Senin, 12 Oktober 2015

HADITS TERPECAHNYA UMAT MENJADI 73 GOLONGAN



KONSEP PENDIDIKAN
(Hadits Tentang Terpecahnya Umat Islam Menjadi 73 Golongan)

Oleh
Muhammad Syamsuddin
Pascasarjana IAIN PEKALONGAN 
2015

PENDAHULUAN
Hadîts mengenai perpecahan umat merupakan ẖadîts yang populer dan masyhur karena banyak yang meriwayatkan, namun yang menarik dari ẖadîts   terpecahnya umat adalah karena ẖadîts tersebut  tidak diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dalam kitab Shaẖiẖain-nya. Di dalam ẖadîts  tersebut  juga  terdapat  masalah,  yaitu  masalah  penilaian perpecahan  umat  menjadi  lebih  banyak  dari  perpecahan  Yahudi  dan Nasrani dari satu segi, dan bahwa firqah-firqah ini seluruhnya binasa dan masuk neraka kecuali hanya satu saja. Ini akan membuka pintu bagi klaim- klaim setiap firqah bahwa dialah firqah yang benar, sementara yang lain binasa.
Hal ini tentunya akan memecah belah umat, mendorong mereka untuk saling cela satu sama lain, sehingga akan melemahkan umat secara keseluruhan  dan  memperkuat  musuhnya.  Oleh  karena itu,  Ibnu  Waziir mencurigai  ẖadîts  ini secara umum terutama  pada  tambahannya  itu. Karena, hal itu akan membuat kepada penyesatan umat satu sama lain, bahkan membuat mereka saling mengkafirkan.
Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian untuk memahami secara mendalam terhadap ẖadîts tersebut sangat diperlukan untuk menghindari kesalahpahaman  diantara  umat  Islam.  Salah  satu  sebab  perbedaan pendapat yang akhirnya berujung kepada perpecahan itu adalah karena tidak mampu memahami permasalahan secara menyeluruh, yang satu memahaminya melalui satu sisi dan yang lain melalui sisi yang lain pula.



PEMBAHASAN
حدثنا حسن ثنا حدثنا بن لهيعة ثنا خالد بن يزيد عن سعيد بن أبي هلال عن أنس بن مالك أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال : ان بني إسرائيل تفرقت إحدى وسبعين فرقة فهلكت سبعون فرقة وخلصت فرقة واحدة وإن أمتي ستفترق على اثنتين وسبعين فرقة فتهلك إحدى وسبعين وتخلص فرقة قالوا يا رسول الله من تلك الفرقة قال الجماعة الجماعة

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Hasan telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi'ah telah menceritakan kepada kami Kholid bin Yazid  dari  Said  bin  Abi  Hilal  dari  Anas  bin  Malik  sesungguhnya Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda, "Bani Isra'il terpecah menjadi tujuh puluh satu golongan, akan hancur tujuh puluh golongan dan tersisa satu golongan saja. Dan sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi   tujuh   puluh   dua golongan,   akan   hancur   tujuh   puluh   satu golongan, dan yang selamat hanya satu golongan saja." Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah siapakah glongan itu tersebut?" beliau menjawab, "Yaitu jama'ah, Yaitu jama'ah.[1]

A.  Redaksi Ḫadîts Terpecahnya Umat Islam Menjadi 73 Golongan
1.   Takhrij Ḫadîts
Tahap awal dalam melaksanakan kajian ma‟âni al-ẖadîts ialah mengemukakan semua hasil takhrij ẖadîts sebagaimana tiap- tiap ẖadîts yang dijadikan obyek kajian telah dirujuk dari sumber primernya.
Merujuk pada kamus Mu‟jam al-Mufahras li Alfadzil ẖadîts sebagai kamus penunjang penelusuran ẖadîts menggunakan sebagian matan, kata firqah yang berkaitan dengan kata taftariqu, iftaraq, terdapat di dalam kitab Sunan Abi Daud sebanyak dua ẖadîts, Sunan Tirmidzi dua ẖadîts, dan Sunan Ibn Majah sebanyak dua ẖadîts.
Untuk penelusuran pada kitab Musnad Aẖmad untuk terbitan  yang  terbaru,  menggunakan  mu‟jam dari  kitab  aslinya yang berada di juz IX,  di dalamnya terdapat empat ẖadîts yang membahas tentang perpecahan umat Islam menjadi tujuh puluh tiga golongan. Berikut beberapa redaksi ẖadîts dari berbagai kitab yang telah tersebut:

a.   Dalam Kitab Musnad al-Imam Aẖmad
Ḫadîts tentang Iftaraq dalam Musnad al-Imam Aẖmad ada di dua tempat yaitu:
1)  Kitab Sisa Musnad Sahabat yang banyak meriwayatkan ẖadîts, Bab  :  Musnad  Abu Hurairah  Radliyallahu‘anhu  ẖadîts  no.8404 sebagai berikut:
عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : افترقت اليهود على إحدى أو اثنتين وسبعين فرقة وتفترق أمتي على ثلاث وسبعين فرقة

Artinya: Dari Abu Hurairah ia berkata; Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam Bersabda: Yahudi terpecah menjadi tujuh puluh satu atau dua golongan, dan ummatku terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan”.[2]

2) Pada Kitab: Sisa Musnad sahabat yang banyak meriwayatkan
ẖadîts  Bab: Musnad Anas bin Malik Radliyallahu ‘anhu ẖadîts no. 12209.
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا وكيع ثنا عبد العزيز يعني الماجشون عن صدقة بن يسار عن العميري عن أنس بن مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : ان بني إسرائيل قد افترقت على ثنتين وسبعين فرقة وأنتم تفترقون على مثلها كلها في النار الا فرقة

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Waki berkata, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz -yaitu Al Majisyun- dari Shadaqah bin Yasar dari al-Numairi dari Anas bin Malik ia berkata; Rasulullah shallallahu  „alaihi wasallam  bersabda:  Sesungguhnya  bani  Isra`il terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan dan kalian juga akan terpecah seperti mereka, semuanya masuk neraka kecuali satu golongan saja.[3]

b.  Dalam kitab Sunan Abi Daud
Ḫadîts mengenai  iftaraq  pada Sunan Abi Daud terdapat di dua tempat yakni:
1)  Pada  Kitab:  Sunnah  Bab:  Sarh  Sunnah,  ẖadîts  no.  4596 sebagaimana berikut:
حَدَّثَنَا وَهْبُ بْنُ بَقِيَّةَ ، عَنْ خَالِدٍ ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : افْتَرَقَتِ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً ، وَتَفَرَّقَتِ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً ، وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً.
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Wahb bin Baqiyyah dari Khalid dari Muhammad bin „Amru dari Abu Salamah dari Abu Hurairah ia berkata, "Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam bersabda: “Yahudi terpecah  menjadi  tujuh  puluh  satu  atau  tujuh  puluh  dua  golongan, Nashara  terpecah  menjadi  tujuh  puluh  satu  atau  tujuh  puluh  dua golongan,   dan   umatku   akan   terpecah   menjadi   tujuh   puluh   tiga golongan.[4]

