, sehingga
akan melemahkan umat secara keseluruhan
dan memperkuat musuhnya.
Oleh karena itu, Ibnu
Waziir mencurigai ẖadîts ini secara umum terutama pada
tambahannya itu. Karena, hal itu
akan membuat kepada penyesatan umat satu sama lain, bahkan membuat mereka
saling mengkafirkan.
Berdasarkan hal
tersebut, maka penelitian untuk memahami secara mendalam terhadap ẖadîts
tersebut sangat diperlukan untuk menghindari kesalahpahaman diantara
umat Islam. Salah
satu sebab perbedaan pendapat yang akhirnya berujung
kepada perpecahan itu adalah karena tidak mampu memahami permasalahan secara
menyeluruh, yang satu memahaminya melalui satu sisi dan yang lain melalui sisi
yang lain pula.
PEMBAHASAN
حدثنا حسن ثنا
حدثنا بن لهيعة ثنا خالد بن يزيد عن سعيد بن أبي هلال عن أنس بن مالك أن رسول الله
صلى الله عليه و سلم قال : ان بني إسرائيل تفرقت إحدى وسبعين فرقة فهلكت سبعون
فرقة وخلصت فرقة واحدة وإن أمتي ستفترق على اثنتين وسبعين فرقة فتهلك إحدى وسبعين
وتخلص فرقة قالوا يا رسول الله من تلك الفرقة قال الجماعة الجماعة
Artinya: Telah menceritakan kepada
kami
Hasan
telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi'ah telah menceritakan kepada kami Kholid bin Yazid dari Said bin Abi Hilal dari Anas bin Malik sesungguhnya
Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam
bersabda, "Bani Isra'il terpecah
menjadi tujuh puluh satu golongan, akan hancur tujuh puluh golongan
dan tersisa satu golongan saja. Dan sesungguhnya umatku
akan terpecah menjadi tujuh puluh
dua golongan, akan
hancur tujuh puluh
satu
golongan, dan yang selamat hanya satu golongan saja." Mereka bertanya,
"Wahai Rasulullah siapakah glongan itu tersebut?" beliau menjawab,
"Yaitu jama'ah, Yaitu
jama'ah.[1]
A. Redaksi Ḫadîts Terpecahnya Umat Islam Menjadi
73 Golongan
1.
Takhrij Ḫadîts
Tahap awal dalam
melaksanakan kajian ma‟âni al-ẖadîts ialah mengemukakan semua hasil takhrij
ẖadîts sebagaimana tiap- tiap ẖadîts yang dijadikan obyek kajian telah dirujuk
dari sumber primernya.
Merujuk pada kamus Mu‟jam
al-Mufahras li Alfadzil ẖadîts sebagai kamus penunjang penelusuran ẖadîts
menggunakan sebagian matan, kata firqah yang berkaitan dengan kata taftariqu,
iftaraq, terdapat di dalam kitab Sunan Abi Daud sebanyak dua ẖadîts, Sunan
Tirmidzi dua ẖadîts, dan Sunan Ibn Majah sebanyak dua ẖadîts.
Untuk penelusuran pada
kitab Musnad Aẖmad untuk terbitan
yang terbaru, menggunakan
mu‟jam dari kitab aslinya yang berada di juz IX, di dalamnya terdapat empat ẖadîts yang
membahas tentang perpecahan umat Islam menjadi tujuh puluh tiga golongan.
Berikut
beberapa redaksi ẖadîts dari berbagai kitab yang telah tersebut:
a.
Dalam Kitab Musnad al-Imam Aẖmad
Ḫadîts tentang Iftaraq
dalam Musnad al-Imam Aẖmad ada di dua tempat yaitu:
1)
Kitab Sisa Musnad Sahabat yang banyak meriwayatkan ẖadîts, Bab : Musnad Abu Hurairah
Radliyallahu‘anhu ẖadîts no.8404 sebagai berikut:
عن أبي هريرة
قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : افترقت اليهود على إحدى أو اثنتين وسبعين
فرقة وتفترق أمتي على ثلاث وسبعين فرقة
Artinya: Dari Abu Hurairah ia berkata; Rasulullah shallallahu „alaihi
wasallam Bersabda:
“Yahudi terpecah menjadi tujuh
puluh satu atau dua golongan,
dan ummatku terpecah
menjadi tujuh puluh tiga golongan”.[2]
2) Pada Kitab: Sisa Musnad sahabat yang
banyak meriwayatkan
ẖadîts
Bab: Musnad Anas bin Malik Radliyallahu ‘anhu ẖadîts no. 12209.
حدثنا عبد
الله حدثني أبي ثنا وكيع ثنا عبد العزيز يعني الماجشون عن صدقة بن يسار عن العميري
عن أنس بن مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : ان بني إسرائيل قد افترقت
على ثنتين وسبعين فرقة وأنتم تفترقون على مثلها كلها في النار الا فرقة
Artinya: Telah menceritakan kepada
kami Waki‟ berkata,
telah menceritakan kepada kami „Abdul Aziz -yaitu Al Majisyun- dari Shadaqah bin Yasar dari al-Numairi dari Anas bin Malik ia berkata; Rasulullah
shallallahu „alaihi wasallam
bersabda: “Sesungguhnya
bani
Isra`il terpecah
menjadi tujuh
puluh dua golongan dan kalian
juga akan terpecah seperti mereka,
semuanya masuk neraka kecuali
satu golongan saja.[3]
b. Dalam kitab Sunan Abi Daud
Ḫadîts mengenai iftaraq pada Sunan Abi Daud terdapat di dua tempat
yakni:
1)
Pada Kitab: Sunnah
Bab: Sarh Sunnah,
ẖadîts no. 4596 sebagaimana berikut:
حَدَّثَنَا
وَهْبُ بْنُ بَقِيَّةَ ، عَنْ خَالِدٍ ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو ، عَنْ أَبِي
سَلَمَةَ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه
وسلم : افْتَرَقَتِ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ
فِرْقَةً ، وَتَفَرَّقَتِ النَّصَارَى
عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً ، وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي
عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً.
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Wahb bin Baqiyyah dari Khalid dari Muhammad bin
„Amru dari Abu Salamah dari Abu Hurairah ia berkata, "Rasulullah
shallallahu „alaihi wasallam bersabda: “Yahudi terpecah menjadi tujuh
puluh satu atau
tujuh puluh dua
golongan, Nashara terpecah menjadi
tujuh puluh satu
atau tujuh puluh
dua golongan, dan umatku
akan terpecah menjadi
tujuh puluh tiga golongan.[4]
2) Kemudian dalam Kitab: Sunnah Bab : Sarh Sunnah ẖadîts no. 4597:
حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ ، وَمُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى ، قَالاَ : حَدَّثَنَا أَبُو
الْمُغِيرَةِ ، حَدَّثَنَا صَفْوَانُ ، ح وحَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عُثْمَانَ ،
حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ ، قَالَ : حَدَّثَنِي صَفْوَانُ ، نَحْوَهُ قَالَ :
حَدَّثَنِي أَزْهَرُ بْنُ عَبْدِ اللهِ الْحَرَازِيُّ ، عَنْ أَبِي عَامِرٍ
الْهَوْزَنِيِّ ، عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ ، أَنَّهُ قَامَ فِينَا
فَقَالَ : أَلاَ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَامَ فِينَا فَقَالَ :
أَلاَ إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ
وَسَبْعِينَ مِلَّةً ، وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٍ
وَسَبْعِينَ : ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ ، وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ ،
وَهِيَ الْجَمَاعَةُ زَادَ ابْنُ يَحْيَى ، وَعَمْرٌو فِي حَدِيثَيْهِمَا
وَإِنَّهُ سَيَخْرُجُ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ تَجَارَى بِهِمْ تِلْكَ الأَهْوَاءُ
، كَمَا يَتَجَارَى الْكَلْبُ لِصَاحِبِهِ وَقَالَ عَمْرٌو : الْكَلْبُ
بِصَاحِبِهِ لاَ يَبْقَى مِنْهُ عِرْقٌ وَلاَ مَفْصِلٌ إِلاَّ دَخَلَهُ.
Artinya: Telah
menceritakan kepada kami Aẖmad bin
Hanbal dan Muhammad bin Yahya
keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Abu al-Mughirah berkata, telah
menceritakan kepada kami Shafwan. (dalam jalur lain disebutkan) „Amru bin
Utsman berkata, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah ia berkata; telah
menceritakan kepadaku Shafwan seperti itu. Ia berkata, "telah menceritakan
kepadaku Azhar bin „Abdullah
al-Harazi dari Abu
„Amir al-Hauzani dari Mu‟awiyah bin Abu Sufyan Bahwasanya saat
sedang besama kami ia berkata, “Ketahuilah, ketika sedang bersama kami
Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam bersabda: “Ketahuilah! Sesungguhnya
orang-orang sebelum kalian dari kalangan ahlu kitab berpecah belah menjadi
tujuh puluh dua golongan, dan umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga
golongan; tujuh puluh dua golongan masuk neraka dan satu golongan masuk surga,
yaitu Al Jama'ah”. Ibnu Yahya dan Amru menambahkan dalam ẖadîts
keduanya, “Sesungguhnya akan
keluar dari umatku beberapa kaum yang mengikuti hawa
nafsunya seperti anjing mengikuti tuannya”. Amru berkata, “Seekor lekat dengan
tuannya, yang jika ada tulang bersamanya pasti dia akan mengikutinya.[5]
c.
Kitab Al-jami’ al-sahih sunan al-Tirmidi
Ḫadîts
mengenai iftaraq pada sunan Tirmidzi, terdapat di dua tempat yaitu:
1) Kitab: Iman, Bab : Umat ini akan terpecah
belah ẖadîts no.2640:
حَدَّثَنَا
الْحُسَيْنُ بْنُ حُرَيْثٍ أَبُو عَمَّارٍ حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ مُوسَى عَنْ
مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ أَبِى سَلَمَةَ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « تَفَرَّقَتِ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى
وَسَبْعِينَ أَوِ اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَالنَّصَارَى مِثْلَ ذَلِكَ
وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِى عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً ». وَفِى الْبَابِ عَنْ
سَعْدٍ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو وَعَوْفِ بْنِ مَالِكٍ. قَالَ أَبُو عِيسَى
حَدِيثُ أَبِى هُرَيْرَةَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ.
Artinya: Telah
menceritakan kepada kami
al-Husain bin Huraits
Abu Ammar telah menceritakan kepada kami al-Fadhl bin Musa dari Muhammad
bin „Amru dari Abu Salamah dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda:
“Kaum Yahudi terpecah menjadi
tujuh puluh satu
atau tujuh puluh
dua golongan. Sedangkan kaum
Nashrani seperti itu juga. Dan umatku terpecah menjadi tujuh puluh tiga
golongan”. Dan dalam bab ẖadîts tersebut juga diriwayatkan dari Sa'd dan
Abdullah bin Amru serta Auf bin Malik. Abu Isa berkata; “ẖadîts Abu Hurairah
adalah ẖadîts Ḫasan shahih.[6]
2) Pada Kitab: Iman Bab : Umat ini akan terpecah
belah ẖadîts no.2641:
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ
غَيْلاَنَ حَدَّثَنَا أَبُو أَحْمَدَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ يَزِيدَ بْنِ
أَبِى زِيَادٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ عَنِ الْمُطَّلِبِ بْنِ أَبِى
وَدَاعَةَ قَالَ جَاءَ الْعَبَّاسُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
فَكَأَنَّهُ سَمِعَ شَيْئًا فَقَامَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- عَلَى
الْمِنْبَرِ فَقَالَ « مَنْ أَنَا ». قَالُوا أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ عَلَيْكَ
السَّلاَمُ.
قَالَ « أَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ
الْخَلْقَ فَجَعَلَنِى فِى خَيْرِهِمْ ثُمَّ جَعَلَهُمْ فِرْقَتَيْنِ فَجَعَلَنِى
فِى خَيْرِهِمْ فِرْقَةً ثُمَّ جَعَلَهُمْ قَبَائِلَ فَجَعَلَنِى فِى خَيْرِهِمْ
قَبِيلَةً ثُمَّ جَعَلَهُمْ بُيُوتًا فَجَعَلَنِى فِى خَيْرِهِمْ بَيْتًا
وَخَيْرِهِمْ نَفْسًا ». قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ. وَرُوِىَ عَنْ
سُفْيَانَ الثَّوْرِىِّ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِى زِيَادٍ نَحْوُ حَدِيثِ
إِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِى خَالِدٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِى زِيَادٍ عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ عَنِ الْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ.
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Ghailan telah menceritakan kepada
kami Abu Daud al-Hafari telah bercerita kepada kami Sufyan
al-Tsauri dari „Abdurrahman
bin Ziyad al-Afriqi
dari Abdullah bin Yazid dari „Abdullah bin „Amru dia berkata; Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Pasti akan datang kepada ummatku,
sesuatu yang telah datang pada bani Israil seperti sejajarnya sandal dengan
sandal, sehingga apabila di antara mereka (bani Israil) ada orang
yang menggauli ibu
kandungnya sendiri secara
terang terangan maka pasti di antara ummatku ada yang melakukan
demikian, sesungguhnya bani Israil terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan
dan ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan semuanya masuk ke
dalam neraka kecuali satu golongan”, para sahabat bertanya, “Siapakah mereka
wahai Rasulullah?” Beliau
menjawab: “Mereka adalah golongan
yang mana aku dan para sahabatku berpegang teguh padanya”. Abu Isa
berkata;
“ẖadîts ini Ḫasan gharib mufassar, kami tidak
mengetahuinya seperti ini kecuali dari jalur
sanad seperti ini.[7]
d. Kitab Sunan Ibnu Majah
Dalam
Sunan Ibnu Majah ẖadîts tentang iftaraq terdapat di dua tempat yaitu:
1)
Kitab: Fitnah Bab:
Perpecahan umat, Hadist
no. 3991 sebagaimana berikut:
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ ، حَدَّثَنَا مُحْمَّدُ بْنُ بِشْرٍ ،
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ : تَفَرَّقَتِ
الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً ، وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى
ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً.