2)  Kemudian dalam Kitab: Sunnah  Bab : Sarh Sunnah ẖadîts no. 4597:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ ، وَمُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى ، قَالاَ : حَدَّثَنَا أَبُو الْمُغِيرَةِ ، حَدَّثَنَا صَفْوَانُ ، ح وحَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عُثْمَانَ ، حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ ، قَالَ : حَدَّثَنِي صَفْوَانُ ، نَحْوَهُ قَالَ : حَدَّثَنِي أَزْهَرُ بْنُ عَبْدِ اللهِ الْحَرَازِيُّ ، عَنْ أَبِي عَامِرٍ الْهَوْزَنِيِّ ، عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ ، أَنَّهُ قَامَ فِينَا فَقَالَ : أَلاَ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَامَ فِينَا فَقَالَ : أَلاَ إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً ، وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ : ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ ، وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ ، وَهِيَ الْجَمَاعَةُ زَادَ ابْنُ يَحْيَى ، وَعَمْرٌو فِي حَدِيثَيْهِمَا وَإِنَّهُ سَيَخْرُجُ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ تَجَارَى بِهِمْ تِلْكَ الأَهْوَاءُ ، كَمَا يَتَجَارَى الْكَلْبُ لِصَاحِبِهِ وَقَالَ عَمْرٌو : الْكَلْبُ بِصَاحِبِهِ لاَ يَبْقَى مِنْهُ عِرْقٌ وَلاَ مَفْصِلٌ إِلاَّ دَخَلَهُ.

Artinya:  Telah  menceritakan  kepada  kami  Aẖmad  bin  Hanbal  dan Muhammad bin Yahya keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Abu al-Mughirah berkata, telah menceritakan kepada kami Shafwan. (dalam jalur lain disebutkan) „Amru bin Utsman berkata, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah ia berkata; telah menceritakan kepadaku Shafwan seperti itu. Ia berkata, "telah menceritakan kepadaku Azhar   bin   „Abdullah   al-Harazi   dari   Abu   „Amir   al-Hauzani   dari Mu‟awiyah bin Abu Sufyan Bahwasanya saat sedang besama kami ia berkata, “Ketahuilah, ketika sedang bersama kami Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam bersabda: “Ketahuilah! Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian dari kalangan ahlu kitab berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan, dan umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan; tujuh puluh dua golongan masuk neraka dan satu golongan masuk surga, yaitu Al Jama'ah”. Ibnu Yahya dan Amru menambahkan dalam   ẖadîts   keduanya,   “Sesungguhnya   akan   keluar   dari   umatku beberapa kaum yang mengikuti hawa nafsunya seperti anjing mengikuti tuannya”. Amru berkata, “Seekor lekat dengan tuannya, yang jika ada tulang bersamanya pasti dia akan mengikutinya.[5]

c. Kitab Al-jami’ al-sahih sunan al-Tirmidi
Ḫadîts mengenai iftaraq pada sunan Tirmidzi, terdapat di dua tempat yaitu:
1)  Kitab: Iman, Bab : Umat ini akan terpecah belah ẖadîts no.2640:
حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ حُرَيْثٍ أَبُو عَمَّارٍ حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ مُوسَى عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ أَبِى سَلَمَةَ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « تَفَرَّقَتِ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ أَوِ اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَالنَّصَارَى مِثْلَ ذَلِكَ وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِى عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً ». وَفِى الْبَابِ عَنْ سَعْدٍ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو وَعَوْفِ بْنِ مَالِكٍ. قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ أَبِى هُرَيْرَةَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ.
Artinya:  Telah  menceritakan  kepada  kami  al-Husain  bin  Huraits  Abu Ammar telah menceritakan kepada kami al-Fadhl bin Musa dari Muhammad bin „Amru dari Abu Salamah dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah   shallallahu   'alaihi   wasallam   bersabda:   “Kaum   Yahudi terpecah  menjadi  tujuh  puluh  satu  atau  tujuh  puluh  dua  golongan. Sedangkan kaum Nashrani seperti itu juga. Dan umatku terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan”. Dan dalam bab ẖadîts tersebut juga diriwayatkan dari Sa'd dan Abdullah bin Amru serta Auf bin Malik. Abu Isa berkata; “ẖadîts Abu Hurairah adalah ẖadîts Ḫasan shahih.[6]

2)  Pada Kitab: Iman Bab : Umat ini akan terpecah belah ẖadîts no.2641:
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلاَنَ حَدَّثَنَا أَبُو أَحْمَدَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِى زِيَادٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ عَنِ الْمُطَّلِبِ بْنِ أَبِى وَدَاعَةَ قَالَ جَاءَ الْعَبَّاسُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَكَأَنَّهُ سَمِعَ شَيْئًا فَقَامَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- عَلَى الْمِنْبَرِ فَقَالَ « مَنْ أَنَا ». قَالُوا أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ عَلَيْكَ السَّلاَمُ.
قَالَ « أَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ الْخَلْقَ فَجَعَلَنِى فِى خَيْرِهِمْ ثُمَّ جَعَلَهُمْ فِرْقَتَيْنِ فَجَعَلَنِى فِى خَيْرِهِمْ فِرْقَةً ثُمَّ جَعَلَهُمْ قَبَائِلَ فَجَعَلَنِى فِى خَيْرِهِمْ قَبِيلَةً ثُمَّ جَعَلَهُمْ بُيُوتًا فَجَعَلَنِى فِى خَيْرِهِمْ بَيْتًا وَخَيْرِهِمْ نَفْسًا ». قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ. وَرُوِىَ عَنْ سُفْيَانَ الثَّوْرِىِّ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِى زِيَادٍ نَحْوُ حَدِيثِ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِى خَالِدٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِى زِيَادٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ عَنِ الْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ.
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Ghailan telah menceritakan kepada kami Abu Daud al-Hafari telah bercerita kepada kami  Sufyan  al-Tsauri  dari  „Abdurrahman   bin  Ziyad  al-Afriqi  dari Abdullah bin Yazid dari „Abdullah bin „Amru dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Pasti akan datang kepada ummatku, sesuatu yang telah datang pada bani Israil seperti sejajarnya sandal dengan sandal, sehingga apabila di antara mereka (bani Israil) ada  orang  yang  menggauli  ibu  kandungnya  sendiri  secara  terang terangan maka pasti di antara ummatku ada yang melakukan demikian, sesungguhnya bani Israil terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan dan ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan semuanya masuk ke dalam neraka kecuali satu golongan”, para sahabat bertanya, “Siapakah  mereka  wahai  Rasulullah?”  Beliau  menjawab:  “Mereka adalah golongan yang mana aku dan para sahabatku berpegang teguh padanya”. Abu  Isa  berkata;  ats  ini  Ḫasan  gharib  mufassar,  kami  tidak mengetahuinya seperti ini kecuali dari jalur sanad seperti ini.[7]

d.  Kitab Sunan Ibnu Majah
Dalam Sunan Ibnu Majah ẖadîts tentang iftaraq terdapat di dua tempat yaitu:
1)   Kitab:   Fitnah   Bab:   Perpecahan   umat,   Hadist   no.   3991 sebagaimana berikut:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ ، حَدَّثَنَا مُحْمَّدُ بْنُ بِشْرٍ ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ : تَفَرَّقَتِ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً ، وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً.