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan
kepada kami Muhammad bin Bisyr telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
„Amru dari Abu Salamah dari Abu Hurairah dia berkata, “Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: “Orang- orang
Yahudi akan terpecah
menjadi tujuh puluh
satu golongan dan
ummatku
akan terpecah menajadi tujuh puluh tiga golongan.[8]
2)
Pada tempat yang
sama dengan nomor
ẖadîts 3992 sebagaimana berikut:
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ
عُثْمَانَ بْنِ سَعِيدِ بْنِ كَثِيرِ بْنِ دِينَارٍ الْحِمْصِيُّ ، حَدَّثَنَا
عَبَّادُ بْنُ يُوسُفَ ، حَدَّثَنَا صَفْوَانُ بْنُ عَمْرٍو ، عَنْ رَاشِدِ بْنِ
سَعْدٍ ، عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله
عَليْهِ وسَلَّمَ : افْتَرَقَتِ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً ،
فَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ ، وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ ، وَافْتَرَقَتِ
النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً ، فَإِحْدَى وَسَبْعُونَ فِي
النَّارِ ، وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ ، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ
لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً ، وَاحِدَةٌ فِي
الْجَنَّةِ ، وَثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ ، قِيلَ : يَا رَسُولَ اللهِ ،
مَنْ هُمْ ؟ قَالَ : الْجَمَاعَةُ.
Artinya: Telah
menceritakan kepada kami „Amru bin „Utsman
bin Sa‟id bin Katsir bin Dinar al-Himshi telah menceritakan kepada kami
„Abbad bin Yusuf telah menceritakan kepada kami Shafwan bin „Amru dari Rasyid
bin Sa‟d dari „Auf bin Malik dia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: “Orang-orang Yahudi akan terpecah menjadi tujuh puluh satu
golongan, satu golongan akan masuk surga dan yang tujuh puluh golongan akan
masuk neraka. Dan orang-orang Nashrani terpecah menjadi tujuh puluh dua
golongan, yang tujuh puluh satu golongan masuk neraka dan yang satu golongan
akan masuk surga. Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada ditangan-Nya, sungguh
ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, yang satu golongan
masuk surga dan yang tujuh puluh dua golongan akan masuk neraka”. Lalu beliau
ditanya, “Wahai Rasulullah, siapakah
mereka (yang masuk
surga)?” beliau mennjawab: “Yaitu
Al Jamaah.
Dari pemaparan redaksi ẖadîts
di atas terdapat dua macam matan ẖadîts yang berbeda, ẖadîts yang pertama
menyebutkan bahwa umat Islam
akan terpecah menajdi
tujuh puluh tiga golongan. Sedangkan ẖadîts kedua
menyebutkan umat Islam akan terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan.
2. I‟tibar
Langkah awal dalam
penelitian sanad yakni dengan i‟tibar. Kata al-i‟tibar
merupakan masdar dari
kata i‟tibar. Menurut
bahasa yaitu peninjauan
terhadap berbagai hal
dengan maksud untuk diketahui
sesuatunya yang jenis. Sedangkan menurut istilah ialah menyertakan sanad-sanad
yang lain untuk suatuhadis tertentu, yang
hadis itu pada
bagian sanadnya tampak
hanya terdapat seorang perawi
saja. [9]
Terdapat Lima orang
Sahabat yang menjadi rawiyu a‟la, pada ẖadîts terpecahnya umat Islam menjadi 73
golongan, yakni Abu Hurairah, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, ‘Auf bin Malik, Anas
bin Malik dan ‘Abdullah bin ‘Amru.
B. Kritik Sanad ẖadîts
1. Ḫadîts riwayat Imam Aẖmad
a.
Rangkaian perawi ẖadîts riwayat Imam Aẖmad no. 8404 sebagai berikut:
Dari tingkaran rawi sahabat:
1) Abu
Hurairah (Abdurrahman bin Shiẖr)
Ia seorang Sahabat menurut Abu
Hatim bin Hibban.
2) Abu
Salamah bin ‘Abdullah bin ‘Auf
Ia dinyatakan Tsiqah oleh Abu Hatim
bin Hibban dan Aẖmad bin ‘Abdullah al-‘Ajali.
3) Muhammad
bin ‘Amr ‘Alqamah.
Ia dinyatakan Shadduq oleh Ibn
Hajar al-Asqalani dan Tsiqah oleh Abu Hatim bin Hibban
4) Muhammad
bin Bisyr.
ia dinyatakan Tsiqah oleh Abu Hatim
bin Hibban dan Aẖmad bin Syu’aib al-Nasani.
b.
Rangkaian perawi ẖadîts riwayat Imam Aẖmad no. 12209, sebagai berikut:
1)
Anas bin Malik
Ia
adalah seorang Sahabat oleh Ibn Hajar al-‘Asqalani.
2)
Al-Numairi (Zaid
bin ‘Abdullah al-Numairi)
Ia dinyatakan
Dha‟if oleh al-Dzahabi
dan Ibn Hajar
al-‘Asqalani.
3)
Shadaqah bin Yasar
Ia
dinyatakan Tsiqah oleh Abu Daud al-Sajasatani dan Abu Hatim bin Hibban.
4)
Abdul ‘Aziz
–yaitu al-Majisyun
Ia
dinyatakan Tsiqah oleh Abu Bakar al-Bazra dan Abu Hatim al-Razi.
5)
Waki’
Ia
dinyataka Tsiqah oleh Abu Hatim al-Razi dan Ibn Hajar al-Asqalani.
2. Ḫadîts riwayat Abi Daud
a.
Rangkaian perawi ẖadîts
riwayat Abi Daud
no. 4596, sebagai berikut:
1) Abu
Hurairah
Ia seorang Sahabat menurut Abu
Hatim bin Hibban.
2) Abu
Salamah bin ‘Abdullah bin ‘Auf
Ia dinyatakan Tsiqah oleh Abu Hatim
bin Hibban dan Aẖmad bin ‘Abdullah al-‘Ajali.
3) Muhammad
bin ‘Amru ‘Alqamah
Ia dinyatakan Shadduq oleh Ibn
Hajar al-‘Asqalani dan Tsiqah oleh Abu Hatim bin Hibban.
4) Khalid
bin Yazid
Aẖmad bin Syu’aib dan Amad
‘Abdullah al-‘Ajali menyatakan ia Tsiqah.
5) Wahb
bin Baqiyyah
Abu Hatim bin Hiban dan Abu Faraj
bin Jauzi menyatakan ia Tsiqah.
b.
Rangkaian perawi ẖadîts
riwayat Abi Daud
no. 4597, sebagai berikut:
1) Mu’awiyah
bin Abu Sufyan
Ia seorang Sahabat pendapat Ibn
Hajar al-‘Asqalani dan Abu Hatim al-Razi.
2) Abu
‘Amir al-Hauzani (‘Abdullah bin Luhai al-Hamiri)
Abu Daud al-Jastani dan Ibn Hajar
al-‘Asqalani menyatakan Tsiqah.
3) Azhar bin ‘Abdullah al-Harazi bin Jami’
Ibn Hajar al-‘Asqalani menyatakan
Shadduq dan Aẖmad bin Abdullah al-‘Ajali menyatakan Tsiqah.
4) Shafwan
Abu Hatim
al-Razi dan Aẖmad
bin Syu’aib al-Nasani menyatakan Tsiqah.
5) Abu
al-Mughirah (Abdu Quddus bin Hijaj)
Ia dinyatakan Tsiqah oleh Aẖmad bin
‘Abdullah al-‘Ajali dan Abu Hatim bin Hiban Aẖmad bin Muhammad bin Hanbal dan
Muhammad bin Yahya
Aẖmad bin Syu’aib al-Nasani dan Aẖmad
bin ‘Abdullah al- Ajali menyatakan Tsiqah.