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bisyr telah menceritakan kepada kami Muhammad bin „Amru dari Abu Salamah dari Abu Hurairah dia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Orang- orang  Yahudi  akan  terpecah  menjadi  tujuh  puluh  satu  golongan  dan
ummatku akan terpecah menajadi tujuh puluh tiga golongan.[8]

2)  Pada   tempat   yang   sama   dengan   nomor   ẖadîts   3992 sebagaimana berikut:
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عُثْمَانَ بْنِ سَعِيدِ بْنِ كَثِيرِ بْنِ دِينَارٍ الْحِمْصِيُّ ، حَدَّثَنَا عَبَّادُ بْنُ يُوسُفَ ، حَدَّثَنَا صَفْوَانُ بْنُ عَمْرٍو ، عَنْ رَاشِدِ بْنِ سَعْدٍ ، عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ : افْتَرَقَتِ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً ، فَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ ، وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ ، وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً ، فَإِحْدَى وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ ، وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ ، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً ، وَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ ، وَثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ ، قِيلَ : يَا رَسُولَ اللهِ ، مَنْ هُمْ ؟ قَالَ : الْجَمَاعَةُ.

Artinya: Telah menceritakan kepada kami „Amru bin „Utsman  bin Sa‟id bin Katsir bin Dinar al-Himshi telah menceritakan kepada kami „Abbad bin Yusuf telah menceritakan kepada kami Shafwan bin „Amru dari Rasyid bin Sa‟d dari „Auf bin Malik dia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Orang-orang Yahudi akan terpecah menjadi tujuh puluh satu golongan, satu golongan akan masuk surga dan yang tujuh puluh golongan akan masuk neraka. Dan orang-orang Nashrani terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan, yang tujuh puluh satu golongan masuk neraka dan yang satu golongan akan masuk surga. Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada ditangan-Nya, sungguh ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, yang satu golongan masuk surga dan yang tujuh puluh dua golongan akan masuk neraka”. Lalu beliau ditanya, “Wahai  Rasulullah,  siapakah  mereka  (yang  masuk  surga)?”  beliau mennjawab: “Yaitu Al Jamaah.

Dari pemaparan redaksi ẖadîts di atas terdapat dua macam matan ẖadîts yang berbeda, ẖadîts yang pertama menyebutkan bahwa  umat   Islam  akan  terpecah  menajdi  tujuh  puluh  tiga golongan. Sedangkan ẖadîts kedua menyebutkan umat Islam akan terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan.

2. I‟tibar
Langkah awal dalam penelitian sanad yakni dengan i‟tibar. Kata al-i‟tibar merupakan  masdar  dari  kata  i‟tibar. Menurut bahasa  yaitu  peninjauan  terhadap  berbagai  hal  dengan  maksud untuk diketahui sesuatunya yang jenis. Sedangkan menurut istilah ialah menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatuhadis tertentu, yang  hadis  itu  pada  bagian  sanadnya  tampak  hanya  terdapat seorang perawi saja. [9]
Terdapat Lima orang Sahabat yang menjadi rawiyu a‟la, pada ẖadîts terpecahnya umat Islam menjadi 73 golongan, yakni Abu Hurairah, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, ‘Auf bin Malik, Anas bin Malik dan ‘Abdullah bin ‘Amru.
B.   Kritik Sanad ẖadîts
1.   Ḫadîts riwayat Imam Aẖmad
a.   Rangkaian perawi ẖadîts riwayat Imam Aẖmad no. 8404 sebagai berikut:
Dari tingkaran rawi sahabat:
1)      Abu Hurairah (Abdurrahman bin Shiẖr)
Ia seorang Sahabat menurut Abu Hatim bin Hibban.
2)      Abu Salamah bin ‘Abdullah bin ‘Auf
Ia dinyatakan Tsiqah oleh Abu Hatim bin Hibban dan Aẖmad bin ‘Abdullah al-‘Ajali.
3)      Muhammad bin ‘Amr ‘Alqamah.
Ia dinyatakan Shadduq oleh Ibn Hajar al-Asqalani dan Tsiqah oleh Abu Hatim bin Hibban
4)      Muhammad bin Bisyr.
ia dinyatakan Tsiqah oleh Abu Hatim bin Hibban dan Aẖmad bin Syu’aib al-Nasani.

b.   Rangkaian perawi ẖadîts riwayat Imam Aẖmad no. 12209, sebagai berikut:
1)      Anas bin Malik
Ia adalah seorang Sahabat oleh Ibn Hajar al-‘Asqalani.
2)      Al-Numairi (Zaid bin ‘Abdullah al-Numairi)
Ia  dinyatakan  Dha‟if   oleh  al-Dzahabi  dan  Ibn  Hajar  al-‘Asqalani.
3)       Shadaqah bin Yasar
Ia dinyatakan Tsiqah oleh Abu Daud al-Sajasatani dan Abu Hatim bin Hibban.
4)      Abdul ‘Aziz –yaitu al-Majisyun
Ia dinyatakan Tsiqah oleh Abu Bakar al-Bazra dan Abu Hatim al-Razi.
5)      Waki’
Ia dinyataka Tsiqah oleh Abu Hatim al-Razi dan Ibn Hajar al-Asqalani.



2.   Ḫadîts riwayat Abi Daud
a.   Rangkaian  perawi  ẖadîts  riwayat  Abi  Daud  no.  4596,  sebagai berikut:
1)      Abu Hurairah
Ia seorang Sahabat menurut Abu Hatim bin Hibban.
2)      Abu Salamah bin ‘Abdullah bin ‘Auf
Ia dinyatakan Tsiqah oleh Abu Hatim bin Hibban dan Aẖmad bin ‘Abdullah al-‘Ajali.
3)      Muhammad bin ‘Amru ‘Alqamah
Ia dinyatakan Shadduq oleh Ibn Hajar al-‘Asqalani dan Tsiqah oleh Abu Hatim bin Hibban.
4)      Khalid bin Yazid
Aẖmad bin Syu’aib dan Amad ‘Abdullah al-‘Ajali menyatakan ia Tsiqah.
5)      Wahb bin Baqiyyah
Abu Hatim bin Hiban dan Abu Faraj bin Jauzi menyatakan ia Tsiqah.

b.  Rangkaian  perawi  ẖadîts  riwayat  Abi  Daud  no.  4597,  sebagai berikut:
1)      Mu’awiyah bin Abu Sufyan
Ia seorang Sahabat pendapat Ibn Hajar al-‘Asqalani dan Abu Hatim al-Razi.
2)      Abu ‘Amir al-Hauzani (‘Abdullah bin Luhai al-Hamiri)
Abu Daud al-Jastani dan Ibn Hajar al-‘Asqalani menyatakan Tsiqah.
3)       Azhar bin ‘Abdullah al-Harazi bin Jami’
Ibn Hajar al-‘Asqalani menyatakan Shadduq dan Aẖmad bin Abdullah al-‘Ajali menyatakan Tsiqah.
4)       Shafwan
Abu   Hatim   al-Razi   dan   Aẖmad   bin   Syu’aib   al-Nasani menyatakan Tsiqah.
5)      Abu al-Mughirah (Abdu Quddus bin Hijaj)
Ia dinyatakan Tsiqah oleh Aẖmad bin ‘Abdullah al-‘Ajali dan Abu Hatim bin Hiban Aẖmad bin Muhammad bin Hanbal dan Muhammad bin Yahya
Aẖmad bin Syu’aib al-Nasani dan Aẖmad bin ‘Abdullah al- Ajali menyatakan Tsiqah.
3.   Ḫadîts riwayat Imam Tirmidzi
a.   Rangkaian perawi ẖadîts riwayat Imam Tirmidzi no. 2640, sebagai berikut:
1)      Abu Hurairah
Ia seorang Sahabat menurut Abu Hatim bin Hibban.
2)      Abu Salamah bin ‘Abdullah bin ‘Auf
Ia dinyatakan Tsiqah oleh Abu Hatim bin Hibban dan Aẖmad bin ‘Abdullah al-‘Ajali.
3)      Muhammad bin ‘Amru ‘Alqamah
Ia dinyatakan Shadduq oleh Ibn Hajar al-‘Asqalani dan Tsiqah oleh Abu Hatim bin Hibban.
4)      Al-Fadhl bin Musa
Abu Hatim al-Razy menyatakan ia Shadduq Shaliẖ sedangkan Abu Hatim bin Hiban menyebutnya Tsiqah.
5)      Al-Husain bin Huraits Abu ‘Amar bin Ḫasan bin Tsabit
Nasaˋi dan Abu Hatim bin Hiban berkata ia Tsiqah.

b.   Rangkaian perawi ẖadîts riwayat Imam Tirmidzi no. 2641, sebagai berikut:
1)      Abdullah bin ‘Amru (Mu’adzi bin Jibal bin ‘Amru)
Ibnu Hatim al-Razi mengatakan ia Sahabat.
2)      Abdullah bin Yazid
Ia  dinyataka  Tsiqah  oleh  Ibnu  Hajar  al-‘Asqalani  dan  al- Dzahabi.
3)      Abdurrahman bin Ziyad al-Afriqi (‘Abdur Rahman bin Ziyad bin An’um)
Ia dinyatakan Dha‟if oleh Yahya bin Ma’in, Abu Zur’an dan al-Nasaˋi.
4)      Sufyan al-Tsauri (Sufyan bin Sa’id bin Masruq)
Al-Dzahabi dan Ibnu Hajar al-‘Asqalani menyatakan ia Tsiqah.
5)      Abu Daud al-Hafari (Umar bin Sa’ad bin ‘Ubaid)
Abu Hatim bin Hiban menulisnya Tsiqah, sedagkan Abu Zar’ah al-Razi menyatakan Shadduq.
6)      Mahmud bin Ghailan
Abu Hatim al-Razi dan Abu Hatim ibn Hiban menyatakan ia Tsiqah.

4.   Ḫadîts riwayat Ibnu Majah
a. Rangkaian perawi ẖadîts riwayat  Ibnu Majah no. 3991, sebagai berikut:
1)      Abu Hurairah
Ia seorang Sahabat menurut Abu Hatim bin Hibban.
2)      Abu Salamah bin ‘Abdullah bin ‘Auf
Ia dinyatakan Tsiqah oleh Abu Hatim bin Hibban dan Aẖmad bin ‘Abdullah al-‘Ajali.
3)      Muhammad bin ‘Amru ‘Alqamah
Ia dinyatakan Shadduq oleh Ibn Hajar al-‘Asqalani dan Tsiqah oleh Abu Hatim bin Hibban Muhammad bin Bisyr Tsiqah  pendapat  Abu  Hatim  bin  Hiban  dan  Aẖmad  bin‘Abdullah al-‘Ajali.
4)      Abu Bakar bin Abu Syaibah
Ia dinyatakan Tsiqah oleh Abu Hatim bin Hiban dan Aẖmad bin Syu’aib al-Nasani.

b.   Rangkaian perawi ẖadîts riwayat  Ibnu Majah no. 3992, sebagai berikut:
1)      ‘Auf bin Malik
Al-Bukhori dan Abu Hatim al-Razi menyebutnya Sahabat
2)      Rasyid bin Sa’id al-Maqraˋi
Abu   Hatim   al-Razi   dan   Aẖmad   bin   Syu’aib   al-Nasani menyebutnya Tsiqah.
3)      Shafwan bin ‘Amru
Abu   Hatim   al-Razi   dan   Aẖmad   bin   Syu’aib   al-Nasani menyatakan Tsiqah.
4)      Abbad bin Yusuf
Abu Hatim bin Hibban menyebutnya Tsiqah sedangkan Ibnu Hajar al-‘Asqalani Maqbul.
5)      Amru bin ‘Utsman bin Sa’id bin Katsir bin Dinar al-Himshi
Tsiqah  menurut  Abu  Daud  al-Sajastani  dan  Abu  Hatim  bin Hiban.[10]

C. Kedudukan  ẖadîts  Terpecahnya Umat  Islam  Menjadi  Tujuh  Puluh
Tiga golongan riwayat dari Imam Tirmidzi dari sanad Abdullah bin ‘Amru (Mu’adzi bin Jibal bin ‘Amru), dinyatakan Dha‟if kerena terdapat perawi ‘Abdurahman bin Ziyad yang dinyatakan Dha‟if, oleh Yahya bin Mu’in dan al-Nasaˋi. Kemudian kedua ẖadîts riwayat Imam Aẖmad dari sanad Anas Bin Malik yang menyebutkan 72 golongan juga Dha‟if, karena terdapat Ibn Lahi’ah dan al-Numairi yang dinyatakan Dha‟if  oleh Abu Hatim  al-Razi.  Dengan  adanya  status  ẖadîts  yang  Dha‟if, secara tidak langsung menolak ẖadîts yang menyebutkan jumlah terpecahnya umat Islam menjadi 72 golongan.