3. Ḫadîts riwayat Imam Tirmidzi
a.
Rangkaian perawi ẖadîts riwayat Imam Tirmidzi no. 2640, sebagai berikut:
1) Abu
Hurairah
Ia seorang Sahabat menurut Abu
Hatim bin Hibban.
2) Abu
Salamah bin ‘Abdullah bin ‘Auf
Ia dinyatakan Tsiqah oleh Abu Hatim
bin Hibban dan Aẖmad bin ‘Abdullah al-‘Ajali.
3) Muhammad
bin ‘Amru ‘Alqamah
Ia dinyatakan Shadduq oleh Ibn
Hajar al-‘Asqalani dan Tsiqah oleh Abu Hatim bin Hibban.
4) Al-Fadhl
bin Musa
Abu Hatim al-Razy menyatakan ia
Shadduq Shaliẖ sedangkan Abu Hatim bin Hiban menyebutnya Tsiqah.
5) Al-Husain
bin Huraits Abu ‘Amar bin Ḫasan bin Tsabit
Nasaˋi dan Abu Hatim bin Hiban
berkata ia Tsiqah.
b.
Rangkaian perawi ẖadîts riwayat Imam Tirmidzi no. 2641, sebagai berikut:
1) Abdullah
bin ‘Amru (Mu’adzi bin Jibal bin ‘Amru)
Ibnu Hatim al-Razi mengatakan ia
Sahabat.
2) Abdullah
bin Yazid
Ia
dinyataka Tsiqah oleh
Ibnu Hajar al-‘Asqalani
dan al- Dzahabi.
3) Abdurrahman
bin Ziyad al-Afriqi (‘Abdur Rahman bin Ziyad bin An’um)
Ia dinyatakan Dha‟if oleh Yahya bin
Ma’in, Abu Zur’an dan al-Nasaˋi.
4) Sufyan
al-Tsauri (Sufyan bin Sa’id bin Masruq)
Al-Dzahabi dan Ibnu Hajar
al-‘Asqalani menyatakan ia Tsiqah.
5) Abu
Daud al-Hafari (Umar bin Sa’ad bin ‘Ubaid)
Abu Hatim bin Hiban menulisnya
Tsiqah, sedagkan Abu Zar’ah al-Razi menyatakan Shadduq.
6) Mahmud
bin Ghailan
Abu Hatim al-Razi dan Abu Hatim ibn
Hiban menyatakan ia Tsiqah.
4. Ḫadîts riwayat Ibnu Majah
a. Rangkaian perawi ẖadîts riwayat Ibnu Majah no. 3991, sebagai berikut:
1) Abu
Hurairah
Ia
seorang Sahabat menurut Abu Hatim bin Hibban.
2) Abu
Salamah bin ‘Abdullah bin ‘Auf
Ia
dinyatakan Tsiqah oleh Abu Hatim bin Hibban dan Aẖmad bin ‘Abdullah al-‘Ajali.
3) Muhammad
bin ‘Amru ‘Alqamah
Ia
dinyatakan Shadduq oleh Ibn Hajar al-‘Asqalani dan Tsiqah oleh Abu Hatim bin
Hibban Muhammad bin Bisyr Tsiqah
pendapat Abu Hatim
bin Hiban dan Aẖmad bin‘Abdullah al-‘Ajali.
4) Abu
Bakar bin Abu Syaibah
Ia
dinyatakan Tsiqah oleh Abu Hatim bin Hiban dan Aẖmad bin Syu’aib al-Nasani.
b.
Rangkaian perawi ẖadîts riwayat
Ibnu Majah no. 3992, sebagai berikut:
1) ‘Auf
bin Malik
Al-Bukhori
dan Abu Hatim al-Razi menyebutnya Sahabat
2) Rasyid
bin Sa’id al-Maqraˋi
Abu Hatim
al-Razi dan Aẖmad
bin Syu’aib al-Nasani menyebutnya Tsiqah.
3) Shafwan
bin ‘Amru
Abu Hatim
al-Razi dan Aẖmad
bin Syu’aib al-Nasani menyatakan Tsiqah.
4) Abbad
bin Yusuf
Abu
Hatim bin Hibban menyebutnya Tsiqah sedangkan Ibnu Hajar al-‘Asqalani Maqbul.
5) Amru
bin ‘Utsman bin Sa’id bin Katsir bin Dinar al-Himshi
Tsiqah menurut
Abu Daud al-Sajastani
dan Abu Hatim
bin Hiban.[10]
C.
Kedudukan ẖadîts Terpecahnya Umat Islam Menjadi Tujuh
Puluh
Tiga golongan riwayat
dari Imam Tirmidzi dari sanad Abdullah bin ‘Amru (Mu’adzi bin Jibal bin ‘Amru),
dinyatakan Dha‟if kerena terdapat perawi ‘Abdurahman bin Ziyad yang dinyatakan
Dha‟if, oleh Yahya bin Mu’in dan al-Nasaˋi. Kemudian kedua ẖadîts riwayat Imam
Aẖmad dari sanad Anas Bin Malik yang menyebutkan 72 golongan juga Dha‟if,
karena terdapat Ibn Lahi’ah dan al-Numairi yang dinyatakan Dha‟if oleh Abu Hatim al-Razi.
Dengan adanya status
ẖadîts yang Dha‟if, secara tidak langsung menolak ẖadîts
yang menyebutkan jumlah terpecahnya umat Islam menjadi 72 golongan.
D.
Makna Ḫadîts Terpecahnya Umat Islam Menjadi 73 Golongan
1. Makna Redaksional
Untuk mengetahui
makna ẖadîts tentang
perpecahan umat Islam ada
beberapa kata yang perlu dielaborasi, sebagai berikut:
a.
Kata Iftiraqa
Di dalam Kamus
al-Munawwir kata Iftaraqa, yaftariqu, iftiraqan itu berarti
terpisah-pisah atau bercerai-berai. Antonimnya adalah ijtamâ‟a, yajtamî‟u yang
berarti berkumpul atau berhimpun. Faraqa itu untuk
hal baik sedangkan tafarraqa itu untuk kerusakan.[11]
Sebagaimana terdapat
dalam ẖadîts Nabi SAW. Dari sudut bahasa kata firqah identik dengan kata sekte,
memiliki kata lain dalam bahasa Inggris, seperti part, devision, section,
party, group dan class. Dari kata section inilah diserap
menjadi kata sekte yang memiliki
pengertian bagian, pembelahan,
golongan, pemisah, partai,
kelompok dan kelas.[12]
Iftiraq
secara etimologis berasal dari kata mufaraqah, yang berarti “perceraian,
perpisahan, dan pemutusan”.