D. Makna Ḫadîts Terpecahnya Umat Islam Menjadi 73 Golongan
1.   Makna Redaksional
Untuk  mengetahui  makna  ẖadîts  tentang  perpecahan  umat Islam ada beberapa kata yang perlu dielaborasi, sebagai berikut:
a.   Kata Iftiraqa
Di dalam Kamus al-Munawwir kata Iftaraqa, yaftariqu, iftiraqan itu berarti terpisah-pisah atau bercerai-berai. Antonimnya adalah  ijtamâ‟a, yajtamî‟u  yang  berarti  berkumpul  atau berhimpun. Faraqa itu  untuk  hal  baik  sedangkan tafarraqa itu untuk kerusakan.[11]
Sebagaimana terdapat dalam ẖadîts Nabi SAW. Dari sudut bahasa kata firqah identik dengan kata sekte, memiliki kata lain dalam bahasa Inggris, seperti part, devision, section, party, group dan class. Dari kata section inilah diserap menjadi kata sekte yang memiliki   pengertian   bagian,   pembelahan,   golongan,   pemisah, partai, kelompok dan kelas.[12]
Iftiraq secara etimologis berasal dari kata mufaraqah, yang berarti  “perceraian,  perpisahan,  dan  pemutusan”.  Iftiraq  juga diambil dari kata insyaab (pertentangan) dan syudzudz (nyeleneh, ganjil, atau aneh). Dari kata ini iftiraq berarti “sesuatu yang keluar dari asal (pokok), atau segala sesuatu yang keluar dari kesungguhan atau segala sesuatu yang keluar dari Jamâ‟ah”.[13]
Iftiraq menurut istilah adalah “keluar dari Ahlu Sunnah wal Jamâ‟ah dalam salah satu pokok (ushul) dari pokok-pokok agama yang qath‟iyyah ataupun pokok-pokok amaliyah yang sifatnya qath‟iyyah ataupun pokok-pokok yang erat hubungannya dengan ke-mashlaha-tan kaum Muslimin.[14]
Al-Syathibi  dalam  kitab  al-I‟tisham  menjelaskan  “makna iftiraq ini bisa memiliki makna sesuai dengan makna yng diberikan oleh lafadz tersebut, dan bisa pula memiliki makna yang ditambahkan dengan batasan tertentu yang tidak sesuai dengan lafadz iftiraq tersebut secara mutlak (hanya mengandung sebagian maknanya). Sebagaiman lafadz al-raqabah, secara mutlak tidak dirasakan makna “beriman” atau :tidak beriman” namun lafadz tersebut menerima makna seperti itu. Oleh karena itu, lafadz iftiraq tidak dapat dibenarkan jika maknanya adalah perpecahan secara mutlak, karena lafadz ikhtilaf (perselisihan) memiliki makna yang serupa dengannya. Jika memang demikian, maka orang-orang yang berselisih  dalam   permasalahan-permasalahan  cabang  pun   bisa masuk  dalam  kategori  makna lafadz  tersebut. 
Pendapat  tersebut tentu  saja  batil  menurut  ijma’  ulama,  sebab  perselisihan  yang terjadi sejak masa khalifah para sahabat berkisar seputar masalah - masalah ijtihadiyah. Selain itu arti iftiraq juga memiliki kemungkinan  makna  sebagai  orang  yang  memisahkan  diri  dari Islam.
Digunakannya lafazh iftaraqat dan tafarraqat (fi‟il madhi) untuk   umat   Yahudi,   Nashrani,   Ahli   Kitab   dan   Bani   Israil. Digunakannya   lafazh   taftariqu   (fi‟il    mudhari‟)    untuk   umat Muhammad SAW. Hal itu berarti iftiraq atau tafarraq pada Yahudi dan   Nashrani/   bani   Israil/   ahli   kitab   telah   terjadi   sebelum disabdakannya ẖadîts tersebut dan sedangkan iftiraq atau tafarraq pada umat Muhammad SAW baru akan terjadi sepeninggal Nabi SAW. Ini diperkuat dengan lafazh taftariqu dalam ilmu nahwu  disebut  sebagai  fi‟il  mudhari‟ mustaqbal  yang  berarti “akan...” sama halnya yang didahului dengan huruf sin “sa” (س) yang berarti “akan …”, sehingga “fi‟il mudhari‟ lafad taftariqu disitu tidak bisa dipahami “sedang …”.
b.   Kata Ummah
Dalam kamus Lisaan al-„Arab mengartikan ummah sebagai al-Qarn min al-nas (periode tertentu dari manusia). Kalimat yang berbunyi seperti qad madat ummam dapat diartikan, dahulu telah terdapat ummat-ummat. Kata ummat ini juga sering dinisbatkan pada  Nabi,  seperti  Nabi  Musa,  umat  Nabi  Musa  dan  lain
sebagainya.
c.   Kata al-Jamâ‟ah.
Di dalam kitab Lisan al-Arab, al-Jamâ‟ah itu berasal dari kata  jama‟a, yajma‟u, masdarnya  jam‟an. Al-jam‟u itu  artinya ismun li al-jamâ‟ati al-nâsi (nama sekumpulan manusia). Antononimnya adalah al-Farqu. Sedangkan di dalam kamus al–Munawwir berarti al-Zumrat (kelompok, kumpulan, sekawanan).
Jika berbicara masalah al-Jamâ‟ah, maka selalu dihubungkan dengan Ahlu Sunnah wa al-Jamâ‟ah. Menurut Yusuf al-Qaradawi  di  dalam  kitab “Gerakan  Islam  Antara  Perbedaan yang   Diperbolehkan   dan   Perpecahan   yang   Dilarang”,   Ahlu Sunnah  wal  Jamâ‟ah adalah  suatu  istilah,  berbentuk  dari  kata majmu’ yang terdiri dari kata : ahlun, sunnah, dan Jamâ‟ah. Dari segi bahasa dapat dijelaskan sebagai berikut:
1)      Ahlun itu berarti pengikut, pendukung, atau warga.
2)      As-Sunnah, searti dengan At-Ṭariqh dan dimaksudkan pula sebagai al-ẖadîts, yakni jalan berakidah dan beramal sesuai yang diajarkan oleh Nabi SAW dan diteruskan oleh para sahabat dan tabi‟in.
3)      Al-Jamâ‟ah,   pandangan    mayoritas    masyarakat    Islam (Assawadul A‟zam)
Dengan batasan sederhana Ahlu Sunnah wa al-Jamâ‟ah dapat diberi pengertian sebagai warga atau pengikut, semua yang diajarkan oleh Rasulullah SAW dan golongan sahabatnya, ajaran mana yang terbukti menjadi faham mayoritas umat Islam.[15]
Adapun  pengertian  al-Jamâ‟ah  lain,  seperti  yang  telah disebutkan oleh Rasulullah SAW dalam ẖadîts-ẖadîts tersebut,sebagaimana yang  telah  dinyatakan  oleh  al-Imam  al-Syatihibi dalam al-i‟tisham: “Yang  dimaksud  dengan  al-Jamâ‟ah disini adalah   yang   berkumpul   (bersatu)   diatas   satu   imam  yang mencocoki al-Qurˋan al-Karim dan Sunah Rasul SAW. Dan ini jelas,  sebagaimana  yang  berkumpul  dan  bersatu  selain  diatas sunnah   Rasul   SAW,  sungguh   mereka   telah   keluar   dari   al-Jamâ‟ah.
Jadi  yang  dimaksud  dengan  al-Jamâ‟ah disini  adalah mereka  yang  mengikuti  dan  berjalan  di  atas  al-Kitab  dan  al- Sunnah. Maksud dari “yang berkumpul (bersatu) di atas satu imam.
...” adalah mereka para sahabat Rasul, karena merekalah golongan pertama yang berkumpul dan bersatu diatas Kitabullah dan Sunnah Rasul SAW dan mendapatkan bimbingan langsung dari nabi Muhammad SAW.

2.   Makna Historis
Dari makna historis, munculnya golongan-golongan tersebut boleh jadi disebabkan pengaruh dinamika intern-Qur’ani atau pandangan politis, ataupun keduanya secara bersamaan. Selain dari persoalan itu, terjadinya perpecahan umat Islam juga disebabkan oleh interpretasi kaum Muslimin terhadap masalah politik yang dibawa ke dalam gerakan keagamaan, karena dibahas secara agama yang kemudian mengkristal dalam lapangan teologi.
Al-Syahrastani mendasarkan perpecahan umat karena adanya perbedaan empat persoalan pokok sebagai berikut:
1)      Pembahasan tentang sifat-sifat Tuhan dan penegasan sifat Tuhan 
2)      Pembahasan tentang Qadar dan keadilan Tuhan
3)      Pembahasan tentang janji dan ancaman (al-Wa‟du wa al-Wa‟d), tentang iman, batasan iman dan keputusan sesat atau kafir yang tidak beriman sempurna.
4)      Pembahasan tentang dalil yang bersumberkan wahyu (sama‟) dan dalil  akal  (ra‟yu) –seperti  baik  buruk  diterima  dari  syara’  atau ditemukan akal pikiran, serta terutusnya Nabi dan masalah Imamah (khilafah).
Dalam  ẖadîts  terpecahnya  umat  tersebut  tidak  menyebutkan kelompok mana saja yang termasuk ke dalam 72 golongan yang masuk neraka. Hanya satu firqah yang selamat yakni al-jamâ‟ah. Al-Syatibi menerangkan dalam kitab al-I‟tishamnya, mengapa ke 72 firqah tidak disebut, karena terdapat dua alasan sebagai berikut:
1)      Kita  telah  memahami  bahwa  syari’at  mengisyaratkan  tentang mereka (72 firqah) tersebut, meski tidak secara terang-terangan. Tujuannya adalah agar kita berhati-hati.
2)      Tidak melakukan penentuan (perhitungan jumlah golongan) merupakan  langkah  paling  tepat.  Hal  ini  dimaksudkan  agar  aib umat         ini   tertutupi.   Sebgaimana   kejelekan-kejelekan   mereka tertutupi, sehingga kejelekan mereka di dunia tidak tersebar luas. Kita sendiri sebenarnya diperintahkan untuk menutupi aib kaum mukmin, selama tidak menampakkan perbedaan yang mendasar.
Selain itu, Sa’dullah Assa’idi, dalam bukunya ẖadîts-ẖadîts Sekte menerangkan bahwa bilangan tentang golongan yang masuk neraka menunjukkan arti banyak, agar umat Islam berwaspada. Hal ini dikarenakan dalam menjalankan agama Islam tidak mudah terjerumus ke dalam siksa neraka. Kewaspadaan tersebut mengingat persoalan teologi pada masa Nabi dan Sahabat belum berkembang seperti masa sesudahnya. Seperti pembicaraan mengenai zat dan Tuhan, dapat- tidaknya Tuhan dilihat dengan mata kepala, kejadian alam mengalami proses waktu atau tidak, baik dan buruk itu obyektif atau normatif dari syara‟ dan  pembahasan  lainnya.[16] 
Dan  pembahasan  lain  yang  juga dibicarakan oleh mu’tazilah dan Asy’ariyah maupun lainnya. Semua pembahasan tersebut tidak terdapat pada masa Nabi dan tidak juga pernah diriwayatkan dari masa Sahabat. Dasar pembahasan terssebut ialah akal pikiran semata sedangkan argumentasi akal pikiran bersifat relatif bisa mengalami kesalahan.


3.   Makna Kontekstual
Secara Kontekstual, makna hadits terpecahnya umat, Islam tetap memerintahkan agar tetap konsisten kepada ajaran Nabi SAW dan  sahabat-sahabatnya.  Disimpulkan  dari  keterangan  Nabi  bahwa yang  selamat  hanyalah  golongan  Jamâ‟ah. Sekiranya  tipologi  al- Jamâ‟ah dapat diinterpretasikan oleh golongan-golongan umat Islam mengikuti konsepsi syari‟ah yang sebenarnya sudah pasti akan berarti positif. Karena golongan-golongan dalam Islam dituntut agar seperti golongan teladan yang hanya satu yaitu konsisten kepada ajaran Nabi SAW dan sahabat-sahabatnya.
Namun hal tersebut menjadi kembali negatif ketika terjadinya klaim  antar  kelompok  masing-masing  sebagai  al-Jamâ‟ah, seperti yang  dikehendaki  Nabi  dalam  ẖadîts.  Maka,  hal  itu  menjadikan sebuah problematika perpecahan model baru muncul. Terjadinya sikap fanatisme terhadap kelompok masing-masng   melahirkan model definisi kafir yang baru, ahli bid’ah dan Syirik.
Kembali lagi seperti perebutan kelompok yang benar paska peristiwa taẖkim, yakni terjadinya penyempitan pemaknaan terhadap al-Qurˋan dan saling memaksakan ayat untuk disesuaikan dalam mendukung kelompoknya. Sehingga melahirkan kelompok-kelompok intoleran, inklusif dan kaku. Jauh dari tuntutan Allah kepada umat Islam yakni ke arah kebaikan dengan amar ma‟ruf nahi munkar dan menciptakan persatuan antar umat Islam, seperti halnya di perintahkan dalam surah Ali Imran ayat 105. Justru perintah umat yang sebenarnya akan tertutupi dengan adanya ambisi truth-claim terhadap kelompoknya yang akan mendominasi paradigma pemikiran masyarakat.
Untuk menghindari adanya klaim kebenaran masing-masing kelompok dan fanatisme umat mengenai siapa yang dikategorikan al- Jamâ‟ah, penulis  mengembalikan kepada makna  kata  al-Jamâ‟ah secara umum yaitu al-Jamâ‟ah adalah mengikuti semua yang diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para  sahabatnya. Seperti masalah-masalah ushuluddin yang ditetapkan oleh nash yang qath‟i, ijma‟ atau sesuatu yang telah disepakati sebagai manhaj (pedoman operasional) sebagai Ahlus Sunnah wal Jamâ‟ah. Siapa saja yang menyelisihi masalah di atas, maka ia termasuk orang yang berpecah dari al-Jamâ‟ah. Adapun selain itu, masih tergolong perkara ikhtilaf.
Boleh jadi, selama golongan-golongan tersebut masih menggunakan al-Qurˋan dan Sunnah Nabi beserta Atsar Sahabat maka, mereka itulah yang dikatakan al-Jamâ‟ah. Perlu diingat bahwasannya Allah dalam menerangkan al-Jamâ‟ah dalam al-Qurˋan sesuai konteks ẖadîts terpecahnya umat dalam surah Ali Imran ayat 103 dan 105, ialah mereka yang tetap berpegang teguh kepada tali agama dan berlomba- lomba dalam menegakkan amar ma‟ruf nahi munkar serta tetap dalam persatuan dan persaudaraan umat Islam.
Selain itu, bersikap toleran dalam menanggapi perbedaan (ikhtilaf) dalam furu‟iyah. Menghindari fanatisme dan klaim kebenaran yang bersiafat pengkultusan golongan tertentu. Karena Nabi mengajarkan  kepada  umat  Islam  dalam  ẖadîts-ẖadîts  yang  lebih shahih, bahwasannya umat Muslim satu dengan yang lainnya merupakan Saudara dan juga umat Islam bagaikan sebuah bangunan yang saling menguatkan.
Nashir bin Abdu al-Karim al-Aql, dalam karyanya Sebab - sebab Perpecahan Umat dan Cara Penanggulangannya memberikan perbedaan antara ikhtilaf   (perselisihan)   dan   iftiruq   (perpecahan) sebagaimana berikut:
Pertama, perpecahan adalah sesuatu yang lebih dari sekedar perselisihan.  Dan  sudah  barang  tentu,  tidak  semua  ikhtilaf (perselisihan) disebut perpecahan. Kedua, Tidak semua ikhtilaf disebut perpecahan. Namun setiap perpecahan sudah pasti ikhtilaf. Ketiga, Perpecahan  hanya  terjadi  pada  permasalahan  prinsipil.  Keempat, Ikhtilaf bersumber dari sebuah iijtihad yang disertai niat yang lurus. Kelima, Perpecahan tidak terlepas dari ancaman dan siksa serta kebinasaan. Tidak demikian halnya dengan ikhtilaf walau bagaimanapun bentuk ikhtilaf yang terjadi diantara kaum muslimin, baik akibat perbedaan dalam masalah-masalah ijtihadiyah, atau akibat mengambil pendapat keliru yang masih bisa ditolerir, atau akibat memilih pendapat yang salah karena ketidaktahuannya terhadap dalil- dalil sementara belum ditegakkan hujjan atasnya, atau karena uzur, seperti  dipaksa  memilih  pendapat  yang  salah  sementara  orang  lain tidak mengetahuinya, atau akibat kesalahan takwil yang hanya dapat diketahui setelah ditegakkan hujjah.
Setiap tafarruq (perpecahan) merupakan ikhtilaf (perbedaan), namun tidak setiap ikhtilaf (perbedaan) merupakan tafarruq (perpecahan). Namun setiap ikhtilaf bisa dan berpotensi untuk berubah menjadi tafarruq atau iftiraq antara lain karena:
1)      Faktor   pengaruh   hawa   nafsu,   yang   memunculkan   misalnya ta‟ashub (fanatisme) yang tercela, sikap kultus individu atau tokoh, sikap   mutlak-mutlakan   atau   menang-menangan dalam   berbeda pendapat, dan semacamnya. Dan faktor pelibatan hawa nafsu inilah secara umum yang mengubah perbedaan wacana dalam masalah - masalah furu’ ijtihadiyah yang ditolerir menjadi perselisihan hati yang tercela.
2)      Salah persepsi (salah mempersepsikan masalah, misalnya salah mempersepsikan masalah furu‟ sebagai masalah ushul). Dan ini biasanya terjadi pada sebagian kalangan ummat Islam yang tidak mengakui dan tidak memiliki fiqhul ikhtilaf. Yang mereka miliki hanyalah  fiqhut  tafarruq  wal  iftiraq  (fiqih  perpecahan),  dimana bagi mereka setiap perbedaan dan perselisihan merupakan bentuk perpecahan yang tidak mereka tolerir, dan karenanya senantiasa disikapi dengan sikap wala‟ dan bara‟.
3)      Tidak menjaga moralitas, akhlaq, adab dan etika dalam berbeda pendapat   dan   dalam   menyikapi   para   pemilik   atau   pengikut madzhab dan pendapat lain.
Jadi, ikhtilaf hanya terjadi dalam masalah-masalah yang secara tabiat boleh berbeda pendapat dan boleh ber-ijtihad yang mana seseorang memiliki hak berpendapat, atau masalah-masalah yang mungkin tidak diketahui sebagian orang, atau ada unsur paksaan dan takwil. Yakni, pada masalah-masalah furu' dan ijtihad, bukan masalah ushuluddin. Bahkan juga sebagian kesalahan dalam persoalan ushuluddin yang masih bisa ditolerir menurut alim ulama yang terpercaya. Seperti halnya beberapa persoalan aqidah yang disepakati dasar-dasarnya  namun   diperselisihkan  rincian furu‟nya, misalnya masalah  isra‟dan mi‟raj yang  disepakati  kebenarannya, namun diperselisihkan apakah dalam mi‟raj tersebut Rasulullah melihat Allah dengan mata kepala atau mata hati.