Iftiraq juga diambil dari
kata insyaab (pertentangan) dan syudzudz (nyeleneh, ganjil, atau
aneh). Dari kata ini iftiraq berarti “sesuatu yang keluar dari asal
(pokok), atau segala sesuatu yang keluar dari kesungguhan atau segala sesuatu
yang keluar dari Jamâ‟ah”.[13]
Iftiraq
menurut istilah adalah “keluar dari Ahlu Sunnah wal Jamâ‟ah dalam salah satu
pokok (ushul) dari pokok-pokok agama yang qath‟iyyah ataupun pokok-pokok
amaliyah yang sifatnya qath‟iyyah ataupun pokok-pokok yang erat
hubungannya dengan ke-mashlaha-tan kaum Muslimin.[14]
Al-Syathibi dalam
kitab al-I‟tisham menjelaskan
“makna iftiraq ini bisa memiliki makna sesuai dengan makna yng diberikan
oleh lafadz tersebut, dan bisa pula memiliki makna yang ditambahkan dengan
batasan tertentu yang tidak sesuai dengan lafadz iftiraq tersebut secara
mutlak (hanya mengandung sebagian maknanya). Sebagaiman lafadz al-raqabah,
secara mutlak tidak dirasakan makna “beriman” atau :tidak beriman” namun lafadz
tersebut menerima makna seperti itu. Oleh karena itu, lafadz iftiraq
tidak dapat dibenarkan jika maknanya adalah perpecahan secara mutlak, karena
lafadz ikhtilaf (perselisihan) memiliki makna yang serupa dengannya.
Jika memang demikian, maka orang-orang yang berselisih dalam
permasalahan-permasalahan cabang pun
bisa masuk dalam kategori
makna lafadz tersebut.
Pendapat tersebut tentu saja
batil menurut ijma’
ulama, sebab perselisihan
yang terjadi sejak masa khalifah para sahabat berkisar seputar masalah -
masalah ijtihadiyah. Selain itu arti iftiraq juga memiliki kemungkinan makna
sebagai orang yang
memisahkan diri dari Islam.
Digunakannya lafazh iftaraqat
dan tafarraqat (fi‟il madhi) untuk umat
Yahudi, Nashrani, Ahli
Kitab dan Bani
Israil. Digunakannya lafazh taftariqu (fi‟il
mudhari‟) untuk umat Muhammad SAW. Hal itu berarti iftiraq
atau tafarraq pada Yahudi dan
Nashrani/ bani Israil/
ahli kitab telah
terjadi sebelum disabdakannya ẖadîts
tersebut dan sedangkan iftiraq atau tafarraq pada umat Muhammad
SAW baru akan terjadi sepeninggal Nabi SAW. Ini diperkuat dengan lafazh taftariqu
dalam ilmu nahwu disebut sebagai
“fi‟il mudhari‟ mustaqbal” yang
berarti “akan...” sama halnya yang didahului dengan huruf sin “sa” (س) yang
berarti “akan …”, sehingga “fi‟il mudhari‟ lafad taftariqu disitu
tidak bisa dipahami “sedang …”.
b.
Kata Ummah
Dalam kamus Lisaan
al-„Arab mengartikan ummah sebagai al-Qarn min al-nas (periode
tertentu dari manusia). Kalimat yang berbunyi seperti qad madat ummam
dapat diartikan, dahulu telah terdapat ummat-ummat. Kata ummat ini juga
sering dinisbatkan pada Nabi, seperti
Nabi Musa, umat
Nabi Musa dan lain
sebagainya.
c.
Kata al-Jamâ‟ah.
Di dalam kitab Lisan
al-Arab, al-Jamâ‟ah itu berasal dari kata jama‟a, yajma‟u, masdarnya jam‟an. Al-jam‟u itu artinya ismun li al-jamâ‟ati al-nâsi
(nama sekumpulan manusia). Antononimnya adalah al-Farqu. Sedangkan di dalam
kamus al–Munawwir berarti al-Zumrat (kelompok, kumpulan, sekawanan).
Jika berbicara masalah al-Jamâ‟ah,
maka selalu dihubungkan dengan Ahlu Sunnah wa al-Jamâ‟ah. Menurut Yusuf
al-Qaradawi di dalam
kitab “Gerakan Islam Antara
Perbedaan yang
Diperbolehkan dan Perpecahan
yang Dilarang”, Ahlu Sunnah
wal Jamâ‟ah adalah suatu
istilah, berbentuk dari
kata majmu’ yang terdiri dari kata : ahlun, sunnah, dan Jamâ‟ah.
Dari segi bahasa dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Ahlun
itu berarti pengikut, pendukung, atau warga.
2) As-Sunnah,
searti dengan At-Ṭariqh dan dimaksudkan pula sebagai al-ẖadîts, yakni jalan
berakidah dan beramal sesuai yang diajarkan oleh Nabi SAW dan diteruskan oleh
para sahabat dan tabi‟in.
3) Al-Jamâ‟ah, pandangan
mayoritas masyarakat Islam (Assawadul A‟zam)
Dengan batasan
sederhana Ahlu Sunnah wa al-Jamâ‟ah dapat diberi pengertian sebagai warga atau
pengikut, semua yang diajarkan oleh Rasulullah SAW dan golongan sahabatnya,
ajaran mana yang terbukti menjadi faham mayoritas umat Islam.[15]
Adapun pengertian
al-Jamâ‟ah lain, seperti
yang telah disebutkan oleh
Rasulullah SAW dalam ẖadîts-ẖadîts tersebut,sebagaimana yang telah
dinyatakan oleh al-Imam
al-Syatihibi dalam al-i‟tisham: “Yang dimaksud
dengan al-Jamâ‟ah disini
adalah yang berkumpul
(bersatu) diatas satu
imam yang mencocoki al-Qurˋan
al-Karim dan Sunah Rasul SAW. Dan ini jelas,
sebagaimana yang berkumpul
dan bersatu selain
diatas sunnah Rasul SAW,
sungguh mereka telah
keluar dari al-Jamâ‟ah.
Jadi yang
dimaksud dengan al-Jamâ‟ah disini adalah mereka
yang mengikuti dan
berjalan di atas
al-Kitab dan al- Sunnah. Maksud dari “yang berkumpul
(bersatu) di atas satu imam.
...” adalah mereka para sahabat Rasul,
karena merekalah golongan pertama yang berkumpul dan bersatu diatas Kitabullah
dan Sunnah Rasul SAW dan mendapatkan bimbingan langsung dari nabi Muhammad SAW.
2. Makna Historis
Dari makna historis,
munculnya golongan-golongan tersebut boleh jadi disebabkan pengaruh dinamika
intern-Qur’ani atau pandangan politis, ataupun keduanya secara bersamaan. Selain
dari persoalan itu, terjadinya perpecahan umat Islam juga disebabkan oleh
interpretasi kaum Muslimin terhadap masalah politik yang dibawa ke dalam gerakan
keagamaan, karena dibahas secara agama yang kemudian mengkristal dalam lapangan
teologi.
Al-Syahrastani
mendasarkan perpecahan umat karena adanya perbedaan empat persoalan pokok
sebagai berikut:
1) Pembahasan
tentang sifat-sifat Tuhan dan penegasan sifat Tuhan
2) Pembahasan
tentang Qadar dan keadilan Tuhan
3) Pembahasan
tentang janji dan ancaman (al-Wa‟du wa al-Wa‟d), tentang iman, batasan
iman dan keputusan sesat atau kafir yang tidak beriman sempurna.
4) Pembahasan
tentang dalil yang bersumberkan wahyu (sama‟) dan dalil akal (ra‟yu)
–seperti baik buruk
diterima dari syara’
atau ditemukan akal pikiran, serta terutusnya Nabi dan masalah Imamah
(khilafah).