E. Relevansi Teks dan Konteks Ḫadîts Tersebut Pada Realitas Kehidupan  Kekinian.
Perlu diketahui pertama kali tentang ẖadîts yang menyebutkan perpercahan umat  Islam adalah ẖadîts tersebut tidak tercatat dalam Sahih Bukhari maupun Sahih Muslim. Padahal, isinya sangat penting, menunjukkan bahwa ẖadîts ini dilihat tidak sahih menurut kedua syarat ulama tersebut. Adapun jika ada yang mengatakan bahwa sahih Bukhari dan Muslim tidak mencakup semua ẖadîts sahih, hal itu benar adanya. Namun, keduanya amat menjaga agar tidak melewati suatu bab penting dari ajaran Islam sehingga keduanya berusaha sedapat mungkin untuk memasukkan suatu riwayat atau beberapa riwayat dalam masalah tersebut.
Ḫadîts terpecahnya umat Islam menjadi 73 golongan mendapat kedudukan sebagai ẖadîts Hasan li dzatihi, karena terdapat Syawahid dan Muttabi‟ menjadi Shahih li ghairihi. Akan tetapi ẖadîts tersebut secara matan bertolak belakang dengan ayat-ayat al-Qurˋan dan ẖadîts ahad lain yang kualitas sanadnya lebih shahih.
Sesuai  dengan  analisis   makna  kata  taftariqu   yang  menjadi  fi‟il mudhari‟ mustaqbal dan terdapat tambahan huruf saس menjadi sataftariqu berarti menjelaskan suatu peristiwa yang akan terjadi. Berkaitan dengan hal tersebut, maka Nabi memang benar mengabarkannya kepada para sahabat, mengenai terpecahnya umat Islam di suatu hari nanti. Namun titik penekanan dari  isi matan ẖadîts tersebut bukan di wilayah perpecahan umat dan jumlah golongan.
Akan tetapi lebih kepada anjuran Nabi kepada umat Islam untuk tetap mengikuti Jamâ‟ah yang dimaksudkan Nabi yakni golongan yang tetap berpegang teguh kepada al-Qurˋan, Sunnah Nabi dan Atsar Sahabat, dan menghindari perpecahan, bercerai-berai serta permusuhan. Hal ini diperkuat dengan   turunnya   surah   Ali   Imran   ayat   105:   “Dan   janganlah   kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka Itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.
            Kandungan dari ayat tersebut yakni, memerintahkan kepada umat Islam ke  arah  kebaikan  dengan  amar  ma‟ruf nahi  munkar  dan  menciptakan persatuan   antar umat Islam. Jika Nabi menggunakan fi‟il mudharimustaqbal dalam  menyebutkan  ummatnya  maka  secara  tidak  langsung penulis menemukan bentuk dari pada ẖadîts terpecahnya umat Islam menjadi 73 golongan ini adalah termasuk kedalam ẖadîts Qauliyah. Karena waktu yang akan datang itu tidak dapat ditentukan, artinya bisa jadi umat Nabi akan terus terpecah-pecah sampai akhir zaman.
Jika ditinjau dari isi matan ẖadîts yang lainnya, di situ menggunakan kata  Ummah,  penulis  mengasumsikan bahwa fungsi dan kedudukan Nabi pada  saat  mensabdakan  ẖadîts  tersebut  adalah  sebagai  Nabi  dan  Rasul. Karena mengatakan ummatku, seperti hanya dalam kamus Lisan al-Arabi mengartikan kata ummah sebagai al-Qarn min al-nas (periode tertentu dari manusia), dinisbatkan pada ummat-umat Nabi terdahulu. Jadi secara tidak langsung menempatkan ẖadîts terpecahnya umat Islam menjadi 73 golongan bersifat universal.
Rasulullah pun  mengajarkan  agar  umat  Islam  untuk  mendamaikan dua pihak yang berselisih (berseteru diantara sesama umat Islam). Nabi memberitahukan bahwa kerusakan yang terjadi pada sesama muslim merupakan   faktor   yang   dapat   merusak   agama.   Jika   suatu   kebiasaan menunjukkan  bahwa  memberitahukan  penentuan  jumlah  golongan  hanya akan mewariskan sikap permusuhan dan perpecahan di antara mereka, maka sikap seperti itu harus dilarang.
Secara historis matan ẖadîts tersebut dibuktikan dengan adanya perpecahan umat Islam. Hal itu terjadi karena didukung adanya latar belakang kehidupan bangsa Arab yang merupakan kesuku-sukuan, lebih menekankan garis keturunan keluarga dan sering hidup berpindah-pindah, dalam kerasnya gurun  pasir  dan  melakukan  peperangan  antar suku  untuk  memperebutkan kekuasaan dan mempertahankan hidup.
Seperti halnya suku Aus dan Khazraj sebelum hijrahnya Nabi ke Madinah. Kedua suku tersebut, sering bermusuhan di masa Jahiliyah. Kedengkian dan permusuhan, pertentangan yang keras di antara mereka menyebabkan meletusnya perang yang berkepanjangan di antara mereka. Bahkan setelah kedua suku itupun disaudarakan dan didamaikan oleh Nabi semenjak datangnya Islam di Madinah, masih sempat terjadi ketegangan di antara kedua suku tersebut, karena adanya profokasi dari salah seorang laki- laki   dari   kaum   Yahudi   yang   tidak   suka   terhada perdamaian dan persaudaraan mereka, dengan cara mengingatkan mereka di kehidupan masa lalu. Sehingga suasana memanas dengan adanya faktor fanatisme terhadap kesukuannya sampai hampir terjadi peperangan. Akhirnya peristiwa tersebut dapat diredam oleh Rasulullah, dengan peringatan Allah yang menurunkan surah Ali Imran ayat 103: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan  ayat-ayat-Nya  kepadamu,  agar  kamu  mendapat  petunjuk”. yang  mengingatkan  dan  memerintahkan  untuk  tidak  bercerai-berai  seperti
zaman Jahiliyah.
Faktor kesukuan memuncak lagi dalam mendominasi perpecahan setelah wafatnya Nabi. Ketika jenazah Nabi belum terurus, terjadi sebuah peristiwa besar yang dikenal dengan sebutan saqifah bani saidah, yakni terjadinya perdebatan sengit di antara para sahabat Nabi, yakni kaum Anshar dan Muhajirin  yang merebutkan siapa yang pantas menggantikan kedudukan Nabi sebagai khalifah. Di sisi lain pada masa itu, di pihak ahlu bait (bani Hasyim) tengah sibuk merawat jenazah Rasulullah, tidak terlibat dalam memutuskan perkara tersebut, yang akhirnya memaksa ahlu bait menerima Abu Bakar sebagai khalifah setelah di baiat para sahabat lain pada peristiwa saqifah bani saidahi tersebut.
Perpecahan umat semakin parah lagi, ketika terjadi pergejolakan politik pada masa pemerintahan khalfah Ali  melahirkan peristiwa taẖkim, usulan damai antara Ali dan Mu’awiyah  yang membuahkan kekalahan di pihak Ali dan mengabsahkan Muawiyah sebagai satu-satunya khalifah ketika itu.  Hal  tersebut  justru  membuat  permusuhan  di  kedua  kubu  semakin memuncak, dan saling mengalahkan. Demi kuatnya persatuan di antara kedua kubu, salah satu cara yang mereka tempuh dengan membuat ẖadîts palsu.
Dari  sinilah  awal  kemunculan  aliran-aliran  teologi.  Munculnya  kelompok yang menolak taẖkim dengan berdalih menggunakan ayat al-Quran, mereka disebut Khawarij. Pendapat mereka menghukumi kafir empat orang pemuka Islam yakni Ali dan pengikutnya (yang kemudian disebut Syiah), Muawiyah, Amr ibn al-As dan Abu Musa al-Asy’ari.