Dalam ẖadîts
terpecahnya umat tersebut
tidak menyebutkan kelompok mana
saja yang termasuk ke dalam 72 golongan yang masuk neraka. Hanya satu firqah
yang selamat yakni al-jamâ‟ah. Al-Syatibi menerangkan dalam kitab
al-I‟tishamnya, mengapa ke 72 firqah tidak disebut, karena terdapat dua alasan
sebagai berikut:
1) Kita telah
memahami bahwa syari’at mengisyaratkan
tentang mereka (72 firqah) tersebut, meski tidak secara terang-terangan.
Tujuannya adalah agar kita berhati-hati.
2) Tidak
melakukan penentuan (perhitungan jumlah golongan) merupakan langkah
paling tepat. Hal
ini dimaksudkan agar
aib umat ini tertutupi.
Sebgaimana
kejelekan-kejelekan mereka
tertutupi, sehingga kejelekan mereka di dunia tidak tersebar luas. Kita sendiri
sebenarnya diperintahkan untuk menutupi aib kaum mukmin, selama tidak menampakkan
perbedaan yang mendasar.
Selain itu, Sa’dullah
Assa’idi, dalam bukunya ẖadîts-ẖadîts Sekte menerangkan bahwa bilangan tentang
golongan yang masuk neraka menunjukkan arti banyak, agar umat Islam berwaspada.
Hal ini dikarenakan dalam menjalankan agama Islam tidak mudah terjerumus ke dalam
siksa neraka. Kewaspadaan tersebut mengingat persoalan teologi pada masa Nabi
dan Sahabat belum berkembang seperti masa sesudahnya. Seperti pembicaraan
mengenai zat dan Tuhan, dapat- tidaknya Tuhan dilihat dengan mata kepala,
kejadian alam mengalami proses waktu atau tidak, baik dan buruk itu obyektif
atau normatif dari syara‟ dan
pembahasan lainnya.[16]
Dan pembahasan
lain yang juga dibicarakan oleh mu’tazilah dan
Asy’ariyah maupun lainnya. Semua pembahasan tersebut tidak terdapat pada masa
Nabi dan tidak juga pernah diriwayatkan dari masa Sahabat. Dasar pembahasan
terssebut ialah akal pikiran semata sedangkan argumentasi akal pikiran bersifat
relatif bisa mengalami kesalahan.
3. Makna Kontekstual
Secara Kontekstual,
makna hadits terpecahnya umat, Islam tetap memerintahkan agar tetap konsisten
kepada ajaran Nabi SAW dan
sahabat-sahabatnya.
Disimpulkan dari keterangan
Nabi bahwa yang selamat
hanyalah golongan Jamâ‟ah. Sekiranya tipologi
al- Jamâ‟ah dapat diinterpretasikan oleh golongan-golongan umat
Islam mengikuti konsepsi syari‟ah yang sebenarnya sudah pasti akan berarti
positif. Karena golongan-golongan dalam Islam dituntut agar seperti golongan
teladan yang hanya satu yaitu konsisten kepada ajaran Nabi SAW dan
sahabat-sahabatnya.
Namun hal tersebut
menjadi kembali negatif ketika terjadinya klaim
antar kelompok masing-masing
sebagai al-Jamâ‟ah,
seperti yang dikehendaki Nabi
dalam ẖadîts. Maka,
hal itu menjadikan sebuah problematika perpecahan
model baru muncul. Terjadinya sikap fanatisme terhadap kelompok
masing-masng melahirkan model definisi
kafir yang baru, ahli bid’ah dan Syirik.
Kembali lagi seperti
perebutan kelompok yang benar paska peristiwa taẖkim, yakni terjadinya
penyempitan pemaknaan terhadap al-Qurˋan dan saling memaksakan ayat untuk
disesuaikan dalam mendukung kelompoknya. Sehingga melahirkan kelompok-kelompok
intoleran, inklusif dan kaku. Jauh dari tuntutan Allah kepada umat Islam yakni
ke arah kebaikan dengan amar ma‟ruf nahi munkar dan menciptakan persatuan
antar umat Islam, seperti halnya di perintahkan dalam surah Ali Imran ayat 105.
Justru perintah umat yang sebenarnya akan tertutupi dengan adanya ambisi truth-claim
terhadap kelompoknya yang akan mendominasi paradigma pemikiran masyarakat.
Untuk menghindari
adanya klaim kebenaran masing-masing kelompok dan fanatisme umat mengenai siapa
yang dikategorikan al- Jamâ‟ah, penulis
mengembalikan kepada makna
kata al-Jamâ‟ah secara
umum yaitu al-Jamâ‟ah adalah mengikuti semua yang diajarkan oleh
Rasulullah SAW dan para sahabatnya.
Seperti masalah-masalah ushuluddin yang ditetapkan oleh nash yang qath‟i,
ijma‟ atau sesuatu yang telah disepakati sebagai manhaj (pedoman
operasional) sebagai Ahlus Sunnah wal Jamâ‟ah. Siapa saja yang menyelisihi
masalah di atas, maka ia termasuk orang yang berpecah dari al-Jamâ‟ah.
Adapun selain itu, masih tergolong perkara ikhtilaf.
Boleh jadi, selama
golongan-golongan tersebut masih menggunakan al-Qurˋan dan Sunnah Nabi beserta
Atsar Sahabat maka, mereka itulah yang dikatakan al-Jamâ‟ah. Perlu diingat
bahwasannya Allah dalam menerangkan al-Jamâ‟ah dalam al-Qurˋan sesuai konteks ẖadîts
terpecahnya umat dalam surah Ali Imran ayat 103 dan 105, ialah mereka yang
tetap berpegang teguh kepada tali agama dan berlomba- lomba dalam menegakkan
amar ma‟ruf nahi munkar serta tetap dalam persatuan dan persaudaraan umat
Islam.
Selain itu, bersikap
toleran dalam menanggapi perbedaan (ikhtilaf) dalam furu‟iyah. Menghindari
fanatisme dan klaim kebenaran yang bersiafat pengkultusan golongan tertentu.
Karena Nabi mengajarkan kepada umat
Islam dalam ẖadîts-ẖadîts
yang lebih shahih, bahwasannya
umat Muslim satu dengan yang lainnya merupakan Saudara dan juga umat Islam
bagaikan sebuah bangunan yang saling menguatkan.
Nashir bin Abdu
al-Karim al-Aql, dalam karyanya Sebab - sebab Perpecahan Umat dan Cara
Penanggulangannya memberikan perbedaan antara ikhtilaf (perselisihan) dan iftiruq (perpecahan) sebagaimana berikut:
Pertama, perpecahan adalah sesuatu yang
lebih dari sekedar perselisihan. Dan
sudah barang tentu,
tidak semua ikhtilaf (perselisihan) disebut perpecahan. Kedua,
Tidak semua ikhtilaf disebut perpecahan. Namun setiap perpecahan sudah pasti
ikhtilaf. Ketiga, Perpecahan hanya terjadi
pada permasalahan prinsipil.
Keempat, Ikhtilaf bersumber dari sebuah iijtihad yang disertai niat yang
lurus. Kelima, Perpecahan tidak terlepas dari ancaman dan siksa serta
kebinasaan. Tidak demikian halnya dengan ikhtilaf walau bagaimanapun bentuk
ikhtilaf yang terjadi diantara kaum muslimin, baik akibat perbedaan dalam
masalah-masalah ijtihadiyah, atau akibat mengambil pendapat keliru yang masih
bisa ditolerir, atau akibat memilih pendapat yang salah karena ketidaktahuannya
terhadap dalil- dalil sementara belum ditegakkan hujjan atasnya, atau karena
uzur, seperti dipaksa memilih
pendapat yang salah
sementara orang lain tidak mengetahuinya, atau akibat
kesalahan takwil yang hanya dapat diketahui setelah ditegakkan hujjah.
Setiap tafarruq
(perpecahan) merupakan ikhtilaf (perbedaan), namun tidak setiap ikhtilaf
(perbedaan) merupakan tafarruq (perpecahan). Namun setiap ikhtilaf bisa
dan berpotensi untuk berubah menjadi tafarruq atau iftiraq antara lain karena:
1) Faktor pengaruh
hawa nafsu, yang
memunculkan misalnya ta‟ashub
(fanatisme) yang tercela, sikap kultus individu atau tokoh, sikap mutlak-mutlakan atau
menang-menangan dalam berbeda
pendapat, dan semacamnya. Dan faktor pelibatan hawa nafsu inilah secara umum
yang mengubah perbedaan wacana dalam masalah - masalah furu’ ijtihadiyah
yang ditolerir menjadi perselisihan hati yang tercela.
2) Salah
persepsi (salah mempersepsikan masalah, misalnya salah mempersepsikan masalah
furu‟ sebagai masalah ushul). Dan ini biasanya terjadi pada sebagian kalangan
ummat Islam yang tidak mengakui dan tidak memiliki fiqhul ikhtilaf. Yang mereka
miliki hanyalah fiqhut tafarruq
wal iftiraq (fiqih
perpecahan), dimana bagi mereka
setiap perbedaan dan perselisihan merupakan bentuk perpecahan yang tidak mereka
tolerir, dan karenanya senantiasa disikapi dengan sikap wala‟ dan bara‟.
3) Tidak
menjaga moralitas, akhlaq, adab dan etika dalam berbeda pendapat dan
dalam menyikapi para
pemilik atau pengikut madzhab dan pendapat lain.
Jadi, ikhtilaf
hanya terjadi dalam masalah-masalah yang secara tabiat boleh berbeda pendapat
dan boleh ber-ijtihad yang mana seseorang memiliki hak berpendapat, atau
masalah-masalah yang mungkin tidak diketahui sebagian orang, atau ada unsur
paksaan dan takwil. Yakni, pada masalah-masalah furu' dan ijtihad, bukan
masalah ushuluddin. Bahkan juga sebagian kesalahan dalam persoalan ushuluddin
yang masih bisa ditolerir menurut alim ulama yang terpercaya. Seperti halnya
beberapa persoalan aqidah yang disepakati dasar-dasarnya namun
diperselisihkan rincian furu‟nya,
misalnya masalah isra‟dan mi‟raj yang disepakati
kebenarannya, namun diperselisihkan apakah dalam mi‟raj tersebut
Rasulullah melihat Allah dengan mata kepala atau mata hati.
E.
Relevansi Teks dan Konteks Ḫadîts Tersebut Pada Realitas Kehidupan Kekinian.
Perlu diketahui pertama
kali tentang ẖadîts yang menyebutkan perpercahan umat Islam adalah ẖadîts tersebut tidak tercatat
dalam Sahih Bukhari maupun Sahih Muslim. Padahal, isinya sangat penting,
menunjukkan bahwa ẖadîts ini dilihat tidak sahih menurut kedua syarat ulama
tersebut. Adapun jika ada yang mengatakan bahwa sahih Bukhari dan Muslim tidak
mencakup semua ẖadîts sahih, hal itu benar adanya. Namun, keduanya amat menjaga
agar tidak melewati suatu bab penting dari ajaran Islam sehingga keduanya
berusaha sedapat mungkin untuk memasukkan suatu riwayat atau beberapa riwayat
dalam masalah tersebut.
Ḫadîts terpecahnya umat
Islam menjadi 73 golongan mendapat kedudukan sebagai ẖadîts Hasan li dzatihi,
karena terdapat Syawahid dan Muttabi‟ menjadi Shahih li ghairihi. Akan
tetapi ẖadîts tersebut secara matan bertolak belakang dengan ayat-ayat
al-Qurˋan dan ẖadîts ahad lain yang kualitas sanadnya lebih shahih.
Sesuai dengan
analisis makna kata taftariqu yang
menjadi fi‟il mudhari‟
mustaqbal dan terdapat tambahan huruf sa “س” menjadi sataftariqu
berarti menjelaskan suatu peristiwa yang akan terjadi. Berkaitan dengan hal
tersebut, maka Nabi memang benar mengabarkannya kepada para sahabat, mengenai
terpecahnya umat Islam di suatu hari nanti. Namun titik penekanan dari isi matan ẖadîts tersebut bukan di wilayah
perpecahan umat dan jumlah golongan.
Akan tetapi lebih
kepada anjuran Nabi kepada umat Islam untuk tetap mengikuti Jamâ‟ah yang
dimaksudkan Nabi yakni golongan yang tetap berpegang teguh kepada al-Qurˋan,
Sunnah Nabi dan Atsar Sahabat, dan menghindari perpecahan, bercerai-berai serta
permusuhan. Hal ini diperkuat dengan
turunnya surah Ali
Imran ayat 105:
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang
bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada
mereka. mereka Itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.
Kandungan dari ayat tersebut yakni,
memerintahkan kepada umat Islam ke
arah kebaikan dengan
amar ma‟ruf nahi munkar
dan menciptakan persatuan antar umat Islam. Jika Nabi menggunakan fi‟il
mudhari‟ mustaqbal dalam
menyebutkan ummatnya maka
secara tidak langsung penulis menemukan bentuk dari pada ẖadîts
terpecahnya umat Islam menjadi 73 golongan ini adalah termasuk kedalam ẖadîts
Qauliyah. Karena waktu yang akan datang itu tidak dapat ditentukan, artinya
bisa jadi umat Nabi akan terus terpecah-pecah sampai akhir zaman.
Jika ditinjau dari isi
matan ẖadîts yang lainnya, di situ menggunakan kata Ummah,
penulis mengasumsikan bahwa
fungsi dan kedudukan Nabi pada saat mensabdakan
ẖadîts tersebut adalah
sebagai Nabi dan
Rasul. Karena mengatakan ummatku, seperti hanya dalam kamus Lisan
al-Arabi mengartikan kata ummah sebagai al-Qarn min al-nas
(periode tertentu dari manusia), dinisbatkan pada ummat-umat Nabi terdahulu.
Jadi secara tidak langsung menempatkan ẖadîts terpecahnya umat Islam menjadi 73
golongan bersifat universal.
Rasulullah pun mengajarkan
agar umat Islam
untuk mendamaikan dua pihak yang
berselisih (berseteru diantara sesama umat Islam). Nabi memberitahukan bahwa
kerusakan yang terjadi pada sesama muslim merupakan faktor
yang dapat merusak
agama. Jika suatu
kebiasaan menunjukkan bahwa memberitahukan penentuan
jumlah golongan hanya akan mewariskan sikap permusuhan dan
perpecahan di antara mereka, maka sikap seperti itu harus dilarang.