PENUTUP
Dalam Islam diharapkan adanya persatuan, saling memahami untuk bertoleransi,  mengerti  tentang wilayah-wilayah  mana harus ada  ikhtilaf dan tidak fanatik terhadap golongannya, dengan mengklaim bahwa kelompoknya-lah yang benar. Karena sesungguhnya umat Islam diperintah untuk berlomba-lomba dalam kebaikan, bukan pada keburrukan dengan menjustifikasi kelompok atau golongan yang lain sebagai kafir. Sehingga akan terwujud sebuah ukuwah Islamiyah dan Islam rahmatan lil alamin.

PUSTAKA

Assaidi, Sadullah. 1996. Hadist-hadist Sekte. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ibn Hanbal, Imam Ahmad. 1992. Musnad al- Imam Ahmad Juz III. Beirut: Dar al-Fikr
Ibn Hanbal, Imam Ahmad. 1992. Musnad al- Imam Ahmad Juz IV. Beirut: Dar al-Fikr
Ibnu Majah. tanpa tahun. Sunan Ibnu Majah Juz IV . Beirut: Dar Al-Fikr
Ismail, M. Syuhudi. 1992. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang
Karim, Nashir bin Abdul. 1991. Perpecahan Umat Islam. Solo: Pustaka Mantiq
Munawir, Ahmad Warson. 1997. Kamus bahasa Arab Al Munawwir. Surabaya: Pustaka Progressif
Qardhawi, Yusuf. 1997. Gerakan Islam Antara Perbedaan yang Diperbolehkan dan Perpecahan yang Dilarang. Jakarta: Rabbani Press
Sulaiman, Abi Daud. 1994. Sunan Abi Daud, Juz II. Beirut: Darul Fiqr
Tirmidi, Muhammad bin Isa. 2007. al-jami‟ al-saẖiẖ sunan al-Tirmidi Juz III Libanon: Dar al-Kutub al- Ilmiyah


[1] Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad Ibn Hanbal dalam kitabnya,  Musnad al- Imam Ahmad,(Beirut: Dar al-Fikr, 1992) Juz. IV, hlm. 292 dengan nomor Hadits 12481.
[2] Amad Ibnu Hanbal, Musnad al-Imam  Amad, (Beirut: Darul Fiqr, 1992), Juz. III, hlm.229
[3] Ibid, Juz. IV, hlm. 241
[4]  Abi Daud Sulaiman, Sunan Abi Daud, (Beirut: Darul Fiqr, 1994) Juz II , hlm. 395
[5] Ibid hlm.395
[6] Muhammad bin Isa al-Tirmidi, al-jami‟ al-saẖiẖ sunan al-Tirmidi, (Libanon: Dar al-Kutub al- Ilmiyah, 2007), Juz. III,  hlm. 455
[7] Ibid hlm. 455
[8] Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Dar Al-Fikr,tt.), Juz IV, hlm. 352
[9] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta:Bulan Bintang, 1992), hlm.51
[10] Gawami al-kaleem Versi 4.5
[11] Ahmad Warson Munawir, Kamus bahasa Arab Al Munawwir (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm.1050
[12] Sadullah Assaidi, Hadist-hadist Sekte, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm.59
[13] Nashir bin Abdul Karim, Perpecahan Umat Islam, (Solo: Pustaka Mantiq, 1991), hlm.17
[14] Ibid, hlm 18
[15] Yusuf Qardhawi, Gerakan Islam Antara Perbedaan yang Diperbolehkan dan Perpecahan yang Dilarang, (Jakarta: Rabbani Press, 1997), hlm. 7
[16] Sa’dullah Assa’idi, Hadist-Hadist Sekte, hlm. 97