Secara historis matan ẖadîts
tersebut dibuktikan dengan adanya perpecahan umat Islam. Hal itu terjadi karena
didukung adanya latar belakang kehidupan bangsa Arab yang merupakan
kesuku-sukuan, lebih menekankan garis keturunan keluarga dan sering hidup
berpindah-pindah, dalam kerasnya gurun
pasir dan melakukan
peperangan antar suku untuk
memperebutkan kekuasaan dan mempertahankan hidup.
Seperti halnya suku Aus
dan Khazraj sebelum hijrahnya Nabi ke Madinah. Kedua suku tersebut, sering
bermusuhan di masa Jahiliyah. Kedengkian dan permusuhan, pertentangan yang
keras di antara mereka menyebabkan meletusnya perang yang berkepanjangan di
antara mereka. Bahkan setelah kedua suku itupun disaudarakan dan didamaikan
oleh Nabi semenjak datangnya Islam di Madinah, masih sempat terjadi ketegangan
di antara kedua suku tersebut, karena adanya profokasi dari salah seorang laki-
laki dari kaum
Yahudi yang tidak suka
terhada perdamaian dan persaudaraan mereka, dengan cara mengingatkan
mereka di kehidupan masa lalu. Sehingga suasana memanas dengan adanya faktor
fanatisme terhadap kesukuannya sampai hampir terjadi peperangan. Akhirnya
peristiwa tersebut dapat diredam oleh Rasulullah, dengan peringatan Allah yang
menurunkan surah Ali Imran ayat 103: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada
tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat
Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah
mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang
yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah
menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu,
agar kamu mendapat
petunjuk”. yang
mengingatkan dan memerintahkan
untuk tidak bercerai-berai seperti
zaman Jahiliyah.
Faktor kesukuan
memuncak lagi dalam mendominasi perpecahan setelah wafatnya Nabi. Ketika
jenazah Nabi belum terurus, terjadi sebuah peristiwa besar yang dikenal dengan
sebutan saqifah bani saidah, yakni terjadinya perdebatan sengit di antara para
sahabat Nabi, yakni kaum Anshar dan Muhajirin
yang merebutkan siapa yang pantas menggantikan kedudukan Nabi sebagai
khalifah. Di sisi lain pada masa itu, di pihak ahlu bait (bani Hasyim) tengah
sibuk merawat jenazah Rasulullah, tidak terlibat dalam memutuskan perkara
tersebut, yang akhirnya memaksa ahlu bait menerima Abu Bakar sebagai khalifah
setelah di baiat para sahabat lain pada peristiwa saqifah bani saidahi
tersebut.
Perpecahan umat semakin
parah lagi, ketika terjadi pergejolakan politik pada masa pemerintahan khalfah
Ali melahirkan peristiwa taẖkim,
usulan damai antara Ali dan Mu’awiyah
yang membuahkan kekalahan di pihak Ali dan mengabsahkan Muawiyah sebagai
satu-satunya khalifah ketika itu.
Hal tersebut justru
membuat permusuhan di
kedua kubu semakin memuncak, dan saling mengalahkan.
Demi kuatnya persatuan di antara kedua kubu, salah satu cara yang mereka tempuh
dengan membuat ẖadîts palsu.
Dari sinilah
awal kemunculan aliran-aliran
teologi. Munculnya kelompok yang menolak taẖkim dengan
berdalih menggunakan ayat al-Quran, mereka disebut Khawarij. Pendapat mereka
menghukumi kafir empat orang pemuka Islam yakni Ali dan pengikutnya (yang
kemudian disebut Syiah), Muawiyah, Amr ibn al-As dan Abu Musa al-Asy’ari.
PENUTUP
Dalam Islam diharapkan
adanya persatuan, saling memahami untuk bertoleransi, mengerti
tentang wilayah-wilayah mana
harus ada ikhtilaf dan tidak fanatik
terhadap golongannya, dengan mengklaim bahwa kelompoknya-lah yang benar. Karena
sesungguhnya umat Islam diperintah untuk berlomba-lomba dalam kebaikan, bukan
pada keburrukan dengan menjustifikasi kelompok atau golongan yang lain sebagai
kafir. Sehingga akan terwujud sebuah ukuwah Islamiyah dan Islam
rahmatan lil alamin.
PUSTAKA
Assaidi,
Sadullah. 1996. Hadist-hadist Sekte. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ibn
Hanbal, Imam Ahmad. 1992. Musnad al- Imam Ahmad Juz III. Beirut:
Dar al-Fikr
Ibn
Hanbal, Imam Ahmad. 1992. Musnad al- Imam Ahmad Juz IV. Beirut:
Dar al-Fikr
Ibnu
Majah. tanpa tahun. Sunan Ibnu Majah Juz IV . Beirut: Dar Al-Fikr
Ismail,
M. Syuhudi. 1992. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan
Bintang
Karim,
Nashir bin Abdul. 1991. Perpecahan Umat Islam. Solo: Pustaka Mantiq
Munawir,
Ahmad Warson. 1997. Kamus bahasa Arab Al Munawwir. Surabaya: Pustaka
Progressif
Qardhawi,
Yusuf. 1997. Gerakan Islam Antara Perbedaan yang Diperbolehkan dan
Perpecahan yang Dilarang. Jakarta: Rabbani Press
Sulaiman,
Abi Daud. 1994. Sunan Abi Daud, Juz II. Beirut: Darul Fiqr
Tirmidi,
Muhammad bin Isa. 2007. al-jami‟ al-saẖiẖ sunan al-Tirmidi Juz III
Libanon: Dar al-Kutub al- Ilmiyah
[1] Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad Ibn Hanbal dalam kitabnya,
Musnad al- Imam Ahmad,(Beirut: Dar al-Fikr, 1992) Juz. IV, hlm. 292 dengan nomor Hadits 12481.
[2] Aẖmad Ibnu Hanbal, Musnad al-Imam Aẖmad, (Beirut:
Darul Fiqr, 1992), Juz. III, hlm.229
[3] Ibid, Juz. IV, hlm. 241
[4]
Abi Daud Sulaiman, Sunan Abi Daud, (Beirut: Darul Fiqr, 1994) Juz
II , hlm. 395
[5] Ibid hlm.395
[6] Muhammad bin Isa al-Tirmidi, al-jami‟ al-saẖiẖ sunan al-Tirmidi, (Libanon: Dar
al-Kutub al- Ilmiyah, 2007), Juz. III,
hlm. 455
[7] Ibid hlm. 455
[8] Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Dar Al-Fikr,tt.), Juz IV, hlm. 352
[9] M. Syuhudi Ismail, Metodologi
Penelitian Hadis Nabi (Jakarta:Bulan Bintang, 1992), hlm.51
[10] Gawami al-kaleem Versi 4.5
[11] Ahmad Warson Munawir, Kamus
bahasa Arab Al Munawwir (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997),
hlm.1050
[12] Sadullah Assaidi, Hadist-hadist
Sekte, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm.59
[13] Nashir bin Abdul Karim, Perpecahan
Umat Islam, (Solo: Pustaka Mantiq, 1991), hlm.17
[14] Ibid, hlm 18
[15] Yusuf Qardhawi, Gerakan Islam
Antara Perbedaan yang Diperbolehkan dan Perpecahan yang Dilarang, (Jakarta:
Rabbani Press, 1997), hlm. 7
[16] Sa’dullah Assa’idi, Hadist-Hadist
Sekte, hlm. 97